Pembaca yang budiman. Uraian mungkin terasa seperti ngalor-ngidul, tak jelas juntrugnya. Jika

kita berbicara mengenai tradisi, yang selalu cenderung ditampilkan tradisi daerah atau bahkan setempat. Maka dari itu, yang disebut tradisi akhirnya susut bahkan seakan-akan hingga tinggal urusan pribadi.

Kita mulai dari yang memang benar-benar pribadi, nama. Nama sendiri adalah hal yang lumrah, di mana saja setiap ada anak lahir, ia langsung diberi nama. Sebenarnya sejak menjelang tahun 1930, Pemerintah Hindia Belanda sudah mengeluarkan ketentuan yang berlaku di Jawa, karena mereka dari luar-Jawa dan beragama Kristen sudah menggunakan nama keluarga. Pulau Jawa yang jumlah penduduknya terbanyak belum ada aturan mengenai nama. Ketika itulah pemerintah melangkah, dan itu pun baru berupa anjuran, yaitu mereka yang paling tidak bergelar raden atau bergajih fl 100,- dianjurkan untuk memiliki geslachtsnaam, nama keluarga. Sampai akhir Belanda ada di sini , upaya mengajak orang pribumi menggunakan nama belakang ternyata tidak berhasil, kecuali di beberapa keluarga. Yang lebih mudah dilakukan orang adalah menambahkan nama ayah di belakang nama diri.

Hal lain yang tak terpisahkan dengan masyarakat moderen adalah trandisi membaca. Belanda yang pernah menjajah kita selama ratusan tahun memiliki tradisi membaca, hal itu berbeda dengan kita. Belanda mencoba menularkan kebiasan membaca lewat apa yang mereka sebut volkslectuur. Secara harfiah bahan bacaan rakyat. Di dalamnya tercakup kelembagaan yang bidang tugasnya cukup luas, dari menerbitkan buku dan majalah hingga mengedarkannya dengan berbagai cara. Kekurangan akan naskah untuk diterbitkan dengan jalan yang sederhana, penerjemahan. Dari mana sumbernya? Dengan sendirinya sumbernya lagi-lagi juga Belanda, yang asalnya sebagian Jerman, selain itu

Perancis dan Inggris, sedangkan bahasa penerima selain Melayu juga Jawa.

Salah satu di antaranya adalah lewat mobil keliling. Istilah yang digunakan ketika itu adalah Balai Pustaka. Di waktu kecil di Karanganyar, antara 1932-1935, saya terbiasa membuka-buka buku yang dijajakan, melihat-lihat buku yang berharga antara beberapa sen hingga een kwartje, 25 sen.

Di samping itu juga terdapat perpustakaan umum seperti yang sudah saya katakan dalam Parwa Satu.