Masa akhir zaman penjajahan Belanda hingga awal berdirinya Republik Indonesia bagi saya adalah saat sangat pelik. Itu adalah masa peralihan dalam segala arti, dari semula siswa yang hidupnya bergantung pada orang tua, berubah jadi seorang yang menggantungkan pada diri sendiri. Bagi mereka yang sebaya dengan saya—tidak semua—berlaku 'aturan' yang sama.

Saya merasa, langkah yang saya ambil menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia sebenarnya hanya ikut-ikutan. Ikut-ikutan itulah yang terjadi semenjak saya lulus sekolah dasar dan lalu masuk MULO. Ayah tidak pernah menyatakan saya harus ke mana, kecuali pernah disinggung sepintas—seperti beliau nyatakan ketika di Prembun, menjelang pensiun—agar jangan jadi orang pamong-praja. Kurang dari setahun di Mulo-B Magelang, pada 10 Mai 1939, hubungan Hindia Belanda dengan Negeri Belanda terputus, karena pada hari itu tentara Jerman menyerbu negeri itu. Meskipun demikian, kehidupan di sini jalan terus seperti biasa, pemerintahan tetap sama, karena Pemerintah Belanda masih ada, meskipun mengungsi di London. Dari masa itu ada yang tertinggal pada saya, yaitu lagu “Eens komt de tijd dat Neerland zal herrijzen”, Suatu ketika Negeri Belanda akan bangkit kembali, yang berawal dengan harapan sbb., 'Eens komt de dag, dat Neerland zal herrijzen, Eens komt de tijd dat Neerland weer zal staan, Beklemd bedroefd, Maar altijd ongebroken, . . .dst.dst. (Suatu ketika Negeri Belanda akan bangkit kembali, Suatu hari Negeri Belanda akan berdiri, Terjepit dan sedih, namun tak pernah patah semangat, . . .dst., dst.)

Setelah menamatkan Mulo-B Magelang, saya melanjutkan di AMS-B Yogya. Tepat satu dasawarsa sebelumnya, kakak Basuki tamat dari sekolah yang sama. Selama bersekolah, kakak bertempat tinggal di BO Internaat, tempat pemondokan yang menggunakan nama Boedi Oetomo, pergerakan nasionalis awal. Langkah saya masuk B.O. Internaat sebenarnya hanya ikut-ikutan, karena saya tidak tahu ada pilihan lain. Padahal selama jangka waktu satu dasawarsa keadaan umum telah berubah sama sekali. Seperti ketika kakak ada di B.O. Internaat, pada zaman saya para pemondok umumnya juga berasal dari luar kota.

Dalam hati kecil, saya sadar biaya untuk menyekolahkan anak tidak sedikit, apalagi jika ditambah tempat indekos di BO Internaat. Semua itu berarti pengorbanan bagi Ayah dan Ibu yang harus lebih berhemat dalam segala hal. Ada kelembagaan yang sudah sejak lama kita kenal, dalam arti dapat bertindak sebagai 'pihak penolong' bagi banyak orang. Tidak hanya rakyat biasa, bahkan Ibu yang pernah jadi istri pejabat. Yang saya maksudkan adalah pandhuis. Ada ungkapan Belanda yang memberi kesan menutup-nutup, ome Jan. Si Paman Jono yang baik. Itulah rumah gadai yang kita jumpai di setiap kota besar atau kecil. Karena 'sudah terlanjur' sejak dulu, orang Jawa menamai barang yang sama gadean, dan jika lebih resmi 'pegadaian', hingga sekarang.

Saya masih ingat, barang yang sering 'keluar-masuk' rumah gadai adalah kain batik halus. Apa sebabnya? Yaah, membawa barangya saja, kalau bisa, tidak terlihat banyak orang, dan nilai gadainya tinggi. Saya pernah melihat sendiri, betapa pada suatu ketika Ibu mendapat kesulitan, apa lagi kalau tidak tertipu oleh yang disuruh membawa barangnya ke pegaden. Perkara ini tak pernah saya tanyakan kepada Ibu, kecuali kepada kakak perempuan. Penyebabnya sangat sederhana, ini hal yang membuat semua 'sakit'. Itu sebabnya ada kata ome Jan, si paman Jan, Si Paman yang baik itu selalu memberi uluran tangan. Kata 'pegadaian' bukannya tidak ada. Sudah sejak 200 tahun lebih ada nama Pegadenbaru, kota kecil di yang sekarang masuk Kabupaten Subang, Jawa Barat. Itulah cara Belanda 'membantu ekonomi rakyat' menjembatani pada saat menghadapi kesulitan akan uang tunai, yang datang berkala seperti lebaran atau musim tanam atau tiba-tiba, entah apa itu.Terpulang kepada kita masing-masing menilainya, tetapi nyatanya rumah gadai sampai kini masih ada, karena dibutuhkam.

Sejak di Mulo Magelang, teman sekelas sudah bercampur, selain pribumi, ada Belanda, baik totok maupun Indo, terutama binaan Pa Van der Steur—semacam panti anak yatim piatu—terutama suku Ambon.

Itu di kelas I. Di kelas II dan III Bagian B, siswa yang tinggal hanya yang pribumi dan Cina, karena sebagian besar masuk di Bagian A dan Bagian C. Anak pribum jumlahnya terbanyak dengan tiga perempuan, Ratmini Gandasoebrata, Satimah Mardjana, dan Karlinah. Dari golongan Cina ada tiga anak, Liesye The dan Emmy The yang berulang-alik naik keretapi dari Kranggan dan Benny Liem yang penduduk Magelang. Selain Soeharinto Mangoenkoesoemo, Soenyoto Soemodihardjo yang sempat saya jumpai sebelum ia tiada serta Soekiswadi yang saya dengar bekerja di Perpustakaan Fakultas Pertanian UGM, Mochamad Djokomono dan masih ada Soegito, Martadi, Soemarso, Amir Samsoedin, Rahardjo, R. Loing. Saya kehilangan jejak mereka. Ada kekecualian, Mochammad Djokomono, yang ayahnya Wedana Kota Magelang, karena secara kebetulan saya bertemu dengan adiknya, Roekanto Djokomono, yang bermukim di Komplek Perumahan Cinere Indah, Depok, dan kebetulan tidak jauh dari rumah Santoso Soeroso, kemenakan saya. Roekanto Djokomono yang mantan penerbang Garuda, berkata bahwa kakaknya, Nurhadi yang setahu saya jadi polisi sudah lama meninggal, demikian kakaknya Mohammad, dan Rubiyanti, adik Mohammad yang sekelas dengan adik saya Hasan. Rukanto berkisah menerbangkan pesawat Presiden Indonesia Pertama Soekarno pada muhibahnya ke luar negeri, dan ia menunjukkan potret kenanganannya. Saya dapat berbagi rasa-bangganya memperoleh kesempatan langka itu.

Sarana berkomunikasi adalah bahasa Belanda. Anak-anak binaan Pa Van der Steur memiliki bahasa mereka sendiri. Sebagai contoh, pada suatu peristiwa guru wanita kami yang masih muda muncul mengenakan short (celana pendek) dan dengan topi mungilnya tampak sexy—baik short maupun kata sexy di zaman itu belum beredar luas—terlontar celoteh dari antara mereka, 'Aduh, Juffrouw-nya, kayak pop!'. Atau jika dengan gayabasa anak muda zaman sekarang, barangkali saja, 'Bu Guru ccntil banget, ni yee! Itu yang disebut prokem, terus berubah, dan apa yang kira-kira dimaksudkan, kita tentu mafhum.

Para pengajar semua Belanda, kecuali seorang, Meneer Karjoso, orang Jawa yang mengajar Maleis, bahasa Melayu. Akan halnya para pengajar warga Belanda, maka jika kita tilik nama dan raut muka mereka, maka kita dapat 'menebak' asal mereka dan juga dapat mencoba menilai sikap mereka terhadap kepribumian dan keindonesiaan para siswanya. Sekedar contoh kecil, betapa kopiah yang saya kenakan pada suatu pertemuan tak resmi sudah menarik perhatian tuan direktur. Tanpa kata tetapi hanya dengan isyarat yang tidak diketahui orang lain, saat itu saya harus membuka kopiah, yang diketahui umum lambang kaum nasionalis, seperti yang juga selalu dikenakan Soekarno. Sekolah menengah adalah tempat anak muda mulai saling mengenal, daerah asal dan lingkungannya. Sarana yang kami gunakan adalah bahasa Belanda.

Di AMS-B rekan siswa tercampur dari mana-mana di seluruh Indonesia. Pengajar, selain warga Belanda—termasuk seorang yang bernama Belanda, Bergen, tetapi berkulit hitam karena asalnya Surinam—terdapat juga orang Indonesia dan Cina, dan semuanya sarjana. Di antara pengajar yang Indonesia ialah R. Katamsi, guru menggambar. Pada peralihan ke zaman Jepang beliau sempat menjabat kepala sekolah. Di zaman berikutnya puteranya, Amoroso Katamsi sempat terkenal selain di bidang musik, juga pernah membuat film.

Di antara siswa AMS-B yang menonjol di lapangan hijau adalah Soeroto Koento, pelari cepat. Sebagai nasionalis ia langsung bergabung dengan para pejuang dan gugur pada awal revolusi, terbunuh di medan-laga Karawang. Saya sempat mengenal adiknya, Harjono Koento—dikenal sebagai Harry Koento—yang namanya disenafasakan sebagai 'juru kunci Kota Bandung'. Sampai menjelang ajalnya, saya masih sempat berkomunikasi, ketika ia terbaring di Rumah Sakit Advent Bandung. Ketekunannya merawat dokumentasi mengenai kota itu, berbuah buku “Bandung tempo doeloe”. Saya hanya dapat berharap, semoga warisan harta tak ternilainya berupa koleksi buku di perpustakaannya yang memenuhi seluruh rumah, dapat diselamatkan, karena ia tak berputera, dan saya dengar isterinya menyusul tidak lama setelah ia tiada.

Kembali ke zaman AMS-B Yogya menjelang PD II. Ketika itu saya dimasukkan Kelas IB, yang selain dua anak perempuan—Dresonolo Soerjodiningrat dan Mastinah—selebihnya lelaki. Yang berasal dari Mulo Magelang Soenyoto Soemodihardjo—masih akan disinggung di bawah—dan Soekiswadi, yang di kemudian hari jadi pustakawan di Fakultas Pertanian UGM. Di antara rekan lelaki seangkatan hanya seorang, Godjali, di kemudian hari masih sempat bertemu. Dalam pada itu ia sudah jadi perwira polisi di AIRUD, Polisi Air dan Udara. Ketika itu, 1960, dengan Prof. R.W. Decker—dari Kentucky Cotract Team dan diperbantukan di Bagian Geologi ITB—menjajaki ada-tidaknya kemungkinan mendapatk bantuan kapal patroli polisi untuk pergi ke Gunung Krakatau. Alasan ke AIRUD sederhana saja, karena baru membaca di koran mereka baru mendapat hibah kapal patroli dari AS. Ternyata Komandan langsung akrab dengan Decker, dan biaya perjalanan ditanggung AIRUD. Decker begitu antusiasnya, hingga sebelum pulang, kami sempat singgah di toko buku dan Decker membelikan saya beberapa pocket book yang sampai sekarang masih ada. Berkat bantuan AIRUD, semua berjalan sangat lancar. Itulah kunjungan saya yang pertama kali ke gunungapi yang bekerja. Artikel pendek Decker terbit dalam Contributions dari Bagian Geologi ITB. Decker juga membuat film dokumentasi, dan untuk menyatakan rasa terima kasihnya kepada saya, saya dijadikan awal kisah, ketika saya meloncat dari kapal ke darat. Mudah-mudahan, film itu masih tersimpan dalam arsip badan yang dulu bernama Dinas Gunungapi.

Menyambung lagi ke cerita ketika masih diYogya menjelang Jepang datang.Selain anakkos ada banyak treinjongens—semua anak lelaki—yang berulang-alik Solo-Yogya setiap hari dengan keretapi. Dari setasion Lempuyangan ke sekolah yang berjarak hanya dua-ratusan meter, mereka berjalan kaki. Di antara mereka ada banyak yang di kemudian hari saya jumpa lagi seperti Kunto Hadji yang pernah jadi Rektor ITB dan Soelarto Poerbosiswojo, yang setelah pensiun dari ABRI menetap di Bandung. Di Bandung ada perkumpulan bernama Arga Bagya yang anggotanya mereka yang pernah jadi murid AMS-B atau AMS-A Yogyakarta. Setelah bertahun-tahun berdiri sebagai Cabang Bandung dari perkumpulan para bekas siswa sekolah menengah zaman Belanda seluruh Jawa (AMS dan HBS), Arga Bagya Cabang Bandung pun membubarkan diri. Ini terjadi setelah Ketuanya, Prof. R, Koestedjo, juga seorang pejuang kemerdekaam, menggal di tahun 2006.

Dengan kedatangan Jepang, semua berubah. Tidak hanya sekolah dan namanya yang berubah, juga para pengajarnya berganti semua. AMS-B dan AMS-A yang semula menempati gedung berbeda, AMS-B di Kotabaru dan AMS-A di depan RS Onder de Bogen (sekarang RS Panti Rapih), dalam zaman Jepang disatukan di Kotabaru.

Tujuan membuka sekolah di zaman pendudukan Jepang jelas bukan untuk membuat peserta didik agar jadi pandai. Terpenting, agar mereka memiliki kegiatan dan tidak merepotkan banyak orang. Sekolah yang tadinya bernama AMS jadi SMA, dibalik, atau nama panjangnya Sekolah Menengah Atas, atau Jepangnya Koto Tyuu Gakko.

Tampilan para pelajar rupanya juga dijadikan pertimbangan. Mereka berpakaian seragam putih dengan pet di kepala. Dari pet yang dikenakan, siswa diketahui sekolah asalnya.

mokku juu, dan barang itu ia sandang ke mana-mana. Maka lengkap sudah tampilan seorang pemuda pelajar ketika itu.

Kinrohoshi atau Indonesanya kerja baktu merupakan bagian dari acara rutin. Yang jadi mata acara di antaranya menanam jarak di lapangan pacu kuda, di jalan yang menuju Maguwo dan pabrik baja Watson; sebelum PD II, Pabrik Mesin Watson melayani kebutuhan pabrik gula yang di wilayah Yogyakarta saja jumlahnya 20 buah lebih, bertebaran di daerah yang datar. Kini, di tapak bekas pabrik besi Watson berdiri Hotel Melia Purosani International. Meskipun terletak di tengah-tengah kota Yogyakarta yang penuh hiruk-pikuk, hotel memiliki halaman-dalam rindang berkat dipenuhi pepohonan.

Yang jadi guru SMA pada zaman itu adalah mereka yang sudah mahasiswa. Di SMA-B Yogya, itu berarti mereka para calon dokter dan insinyur yang perguruan tingginya belum dibuka. Guru kimia kami Arjono dan guru biologi Soejatno Djojosoegito, dua-duanya calon dokter, guru fisika dan matematika, A. Soedarto, calon insinyur, mereka semua seumur kakak kami. Yang mengajar bahasa Indonesia dan budi pekerti adalah Pak Mardawa—jadi kerabat setelah saya menikah, karena isteri adalah kemenakannya—dan guru ilmu bumi adalah Pak I.J. Simandjoentak. Mereka berdua lulusan kweekschool, yang dengan sendirinya sudah biasa dengan pekerjaan itu. Guru olahraga Hardjoko; dan adiknya, Hardjoso—seangkatan saya—di kemudian hari jadi gurubesar Bagian Teknik Sipil di Universitas Gadjah Mada. Yang juga serumah di sana adalah Kampto Utomo, lebih muda dari saya dan kelak jadi staf pengajar di IPB. Tesis doktornya didasarkan pada permukiman transmigrasi di daerah Lampung yang ditangani Kakak SMMD Poerboadiwidjojo. Kelak ia mengganti namanya jadi Sayogyo. Terakhir kali saya bertemu dengan Sdr. Sayogyo di Bandung ketika adik saya Hasan meninggal pada tahun 1999. Selain sebaya dan sama-sama lulusan SMA-B Yogya, mereka juga dekat.

Tidak semua siswa lama dari luar kota kembali ke Yogya, tetapi sebaliknya banyak siswa yang masuk ke SMA, termasuk mereka yang tadinya bersekolah di HBS. BO Internaat berganti tugas, termasuk pimpinannya, Bapak Soegarda Poerbakawatja. Selama di B.O.Internaat, hubungan saya dengan beliau saya rasa tidak terkesan, mungkin karena saya sendiri bersifat 'kaku'. 'Sentuhan' pertama saya dengan beliau terjadi karena ijazah Koto Tyuu Gakko (SMA pada zaman Jepang) yamg saya miliki ditandatangani beliau. Ketika bertugas sebagai Head, Mining Office, UNTEA di Hollandia antara bulan November 1962 dan Mai 1963, saya dengan sengaja menemui beliau yang sedang mempelopori pendirian Universitas Tjenderawasih, perguruan tinggi pertama di bumi Irian, sekarang Papua. Pada kesempatan itu, saya bertemu Koentjaraningrat, yang sewaktu pra-serbuan Belanda II ke Yogyakarta, 19 Desember 1948, jadi 'bos' adik kembar saya Hasan dan Husein di PTPI, Pusat Tenaga Pelukis Indonesia, organisasi para pemuda yang ber'markas' di pertigaan Jalan Tanjung,Yogya, sekitar 100-an meter dari Kantor Pusat Tambang dan Geologi dalam pengungsian. Koentjaraningrat yang sebaya saya, jadi profesor antropologi pertama Indonesia dan mengajar di Universitas Indonesia. Dengan Bpk Soegarda Poerbakawatja saya sempat berjumpa sekali lagi di waktu beliau sudah pindah di Jakarta, sudah jadi profesor dan tinggal di daerah Menteng.

Pada masa peralihan sejak berakhirnya penjajahan Belanda, saya dihadapkan kepada pilihan yang sangat musykil. Saya percaya hal serupa juga dirasakan oleh mereka yang sezaman, yaitu mereka yang saya kenal pada kurun waktu itu, entah sekedar saya jumpai atau bahkan hanya saya lihat sekilas, sejak saat terakhir zaman penjajahan Hindia Belanda, selama pendudukan Jepang yang tiga setengah tahun, hingga revolusi pecah. Kami yang sezaman terlibat dalam suatu proses tanpa ada yang bertanya akan berakhirnya atau bagaimana proses itu berakhir. Sebaliknya, kami memperoleh 'cap' yang ditinggalkan proses itu, karena membekas, dan terus terbawa-bawa untuk selanjutnya. Kini, tujuh dasawarsa kemudian, sebagian besar di antara mereka yang sezaman dengan saya itu sudah tiada.

Ada banyak jumlahnya muka yang dulu begitu akrab dengan pemandangan yang dapat disaksikan. Mereka berhilir-mudik di halaman bekas AMS-B di Kotabaru. Di antara muka yang sekian banyak itu, tidak sedikit yang di kemudian hari tampil di pentas nasional. Di antara anakkos, bahkan yang memimpin BO Internaat, Bpk Soegarda Poerbakawatja, demikian pula treinjongens yang berulang-alik setiap hali Solo-Yogya. Mereka masuk dalam kelompok yang terekam dalam pingat (memory).

Kami yang sezaman, secara berada dalam pusaran proses di kancah yang sedang bergerak menuju ke pembentukan negara baru dan dunia baru. Di antara mereka ada yang di kemudian hari jadi perwira tinggi, dutabesar, menteri, rektor, profesor seperti di perguruan terkenal seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Pertanian Bogor. Di antaranya adalah Soenarti (Zus) Gondokoesoemo yang Indo dengan sosok tinggi untuk ukuran kita, dan di kemudian hari jadi isteri orang penting, Jenderal A.H. Nasution, juga contoh pembauran di awal zaman baru.

Kemunculan Republik Indonesia menuntut adanya tatanan baru. Dengan bekal yang ada pada kami ketka itu, kami kemudian berkiprah di tempat yang kami pilih—atau didorong ke dalamnya—dan memberi kani peluang berperan memberikan sumbangsih kepada negara yang baru terbentuk itu. Sebaliknya, ada pula di antara kami yang tersingkir, tersungkur, atau tersingkirkan, disengaja atau tidak disengaja, dan tentu ada juga yang terpenuhi rasa sesal.

Saya sebut saja beberapa nama yang terlintas, dimulai dari para mantan anakkos penghuni B.O. Internaaat.Yang lebih tua dan masih saya ingat adalah Harry Nimpumo, setelah berdinas di ALRI, kemudian bertugas sebagai duta besar di beberapa negara Eropa. Saya bertemu dengan adiknya, John Nimpuno yang jadi staf pengajar di Universitas Padjadjaran Bandung.Di antara yang sebaya adalah Sri Bimo Ariotedjo yang berkiprah di Angkatan Udara Republik Indonesia hingga jadi komodor udara. Lalu ada Oemar Bachsan dan Zoelkifli Loebis yang lewat Seinen Kunrensho mencoba meneruskan karirnya di Angkatan Darat. Ada Achmad Slamet yang menjadi insinyur kimia dan sempat bertemu sekali di halaman ITB pada awal tahun 1950-an. Selain Harry Nimpoeno yang jangkung, ada juga Harry Singgih yang juga jangkung dan suka menyanyi, tetapi umurnya tak panjang karena menimggal pada zaman masih bergolak.Ada Ahmad Mamloekat, pemuda Banten dengan banyak candanya dan pada awal 1950-an sempat bertemu sekali di Bandung. Pada waktu di Yogya. Ia akrab dengan temannya, Soeraedi, juga dari AMS-A, dan sama-sama dari Banten, tetapi berbeda karena besifat pendam. Ada R.M .Soebono siswa HBS yang tampan dan selalu ceria, tidak berpura-pura menyembunyikan keinginannya jadi filmster, kata 'bintang film' bukan kata lazim. Kesampaian juga niatnya itu, dan di kemudian hari ia dikenal dengan nama disingkat jadi S.Bono.

Ada siswa lain AMS-A yang juga berasal dari Garut, Jawa Barat. Ia tidak sepondokan, tetapi juga sangat akrab. Ia termasuk yang menamatkan SMA-nya di Yogya, yaitu Ahmad Sadali. Hal itulah menyebabkan ia selain jadi penggubah lagu mars Padma Naba “SMA Hidup Sekolah Kita”, juga jadi pegiat masjid Suhada. Setelah di ITB, selain jadi gurubesar seni rupa, ia selama bertahun-tahun merupakan tokoh Masjid Salman. Ada lagi seorang yang namanya hampir sama, Sadeli, yang juga berasal dari Jawa Barat. Ia dari SMA B, dan tidak kembali lagi ke Yogya. Ia berwiraswasta dan membuat genting di timur Bandung. Kami masih sempat jadi makmum ketika di Masjid Salman, mengenang Profesor Ahmad Sadali, sebelum jenazah diberangkatkan ke Garut untuk dimakamkan di sana.

Seperti disinggung di atas, di antara teman seangkatan dari MULO Magelang hanya beberapa yang kemudian melanjutkan ke AMS B Yogya, di antaranya Soenyoto Soemodihardjo. Ia berkuliah di Fakultas Pertanian, UGM. dan jadi staf pengajar di alma maternya hingga jadi guru besar. Setelah itu itu masih bertugas jadi Rektor Universitas Bengkulu. Salah satu tugas lapangan membawa saya ke Bengkulu, dan di suatu sore saya sempat bertemu dengan dia. Kami mengobrol sepanjang jalan di mobil yang ia kemudikan. Tak lama kemudian saya mendengar ia pindah ke Medan karena akan memangku jabatan Rektor Universitas Medan Area. Rupanya itu niatnya, melanjutkan kiprah di bidang yang sudah ia tekuni selama berpuluh-tahun—mendidik—dan di Medan hidupnya berakhir. Ia hanya sempat dilantik, karena pada keesokan harinya ia menghembuskan nafas yang terakhir. Hanya jasadnya yang kembali ke tempat kelahirannya. Itulah rahasia hidup, kita tidak perlu tahu kapan semua ini terhenti, kecuali Yang Maha Kuasa.

Seperti halnya Sdr Soenjoto Soemodihardjo, setiap orang memilih 'tempatnya' dalam 'perjuangan'. Saya kagum meski kaget atas putusan yang diambil Simeon, treinjongen dan teman sekelas yang tergolong pendiam, Begitu Jepang takluk ia langsung bergabung dengan kekuatan bersenjata. Saya tahu ia berangkat ke Bandung, tetapi tak lama kemudian yang saya dengar, ia gugur ketika terjadi huru-hara Raymond Westerling dengan APRA-nya (Angkatan Perang Ratu Adil!) yang mengobral peluru, dan membuat Simeon jadi salah seorang penghuni awal TMP Cikutra, Bandung. Ada kakak-beradik Harjadi dan P.C. Harjasoedirdja dari Pakoealaman dari kelas paralel, Harjadi gugur dalam perjuangan, dan Harjosoedirdjo jadi gurubesar di Universitas Parahyangan Bandung dan pernah 'berdag-dag' di Jalan Braga, Bandung.

Sebenarnya, ada lagi seorang yang juga sebaya, teman ketika di SD Karanganyar, yang terpanggil untuk menghadapi Belanda dengan senjata. Namanya Soesilo yang tidak meneruskan ke MULO, melainkan ke sekolah polisi. Saya mendengar, ia melibatkan diri pada tahapan sangat awal, maju ke front Semarang dan di sana ia gugur. Sampai sekarang hal itu meninggalkan kesan mendalam pada saya.

Saya sendiri sejak sebelum Jepang takluk sudah tamat SMA. Dengan ijazah SMA di tangan, saya melihat di iklan surat kabarYogya ada lowongan untuk bekerja sebagai analis di Apotek Inabata yang sebelum perang bernama Apotheek Van Gorkom di Loji Kecil, Yogyakarta. Saya langsung diterima sebagai karyawan oleh pimpinan bagian pesonalia, Bpk Mastur dan dipertemukan dengan seorang sebaya, Soemarsono, yang sudah bekerja sebagai analis. Itu pertama kali saya merasakan jadi seorang karyawan. Kebetulan ia sama-sama penduduk Jetis di utara Tugu, dan setiap hari kami pergi-pulang kerja berjalan kaki, yang membuat kami cepat akrab. Setiap pagi sebelum bekerja, mata acara pertama adalah taisyo, gerak badan bersama.

Di Inabata ada dua orang Jepang, Hasegawa adalah pimpinan umum, dan Ikuchi yang memimpin laboraorium. Berapa pentingkah aptek ini, sehingga harus 'ditunggu' dua orang Jepang? Ikuchi mengerti sedikit Jerman, sehingga kami berkomunikasi dalam bahasa gado-gado Jerman-Jepang/ Jadilah kalimat seperti 'Sono miruhi wa . . .' (Susu itu di . . .) Dan kami berdua pun mencoba-coba menafsirkan yang diingininya. Di Inabata saya bertemu dengan bertemu untuk pertama kalinya dengan yang disebut alkaloid yang terkandung dalam sejumlah tumbuhan, pada umumnya terasa pahit. Khusus yang kami tangani adalah karpain yang terkandung dalam daun papaya. Saya tidak mafhum mengapa Inabata memproduksi pel karpain; yang saya tahu, daun papaya di kalangan orang Jawa dianggap berkhasiat sebagai obat. Inikah jawab pertanyaan di atas?

Tidak lama setelah Republik Indonesia diproklamasikan, suasana Kota Yogyakarta berubah dengan cepat, karena dijadikan Ibukota Sementara Republik Indonesaia. Saya merasa harus mendapatkan lingkungan yang selain cocok, juga terasa 'sreg' di hati. Itu kemudian saya peroleh di Laboratorium Persenjataan Markas Besat Tentara.

Bekerja di Laboratorium Persenjataan MBT yang dipimpin Herman Johannes, cci, candidaat civiel ingenieur, calon insinyur sipil dari TH Bandung adalah babak awal meniti karir saya. Ada beberapa hal di waktu itu yang menarik. Herman Johannes orang lugu; tidak mengherankan jika ada seorang yang bertindak ttdak sebagaimana layaknya, yang terlontar—dalam bahasa Belanda, karena pada zaman itu percakapan berlangsung dalam bahasa itu—ialah 'Dat is toch niet goed', (Itu 'kan tidak baik'.) dengan suara lembut dan nada bermelodi. Memang ada titik-temu antarkami berdua, yang membuat kami dekat dalam perkembangan yang terjadi selanjutnya.

Di Laboratorium itu saya berjumpa dengan sejumlah orang yang pasca-revolusi berperan dalam masyarakat.Tugas itu ada yang mereka peroleh langsung, ada yang lewat pendidikan di dalam negeri atau di luar negeri. Di antaranya adalah Mugiono yang meneruskan di Delft, dan setelah selesai di sana jadi pengajar di Bagian Fisika, UGM, tugas yang pernah dipangku Pak Johannes, Soedarmadi Nitihardjo yang lewat pendidikan kimia di Swis berkarir di PINDAD di Bandung, dan Sdr. Soetarta Mangoenkawatja, yang semula anggota ABRI, tetapi kemudian jadi pengajar di ITB dan menekuni farmakognosi hingga wafat. Yang ketika itu juga dekat adalah Soegito Moeljowijadi dari Solo tetapi kemudian putus hubungan. Saya hanya tahu dari berita, Dr Pratiwi Soedarmono, putrinya yang staf pengajar Universitas Indonesia pernah jadi calon astronaut.

Bahasa dan peristilahan, itulah yang membuat saya dan Herman Johannes bertemu lagi tiga dasawarsa kemudian, tahun 1970-an, ketika kami terlibat dalam pembinaan bahasa dengan Malaysia. Pada suatu ketika kami berdua tampil bersama di pentas—di Taman Ismail Marzuki, Jakarta—untuk menghadapi para pemerhati bahasa dalam bidang teknik.

Di kemudian hari Prof. Dr.ir. Herman Johannes pernah menjabat rektor Universitas Gadjah Mada. Untuk mengenang jasa beliau di berbagai bidang yang pernah ditekuninya, ruas jalan—pra-PD II belum ada—yang menghubungkan daerah Kampus UGM langsung dengan jalan yang datang dari Solo, diberi nama Jalan Profesor Herman Johannes.

Pekerjaan pirokimia untuk tujuan perjuangan lalu bergaul dengan Pak Herman Johannes dan para pembantu itu adalah pilihan yang di kemudian hari ikut meratakan jalan hidup saya. Kelanjutannya saya masuk Sekolah Pertambangan dan Geologi Tinggi di Magelang. Alasannya sebenarnya ialah dorongan ingin melihat lebih banyak dari dunia ini, ingin terus 'bertamasya', melanglang dunia. Saya selalu ingat akan lagu Belanda yang berbunyi: Wie hele verre reizen doet, die heeft heel wat te vertellen, Daarom neem ik mijn stok en hoed, En ga direct aan het dwalen, En als je dan heel kloekmoedig, heel kloekmoedig bent aangeland, Hoezee, Hoezee, Hoezee, Hoezeeeeee. Siapa yang banyak melakukan perjalanan jauh, Ia tentu punya banyak cerita. Maka kuambil tongkat dan topiku, dan segera saja mulai melanglang. dan membuat saya dapat memuaskan kemelitan (rasa ingin tahu). Di tahun 50-an—pada waktu saya sudah di Geologi—saya mengenakan yang dikenal dengan nama tropenhelm, yang juga disebut topi 'prop' yang dijual di banyak toko. Orang Belanda yang bekerja di Mijnbouw juga mengenakan topi yang sama. Saya masih ingat, Ayah juga mempunyai, dan topi beliau biasa digantungkan di kapstok, tempat gantungan topi yang ditempatkan di bagian pendopo, Rupanya, hanya orang dari 'golongan atas' yang mengenakan topi prop, karena mereka dari yang lebih rendah seperti serdadu dan polisi bertopi terbuat dari anyaman bambu. Rakyat menggunakan kopeah atau ikat kepala.

Zaman berubah, jenis penutup kepala yang dikenakan orang juga berubah. Kini di mana-mana model pet asal Amerika adalah yang paling lazim. Saya pun menukar penutup kepala ke jenis itu, karena alasan yang sangat sederhana, saya mendapatkannya gratis dari mana-mana.

Pertambangan-Geologi dan Pendidikan, dua jalur yang terus jalin-jemalin dalam perjalanan hidup saya hingga sekarang. Sekolah yang semula Sekolah Pertambangan dan Geologi Tinggi dan berdiri di Magelang itu dipindah ke Yogya sebelum serbuan Belanda kedua, dan namanya berubah jadi APG, Akademi Pertambangan-Geologi. Selama di Magelang, karena ajakan Sdr. K.S. Siregar saya sempat mengajar di SMI, Sekolah Menengah Islam. Sekolah darurat yang bertempat di gedung besar di Jalan Bayeman itu terdiri dari bagian pertama dan bagian atas. Di antara siswanya yang di kemudian hari masih bertemu lagi adalah Prof. Riset Dr. Roechjati Joedodibroto, yang di kemudian hari jadi peneliti bidang selulosa. Ada Andrini Hadikoesoemo yang pernah menangani Perpustakaan PLN Pusat. Ada seorang lagi yang ketika itu siswa SMP, Mohammad Adnan Ibrahim, yang dalam perjalanan hidupnya selama bertahun-tahun tidak dapat dipisahkan dengan komplek penelitian di Jalan Jendral Sudirman. Kelembagaan itu semula bernama PPTM, Pusat Pengembangan Teknologi Mineral dan kini jadi Tekmira,Teknologi Mineral dan Batubara. Ada bangunan dalam komplek itu yang selama bertahun-tahun jadi landmark, penanda Kota Bandung bagi mereka yang datang dari arah Jakarta. Sekarang orang masuk Bandung lewat jalan tol, dan di dalam kota bangunan tanggi sudah tak terbilang lagi.

Ketika jadi penduduk Magelang—antara serbuan Belanda I dan II—saya sempat terlibat dalam pembuatan granat gombyok, granat dengan ekor tali rami terurai, untuk memudahkan pelemparan barang berbahaya itu. Saya terlibat dalam kegiatan itu berkat ajakan teman dekat pada waktu itu, Sdr. Sasmito Iskandar, yang juga membawa saya di SMI. Di kemudian hari, ia pernah bekerja di Pindad, Perindustrian Angkatan Darat di Bandung. Ia menetap di kota itu sampai akhir hayatnya.

Para pekerja pembuat granat selain dari SPGT juga siswa-siswi SMA dan SMP. Yang menonjol adalah Slamet Rekso yang siswa SMA, karena ia-lah yang menjembatani siswa SMA-SMP dan kami yang mahasiswa. Di kemudian hari ia juga pindah ke Bandung dan jadi Kepala SMA 3, sekolah bergengsi.

Ada peristiwa yang membuat saya merasa terpukul dan sadar betapa pekerjaan yang kami lakukan itu berbahaya. Seorang yang jadi korban hingga mati kebetulan adalah perjurit, dan seorang lagi Sdr.Widjil, siswa SMP yang terkena mata kirinya.

Sebenarya saya sadar, dengan 'potongan tubuh' saya—jasmaniah—saya agak khawatir ditolak jika bekerja di dunia geologi. Alhamdulillah, putusan meniti karir di bidang itu saya lalukan lebih dari 70 tahun, dan Allah masih memperkenankan saya berbuat ini (Purbo-Hadiwidjoyo, 2006).