Abad baru dan sekaligus sasrawarsa baru. Abad ke-20 telah lewat dan perubahan besar-besaran sudah dimulai. Selain kita menapaki selain abad baru. kita juga mengawali sasrawarsa baru, sesuai dengan yang digunakan umum, tarikh Masehi. Tidaklah berarti kebiasaan lama serta-merta lenyap. Sesuai dengan yang dikenal dengan sebutan momen kelembaman, hukum alam juga di sini bekerja. tidak ada kekecualian terus bekerja—karena itu asas dasar—kecenderungan untuk kebablasan, dan dicontohkan, mobil yang melaju. Kendaraan yang melaju tak mungkin berhenti seketika, bila tiba-tiba direm. Ini terjadi pada gejala serupa di seluruh dunia, termasuk di kita Indonesia. Ini dapat kita amati pada pelaksanaan ketentuan dan aturan yang telah diberlakukan semenjak 'reformasi' (Parwa Dua).

Sudah dapat dipastikan sasrawarsa baru membawa pula tatanilai baru. Yang sudah kita saksikan, kapitalisme berakhir meskipun banyak yang terus mencoba-coba menghalanginya. Halangan, jika hanya mengikuti ketentuan, bahkan oleh agama, tidak ada yang mempan. Kita saksikan juga pada partai di negeri ini yang berpangkalan agama Islam.

Seperti disinggung di Parwa Dua, di Jerman muncul ungkapan Das neue haben ist teilen, yang maknanya, Sekarang, memiliki adalah berbagi. Orang tentu tidak perlu tahu, siapakah pencipta ungkapan itu; yang lebih penting ungkapan terterima. Orang tidak perlu menelusuri, dari mana ungkapan itu yang datang jelas dari masyarakat Jerman saat ini.

Di kita terdapat ungkapan serupa, gotong royong yang dikenal semua orang. Tidak ada yang bertanya batasan atau definisi. Orang dengan langsung menangkap apa yang dimaksud, yaitu melakukan sesuatu secara bersama demi manfaat yang dinikmati semua.

Sekarang, di manakah gerangan ungkapan itu? Jawabnya singkat saja, tersingkir. Penyebabnya adalah, orang cenderung berpaling ke kapitalisme, dan dengan sendirinya gotong royong hilang. Kini orang sedang tergila-gila pada demokrasi. Padahal, untuk berdemokrasi diperlukan uang, dan sumber uang itu tidak lain adalah pemerintah.

Sebagai orang yang banyak membaca, Bung Karno selalu melontarkan berbagai ungkapan asing, di antaranya, exploitation de l'homme par l'omme, dalam bahasa Perancis. Jika ditinjau secara umum, dalam bahasa Indonesia, tak lain, adalah memperbudak orang. Ungkapan Perancis itu pendek, tetapi langsung mengena.

Itulah gaya Bung Karno. Hemat saya, di belakangnya terbentang sejarah hubungan antarkelompok dalam masyarakat. Barangkali, ada baiknya kita merenungi mengapa sang Putra Fajar berhak memperoleh julukan itu.

Sebagai upaya memahami yang kini diistilahkan politik, marilah kita mengembara mulai di abad ke-17. Di zaman itu hidup di Italia Niccolo Macchiavelli, seorang yang menekuni perkara hubungan kemasyarakatan. Kita simpulkan, agar sintas atau bertahan hidup, yaah, orang licik saja karena jalan apa pun semua sah-sah. Itulah pahamnya dalam politik.

Dua abad kemudian, cendekia Jerman Karl Friedrich Marx keluar dengan bukunya “Das Kapital” (Modal) dan gagasannya itu di dunia politik jadi sendi paham komunis. Bung Karno yang tampil di abad ke-20, dalam berpolitik menggunakan Pancasila yang hakikatnya merangkumi hikmah Islam. Itulah yang membuat Barat memberikan kepadanya cap dalam politiknya sosialis kiri.

Padahal yang jadi pokok soalan adalah hidup berkecukupan dengan bingkai waktu yang bergerak maju dan tatanilai yang terus berubah. Upaya menambah segi yang manusiawi dan berkecukupan jadi perkara nisbi.

Saya mengajak Anda berkelana meniti alur sejarah. Saya percaya, tidak semua dapat bersabar, sehingga pada tahap ini dikatakan dengan langsung, agar mengikuti Sosrokartono. Tulisan pada bagian ditampilkan ungkapannya monosuko, Ya, begitulah. Maka dari itu, saya mulai di jagat 'pribumi', yang lebih menjenis daripada kelompok orang Jawa. Akhirnya, tempat kelompok pribumi, memang jadi khas.

Pada hakikatnya, yang disebut orang Jawa tidak homogen, karena di dalamnya terdapat beraneka unsur dan ragam. Moyang mereka dari luar, entah mana saja, termasuk India, Timur Tengah, Cina, juga Eropa, dan semua menganggap diri 'Jawa'. Orang luar juga menganggap mereka Jawa, dan sebagai akibatnya kelompok ini merupakan himpunan terbesar.

Dulu, raja yang memiliki kedudukan dapat menentukan adanya kelompok yang dianggap sama tetapi berbeda itu. Keberbeda dan dinamika, dua faktor itu bisa jadi sumber kesenjangan dan penyebab timbulnya letupan dan membakar emosi, apalagi jika ada pihak yang mengompori.

Yang kita jadikan pumpunan adalah masyarakat kita. Sejak ratusan tahun yang lalu semua kita ibaratnya berjalan di tempat, yang di atas tetap di atas, dan yang di bawah, ya di bawah. Yang dinamai perubahan baru dan bersifat menyeluruh baru terjadi untuk pertama kali terjadi ketika agama Islam masuk. Itulah yang menghapuskan kasta. Tetapi sikap dan tindak tetap kanjang.

Sebagai salah satu unsur pembentuk 'dunia' masa kini, yang masih kita perlukan ialah yang disebut 'jatidiri', dan bagi kita di masa kini tentu disebut Jatidiri Indonesia. Sampai sekarang yang tampil adalah jatidiri kedaerahan. Dalam keadaan belum siap, kita dihadapkan langsung pada kenyataan NKRI

Kita kini terus melambung tinggi, dan setelah demokrasi juga hendak menjangkau ihwal yang disebut otonomi daerah. Hingga sekarang yang kita saksikan hanya semua itu sehingga belum beranjak jauh dari lingkungan seputar diri dan keluarga.

Sebenarnya, sebagai unsur penting pembentuk jatidiri keindonesiaan sejak dulu adalah bahasa. Lagi-lagi, tidak dapat dipungkiri kelompok berlatar belakang Cina besar andilnya. Mereka dapat tampil karena memiliki kelebihan dalam keterampilan berusaha (berdagang), berupaya (sehingga memberikan) hasil atau kinerja yang dapat dibanggakan.

Bahasa persatuan dan penyatuan sudah tergelar sejak lama. Tetapi kekuatan luar terus saja menghunjam. Tidak mungkin kita menangkalnya deangan 'pengaturan'; kita sendiri yang harus menggunakannya. Bahasa bertujuan untuk mengungkapkan gagasan dengan cermat dan tepat. Jika kita justru berbangga jika selalu menggunakan bahasa asing (Inggris), gejala apakah itu? Jawabnya hanya satu. Kita tidak memiliki jati diri.

Kita telah membicarakan sejarah pembentukan suatu bangsa. Proses yang telah terlewati itu panjang. Salah satu yang saya anggap bernilai tinggi adalah yang disebut Wawasan Nusantara. Gagasan cemerlang cetusan Chairul Saleh. Mochtar Koesoemaatmadja dengan kepiawaian dan kegigihan di pentas PBB selama bertahun-tahun akhirnya berbuah hasil nyata. Itulah yang kita saksikan di sini, dari khayal yang berakhir dengan wujud.

Khayal, itu awalnya. Barang yang semula tidak ada, yang belum berwujud akhirnya jadi nyata. Itulah yang juga dialami Bung Karno lewat perjuangan merebut Irian Barat. Dalam hal ini, baru jadi nyata lewat perjuangan yang ditingkatkan yang hasilnya terwujud di bulan Mai 1962. Kisah pengkhayalnya Bung Karno itu untuk kali yang pertama ke wilayah sengketa selama satu dasawarsa. Sebagai orang kuat ia mampu mengambil putusan, tindakan yang memastikan arah perkembangan proses. Kenyataan disaksikan lewat kehadiran kapal tempur R.I. Irian dan Bung Karno yang membawanya ke Hollandia, Ibukota jajahan Belanda Nederlands Nieuw Guinea. Kemunculan nama Jayapura tidak ada dalam acara Bung Karno. Saya memang ada di antara kumpulan ribuan orang yang hadir. Bagi saya itu suatu kebetulan dan jadi saksi peristiwa bersejarah, tidak lebih dari sekedar penonton.

Jer basuki mawa beya. Begitu ungkapan dalam bahasa Jawa. Kenyataannya, selamat memerlukan kesiapan, begitu maknanya lebih-kurang atau di sekitarnya itu.

Perjumpaan saya yang sebenarnya dengan Bung Karno terjadi tak terduga-duga di awal 1960, di Museum Geologi Bandung. Ketika itu saya sempat berdialog dengan beliau, dan tiba-tiba saja beliau menyela: “Kamu harus ke Rusia!” Yang kemudian memang jadi kenyataan, saya memang bertolak ke sana, meskipun tidak terjadi karena ada yang disebut hubungan sebab-akibat. Juga menjadi kenyataan, hanya soal beberapa minggu, saya ditunjuk jadi anggota delegasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memenuhi undangan Akademia Nauk, Akademi Ilmu Pengetahuan Sovyet. Berangkatlah delegasi empat orang terdiri dari Prof. ir. R. Soetedjo, Prof. ir. R. Goenarso, Prof. Dr. J.A.Katili dan saya, dan diketuai oleh Prof. ir. R. Soetedjo dari Institut Teknologi Bandung.

Tidak berarti saya pribadi sama sekali tidak pernah berangan-angan pergi ke mana saja. Semenjak kanak-kanak, dalam fantasi saya melanglang buana. Bersenjatakan “Grote Bos Atlas”, atlas besar terbitan Bos, saya hafal tidak hanya semua kota besar di dunia, termasuk dengan sendirinya Rusia dengan Ibukotanya Moskau yang terletak di tepi Sungai Moskwa, Pengembaraan saya di seluruh Nusantara sudah terekam di Parwa Satu dan Parwa Dua. Boleh jadi, itu dapat dianggap semacam wujud dari sesuatu yang semula hanya angan-angan.