Gunanya perkara yang maujud dan yang tak maujud disisipkan di sini agar yang semula isyarat terjembatani dan tampak nyata. Dengan cara itu, yang disebut bingkai waktu nyata berubah. Jadi, dengan demikian, sebagian besar pokok bahasan di Parwa Tiga yang kita perbincangkan telah kita tinjau.

Pokok berikutnya tentang yang maujud dan dapat kita simak. Bagi banyak orang, ini yang jadi tujuan, termasuk sasaran usaha mereka.Yang tak maujud, nirwujud, tak tampak atau bisa saja dikatakan tak kelihatan. Dengan kata lain, sesuatu yang dengan sendirinya tak bisa diraba atau dipegang. Paling-paling, kita hanya dapat membayangkan atau membuat gambaran anganan. Ujungnya. semua bukan-barang nyata. Oleh sebab itu, kita tidak perlu mengejar-kejarnya.

Bagaimanapun, yang biasanya hanya terbayang, apalagi yang hanya terlintas, hal seperti itu tidak usahlah! Justru itu yang terjadi di tanggal 17 Desember 2012, tepat ketika pesawat di depan mata saya menayangkan warta pagi pukul 07.00. Apa yang ditayangkan dan di mana peristiwanya? Yang terjadi kebakaran dan tempatnya Stasion Gambir, setasion besar dan sangat sibuk di negeri ini, dan yang namanya kebakaran, sekalipun di Gambir, pasti bukan kejadian sehari-hari. Meskipun tidak saban hari ada peistiwa itu, barang yang namanya alat pemadam api selalu ada di tempatnya, dan dengan mudah dan dapat dicapai. Ibaratnya, hanya beberapa detik petaka dapat dihindari.

Waktunya sama, mata acara TV, tetapi hari sudah bergeser ke yang berikut, 18 Desember 2012, dan saya juga menonton. Yang muncul sekarang bukan kebakaran, melainkan kerusakan tatalistrik di Bandara Antarbangsa Cengkareng, kebanggaan Indonesia. Yang jelas, penyiar tidak berkata itu, tetapi 'brikdown sistem', menganggap itu istilahnya, yang Inggris system breakdown. Benar-benar sesuatu yang berakibat besar dan sangat jauh. Meskipun berlangsung dalam satu jam, dinyatakan dalam rupiah atau dolar sama saja, kita tinggal mengubah angkanya.Yang tidak mudah cara kita memperbaiki adalah kepercayaan orang. Hanya satu catatan, jangan sampai peristiwa itu terjadi lagi.

Kejadian serupa tidak hanya sekali itu. Saya pernah mengalami sebelumnya, entah kapan. Seingat saya, ketika Cengkareng belum lama bekerja, dan saya kebetulan di Ujungpandang beserta ahli ilmu geologi Amerika. Menjelang keberangkatan, tersiar berita, Bandara Internasional Cengkareng tidak dapat didarati, dan penyebabnya serupa kerusakan tatalistrik. Yang berbeda ketika itu, bandara baru pulih keesokan harinya. Bisa kita bayangkan berapa besar kerugian yang diderita negara. Singapura dengan bandaranya yang selalu siap manakala penerbangan dengan tujuan Jakarta terganggu. Apa pun gangguan itu tidak jadi soal, tetapi semua ada imbalannya. Kita harus membayar karena kita tidak memiliki tradisi. Hemat saya, tradisi yang tidak kita miliki dalam hal ini juga berawal dari belum biasanya 'membaca' manual, buku petunjuk yang tertulis dalam bahasa asing. Cengkareng yang dibangun oleh konsultan Perancis pada waktu penyerahan bandara pasti menyertakan yang disebut operating manual, buku petunjuk kerja untuk mengandar bandara, bekerja seperti semestinya, dan buku itu tentu tersusun dalam bahasa Inggris. Orang Singapura

berbeda, karena mereka terbiasa dengan bahasa Inggris, sedangkan bagi kita Inggris bahasa asing. Bahwa akhirnya buku petunjuk itu dikuasai, itu pasti. Ini terbukti dari kenyataan kerusakan tersebab tatalistrik terus berkurang; semua makin terbiasa karena teknologi makin mentradisi. Itulah kisah, yang saya coba tuturkan lewat contoh Ibu hingga ke negara dan bangsa di masa ini.

Kita menapak ke ranah adikodrati, kata yang Inggrisnya supernatural. Tidak semua orang ingin apalagi mau dan mampu membicarakannya. Lebih-lebih setelah kita membicarakan perkara yang maujud dan tidak maujud. Langkah berikutnya kita menapaki ranah yang tidak masuk akal atau tidak wajar, yaitu yang adikodrati. Kita umumnya percaya bahwa yang tidak dapat kita terangkan tersebab sihir, sulapan, atau gaib. Memang, itu cara yang paling gampang, dan sudah menempel pada kita umumnya, karena itu dunia kita.

Pendidikan meningkatkan daya nalar. Maka agar mudah. kalau lewat cara bernalar, orang toh tetap tidak dapat menemukan jawabnya, anggap saja itu masuk yang ada di luarnya. Sejak kemunculan agama Ibrahim, orang diajari adanya kekuatan yang lain yang menentukan. Agar mudah, tempat yang mentukan itu ada di 'Atas'.

Kemunculan kubernetika, ilmu perkomputeran atau ilmu swatur mendorong dunia maya kian merebak, dan dunia yang semula 'tidak ada', makin menjadi-jadi, makin mendesak yang tadinya ditempati yang adikodrati. Berkembangnya perwujudan baru yang tak mewujud, ibarat membuat dunia maya makin berkembang sejauh yang dapat terjangkau oleh daya-khayal.

Saya mempersambungkan di sini kisah yang sebelumnya khayal belaka, tetapi akhirnya jadi nyata. Ini yang kita temukan dalam perwujudan yang kini dikenal dengan nama Republik Indonesia.Yang paling awal muncul adalah nama Indonesia yang diciptakan oleh Rudolf Bastians, orang Jerman sekaligas pencetus nama itu. Yang disebut Bahasa Indonesia kita terima jadi bahasa persatuan di tahun 1928. Berkat adanya pendudukan Jepang antara Maret 1942 dan Agustus 1945 kita terpacu dan benar jadi merdeka. Dalam jangka waktu sependek itu undang-undang dasar sudah siap. Itu tidak berarti tidak ada orang yang benaknya dipenuhi dengan rancangannya, seperti Supomo. Ia adalah orangnya yang berkat pendidikan yang diperolehnya dari Belanda mampu menghayati dunia hukum tatanegara di luar hukum sebagai ilmu. Ujungnya proklamasi, itulah cetusan yang pelakunya tidak tampak, selain pembacanya Soekarno yang bersama Mohammad Hatta diterima sebagai dwitunggal atas nama Bangsa Indonesia. Saat proklamasi adalah pagi hari Jumat Kliwon, tanggal 17 Agustus 1945, dan bulannya Ramadan. Hemat saya itu termasuk adikodrati. Bisa kita tambahkan di sini, jika mau, orang Jawa dari pihak ayah yang bergama Islam dan ibu dari Bali, yang beragama Hindu Bali, dan kedua-duanya mencerminkan aliran bawah Majapahit. Kita akan menambah lagi? Mengikuti adat ranah Minang yang didasarkan pada keturunan pihak perempuan, suku Hatta tidak diketahui. Yang diketahui justru isterinya, yaitu ayah dari Purworejo dan ibu dari Aceh. Maka dari itu, terimalah itu yang disebut Indonesia.

Yang saya perbuat pun tidak jauh-jauh, dan yang saya peroleh hanya rasa syukur dapat menyusun tulisan ini, sebagai warga negeri ini. Bagi saya pribadi, saya baru dapat melangkah untuk mulai menulis nas ini setelah melewati jalan penuh leliku. Akhirnya, menjelang usia 90 tahun, nas mulai mewujud.

Semua tak lain karena saya diperkenankan Yang Maha Tahu dan dengan sendirinya tahu juga saya menerakan tulisan ini. Setelah Parwa Satu lalu menyusul Parwa Dua, dan ini yang terakhir, Parwa Tiga, yang diiringi harapan semoga tuntas. Rasa terima kasih pertama-tama dialamatkan kepada Almarhum Ayah. Beliaulah yang memberikan bekal gambaran awal sebelum saya dapat bertolak dalam mengarungi zaman yang bergulir tiada henti ini. Yang juga perlu disebut Ibu, meski ihwal yang sama sekali lain dan tidak kalah pentingnya. Beliaulah yang memupuk rasa sabar disertai doa semua perkara yang tak tampak. Yang saya akui, semua itu baru dapat saya rasakan bertahun-tahun kemudian, dan sudah barang tentu, setelah beliau tiada. Akhirnya, yang tidak boleh saya lupakan almarhumah isteri, Sasanti Warsiki Purbo-Hadiwidjoyo binti Wibisono Dirdjodidjojo. Meskipun kami hanya sempat bersama sebagai suami-isteri selama 41 tahun, itulah jangka waktu jatah oleh Yang Maha Tahu, khususnya bagi saya pribadi untuk melanjutkan kehidupan. Yang tak ternilai adalah keturunan, dua anak perempuan dan dua anak lelaki. Hemat saya, saya merasa jadi orang Indonesia, tanpa meninggalkan akar saya yang Jawa, dan paham Pancasila juga saya coba hayati.