Sejak kita dijajah hingga de facto (kenyataan) merdeka, wilayah yang disebut Indonesa tidak terjadi dengan tiba-tiba, karena diselai pemerintahan militer Jepang. Kalau dilihat dari jangka waktu yang sebenarnya, sangat singkat, tidak sampai tiga setengah tahun. Tetapi yang tidak disadari banyak orang, benih untuk jadi merdeka sudah lama ada. Terutama di kalangan para pemimpin, khususnya Bung Karno. Ia sudah lama bermimpi jadi bangsa yang merdeka. Jadi, kita tidak perlu heran ada orang asing yang dapat menangkap impian itu, meskipun dalam arti kebalikan.

Dalam hubungan itu, begitu kemerdekaan kita diproklamasikan, setiap orang mencoba dengan caranya sendiri-sendiri mempersiapkan diri menghadapi kenyataan yang datang. Pihak Belanda berupaya kembali ke negeri ini. Mereka juga tahu, membalikkan sejarah tidaklah mudah, yaitu menguasai lagi negeri ini yang harus mereka lakukan dengan kekuatan senjata. Yang mendapat tugas dari Sekutu menerima serah-terima dari Jepang adalah Inggris. Belanda juga tahu bahwa keadaan sudah berubah sama sekali. Hindia Belanda sudah jadi masa lampau dan yang muncul kekuatan yang menyebut diri Republik Indonesia dengan kelembagaannya dan semua ternyata dalam pada itu sudah tersedia sebagai suatu negara.

Sejak awal Republik Indonesia diproklamasikan, kita tahu bahwa kita tidak satu. Selain mereka yang menganggap atau merasa dirinya nasionalis, terdapat banyak kelompok lain. Di luarnya pun yang juga merasa nasonalis terdapat mereka yang menyatakan diri berbeda. Alasannya, negara ini yang hendak mereka dirikan didasari agama, dan secara khusus Islam. Ada lagi kelompok dengan anggapan dirinya juga nasionalis tetapi kiri. Semua itu sempat kita bahas.

Belanda adalah pihak yang merasa juga berhak atas negeri ini—itu alasan kesejarahan dan dibuat, yang tentu bersifat saja nisbi—sampai mereka terusir Jepang. Kita dapat mengerti mengapa belum lagi PD II usai, Belanda sudah mempersiapkan diri untuk meraih kembali kekuasaan atas Hindia Belanda. Pemenang Perang adalah Sekutu, dan untuk serah-terima tersedia tiga bulan sebagai waktu penyerahan pemerintahan lewat Inggris.

Kedatangan kembali Belanda di sini dipelengkapi organisasi dan siap untuk memerintah berdasar model yang ada sebelum perang. Semua persiapan dilakukan di Australia yang tidak terlalu jauh. Dalam bahasa Inggris, organisasi itu diberi nama Netherlands Indies Civil Administration atau disingkat NICA. Pimpinannya adalah Dr. Hubertus Jan van Mook, yang sebelum perang adalah Direktur Urusan Ekonomi, dan wakilnya adalah Abdoelkadir Widjojoatmodjo.

Saya bisa memahami alur pikir mereka. Terutama Van Mook, seperti orang Belanda yang entah sudah berapa generasi ada di sini, mereka merasa, ini adalah negeri mereka.

Gambaran yang ada padanya semenjak kanak-kanak memberikan bukti. Dulu sebelum PD II, ada saluran air yang menjulur sejajar jalan raya Tangerang-Jakarta yang bernama Mookervaart. Jelas, itu bukan kebetulan, dan nama itu berasal dari moyang Van Mook. Kita dapat menangkap adanya rasa ikatanan kesejarahan. Wakil H.J van Mook yaitu Abdoelkadir Widjojoatmodjo orang Indonesia asli dan bukan orang Belanda. Sebagai seorang yang dididik Belanda dan kemudian bekerja dalam pemerintahan dalam negeri Hindia Belanda, masuk akal jika kita perhatikan cara ia bernalar, karena ia mengalami sendiri cara mesin pemerintahan Belanda berputar. Baginya tidaklah mudah membayangkan jika mesin itu harus dibongkar. Kalau itu dilakukan karena memang merupakan keharusan, semestinya jangan serta-merta, tetapi berangsur-angsur, Maka dari itu, jangan sampai jatuh korban karena itu tidak perlu. Saya yakin itu pilihan yang ia anut.

Rencana Belanda dalam penerimaan kembali Pulau Jawa berawal dari Batavia. Mereka mengetahui bahwa sejak pendudukan Jepang nama Batavia tidak digunakan lagi karena sudah berubah jadi Jakarta. Sejak awal Belanda saudah merasa perlu berhati-hati, sehingga mereka menyebut nama ibukota itu dengan Djakarta-Batavia. Sebetulnya, itu pun sudak salah langkah, karena tidak ada orang yang berbuat demikian. Yang nyata, di bawah Walikota Soewirjo, Jakarta bekerja normal.

Setelah itu menyusul Semarang dan baru Surabaya. Pengambilan kembali berjalan lancar, Tidak demikian dengan Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, Arek-arek Suroboyo tidak rela, jika diambil kembali Belanda begitu mudah dengan bantuan Inggris, dengan komandan Brigadier General Mellaby. Berhari-hari, siang dan malam terdengar orang bertakbir. Itulah suara Bung Tomo, yang tadinya bernama lengkap Soetomo, tetapi kemudian dikenal dengan nama pendek Bung Tomo. Ia menamakan diri Kepala Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia, BPRI.

Itu pula pada hakikatnya yang membuat Surabaya berkembang jadi medan perang yang berpuncak di tanggal 10 Nopember 1945, yang kini dikenal dengan sebutan Hari Pahlawan Nasional. Semua orang kebingungan, bahkan Bung Karno pun terpaksa didatangkan dari Yogya dengan pesawat.

Korban pertempuran Surabaya entah berapa jumlahnya. Maka taman kota pun disulap jadi Taman Makam Pahlawan, yang selalu mengingatkan orang akan pertempuran itu. Yang kemundian muncul adalah Institut Teknologi Surabaya (atau 10 Nopember 1945).

Apa pun yang kita anut semestinya kita menganutnya dengan penuh keyakinan, apakah ini seorang yang bernama Soetomo alias Bung Tomo atau seorang Abdoelkadir Widjajoatmodjo yang kisahnya kita teruskan di sini. Keyakinan itu tentu ada konsekuensinya, dan itu saya melihatnya sendiri. Peristiwanya terjadi di peron setasion Tugu, Yogyakarta. Saat itu kereta api ekspres rombongan para perunding dua belah pihak, Indonesia-Belanda, tiba. Mereka dalam perjalanan menuju ke tempat peristirahatan umum Kaliurang. Saat itu saya dalam sebondongan manusia yang umumnya muda dan ingin menyaksikan kedatangan mereka.

Tidak terduga-duga, begitu rombongan perutusan dua negara melewati di depan saya, tiba-tiba saja yang berdiri di samping saya,“Cuhh!”, ludah yang rupanya sudah ia persiapkan dalam mulut cepat-cepat disemprotkan di muka sang Ketua Delegasi Belanda, yaitu Abdoelkadir Widjojoatmodjo. Saya percaya, perlakuan yang ia alami itu ia terima dengan apa adanya. Atau, dengan perkataan lain, itu semua ia terima dengan ikhlas. Saya simpulkan itu dari kenyataan betapa ia dengan sigap merogoh sapu tangan dari saku celananya dan cepat-cepat menyeka mukanya dan segera memasukkannya kembali ke dalam saku, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

Tak pelak, peristiwa Stasion Tugu adalah noktah dalam perjalanan perjuangan kita menuju kedewasaan jadi bangsa, sebelum kedaulat kita diakui. Abdoelkadir Widjojoatmodjo-lah salah seorang pelakon, dan saya yakin, menganggap semua harus dilakoni sebelum jadi sejarah, atau setidaknya bersifat pribadi. Bagi saya itu memang benar, karena terekam di pingat pribadi saya. Itulah yang membuat ia memutuskan tidak jadi warga Belanda. Sebagai orang Indonesia, inilah negerinya.

Bagi saya kisah ini akhirnya memiliki warna pribadi, seperti tergambar dari kelanjutannya. Ia yang bergabung dengan kelompok H.J. van Mook hakikatnya tak lain karena mengikuti pilihan hatinya. Mereka tahu tidak dapat bertindak sendirian, sehinga harus menyertai pihak yang menang perang, yaitu Sekutu dan harus menggunakan kekuatan Inggris sebagai pihak yang mendapat mandat. Itu yang mengejawahkan kekuatan nyata yang mendarat di Tanjungpriok di tanggal 9 Septembar 1945. Kita yang baru saja mengumumkan diri sebagai negera merdeka, dituntut agar bersikap tepat dan tegas. Itu yang harus kita lakukan, dan langkah itu berhasil sehingga jadi alat untuk menjembatani menuju ke masa peralihan dan ternyata cara kita itu mendorong simpati banyak pihak.

Yang perlu kita sadari sejak awal, Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda merupakan dua kekuatan politik dengan kepentingan masing-masing. Kedua-duanya wajib menempatkan di kedudukannya yang berlawanan. Sebagaimana diuraikan di atas, Republik Indonesia muncul sebagai keharusan sejarah. Sebagaimana halnya di setiap perjumpaan dua perwujudan, selalu terdapat kekuatan lain di belakangnya, dari dalam dan luar kedua-duanya dan tampak terang-terangan dengan 'permainannya' yang hanya dapat dirasakan. Hakikat serupa itulah yang bisa diperkirakan terjadi di mana pun sepanjang masa.

Di waktu perang kemerdekaan, yang tampak jelas adalah kita dan Belanda. Tetapi baik itu kita maupun mereka, bukan perwujudan tunggal. Di antara kita sendiri kita saksikan ada sejumlah kekuatan dengan kepentingannya sendiri-sendiri dan tempatnya berseberangan. Seperti di atas diutarakan tadi, paham nasionalis disandang oleh banyak pihak dengan baju entah apa.

Saat saya melihat Abdoelkadir Widjojoatmodjo di Setasion Tugu, itu terjadi di jarak sangat dekat. Saya bersentuhan dan bahkan bersalaman ketika saya menikah. Ia sepupu ayah mertua dan pernah sama-sama dalam Dinas Pamong Praja. Setelah pernikahan, dengan isteri kami berdua berkunjung ke kediamannya di Jalan Diponegoro, Jakarta. Sesudahnya, entah kapan itu terjadi, Abdoelkadir Widjojoatmodjo pindah Negeri Belanda. Saya tak pernah membayangkan akhir kisahnya. Babak yang terakhir berjarak entah berapa puluh tahun kemudian. Itu pun kebetulan, karena istilahnya sendiri perlu diberi batasan baru karena 'kebetulan' tidak ada. Apakah Anda mengikuti Kipling, Huizinga, atau orang Bali, seperti yang tertera di Parwa Dua, atau secara gampangan menyebut Yang di Atas.

Inilah untuk menjelaskan alasan mengenai ihwal terakhir saya memperoleh informasi bahwa jasad Abdoelkadir Widjojoatmodjo diserahkan ke pangkuan Ibu Pertiwi di TPU Sigedong. Seperti saya katakan di Parwa Satu, Kota Karanganyar dibangun oleh Bupati Pertama R.M.A.A. Djojodinigrat. Kota memiliki TPU bernama Sigedong bagi penduduk pendatang, dan terletak di tepi jalan yang menuju ke pintu air Sindut. Saya mendengar bahwa Abdoelkadir Widjojoatmodjo dimakamkan di sana dari kerabatnya yang menggali liang lahatnya. Mereka ternyata kemudian juga jadi kerabat dekat anak saya keempat.

Sejak itu saya berpikir-pikir tentang perjalanan hidup Abdoelkadir Widjojoatmodjo atau siapa pun dalam (sebagian) judul Parwa Tiga ini. Kekecualian selalu ada, termasuk yang baru saya katakan. Yang masih nyantel di benak dan perlu dicermati adalah yang berikut; Nrimaa ing pandum, Sak derma anglakoni (Kita terimalah yang kita peroleh karena itu yang wajib dijalani [karena itulah yang pasti baik].) Itu pula cara kita mencerapkan. Maka dari itu, sekali lagi semua ternyata nisbi. Untuk sementara, kita simpan ihwal Abdoelkadir Widjojoatmodjo, demikian pula siapa pun yang menapaki jalan pilihannya.

.

Perjumpaan saya dengan anggota Keluarga Widjojoatmodjo tidak hanya itu.Yang pertama kalinya terjadi jauh sebelumnya, di tahun 1933. Saat itu saya kebetulan di Semarang dan terkena tipus dan memerlukan pertolongan. Seingat saya, cukup lama jadi pasiennnya, yang jelas lebih sebulan. Yang menangani adalah dokter Aboebakar Widjojoatmodjo, kakak sulungnya.

Perjumpaan dengan anggota Keluarga Widjojoatmodjo yang lain berlangsung di kaitan lain dan di dalam kurun waktu berbeda.Yang ini bernama Iman Kanafi Widjojoatmodjo yang menikah dengan adik sepupu dan membuat saya ikut-ikut memanggilnya Mas Piet. Hemat saya ia kini sudah tiada. Yang bungsu bernama Zainal Abidin yang sebaya saya. Untuk pertama kali saya berjumpanya di sekitar 2010. Ia dari HBS, sehingga 'dunia'-nya jelas dekat dunia saya, tetapi sebaliknya dengan generasi sekarang. Ia yang biasa dipanggil Oom Zain itu, di pertemuan keluarga berkesempatan bernyanyi berdua segenerasi. Kami berdua berbagi lagu lama. Itulah dunia besar yang kecil. Kini semua tinggal kenangan, karena ia pun tiada.