Jika kita membicarakan agama yang terdapat di sini, dalam kaitan dengan agama yang datang dari barat, kita akan berjumpa dengan bingkai atau kerangka waktu yang berjumlah tidak hanya sebuah tetapi lebih. Yang juga perlu diperhitungkan, pemerintahan yang berkuasa bekaitan dengan bingkai masing-masing juga tidak sama, dan yang asing karena berasal dari luar, dan yang nasional setelah kita merdeka, ada 'warna diri', sesuai dengan niat.

Di antara agama Kristen yang paling dulu datang di Nusantara dan sejak itu kehadirannya tetap ada adalah Katolik yang dibawa orang Portugis. Rakyat Portugal, seperti halnya warga Sepanyol yang bertetangga di Semenanjung Iberia beragama Katoilik dan selama enam abad terpengaruh Islam.

Di abad ke-6, orang Portugis dan Sepanyol mengembara ke untuk menemukan yang ada di seberang lautan Samudera Atlantik. Mereka mencapai benua 'baru', lawanan dunia lama mereka, yaitu Eropa. Benua baru akhirnya dikenal nama Amerika, mengikuti Amerigo Vespucci penduduk Kota Genoa.

Dalam perkembangan sejarah para pendatang dikenal sebagai conquidores (penakluk), mereka datang hanya untuk mencari kekayaan. Orang yang namanya dikenal luas adalah Hernando Cortes. Mereka terkenal karena bertindak sangat kejam. Sambil menaklukan atas nama penginjilan, mereka merampas harta kekayaan penduduk berupa emas dan perak dan semua diangkut pulang.

Tidak hanya mereka dari Eropa bagian selatan—disebut juga wilayah Latin—yang berdatangan dengan bahasanya Sepanyol dan Portugis, pendatang juga berasal dari daerah Eropa yang lebih utara. Yang terjadi, mereka tidak mau tertinggal, hanya mereka dari Eropa bagian lebih utara juga cenderung untuk memilih Amerika di bagian yang lebih ke utara.

Bisa kita bayangkan, bilamana ada pihak yang dapat beroleh barang berharga dengan cara begitu mudah, pasti orang lain pun tergelitik.Yang namanya hak seperti diutarakan oleh undang-undang, yang ada adalah hak yang kuat. Apalagi di zaman itu, pengaturan antarbangsa belum ada dan itu, pada hakikatnya, terjadi di sepanjang masa.

Di zaman itu, begitu ada kapal Sepanyol atau Portugis pembawa muatan berharga tampak di samudera, yaah, dicegat saja, atau dengan kata lain dirampas. Itu adalah hak perompak, dan itu berlaku sepanjang masa. Kita tahu perompakan atau pembajakan di laut tidak usang sampai di sepanjang masa. Dalam Parwa Dua saya menyebut Piet Hein, seorang yang namanya 'kecil', maksudnya tak berarti, tetapi dipuja-puji sebagai pahlawan. Di sekolah dasar Belanda dulu itu diajarkan, bahwa Piet Hein mampu merebut Spaanse zilveren vloot, armada perak Sepanyol. Jadi, walaupun dianggap pahlawan, ia perompak! Tinggal dari sudut mana kita melihat, nisbi.

Setelah benua Amerika Selatan ditundukkan, ada orang yang jiwa petualangnya tetap membara, dan itu dimiliki Magellan. Ia tercatat sebagai seorang yang berhasil menemukan adanya selat di hampir ujung Amerika Selatan. Selat itu sekarang menyandang namanya.

Orang Sepanyol dan Potugis akhirnya berpijak di Nusatenggara Timur. Sisa beberapa titik bekas teroka Portugis baru mereka lepas empat ratus tahun kemudian adalah Timor bagian timur. Setelah sempat bergabung dengan Indonesia, dan saat ini jadi negara Timor Leste, dan sudah disinggung dalam Parwa Dua. Sudah pula disebut-sebut ihwal orang Sepanyol, yang di Nusantara berakhir dengan meninggalkan nama rajanya Phillipe II dan terekam dalam kepulauan di bagian utara Nusantara. Berbeda dengan di Indonesia yang masalah agama secara umum dikatakan sudah bisa dianggap mapan, di negara yang bernama Pilipinas itu, gejolak masih terus terasa. Hemat saya, peran Pancasila tidak dapat kita abaikan.

Ada pulau lain, Flores—maknanya bunga—yang mereka kuasai lama, meskipun perkembangan sejarah menyatakan daerah itu sempat jadi bagian jajahan Belanda dan bernama Hindia Belanda. Meskipun agama yang datang di sana paling dulu Katolik dan tetap menonjol, pendatang baru banyak beragama Islam. Perkembangan berbeda kita temukan di daerah Maluku. Di daerah itu pengaruh Portugal terdesak kehadiran Belanda, dan itu membekas dalam bentuk gereja Kristen Protestan yang dibawa Belanda. Hal serupa kita temukan di Tugu, kampung dekat Tanjungpriok. Seperti kita lihat di sana ada sekelompok kecil masyarakat keturunan Portugal dengan gerejanya. Mereka bukan lagi Katolik melainkan protestan, dan yang juga tertinggal musik keroncong yang asalnya bahkan dari zaman ketika pengaruh Islam masih besar di Portugal. Di sini lagi-lagi kita saksikan betapa sepercik budaya telah ikut terbawa dalam perjalanan sejarah.

Kita akan memperoleh gambaran lain, bilamana kita memanfaatkan yang saya sebut segi, bingkai atau kerangka waktu. Dari bingkai waktu, umat Katolik Indonesia memiliki tiga buah. Kita dapat mengatakan. mereka masuk 'lagi' dalam tautan dengan ketibaan zaman baru, dan itu tak dapat kita pisahkan dari tibanya kebijakan pemerintah Belanda. Maka masuklah gerbang lain, terutama itu disaksikan Jawa. Semenjak itu agama Katolik dapat berakar, sejak orang setempat memeluk agama itu, lewat rakyat. Dan itu lewat para penyiar yang mahir berkomunikasi dengan bahasa dan budaya daerah yaitu Jawa. Sangat menarik jika kita simak proses yang ditempuh oleh mereka. Kita saksikan di sini adanya kemiripan dengan para wali melakukannya beberapa abad sebelumnya. Para misionaris—yaitu 'dai' Katolik—seperti halnya para penyiar—kala itu belum menggunakan kata dai—untuk agama Islam. Ilmu dan kehidupan Islam disiarkan cara mendalam, digembleng di pondok pesantren. Misi Katolik—artinya utusan—sebagai upaya penyiaran agama lewat pendalaman dan peluasan ilmu dan iman Katolik. Tugas itu berlangsung sejak awal abad ke-20, dengan pusat dipilih Muntilan. 'Pondok pesanten' mereka bernama kweekschool, madrasah tempat pembibitan calon pekerja ahli atau pemimpin dengan daya penuh pengabdian. (Catat: Ingat kembali kata 'dinoyo').

Ada beberapa pastor yang dapat kita sebut di sini, di antaranya P. van Lith S.J. yang sangat tekun belajar bahasa Jawa dengan segala seluk beluknya. Berkat ketelatenan, akhirnya pada tanggal 15 Desember 1903 ia berhasil mentahbiskan sebanyak 168 orang Jawa jadi penganut agama Katolik dengan memanfaatkan air dari sebuah mataair di dekat Kali Progo. Sejak itu, mataair yang ada di dekat pohon sono mendapat makna tersendiri.

Peristiwa itu di kalangan umat Katolak dianggap saat kelahiran Gereja Jawa, dan tempatnya diberi nama Sendangsono. Itulah tonggak dalam sejarah penyiaran agama Katolik di Jawa. Letak yang terpencil membuat Sendangsono memperoleh arti tersendiri. Setelah seabad lebih, arti itu makin bertambah besar, termasuk Sendangsono yang berubah jadi tujuan ziarah umat Katolik.

Bagi umat Katolik, Muntilan memiliki makna dan arti lain. Letak di dekat jalan raya Yogyakarta-Magelang telah jadi pusat untuk penyiapan tenaga yang kelak jadi penopang kegiatan gereja. Di sana pula berdiri sekolah guru yang ternyata telah mampu mendidik banyak tokoh yang telah mengisi tenaga yang dibutuhkan oleh Republik Indonesia.

Bahasa, itulah sarana yang diperlukan dalam menunaikan agama. Lewat kweekschool (sekolah guru) yang didirikan Misi Katolik di Muntilan, agama Katolik mendapatkan pijakan yang kokoh. Kiprah mereka yang meniti karir lewat pendidikan guru dapat ditumbuhalan tenaga tangguh untuk menempati kedudukan yang berpengaruh di masyarakat, apalagi setelah Indonesia merdeka.

Saya dapat menyebut beberapa contoh. Salah seorang adalah Soetrisno. Lewat pendidikan guru di Muntilan ia mendapat nama baptis Franciscus Xaverius lalu dengan nama belakangnya Harijadi, sesuai dengan anjuran pemerintah. Akhirnya ia dikenal dengan nama F.S. Harijadi. Kemampuan memungkinkan ia memperoleh diploma Europese hoofdakte. Meneer Harijadi, begitu sapaan orang yang digunakan orang untuk menyapa beliau sebagai Hoofd der School (kepala sekolah) pribumi pertama Openbare HIS di Karanganjar, Kedu Selatan. Ijazah pertama yang saya peroleh dalam meniti jenjang pendidikan juga ditandatangani beliau. Dalam ijazah nama mencantumkan nama saya lengkap Moeljana Poerba Hadiwidjaja, sesuai dengan ejaan resmi di zaman itu. Saat masuk Mulo, mulai timbul saling-silang, bunyi o, ya ditulis o. Rupanya, yang disebut aturan resmi untuk menulis kata Jawa dengan a belum diketahui umum. Ketika masuk AMS-B, pandangan orang makin mundur. Di bagian tatausaha duduk seorang Ambon, Manuhutu, yang nama depannya juga tidak saya ketahui. Anak Jawa tidak menggunakan nama belakang. Maka yang ditulis ya, kembali nama sendiri. Zaman untuk menertibkan nama belum tiba. Itulah bagian dari sejarah dan harus diakui, apakah kita setuju atau tidak.

F.S. Harijadi bergiat di Partai Katolik yang setelah Indonesia merdeka jadi Partai Katolik Republik Indonesia, dan beliau sempat jadi Menteri Sosial RI yang pertama. Putera sulungnya, E.W. Harijadi yang panggilannya Winarto, sekelas saya ketika di HIS Karanganyar, dan kami cukup dekat, dan saya sempat mendapat sekumpulan guntingan gambar dari majalah tentang perang saudara Sepanyol. Seperti sudah saya sebut di bagian lain, saya mengikuti perjuangan Jenderal Francisco Franco, yang memberontak, pada hakikat merupakan persiapan PD II. Sebagai anak, saya memiliki kecenderungan memihak pada yang memberontak.

Tidak sedikit lulusan sekolah guru, yang kata Belandanya kweekschool Muntilan yang berhasil jadi orang penting di masyarakat. Sebut saja Ignatius Jozefus Kasimo yang beberapa kali dapat beroleh kepercayaan menduduki kursi Menteri Pertanian Republik Indonesia dan mendapat penghargaan sebagai pejuang kemerdekaan.

Pada hemat saya, ada seorang yang sangat besar jasanya dalam pembinaan budaya tulis kita, yaitu Purwadarminta. Saya kira semula ia bernama Sabarijah. Setelah masuk Katolik, ia mendapat nama baptis Wilfridus Jozef, dan sesuai dengan anjuran pemerintah, lalu ia menggunakan nama belakang Poerwadarminta. Tonggak kesejarahan yang ia dirikan kamus yang dikenal dengan nama 'Kamus Poerwadarminta'. Kamus itu kemudian dijadikan babon dalam upaya penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia, projek Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Namanya tidak tampak, tetapi sebagian besar aran awal berasal dari kamus Poerwadarminta, dan sering tanpa tilik-ulang.

'Kamus besar' satu lagi berakar dari hasil penelitian P.J. Zoetmulder S.J, dalam arti ukuran ketebalan dan kelengkapan isinya, maka tidak perlu diragukan, itu adalah susunan P.J.Zoetmulder S.J. dengan bantuan S.O.Robson.

Nama Zoetmulder pertama kali saya jumpai ketika saya melihat-melihat di Toko Buku G.Kolff di Bandung awal 1950-an. Judulnya De Taal van het Adiparwa. Sejak itu saya kagum, ada seorang rohaniwan Katolik yang menekuni bahasa Jawa Kuna. Itulah yang mendorong saya buku yang hanya satu eksemplar itu saya beli. Alasan lain, tentu karena di saku ada uang. Maklum saat itu dalam saku ada uang dan gaji, wajar karena nilai uang tinggi maka kumpulan buku pribadi saya bertambah.

Sejak saat itu nama Zoetmulder terekam di benak saya, dan saya tahu bahwa Romo Zoet, begitu sapaanya dan bermukim di Yogya juga mengajar di Universitas Gadjah Mada. Karena melit, buku itu saya beli dan ada di kumpulan, meskipun sudah terdesak ke belakang. Ternyata tesis doktor itu adalah akar yang di kemudian hari berkembang menjadi kamus besar bahasa Jawa Kuno susunan Zoetmulder.

Saya masih teringat di awal tahun 1950-an ketika saya naik keretapi cepat Bandung-Yogyakarta, dan saya duduk berhadapan di kelas dua. Saat itu kira-kira tak banyak berselisih dengan saat saya membeli buku Zoetmulder. Selain kami berdua, orang kulit putih muda berpakain rohaniwan Katolik dan saya. Seperti kebiasaan saya dalam waktu bepergian, saya dengan perbincangan dengan bahasa Indonesia. Betapa kaget saya, ketika orang asing yang rohaniman itu dengan sangat sopan meminta maaf agar sebaiknya kami berbicara dalan bahasa Jawa! Bagi saya yang sejak menjelang Revolusi sudah beralih ke bahasa Indonesia, saya pun berganti ke bahasa Jawa, tepatnya krama inggil yang bagi saya harus dengan upaya. Jarang bahasa tinggi itu saya gunakan. Baru di kemudian hari saya menduga-duga bahwa yang saya jumpai boleh jadi adalah Pater Zoetmulder S.J. Tidak pernah saya memperoleh kepastian. Jika itu benar, maka ungkapan Kipling yang saya tukil di Parwa Satu bisa berlaku di sini, 'Ships that pass in the night' (Dua kapal yang berpapasan di malam buta.)