Ada kurun waktu pendek dan ada yang panjang. Di bidang geologi—tersebab cakupun yang makin melebar, meluas, dan mendalam—kini ada kecenderungan yang digunakan istilah ilmu kebumian. Maka itu, saya akan mencobakan tataistilah yang sudah diterapkan sejak awal kita merdeka, ketika saya masih di Sekolah Pertambangan-Geologi Tinggi. Adalah Bpk Soenoe Soemosoesastro yang sejak awal mengajak kami anak didiknya membagi kurun waktu, dari yang terbesar atau bisa juga terlama hingga ke yang terkecil atau terpendek. Maka sejak itu diperkenalkan berturut-turut masa, zaman, kala, dan akhirnya waktu.

Marilah kita memperlakukan sejarah yang kita alami dengan cara serupa. Setelah abad menyusul sasrawarsa, kurun ribuan tahun. Sasrawarsa kita padankan dengan tingkat sejarah budaya manusia, dan bagi kita yang memanfaatkan tarikh Masehi, kita baru saja menginjak sasrawarsa yang kedua. Kita harus menyadari bahwa budaya bangsa Eropa memang tak terpisahkan dengan agama Yahudi-Kristen, yang merupakan dasar budaya Eropa. Pada hakikatnya, tarikh itu tidak banyak berselisih, dilihat dari awal mulanya dengan tarikh kita, yang dalam budaya Jawa dikenal dengan tahun Çaka.

Saya bernalar dengan cara yang saya peroleh dari pendidikan geologi. Soenoe Soemosoesastro (1913-1956) dan Arie Frederik Lasut (1918-1949) adalah dua orang yang menjembatani peralihan zaman, dari geologi kolonial ke geologi nasional. A.F. Lasut lebih dulu tersingkir oleh kekuatan di belakang Jenderal Spoor, dan itu pula yang membuatnya jadi pahlawan nasional (lihat Purbo-Hadiwidjoyo, 2006).

Sebelum zaman berganti, coba perhatikan yang kita alami. Kita cermati, sama dengan ketika kita akan meninggalkan abad ke-19 dan menginjak abad ke-20, tetapi sekarang runtunannya terbalik. Jadi, berturut-turut kita simak yang bersifat manusiawi, duniawi, dan yang alami. Sekarang, kita tambah sasrawarsa, 1000 tahun, kurun waktu yang lebih besar dari abad.

Sebenarnya, sudut pandang ini belum lengkap. Di setiap zaman sejak awal semua terus berubah, dan besarnya perubahan itu baru terasa, jika dapat diperbandingkan saat awal dan akhir. Untuk itu, tentu diperlukan tolok ukur, dan biasanya yang juga terjadi orang menghubung-hubungkan sesuatu dengan yang 'sedang berkuasa'. Di kalangan orang Jawa ada tolok lain, yang umum peristiwa seperti letusan gunung atau banjir besar. Maka orang lalu menggunakan ungkapan seperti 'pada waktu' atau 'ketika', atau dengan satu kata, rikala. Saya rasa, ada kata 'kala' yang menunjuk ke saat. Sebenarnya, kita juga memiliki satu kata lagi yang berasal dari Sansekerta, tatkala.

Jika kita mau—saya katakan kalau saja kita ini mau menerima—peristiwa lengsernya Suharto bisa kita anggap menandai ataupun merupakan isyarat bahwa suatu kurun waktu telah berakhir. Dengan demikian, apa pun yang telah terjadi, semua itu adalah sejarah bangsa kita.

Ketika kita mendekati akhir abad ke-20 dan sekaligus mengakhiri sasrawarsa pertama, berbagai ramalan bermunculan. Kemudian santer beredar apa yang disebut-sebut sebagai ramalan Bangsa Maya, yang sekitar 1000 tahun lalu—jadi satu sasrawarsa—mendiami Semenanjung Yukatan di Meksiko. Ramalan menyatakan pada tahun 2012 riwayat Bumi akan tamat. Sebenarnya, ramal-meramal selalu saja bermunculan dan tentu ada orang atau kelompok yang berupaya untuk menyelamatkan diri agar terhindar dari petaka dengan cara yang menurut keyakinannya terbaik seperti bunuh-diri bersamaan dan itu sungguh terjadi di Amerika Selatan.bagian dari sejarah bangsa ini, dan juga bagian dari perjalanan waktu.

Coba kita pegang angka 2012 tadi sebagai acuan, dan setengahnya menganggap 2013 sudah zaman baru atau pengujung zaman lama. Anggap satu generasi sekitar 30 tahun. Selama jangka waktu itu telah banyak peristiwa yang terjadi, tidak hanya di Indonesia juga di negara mana pun. Atau boleh jadi itu merupakan kurun waktu peralihan ketika berbagai peristiwa terjadi yang mengisyaratkan perubahan di dunia, atau—p aling tidak—peran kelompok tertentu.

Kita masih ingat ketika pada tahun 1991 Amerika Serikat menyerbu Irak, Ketika itu ada sejumlah negara yang terbawa. Tujuannya jelas, untuk menyingkirkan Saddam Husein yang disebut-sebut memiliki senjata kimia, tetapi sampai akhir perang tidak terbukti. Yang jelas, berbagai senjata baru dicoba, dan yang ada dalam acara adalah senjata kendali jarak-jauh dan merupakan bagian dari pakem persenjataan Presiden Amerika Serikat George Bush. Tercakup di dalamnya adalah senjata baru dan sangat canggih karena dikendalikan dari jarak jauh, seperti Patriot yang ditembakkan dari darat, maupun dari pesawat udara dan diarahkan kepada barang yang dijadikan sasaran. Dan jika kita mengikuti berita perang yang disiarkan televisi, ada hal yang tidak dapat kita singkirkan, yaitu adanya kesan peperangan itu terjadi dalam film star war yang hanya fantasi. Jadi, jika disamakan dengan yang dituduhkan kepada Saddam Husein yang mempersiapkan senjata kimia—bukan hal yang 'asing' di telinga kita—maka tayangan televisi itu bukan barang sehari-hari. Jelaslah, ada dua jenis senjata, dengan matra yang tidak sebanding. Tetapi yang tidak dibeberkan—atau dengan kata lain terselubung—yang jadi alasan yang sebenarnya adalah perebutan penguasaan atas cadangan minyak minyak.

Perang di Irak rupanya belum cukup. Adalah Afghanistan yang merupakan duri di mata Amerika Serikat, karena pada saat Amerika 'lengah'—tentu saja tidak, karena intelejen mereka mengikuti perkembangan di mana-mana—di Afghanisten terjadi perubahan besar. Pada bulan April 1978, di sana kaum komunis merebut kekuasaan dan mendirikan Republik Demokrasi Rakyat Afghanistan. Setahun kemudian, September 1979 terjadi pergolakan, karena Uni Sovyet, tetangga langsung di utaranya menyerbu Afghanistan. Apa pun yang dijadikan alasan, yang jelas kepentingan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pengimbang Uni Sovyet harus bertindak.

Untuk memahami hubungan Afghanistan dengan dunia luar—termasuk kita—tidaklah mudah jika yang kita 'pegang' hanya keadaan sesaat, juga jika yang dibicarakan saat ini. Yang juga perlu adalah gambaran latar belakang. Pada hakikatnya, negara bergunung dan terkurung di semua sisinya itu, seakan-akan 'dibiarkan' bukan keperluan penghuninya, justru agar tercipta semacam 'keseimbangan' bagi kekuatan yang bertarung. Kehadiran Afghanistan menciptakan rintangan yang sifatnya tidak bendawi juga rohani..

Hubungan dengan dunia luar hanya mungkin lewat jalan yang rumpil. Jadi, jika kita perbandingkan dengan negeri kita, keadaannya benar-benar bertolak belakang: Selain luas negeri kita yang berkali-kali luas Afghanistan, Indonesia sebagai kepulauan. terbuka di mana-mana. Itu kesan pertama yang saya peroleh ketika di bulan Oktober 1960 saya terbang di atas wilayah itu. Setelah bertolak dari New Delhi, pesawat baling-baling Super Constellation Air India yang saya tumpangi melewati negeri yang sedang kita bicarakan ini Mula-mula adalah Pegunungan Hindhu Kush yang rumpil, lanjutan ke barat Himalaya yang bersalju. Penerbangan berlanjut ke utara. Di bawah tampak Kabul dan tak beberapa lama kemudian pesawat mendarat di Tashkent, Azarbaizan, Uni Sovyet. Di daerah pegunungan yang ganas itu sekitar dua dasawarsa kemudian Usamah Bin Ladin selama sembilan tahun 'berjalan-jalan', dan sekali-sekali sosoknya muncul dalam tayangan TV Al Jazeera.

Hubungan lain kita sebagai bangsa yang ada di sudut dunia itu semula di segi agama. Siapakah di antara kita yang tak mengenal Imam Bukhari, tokoh agama Islam yang menonjol itu? Ia lahir di Bukhara, dua abad setelah Nabi Mohammad saw wafat. Pada umur yang sangat muda—25 tahun—berkat ketekunan dan kecermatannya dan tentu kecerdasannya ia mampu menghimpun tinggalan Nabi. Ia hafal hadis lebih 100.000 dan7000 akhirnya dibukukan. Semua itu ia peroleh dari gurunya yang jumlahnya lebih dari 1000 orang di banyak negara dan perpustakaan, di antaranya Baghdad dan Kairo sudah dikunjunginya. Sebagai penghormatan, tidak sedikit orang tua di Indonesia yang memberikan nama anaknya nama Bukhari, dan tentu juga untuk 'mengalap' berkah.

Afghanistan tidak mungkin kita abaikan. Meskipun terletak di sudut dunia, negeri itu merupakan matarantai yang mempertautkan kita dengan perkembangan dunia sejak dulu. Bagi umum, terlalu rumit untuk memahami yang sebenarnya. Yang nyata, Afghanistan selama bertahun-tahun dibiarkan jadi buffer—kata Inggris yang di bidang kimia sudah lama padannya 'dapar', tetapi orang lain juga memiliki kata lain, penyangga—bagi negara lain, Apa tujuannya? Agar mereka tidak berhadap-hadapan langsung.

Dengan tersingkirnya pendukung Republik Demokrasi Rakyat Afghanistan, yang menggantinya angkatan bersenjata Uni Sovyet. Amerika Serikat masuk gelanggang untuk mengusir Uni Sovyet , dan ternyata terlalu alot. Upayanya hanya dengan kekuatan 'dalam' gagal, karena rakyat terdiri dari banyak suku, meskipun semua Islam. Amerika Serikat pun menggandeng kekuatan Islam lain dari Saudi Arabia, dan itu membuat sengketa makin rumit. Akhirnya NATO dillibatkan, sehingga medan perang Afghanistan tercipta, perang yang kedua setelah medan laga Irak.

Dunia geger ketika gedung World Trade Center, Pusat Perdagangan Dunia di siang hari bolong 11 September 2001. Saat itu, dunia baru menginjak sasasrawarsa yang kedua. Bayangkan saja, dengan hitungan menit tiga gedung tinggi luluh-lantak. Akan kita lihat, itu matarantai yang menyembul di permukaan dan kelanjutannya tidak terpisahkan dengan sejarah Afghanistan

Apa sebenarnya yang terjadi? Siapa yang ada di belakangnya? Dan apa tujuannya? Bagi banyak orang itu adalah tandatanya besar. Serangan terjadi di jantung Amerika Serikat, menggunakan pesawat terbang sipil Amerika Serikat. diterbangkan warga Arab Saudi setelah mereka merebut kemudi pesawat. Tidak hanya sebuah pesawat yang dibajak, melainkan empat sekaligus. Pilot pembajak didikan sekolah penerbangan di Amerika Serikat. Muncul nama Mohammad Atta, akan tetapi siapakah di belakangnya yang mengkordinasikan dari markasnya di Hamburg, Jerman?

Sejak itu terjadi perburuan terhadap Usamah bin Ladin yang terkenal sebagai pengusaha di bidang konstruksi yang kaya raya dan dananya disimpan di AS. Selama bertahun-tahun, Usamahlah yang dianggap sebagai orang yang ada di belakangnya. Akhirnya, Bin Ladin bukannya ditangkap, tetapi langsung dihabisi oleh regu penyerbu prajurit pilihan Angkatan Laut Amerika Serikat di 'benteng' tempat ia berdiam selama lima tahun, di tengah-tengah komplek perumahan perwira tinggi militer Pakistan di bagian utara negara itu. Jenazah Bin Ladin dibawa oleh para penyerbu, dan langsung dimakamkan di dasar samudera.

Sebelum babak akhir itu terjadi Usamah Bin Ladin sempat beberapa tahun berkeliaran di bagian selatan Afghanistan.

Penyergapan Usamah bin Ladin di tengah malam buta diikuti oleh Presiden Barack Obama dengan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton beserta sejumlah pejabat tinggi Amerika Serikat. Karena ada rekaman video, seluruh dunia—termasuk kita—dapat menyaksikan lewat tayangan di televisi saat yang penting itu dari sejak awal. Kita menerima itu sebagai peristiwa sangat penting di peralihan abad dan sekaligus sasrawarsa.

Usamah bin Ladin dengan Al Qaedah, dua nama yang jadi buah bibir dunia. Setelah Usamah mati, Al Qaedah, atau nama lain apa pun yang digunakan menghantui dunia karena dianggap berbahaya. Berbagai sebutan dialamatkan ke arahnya, seperti Islam fundamentalis, Islam ekstrem, islamis. Pada hakikatnya, Islam hanya satu dan seperti makna kata itu, 'damai'. Maka dari itu, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Inilah yang akan memerlukan jawaban, entah kapan.

Juga dari Amerika Serikat. Untuk pertama kali ada warga yang tergolong bukan-bule, non-whte, jadi Presiden terpilih. Segala caci-makian pun dialamatkan kepadanya, termasuk bahwa Barack Husein Obama adalah Islam. Akhirnya, pada waktu upacara pengangkatannya, Obama berjanji dengan berpegang pada kitab Injil. Yang menarik justru terdapat di segi lain, dalam penggunaan sarana internet. Untuk pertama kali Internet dimanfaatkan oleh pendukung Obama—yang sebagian besar orang muda—untuk menggalang dana dan suara. Semua perkara baru.

Di Indonesia, yang kita saksikan adalah mundurnya Presiden RI kedua itu secara khusus. Jelas, Suharto seoramg pemimpin, orang yang dapat mengambil putusan, sampai tiba saatnya ia harus lengser dari kedudukannya. Yang jelas juga Suharto—seperti dinyatakan dalam kamus “Amrican Heritage”—juga orang politik. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Kita telah membahas hukum sebab-akibat, sehingga perkara Suharto berpolitik juga tidak berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena sejak awal terbentuknya tentara nasional, benih ABRI untuk berpolitik sudah tertanam, dan Suharto tergolong generasi pertama yang 'dapat merasakan' sendiri makna 'kekuatan' dan 'kekuasaan'.

Yang menanamkan benih politik dalam Tentara Nasional kita adalah Jenderal Sudirman. Siapakah Sudirman itu? Ia kelahiran Purbalingga, Banyumas pada tahun 1912. Seperti halnya banyak orang Indonesia, ia berasal dari keluarga yang kekurangan, sehingga terpaksa ikut pamannya. Ia pernah bersekolah di Taman Siswa, perguruan yang didirikan Ki Hadjar Dewantara, yang memberinya sentuhan nasionalisme. Latar belakang pendidikan kweekschool (sekolah guru) Mohammadiyah memberikan kepadanya agama sebagai bekal tambahan memahami ajaran Islam. Ia mulai meniti karir dengan mengajar sebagai guru sekolah Muhammadiyah.

Kedatangan Jepang membelokkan perjalanan hidupnya, tepatnya ketika ia mendaftarkan diri jadi perjurit Peta, Pembela Tanah Air. Dari seluruh Jawa ada sebanyak 69 orang yang terpilih untuk dididik jadi daidancho (komandan batalyon).

Sejak awal Sudirman menonjol karena sikapnya yang tegas. Sikap itu tampak ketika Belanda menyerbu Yogya pada tanggal 19 Desember 1948. Meskipun dalam keadaan badan lemah, ia memilih menyingkir dan ikut bergerilya. Selama tujuh bulan dengan ditandu ia terus berpindah-pindah di pedalaman yang bergunung di bagian selatan Yogya, Solo, dan Madiun. Selama itu ia terus mengobarkan semangat perjuangan para pemuda. Ia baru turun gunung setelah kita berdamai dengan Belanda dan disusul dengan penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia, pada hari kedua Natal, 26 Desember 1949. Rosihan Anwar yang pada saat itu ada di Den Haag dan hadir dalam upacara serah-terima kedaulatan dapat mendengar sendiri klokkenspel, dentang-dentingnya lonceng gereja, memainkan kedua lagu kebangsaan, Wilhelmus dan disusul Indonesia Raya. Dalam sejarah, Rosihan Anwar—orang Minang yang menikah di Yogya dengan gadis Jawa pada waktu revolusi fisik—akan dikenang sebagai kolunnis ulung, karena menulis tentang apa saja yang terlintas, dan riwayat hidupnya berakhir dengan penghormatan dimakamkan di TMP Kalibata.

Pimpinan Angkatan Bersenjata kedua pihak, Indonesia dan Belanda, pada tengahan abad ke-20 beralih generasi. Yang paling dulu meninggal adalah Oerip Sumohardjo yang memang tertua, 17 Nopember 1948, sebulan sebelum Jenderal S.H. Spoor menyerbu Yogya pada 19 Desember 1948. Spoor yang lebih muda dan pernah jadi bawahan Oerip menyusul secara mendadak. Pada tanggal 25 Mai 1949 di Jakarta, setelah makan malam seperti biasanya, ia diberitakan sakit, dan meninggal. Itulah akhir riwayat Jenderal S.H, Spoor, yang ayahnya masih menggunakan nama Mengelberg, pemimpin orkes di Helsinki. Yang terakhir adalah Sudirman, yang dari segi usia juga termuda, Ketiga-tiganya dimakamkan di TMP, Oerip Soemohardjo dan Sudirman di Semaki, Yogyakarta berdampingan, dan S.H. Spoor di Menteng Pulo, Jakarta, yang tadinya Batavia, Ibukota Nederlands Indie.

Sudirman tidak hanya mengobarkan semangat berjuang. Ia menunjukkan bahwa senjata ikut menentukan arah kebijaksanaan. Di sanalah awalnya, mulajadi filsafat kekuatan bersenjata yang berperan dalam politik. Itu nyata pula ketika hasil pemilihan umum pertama tahun 1955 selain Partai Komunis Indonesia, hanya ABRI-lah pihak yang dapat merupakan kekuatan pengimbang. ketika PKI jadi organisasi yang sangat kuat. Hasil penelitian Salim Said memberikan gambaran bagaimana semua itu terjadi.

Spoor adalah orangnya yang mengejawantahkan kebijakan kelompok garis keras Belanda. Dengan latar belakangnya sebagai pimpinan NEFIS, intelejen tentara Hindia Belanda, pada waktu PD II di Australia. Ia pasti merasa langkah untuk menyerbu Yogya adalah tangggung jawabnya. Ia tidak sejalan dengan H.J van Mook karena memilih kekuatan dalam menyelesaikan sengketa dengan RI, negara baru. Dari sudut pandang politik putusannya itu ternyata keliru.

Akhirnya, Oerip Soemohardjo sebagai seorang militer profesional. Keyakinannya, ABRI dengan organisasi yang moderen tidak dapat dipisahkan dengan Indonesia yang moderen. Itu yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Sebelum tengahan abad ke-20 kita lewati mereka telah tiada.

Di zaman Orde Baru, penguasa memberi tekanan besar di segi kebendaan, tetapi pendidikan yang semestinya dijadikan modal dasar, tidak cukup ditangani. Ketika di awal tahun 1998 satu demi satu negara di wilayah Asia Timur dilanda krisis ekonomi, Indonesia akhirnya juga ikut terseret. Ada lagi yang memperah, yaitu ketiadaan kekuatan mengikat bangsa. 'Pembangunan' terhenti karena selain ketiadaan dana yang asalnya dari Bank Dunia, juga tradisi berupa tatanilai yang mestinya dapat mengikat antarkita. Maka krisis itu pun membuat kita terjerembab. Alih-alih bangkit. Krisis itu akhirnya mengharuskan kita mulai lagi dari awal, dan semua piutang untuk pembanungan harus ditanggung bersama.

Jika diingat kembali ketika kita sibuk membangun, maka Pelita demi Pelita terlewati, dan dalam pada itu, anak-anak Suharto tumbuh dan jadi orang dewasa. Suharto, sebagai seorang bapak yang baik, tidak mudah mengendalikan semua yang mereka ingini. Yang menambah masalah, keinginan mereka tidak dibarengi keahlian. Itu yang terjadi.

Pada 11 Maret 1988, Suharto dilantik di depan Sidang Pleno MPR sebagai Presiden Republik Indonesia untuk ketujuh kalinya. Upacara itu disiarkan lewat televisi, sehingga setiap penonton sempat mengikutinya. Dengan suara datar tetapi jelas Suharto menyatakan hal berikut: 'Saya akan bertanggung jawab di hari akhirat'. Ketika mendengar itu, pada saya timbul rasa aneh, 'Mengapa sampai di akhirat?'. Saat itu yang sudah disinggung di atas, adalah saat perekomian negara di Asia Timur satu demi satu jatuh, dan suasana itu jadi latar belakang peristiwa yang terjadi di Senayan . Krisis ekonomi yang menjalar ke Indonesia ternyata menentukan nasib Suharto. Pada sore hari 23 Mai 1989, kurang dari tiga bulan setelah dilantik, Presiden mengundurkan diri, dan Orde Baru pun berakhirlah.

Ketika itu demonstrasi mahasiswa makin menjadi-jadi. Datanglah 'gaung demokrasi' yang berasal dari kaum muda, mereka yang menamakan diri Partai Rakyat Demokratik, Bagi pihak penguasa, jelas ini merisaukan. Maka tidak ada jalan lain untuk mengatasinya selain dengan cara—dengan menggunakan ungkapan Belanda—in de kiem smoren, kutunya saja dipithes (dipicit, dimatikan). mereka harus hilang. Itu yang terjadi: dan 15 tahun kemudian Majalah Tempo, 4211/13-19 Mei 2013, keluar dengan edisi berjudul Teki-teki Widji Thukul.

Wiji Thukul lewat seperti berlalunya bintang jatuh di langit di malam gelap. Peristiwa sebenarnya berlangsung di Gedung DPR-MPR di Senayan, ketika mahasiswa mendudukinya dan berpuncak pada tuntutan agar Suharto mundur. Ketika Suharto bersedia, tidak terdapat seorang pun yang mau menerima limpahan kekuasaan dari tangannya. Suharto mundur tanggal 21 Mai 1998 dan Wakil Presiden Burhanudin Jusuf Habibie dilantik sebagai penggantinya.

Setahun kemudian, pada tanggal 7 Juni 1999 diadakan pemilihan umum yang ke-8 kalinya. Lewat pemungutan suara, Sidang Umum MPR 21 Oktober 1998 menolak pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Selama ia memerintah, Timor Timur terlepas dari NKRI dan berdiri sebagai negara berdaulat, Timor Leste. Saya masih ingat pernyataan B.J. Habibie sebelum saat bersejarah itu terjadi, pernyataanya yang disiarkan lewat televisi, 'Jika mau merdeka, monggo. . .'

Pemerintahan Presiden R.I. Ketiga B.J. Habibie hanya babak awal peralihan. Sebagai seorang pakar pesawat terbang, selama bertahun-tahun di bermukim di Jerman Barat dan berkarya di perusahaan Airbus. Ia dipanggil pulang Ibnu Sutowo, ketika itu Direktur Utama Pertamina, perusahaan negara Pertambangan Minyak Nasional. Ibnu Sutowo berharap Habibie dapat memimpin bagian teknologi maju di perusahaan yang ia pimpin. Dari sana ia masuk ke dalam jalur yang membuatnya jadi dekat dengan Suharto. Dengan mundurnya Suharto, maka B.J. Habibie tampil di pentas.

Pada persidangan MPR itu mandat B.J.Habibie berakhir dan K.H. Abdulrahman Wahid atau sapaan akrabnya Gus Dur, dipilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4, dan Megawati Sukarnoputri sebagai Wakil Presiden.

Adalah Gus Dur yang tepat pada malam Tahun Baru dan Sasrawarsa Baru 1999-2000 menyengaja tepat ada di batas timur NKRI dengan negara tetangga, Papua-Nugini. Rupanya ia hanya memberi tekanan pada dasar yang kita gunakan dalam bernegara, yaitu sejarah dan hukum. Itulah yang ia lakukan, hadir tepat di batas yang dipersetujui semua pihak. Ia sama sekali tidak perlu merasa risau ketika ditanya mengenai bendera OPM, karena perkumpulam sepak bola juga memiliki bendera.

Pemerintahan Gus Dur tidak berlangsung lama karena diwarnai ketidakcocokkan antara Presiden dengan Parlemen. Pernyataan Gus Dur yang menyamakan para anggota Dewan yang terhormat itu sebagai anak TK—yang jelas bukan pernyataan orang politik—pasti tidak dapat dibiarkan begitu saja. Untuk mengusir Presiden yang 'tidak tahu aturan' itu perlu diselenggarakan Sidang Umum MPR yang berlamsung pada 23 Juli 2001. Lewat pemungutan suara, pertanggungjawaban Presiden Abdulrahman Wahid ditolak. Itu demokrasi yang hendak dipraktekkan.

Dukacerita itu sebenarnya berawal pada saat Gus Dus diangkat jadi Presiden RI yang ke-4, yang dalam keadaan biasa tidak mungkin menempati kedudukan sebagai orang pertama di Republik ini, karena suatu kemustahilan. Tetapi kenyataan itu bisa juga kita pandang dari sudut lain, sudut yang bersifat nisbi, berhubungan dengan segi lain pribadi Gus Dur yang akan dikemukakan di bawah ini. Meskipun jasmaniah tak layak memangku jabatan Presiden, lewat pemungutan suara, ia terpilih sebagai Presiden dan Megawati Sukarnoputri sebagai Wakil Presiden, dan kedua-duanya adalah generasi kedua pendiri republik ini.

Gus Dur pernah berkata, B.J. Habibie adalah ilmuwan, tetapi ia adalah wisatawan. Ia menguasai banyak bahasa dan membaca banyak buku. Ini ia manfaatkan dengan berkeliling ke mana saja di seluruh dunia dan seluruh Nusantara. Ia mengembalikan nama Papua yang tadinya dijadikan Irian Barat dan lalu Irianjaya.

Gus Dur juga mengunjungi siapa saja yang ia rasakan 'sejalan', seperti Hugo Chavez di Venezuela dan singgah di Surinam yang sepertiga penduduknya berasal dari Indonesia, ke tempat ia dapat berkonsultasi tentang kesehatan di RS Mormon di Salt Lake City,AS. Nada canda bicaranya tak pernah ditinggalkan. Sekedar contoh, betapa ia berkunjung ke Presiden AS Bill Clinton pada suatu Saptu sore—yang semestinya bukan saat untuk pertemuan—dan tiba terlambat setengah jam. Alih-alih mengganggu suasana, yang terjadi sebaliknya karena pertemuan penuh gelak tawa, dan bahkan diperpanjang setengah jam. Ketika ditanya komentarnya, jawabnya enteng, 'Kita 'kan sama-sama Presiden'. Ia juga berkunjung ke Presiden Pavlac Havel, dari Cekoslovakia 1989-92, dan setelah negara itu terbagi dua, bersambung jadi Presiden Ceko, 1993-2003. Havel adalah penulis.

Ia sempat mengundang Anne-Marie Schimmel, warga Jerman ahli perbandingan agama dan pernah selama berpuluh tahun di MIT, Amerika Serikat. Meskipun pagi harinya Gus Dus dikabarkan sakit—konon diberitakan kena santet—di malam hari ketika resepsi tak terganggu, dan kala menghadapi tamunya langsung menukil bagian tulisan Anne-Marie Schimmel, dengan sendirinya di luar kepala. Sebagai catatan tambahan, selama di Jakarta, Anne-Marie Schimmel sempat berceramah di Gedung LIPI, di depan hadirin yang membeludak hingga di luar ruang sidang, konon yang pertama terjadi dalam sejarah.

Nah, itulah Gus Dur dengan polah tingkahnya, yang meskipun pernah terserang stroke, masih hafal 1500 nomor telepon. Saya rasa, Xanana Gusmao yang ketika Gus Dur berkunjung ke Dili sudah menjabat perdana menteri Timor Leste termasuk pengagumnya. Seperti saya saksikan dalam siaran CNN, ketika menyambut kedatangan Gus Dur dengan lantang ia berteriak berkali-kali 'Hudup Gus Dur!, Hidup Gus Duur!!!'.

Bagi sementara orang tingkah-polah Gus Dur itu hanya nuisance, aneh-anehan, dan penghamburan uang negara. Tetapi lewat tampilannya yang hanya singkat itu Gus Dus justru memberi pelajaran lain tentang kemanusiaan yang terlewat oleh pemeran Presiden yang lain. Jadi, Gus Dur mengerti politik, tetapi ia bukan orang yang berniat berpolitik apalagi politik praktis. Yang jelas, ia mencoba membuat orang jadi peka, tanggap akan isyarat yang semestinya perlu diperhatikan. Itulah hikmah yang tersembunyi di balik 'dukacerita' itu.

Dengan mundurnya Gus Dur, Megawati Sukarnoputri tampil sebagai Presiden RI ke-5, didampingi oleh Hamzah Haz. Ketika itulah muncul kata reformasi dengan makna lain, yaitu makna digunakan dalam agama (Kristen), yang merujuk ke peristiwa Luther sebagai awal kemunculan agama Kristen Protestan. Apakah kata 'reformasi' tidak boleh kita gunakan? Bukan itu masalahnya. Berbahasa ada semacam aturan. Di mana-mana tidak ada orang yang menggunakan kata itu, selain hanya ketika Luther mengubah agama Katolik Roma ke dalam tatanan baru jadi agama Kristen Protestan. Saya hanya hendak mengatakan bahwa kita tidak akrab dengan kamus. Tetapi yang membuat saya risau, jangan-jangan kita tidak menangkap maknanya.

Sebagaimana kita alami selama ini, proses pembentukan bangsa tak mungkin berlangsung dalam waktu singkat, karena latar belakang kesejarahan masih melekat pada kita. Itulah zaman ketika kita hidup di alam feodal. Ketika itu, orang mencari yang diingini lewat jalan pintas, sebagai cara yang mudah dan selalu menggoda, Aji mumpung, Selagi jadi raja, setiap kesempatan jangan disia-siakan, begitu ungkapan Jawa. Jadi, kita tidak perlu merasa heran, kalau dalam pertunjukan wayang lalu tercipta lakon “Petruk jadi raja”. Orang Barat menyebutnya parodi, sejenis 'permainan', dan nama yang maksudkan adalah Petruk. Dalam wayang versi aslinya Petruk tidak ada, dan dalam versi kita ia digambarkan sebagai salah seorang punakawan. Punakawan adalah pembantu dan tempatnya 'di bawah'. Jika tiba-tiba saja ia berperan jadi raja, tentu saja semua tatanilai terjungkirbalik, Itulah sekerat budaya (sebagian kita), yang diungkapkan lewat pertinjukan wayang.

Kita dapat merangkaikan di sini keratan budaya yang lain. Kita mulai dengan yang ada pada orang Sunda, yang sampai tahun 1950-an terasa masih terpisah dari orang Jawa—katakan saja berbeda suku—tetapi saat ini semua perbedaan itu seakan-akan lenyap begitu saja. Akan halnya ungkapan,

itu ternyata tidak begitu saja berubah. Mereka masih menggunakan ungkapan yang sama, pendek tetapi berirama, Meungpang-meungpeung. Kita tidak perlu paham, tetapi mengerti, lebih-kurang kesempatan baik janganlah dilewatkan.

Orang Inggris jelas berbeda. Yang mereka gunakan, Make hay while the sun shines yang terasa halus, 'khas Inggris', bersiap-siaplah untuk sesuatu yang selalu berulang. Orang Belanda berterus-terang dalam menghadapi kelemahan yang bersifat manusiawi, De gelegenheid maakt de(n) dief. Kesempaatan membuat orang jadi pencuri. Jadi, diperlukan penangkal yang berbunyi, Het zijn sterke benen die de weelde kunnen dragen, Kaki kuat itulah yang dapat menopang kemewahan. Beberapa contoh itu memberi kita gambaran betapa sulitnya kita 'menangkap' apa itu budaya. Lalu, apa gerangan barangnya? Tidak mudah untuk menjawab. Yang jelas, hal yang ada pada kita, secara pribadi atau sebagai anggota kelompok. Di dalamnya tercakup segala ihwal yang berkisar dari kecendekiaan, seni, sopan-santum, budi pekerti halus, dst., dst. Dengan demikian, semua yang kita alami bersama pada galibnya merupakan pelajaran bagi kita semua dalam membentuk diri sebagai bangsa.

Yang juga sangat sulit berubah adalah untuk beralih dari budaya tutur ke budaya tulis. Terlebih-lebih lagi pada waktu ini; yaitu makin sulit kita mengajak orang membaca. Sebabnya, siaran TV saja merupakan hal yang terlalu menarik. Stasion TV banyak, dari mana saja dan semua dengan acaranya tiada henti siang dan malam. Bagaimana kita dapat mengalihkan ke budaya membaca?

Kita kembali ke mereka yang kita sebut perintis kemerdekaan dan pembentuk bangsa. Jika yang kita memandang mereka hanya dari angka, jumlahnya dapat diibaratkan bisa kita hitung dengan jari. Merekalah yang meletakkan dasar yang kokoh bagi Republik ini. Dari segi asal, moyangnya berasal dari mana-mana, entah dari 'dalam' dan sampai kini 'merasa' asli, dan mereka—juga sampai sekarang—yang masih digolongkan WNI, dan 'asalnya' entah dari barat, timur, utara, tanpa selatan, karena itu laut. Undang-Undang Dasar 1945, itulah karya mereka yang naskahnya terwujud dalam zaman ketika Negara Indonesia belum ada, karena yang ada ketika daerah pendudukan tentara Jepang.Terpaan kuat terjadi ketika ada upaya membuat Negara Indonesia Serikat yang terdiri atas banyak 'negara'. Itu hanya 'akal-akalan' Belanda yang akhirnya dapat ditangkal. Sebaliknya, yang ada di belakang 'negara kesatuan' adalah mereka yang mewakili Nusantara; mereka pun berpikir demi kepentingan semua sebagai kesatuan demi persatuan Indonesia dan bukan demi kelompok, apalagi diri pribadi. Pada waktu itu yang disebut 'Irian' bahkan secara resmi bernama Nederlands Nieuw Guinea. Sebelum ujian besar itu, sudah ada 'ujian kecil', khusus mengenai dasar negara, seperti masih akan disinggung di bawah.

Sejak awal kita merdeka, kita ingin berdemokrasi. Bagi kita, demokrasi adalah barang baru, dan ini harus kita akui. Yang jelas, tidaklah mungkin melaksanakan hal baru dengan tiba-tiba. Sebaliknya, kebiasaan yang sudah mendarah-daging tidak mudah diubah dalam sekejap. Tatanan yang ada pada zaman Bung Karno juga disebut demokrasi, dan pemilihan pertama diselenggarakan karena kita menganut paham itu. Ketika yang tampil kemudian PKI sebagai kekuatan nomor tiga, kita pun tersadar bahwa lewat perhitungan jumlah suara, itulah yang terjadi. Umumnya orang tidak mau mengakui, intinya adalah kemiskinan dan keterbelakangan, khususnya dalam pendidikan. Bung Karno sebagai arsitek bangsa keluar dengan istilah 'demokrasi terpimpin', hal yang masuk akal, karena yang ada dalam benaknya adalah persatuan seperti yang ia dambakan. Padahal, keadaan pada saat itu adalah gagasan Bung Karno dalam upaya menyatukan bangsa dengan cara seperti itu, tidak akan diterima, apalagi di Barat.

Kalau demokrasi menggunakan ukuran hasil pemilihan umum, Presiden Suharto menciptakan cara yang langsung dibuktikan. Setiap lima tahun diselenggarakan pemilihan umum, dan setiap kali pemenang adalah Golongan Karya, Golkar, dan ujungnya Suharto terpilih jadi presiden. Apalagi kemudian ABRI mendapat jatah untuk duduk di parlemen. 'Ideologi' itu—jika kita menyebutnya begitu—ternyata mulai berakar juga.

Yang harus kita sadari, Indonesia adalah negeri yang sangat luas. Untuk mengisyaratkan besarnya ukuran itu, pada saat pergantian zaman, kita masih ingat tindakan Gus Dur yang memperingati pergantian abad dan sekaligus sasrawarsa dengan cara yang khas. Untuk keperluan itu, Gus Dur secara khusus ada di batas timur NKRI dengan Papua-Nugini.

Gus Durlah yang mengubah nama Irian jadi Papua. Agar diingat kembali, di zaman penjajahan pulau terluas kedua di dunia itu setelah Tanah Hijau—yang justru putih karena terletak di dekat Kutub Utara—bernama Nieuw Guinea, Guinea Baru. Guinea yang asli ada di Afrika. Kata Irian muncul sejak kita memperjuangkan agar Belanda mau menyerahkan kepada kita. Tuntutan kita adalah seluruh wilayah yang bernama Nederlands Indie. Itulah cara Gus Dur mengingatkan kita, dasar semua tindakan adalah sejarah dan hukum.

Saya adalah orang yang beruntung, karena Irian tidak asing bagi saya. Pertama kali ada di sana sejak bulan Nopember 1961. Ketika itu, sebagai pegawai negeri Republik Indonesia bertugas dalam Pemerintah peralihan, yaitu UNTEA, United Nations Temporary Executive Authority over West New Guinea-West Irian. Sebagai Head, Mining Office, saya berkesempatan mempelajari semua dokumen yang ada dalam arsip badan itu. Dari sanalah saya kemudian menyusun tulisan dengan judul Geology and mineral wealth of West Irian (Purbo-Hadiwidjoyo, 1963).

Saya seperti diingatkan, betapa sejak Perang usai, Belanda tak berdiam diri. Mereka terus mencoba lewat berbagai cara untuk menghalangi—setidaknya menghambat—terbentuknya Indonesia Raya. Mereka benar-benar berusaha keras untuk mempertahankan Irian Barat yang mereka sebut West Nieuw Guinea. Oleh sebab itu, upaya mereka mengumpulkan data dasar di sana dilakukan seperti sebelumnya mereka lakukan, pada waktu mereka berbuat untuk seluruh Nederlands Indie. Yang menjadi alasan sudah jelas, karena data dasar di Irian tertinggal jauh.

Data dasar, itulah yang digunakan oleh Belanda sebelum bertindak. Saya sudah menulis dengan panjang-lebar sejak mereka menghadapi Pangeran Diponegoro dan sesudahnya. Kelemahan kita, karena kita belum memiliki budaya yang intinya, rencana apa pun didasar angka. Kebiasaan kita membuat jalan-pintas belum dapat kita tinggalkan, sampai sekarang.

Data dasar geologi tentu penting, tetapi selama di Irian sumber pendapatan negara belum tersedia, upaya itu diserahkan kepada pihak swasta. Maka dibentuklah SGONNG, Stichting Geologisch Onderzoek Nederlands Nieuw Guinea, Yayasan Penyelidikan Geologi Guinea Barat Belanda dan kantornya di Manokwari. Kantoor van het Mijnwezen (Kantor Pertambangan) baru didirikan di Hollandia setelah penyelidikan pencarian cadangan minyak akhirnya berhasil dan produksi minyak dari Lapangan Klamono di Semenanjung Kepala Burung.

Penyelidikan mencari minyak itu jelas bukan oleh pemerintah, melainkan oleh perusahaan, suatu usaha swasta gabungan BPM-Shell, Belanda-Inggris dan Amerika nama Nederlands-Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij, disingkat NNGPM. Cara itu tentu karena dasar bisnis, memperkecil risiko.

Sebagai pimpinan penyelidikan ditunjuk Dr. Friederich Laufer, orang Belanda selain asal Jerman, juga didikan sana, Saya jadi seorang yang dekat dengan beliau, selain karena hubungan kerja pada waktu pindah di Bandung dari Yogya pda tahun 1950. Laufer sikapnya kebapakan, membimbing dalam segala hal. Itu berlangsung ketika saya selama tiga tahun jadi asistennya. Itulah awal saya meniti karir di bidang geologi. Beliau bekerja di Direktorat Geologi berdasar kontrak. Kisah Dr F. Laufer yang selalu membina hingga saya jadi geologiwan dapat dibaca dalam Purbo-Hadiwidjoyo (2006).

Penyelidikan oleh NNGPM memanfaatkan cara yang tersedia di saat itu. Di dalamnya termasuk pesawat terbang untuk mengangkut segala macam perlengkapan dan perbekalan, dan tentu saja manusia pendukungnya. Yang terakhir itu adalah orang Dayak dari Borneo—kata Kalimantan belum dikenal—yang mengangkut barang. Mereka yang paling cocok sebagai penggendong di medan berat. Pesawat terbang yang digunakan dalam ekspedisi Dornier amfibi buatan Jerman, karena dapat mendarat di air. Penerbangnya Wissel, seorang insinyur mesin. Dengan caranya, ia juga berpetualang dan menemukan adanya dua danau di pedalaman. Itu sebabnya, dua danau itu dinamai Wisselmeren. Ditemukannya danau itu untuk persingghan pesawat Dornier jelas dapat memperpendek jalan pendakian ke titik tertinggi yang oleh orang Belanda diberi nama Puncak Carstensz.

Petualangan itu berlangsung di tahun 1936, menjelang PD II meletus. Kita boleh menganggap itu sebagai kegiatan sampingan, semacam 'main-main'. Bentuknya memang ekspedisi dengan para pesertanya orang muda, cocok bagi mereka yang suka berpetualang. Itu yang membuahkan buku dengan judul “Naar de eeuwige sneeuwvelden van tropisch Nerderland” (Ke padang salju abadi Negeri Belanda tropika). Main-main adalah kodrat manusia, Homo ludens, Manusia yang pemain. Sebenarnya, itu belum lengkap, karena yang lebih dulu muncul adalah ungkapan Homo sapiens, Manusia yang pemikir. Apa berpikir dan bermain memang dua segi dari hakikat yang satu, jadi sesuai dengan hukum keberpasangan yang masih akan disinggung di belakang?

Petualangan itu dipimpin oleh A.H. Colijn, dan dapat terlaksana karena ia anak H. Colijn yang orang penting dalam BPM, Bataafsche Petreoleum Maatschappij, perusahaan minyak Belanda. H. Colijn sebagai kapten KNIL pernah bertugas di Nieuw Guinea dan dalam perjalanan hidupnya ia kemudian pernah jadi ketua parlemen Belanda, dan akhirnya pimpinan BPM.

Seorang geologiwan muda yang ikut dalam ekspedisi ialah Jean Jeaqucs Dozy. Ia adalah penemu yang kelak terkenal dengan nama Ertsberg, Gunung Bijih. Contoh batuan yang dibawanya pulang dianalisis di Leiden dan hasilnya menunjukkan kadar emas-tembaga-perak yang sangat tinggi. Seperti akan kita lihat, itu pulalah yang kemudian menentukan sejarah Irian Barat yang sekarang jadi Papua.

Sebelum Irian Barat diserahkan kepada Indonesia, Oost Borneo Maatschappij—perusahaan swasta pengembang batubara di Kalimantan Timur sebelum PD II—mulai berkemas-kemas untuk meneliti cadangan logam berharga itu sebelum ditambang. Usaha itu berhenti tersebab ketikpastian keadaan politik. Begitu perpolitikan mapan, yang maju Freeport Sulphur Company dari Amerika Serikat.

Bergantinya arah angin politik membuat OBM memilih mengundurkan diri. Maka Freeport Sulphur dari Louisiana dari Amerika Serikat. Perusahaan yang semula bernama Freeport Sulphur—karena bergiat dalam 'tambang' belerang—itu, bertukar jadi Freeport Indonesia, berinduk pada Freeport McMoran Copper & Gold. Perusahaan itu yang kini memberi warna kepada wilayah paling timur Indonesia ini.

Seperti saya nyatakan dalam tulisan saya, selama pemerintahan Belanda, paling tidak ada dua pokok penting yang dapat kita ketahui. Hasil penyelidikan minyak selama bertahun-tahun dapat terhimpun berupa laporan lengkap yang pada saat itu sudah siap terbit. Yang menerbitkan bukan pemerintah, melainkan Konklijk Nederlands Geologisch-Mijnbouwkundig Genootschap, atau jika diindonesiakan Perhimpunan di Raja Geologi Pertambangan Negeri Belanda. Terbitan itu hasil kerja Visser dan Hermes (1962), Saya memiliki kopi laporan itu karena termasuk warisan sejumlah buku tinggalan Laufer, yang dikirimkan dari Nederland setelah beliau tiada.

Data baru yang terkumpul seusai PD II memberi gambaran yang jelas mengenai kedudukan Irian terhadap benua Australia. Lempeng Australia yang mencuat di atas Lempeng Pasifik mewujud berupa pegunungan tinggi dan berlereng terjal, mencapai ketinggian di atas batas salju, sekitar 4000m. Dalam proses itu, magma yang mengandung cairan emas-perak-tembaga menerobos ke dalam tumpukan batuan praada—yang telah hadir—sebelum cairan asal-magma naik. Itulah yang lebih dulu diketahui di bagian timur Pulau Papua.

Pada tugas untuk kedua kalinya di sana, saya menjajak kemungkinan penyediaan air bagi keperluan peternakan di Sentani dan Merauke. Pada yang ketiga kalinya, saya jadi anggota tim penilai hasil kerjasama pemetaan geologi Indonesia-Australia. Tugas ketiga kalinya itu terhenti di jalan karena keadaan keamanan tidak memungkinkan. Projek kerjasama Australia-Indonesia itu dipindah ke daerah pedalaman Kalimantan Timur, berbatasan dengan Malaysia Timur. Anggota tim penilai di pihak Indonesia dua orang, Prof. Dr.R.P. Koesoemadinata dari ITB dan saya. Bagi saya pribadi, keterlibatan dalam tugas itu berarti menambah pengalaman dan wawasan. Pedalaman Kalimantan Timur belum memiliki jalan; dan untuk mencapainya orang harus memanfaatkan lapangan terbang perintis yang hanya dapat didarati pesawat kecil dan helikopter. Ketika itu, lapangan terbang yang kami gunakan terletak di Datadawai.

Kita kembali ke Irian karena saya terlibat penugasan di sana. Itu kesempatan bagi saya melihat dari dekat. Keadaan alam pulau yang besar itu dapat saya saksikan dari batas di timur dengan negara tetangga hingga pantai barat. Itu sangat membantu saya jika saya berbicara tentang daerah itu; saya dapat membayangkan kenyataan betapa besar-besar sungainya, betapa tinggi gunungnya, lagipula rumpil, dan hutannya yang seakan-akan tiada kesudahan.

Sebelum teori tektonika lempeng muncul sekitar tahun 1970-an, dalam tulisan saya di atas, di Irian orang mengenali adanya ciri yang berbeda antara yang disebut unsur Pasifik di bagian utara dan unsur Australia di bagian selatan pulau. Kini, teori tektonika lempeng jadi anggitan atau konsep, maka tahulah kita bahwa sumberdaya—tekanan pada segi mineral dan energi—memang tidak dapat dipisahkan dengan tataan geologi.

Menambang bijih di ketinggian 3600m di atas permukaan laut, di pegunngan dengan lerengnya yang terjal-terjal memang sulit dibayangkan. Setelah bijih ditambang, bagaima proses selanjutnya?Jawabnya tersedia setelah langkah pelaksanaan ditentukan berdasarkan perjanjian yang disebut kontrak karya atau Inggrisnya contract of work. Perjanjian itulah yang pertama di bidang mineral, dan ditandatangani pada tanggal 7 April 1967 oleh Menteri Pertambangan Slamet Bratanata atas nama Pemerintah Indonesia dan pada tanggal 7 Maret tambang diresmikan dengan Tembagapura sebagai tempat permukiman para pekerja tambang. Peresmian dilakukan oleh Presiden Suharto, dan di antara para undangan terdapat penemu endapan Grasberg, J.J. Dozy, yang sesudah upacara singgah di Bandung, Itulah saat saya berjumpa dengan pria pendek untuk ukuran barat itu, tetapi berpenampilan atlet, lincah, sebaya kakak tertua saya.

Pada awalnya yang jadi andalan adalah Gunung Bijih dengan tubuh bijihnya mirip bentuk gigi—ke bawah habis—dan setelah ditambnang habis, menyusul Grasberg yang ditangani. Yang ini bentuk tubuh bijihnya tidak teratur, hingga untuk sebagian harus ditangani dengan cara tambang-dalam dengan segala kesulitannya.

Sekarang kita rangkaikan di sini tampilnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SBY—begitu nama yang di'tempelkan' padanya—yang sejak tahun 2003 duduk di kursi kepresidenan. Ia-lah Presiden RI kelima, yang pertama terpilih lewat pemilihan langsung satu putaran di tahun itu. Ada kemungkinan hal itu dapat terjadi karena pendapat umum ikut berperan. Saya ingat suasana ketika itu, bahkan majalah Amerika Serikat Time menyebutnya the brightest among the top brass.

Karena jadi pemenang, partai yang baru ia dirikan dengan nama Partai Demokrat langsung saja berkibar, sehingga diperlukan hanya satu putaran saja. Tetapi SBY tetap masih menggandeng partai lain agar terbentuk pemerintahan yang 'stabil'. Maka jadilah Kabinet Indonesia Bersatu. Dengan cara itu SBY dapat memperpanjang pemerintahan masa kerjanya yang kedua kalinya, dan hal itu ternyata memiliki sifat nisbi, seperti kita saksikan sampai sekarang.

Pada masa jabatan SBY yang pertama terjadi dua peristiwa penting. Dua-duanya kait-mengait, dan dapat kita pandang berhubungan dengan pergantian zaman, yang akan diperjelas di bawah. Yang pertama adalah perundingan dengan GAM yang ketika itu sudah dimulai. Yang kedua dan benar-benar menyentak banyak orang adalah gempa raksasa yang disusul tsunami, yang terjadi pada 26 Desember 2004. Kejadian luar biasa itu langsung mendorong GAM untuk melakukan gencatan senjata sepihak, sehingga melapangkan perundingan antara GAM dan Pemerintah Indonesia, yang berlangsung di Helsinki, Finlandia. Akibat lebih lanjut, Hasan Tiro yang sudah bertahun-tahun bermukim di luar negeri, memutuskan untuk pulang ke tanah kelahirannya. Pada 2 Juni 2010 ia dianugerahi kewarganegaaran Republik Indonesia, dan keesokan harinya, 3 Juni ia meninggal di usia 84 tahun di tempat kelahirannya. Ia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Akibat samping SBY menduduki dua kali kursi kepresidenan, tidak hanya terasa, juga disaksikan oleh masyarakat, terutama pada masa jabatan yang keduanya. Contoh, menteri yang terpaksa diganti di 'tengah jalan', tersebab tidak 'cocok' untuk tugas yang dibebankan kepadanya atau karena masih sangat 'terikat' pada beraneka tuntutan dari luar tugasnya, termasuk partainya. Semua itu akibat SBY mencoba menerapkan demokrasi yang masih barang baru. Tidak semua orang sadar bahwa demokrasi perlu biaya, dan biaya terus saja naik, melambung sesuai dengan yang hendak dijadikan sasaran. Dari mana orang bisa memperoleh dana? Bukan rahasia lagi bahwa sumber dana adalah anggaran belanja negara. Cara untuk mendapatkannya banyak, ada yang langsung 'menjegal' pada waktu disalurkan, ada pihak yang justru 'memberi talangan' sebelum dana yang seharusnya masuk kas Negara.

ITB tetap ITB, yang berubah lulusan dan warganya, dalam segala halnya. ITB juga sumber tenaga untuk mengerakan mesin bangsa. Jika dulu orang dengan rasa bangga dapat ikut menyemarakkan namanya, tanpa menepuk dada, kini ada sementara orang berupaya membonceng Gajah ITB, tanpa malu. Itulah yang terjadi hingga ada seorang guru besar yang bersifat dan bertindak tidak seperti layaknya seorang berilmu dan pendidik. Mereka tanpa sadar (?) tidak hanya merugikan nama besar kampus dan akhirnya tentu juga mencoreng nama sendiri. Sayang, tetapi semua telah terterjadi.

Segi lain pemerintahan SBY—yang positip—dapat juga disaksikan. Kita sebut saja terbentuknya berbagai kelembagaan yang sebelumnya tidak ada. Contohnya, KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan MK, Mahkamah Konstitusi, ombudsman, corruption watch.

Di awal Oktober 2013 muncul dukacerita karena Ketua MK tertangkap tangan. Itu ternyata bukan tindak pertama kalinya ia perbuat, sudah berkali-kali sejak ia menduduki jabatan penting, ke-9 tertinggi di Republik. Rupanya itu terjadi gara-gara ia, sama dengan banyak yang lain dihinggapi virus serupa, tidak kuasa mengatasi ketamakan seperti dinyatakan pepatah Belanda, membedakan het mijn en het dijn, mana yang hak dan bathil.

MK masuk kelembagaan dan badan baru yang dibentuk karena ada tujuan mulia, yaitu membuat orang jera melakukan tindak menyimpang dan melanggar hukum, menyeleweng dalam penggunaan dana, dan akhirnya diketahui umum. Kita saksikan 'revolusi informasi sosial' yang tidak dapat diabaikan, dalam bentuk 'terolah': Amaran hasil jajak-pendapat yang berbagai 'lembaga survey' dalam dan luar negeri terus melanda tidak hanya kita, juga negara lain dengan keadaan mirip.

Dengan latar masyarakat, tidak hanya Indonesia bahkan seluruh dunia, ada upaya menampilkan pemimpin yang mumpuni di semua tingkat, Kita akan memilih Presiden baru dan sesuai dengan jadwal di awal April 2014. Harapan semua orang, semoga dapat membuat negeri ini makin mantap. Semoga.

Di tengah kegaluan internasional itu di Jerman tampil seorng wanita. Kita melihat betapa ia setelah memimpin negara selama dua kali masa jabatan dengan lama empat tahunan membuat banyak jadi terkagum-kagum karena ketenangannya, Tanpa berkampanye, ia terpilih kembali sebagai perdana menteri untuk ketiga kalinya. Itulah Angela Merkel, profesor fisika yang dengan penuh percaya-diri berhasil memerintah negaranya melewati krisis keuangan dan kepemimpinan. 'Angela die Grosse', Angela Agung. Itulah julukan berian Der Spiegel—9 Sept. 2013—mingguan terkemuka Jerman. . Memilih tokoh yang baik adalah niat positip, tetapi yang selebihnya tejadi tidaklah mungkin kita ketahui. Selain kebiasaan zaman lama—yang baru saja ditinggalkan—terdapat 'kekuatan gelap' yang menghadang. Tidak dapat dipungkiri, menciptakan masyarat berdemokrasi dibutuhkan dana besar, dari sejak persiapan, pemlihan umum, hingga 'upacara' puncak berupa pelantikan mereka yang terpilih.

Untuk keperluan itu dana jadi masalah, dan bagi umum tidak terbayang sumbernya. Seperti sudah disinggung tadi ungkapan Belanda, het mijn en het dijn, batas milikku dan milikmu. Sebenarnya di semua negara, termasuk negara kita, Republik Indonesia 'aturan main' tentu ada. Agama Islam yang dianut bagian terbesar warganya menyebut pembeda antara yang dibolehkan dan yang dilarang itu dengan istilah furqon. Yang jelas, semua agama memiliki pembeda, yang berbeda namanya. Ini jadi masalah sangat gawat, jika kita sebagai bangsa tidak dapat menyelesaikan dengan baik. Dalam Parwa Tiga pokok ini akan kita bahas lagi, tetapi dari sudut pandang lain.

Kita sekarang menyimak kembali revolusi yang bentuk dan luasnya belum terbayang, tetapi terus menggejala. Itulah revolusi informasi sosial, yang ditunjang oleh alat komunikasi mutakhir yang bentuk, nama dan kemampuannya terus berkembang.

Sekitar dua dasawarsa yang lalu—tahun 1980-an—orang memiliki pesawat telepon di rumah adalah suatu kemewahan. Mereka yang di rumah ada barang langka itu sangat terbantu. Muncul pada waktu itu wartel, warung telepon. Penduduk kota besar ketika itu menyaksikan kemunculan pesawat telepon yang tersedia bagi umum. Ketika itu pula di banyak titik dipasang yang disebut telephone box, kata yang belum sempat diindonesiakan. Yang masih tersisa sampai sekarang box-nya, dan masih banyak yang tertinggal, tetapi pesawat teleponnya sendiri tidak lagi ada.

Tiba-tiba ada handphone, disingkat HP. Indonesanya telepon genggam, tetapi orang menyukai singkatan Inggrisnya, HP mengubah hubungan antarpribadi jadi urusan pribadi. Jumlah pemiliknya terus bertmbah. Karena nomor HP tidak ada buku telepom seperti sebelumnya, nomor pemilik HP hanya diketahui pihak yang saling membutuhkan. Dengan sarana HP, kita memesan apa yang kita butuhkan di suatu saat, termasuk makanan yang dijajakan di tepi jalan, juga tukang rumput, bila rumput di kebun kita terlalu tinggi. (Catat: Tidak semua orang memiliki kebun.)

HP berbeda dengan pesawat telepon biasa. Lewat HP orang juga dapat menyampakan SMS, pesan dan orang tidak menggubris apa itu artinya. Manfaat yang sangat besar lain, pihak terhubungi tidak perlu menjawab seketika; atau tidak selamanya. Dan, sangat 'murah' karena tidak 'menyedit' pulsa. Yang juga sangat membantu kedua pihak, saat terjadi hubungan terekam.

Sejalan dengan itu, selain ukuran bendanya makin kecil, jenisnya makin beraneka, jangkuaanya makin luas, dan yang justru kebalikan, harganya menurun.

Dalam jangka waktu sangat singkat penggunaan benda yang disebut gadget (Indonesianya acang) terus meluas. Orang tidak peduli benda yang ada di tangannya. Ia terus menggunakannya entah sedang ada di mana, sedang berjalan di jalan ramai, ada dalam kendaraan umum, atau bahkan menyopir. Meski sudah ada larangan, saya menjumpai tidak sedikit pengendara mobil yang menjawab setiap panggilan lewat HP-nya. Mereka tidak dapat mengekang diri, apalagi jika itu menyangkut 'bisnis'. Sebenarnya, semua itu manusiawi, apalagi anak. Orang menyukai semua yang menyenangkan.

Saya pernah dalam kendaraan umum dan sang sopir bahkan bercanda di sepanjang jalan. Betapa pada orang seperti itu rasa tanggunngjawab terhadap keselamatan penumpang yang dibawanya memang tidak ada. Pengguna alat komunikasi—seperti layaknya terdapat anak yang memperoleh mainan baru—terus saja bermain, tidak lagi tahu lagi tempat dan waktu. Itulah secercah gambaran yang sedang terjadi dengan bangsa ini.

Kebiasaan baru itu tiba begitu cepat dan merambah banyak pihak. Karena 'kunci' gadget yang ada tangan adalah ketersediaan pulsa, begitu ada isyarat pulsa habis, atau baterainya melemah, semua dapat diatasi dengan cepat. Pulsa dapat diperoleh di sepanjang jalan, dan baterai dapat di-charge di banyak tempat.

Dengan berbekal gadget, orang dapat berhubungan dengan siapa saja dan di mana saja. Terbetik berita, sejak tengahan April 2013 SBY 'membuka akun' untuk twitter, bercicit-cuit seperti yang dilakukan orang di mana-mana, di seluruh dunia. Dengan kata lain, ia dapat dihubungi oleh siapa pun secara langsung, dan siapa pun dan di mana saja dapat ikut membaca apa yang sedang terjadi. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. SBY 'menbuka akun' ini ternyata terjadi dua bulan lebih dulu, karena keluarga Kerajaan Inggris dua bulan kemudia, Juni 2013, juga berbuat serupa.

Kita telah membicarakan perkara yang bersifat manusiawi. Marilah kita sekarang berbicara yang alami, isyarat yang datang dari luar. Yang terjadi—tanpa terduga-duga—kita diingatkan, betapa rawan negeri kita ini akan bencana alam. Seperti disinggung di atas, yang menggugah kita adalah bencana alam tsunami, kata Jepang yang kini sudah jadi kosakata dunia.

Sebenarnya, tsunami sudah berulang-kali melanda negeri kita, tetapi tidak semua orang tahu. Kita tidak perlu heran, karena 'contoh soalnya' belum disodorkan di depan hidung kita.

Itulah sebabnya kita harus bersyukur karena generasi kita menyaksikan peristiwa yang disebut tsunami. Itu terjadi di hari Saptu menjelang lohor, 26 Desember 2004 yang berlangsung sangat cepat. Ukuran kedahsyatannya itu dapat kita bayangkan dari contoh berrikut. Di lepas pantai, terdapat kapal yang digunakan sebagai PLTD. pusat pembangkit listrik diesel terapung, pemasok daya untuk Banda Aceh. Tsunami menghempaskannya ke darat sejauh 2200 m dari tempat semula. Jika bertanya titik terjauh yang tercapai gelombang pasang, jawabnya 30 km dari tepi laut. Semua saja yang ada di jalannya disapu bersih.

Di tahun 2012—tanpa sadar ketika itu sudah menginjak tahun kedelapan setelah peristiwa yang mengguncang dunia—saya kebetulan berkunjung di Aceh. Saya sempat berbicara dengan warga yang mengalami sendiri petaka itu dan mendapat gambaran tentang kekuatannya. Ada orang yang pada saat gelombang berbalik arah menuju ke laut lagi, memegang isterinya erat-erat. Ternyata kekuatan ombak yang meluncur kembali jauh lebih besar, dan ia tidak kuasa menahannya.Yang lain mengaku bahwa ia tidak terseret ke laut berkat tertahan oleh tembok. Semua itu sudah kehendak Tuhan.Yang terjadi dengan Masjid Raya Banda Aceh Baitur Rakhman juga dapat keajaiban. Masjid itu selamat, dan saya sempat bersalat lohor di sana. Menurut informasi, ada masjid lain yang juga selamat, dan letaknya bahkan lebih dekat lagi dengan tepi laut.

Peristiwa dahsyat itulah yang membuat banyak orang sadar bahwa negeri kita rawan bencana. Penyebabnya karena inilah wilayah pertumbukan tiga lempeng benua—lapisan tebal kulit bumi, beberapa ribu kilometer—sebuah di utara yang dinamai Lempeng Asia, satu lagi mendesak dari arah selatan, yaitu Lempeng Australia-India, dan dari timur lempeng yang ketiga, Lempeng Pasifik. yang terus bergerak tiada hentinya. Perbenturan tiga lempeng itulah yang berakibat kemunculan yang kini dikenal dengan nama Nusantara. Kalau ada yang bertanya, apakah yang jadi penyebab terjadi pertumbukan tiga lempeng. Jawabnya, tidak ada orang yang tahu,

Hukum keberpasangan adalah hukum dasar dan bahasa Inggrisnya law of pairity. Dalam judul peralihan zaman dan sasrawarsa yang tersaji di atas, saya mengaitkannya dengan ihwal hukum ini. Dengan menggunakan cara ini saya mencoba mengajak Anda memaklumi adanya keterkaitan dua perkara yang berlawanan, tetapi pada hakikatnya berupa satu kesatuan.

Kita mulai dengan yang saya annggap sangat umum, yaitu Adam dan dinggap sebagai manusia pertama yang diciptakan Tuhan dan kemudian menyusul Hawa. Itu yang diajarkan lewat agama. Yang merupakan kenyataan lelaki tidak dapat hidup sendirian tanpa perempuan, demikian pula di alam binatang..

Marilah kita coba mencamkan yang kita alami, sejak menjelang merdeka hingga saat ini:Ada dua tokoh, Bung Karno dan Bung Hatta, Dari segi latarbelakang mereka berbeda sama sekali, tetapi dalam perjalanan sejarah mereka jadi Dwitunggal. Lewat uang kertas lembaran Rp100.000-an, semenjak beberapa waktu yang lalu kita mencoba 'melanggengkan' konsep kedwitunggalan Negara Indonesia. Konsep itu yang melandasi kebersatuan negara ini. Demikian pula halnya dengan nama Bandara Internasional Ibukota Jakarta, Sukarno-Hatta, terasa sejalan dengan dasar yang sama,

Ada hal lagi yang bagi umum masih di luar jangkauan, tetapi bagi sementara ilmuwan tidaklah demikian, karena sejak lama ada sekelompok yang mencari-cari apa yang disebut antizat.

Selama ini, alam nyata dalam cerapan kita terbangun dari 'zat', anggapan mendasar ilmu kealaman, atau Inggrisnya, matter. Sebagai pasangan adalah antizat atau Inggrisnya antimatter. Temuan antizat menunjukkan bahwa alam nyata ada santirannya, dan dua-duanya pada hakikanya adalah satu perwujudan. Ada yang bernama CERN Conseil' Europėene dė Recheche Nuclėaire, Dewan Eropa untuk Penelitian Zat Inti. Badan yang ada di Jenewa itu berdiri sesaat menjelang pergantian sasrwarsa, tetapi gagasan ke arah itu muncul tahun 1930, jadi sekitar sepertiga pertama abad 1900. CERN merupakan contoh betapa penelitian mendasar hanya mungkin terlaksana lewat kerjasama internasional, dan yang menangani para ilmuwan puncak, pemenang hadiah Nobel, penghargaan tertinggi dunia. Kita sebagai bangsa masih jauh dari penelitian itu, tetapi perintisan ke sana tentu saja perlu, dan upaya seperti yang dilakukan Profesor Johannes Surya perlu didorong.

Mungkin ada yang menganggap mengada-ada bagi kita berpikir jauh ke depan. Adalah suatu kenyataan, bahwa laboratorium CERN terdapat di bawah tanah. Itu mengisyaratkan parameter 'ruang' menjadi soalan musykil, karena instalasi canggih seperti itu selain memerlukan tempat sangat luas, juga tidak mungkin didirikan di sebarang titik. CERN ditempatkan di Swis yang bergunung. Padahal kerja yang ditangani oleh para ilmuwan peringkat dunia. Mereka harus selalu bergerak cepat, hilir-mudik, ke mana-mana, untuk berkonsultasi dengan rekan mereka, antarbangsa dan tak terlupakan lintas-generasi dengan sarana seperti seminar. Kerjasama adalah kunci, bahkan sejak di awal upaya. Itu sebabnya, Cern berdiri di Jenewa, di tengah Eropa, kota yang selama ini dijadikan pusat bagi bermacam-macam kegiatan sehingga memiliki kemudahan yang sanggup menopang upayanya, bersifat ilmiah mendasar, memerlukan anggaran besar, tetapi umum tidak mengetahuinya.

Berbicara tentang hukum keberpsangan tiada habisnya. Saya tertegun sejenak ketika mengetahui perbuatan Moamar MK. Bukunya yang berjudul Jakarta undercover, membuat saya berpikir-pikir. Jika kita perhatikan judul itu, selain Jakarta yang kita ketahui adalah Ibukota Negara Indonesia, ia berlanjut dengan dua kata dasar Inggris, under dan cover, yang bisa berdiri sendiri-sendiri, dan bisa memiliki lebih dari satu makna. Under adalah bawah dan cover tutup. Jika dua kata itu ditulis jadi satu, yang terjadi adalah perkara rahasia, dan apa yang dimaksudkan bisa macam-macam, entah itu ada hubungan dengan polisi, entah dengan hal lain. Dari judul itu kita dapat memaknai Jakarta yang memiliki tutup atau yang mengecohkan. Sebagai seorang lulusan perguruan tinggi agama, IAIN. Moamar MK mampu menulis buku yang jadi bestseller, laku keras, tidak sembarangan, mencapai ratusan ribu eksemplar setiap terbit. Ada penyebabnya, selain bahan isi yang dibahas, juga cara ia menulis, dan gayabasanya cocok dengan yang diingini pembaca. Semua itu membuat buku Moamar laris. Ditambah lagi, ia bercipta, sangat kreatif. Kemampuan itu bisa dijadikan 'modal' di mana pun.

Ternyata di 'balik' Jakarta yang 'alim' terdapat Jakarta yang lain yang dipenuhi tindak kemaksiatan. Tindak urakan yang nyeleweng itu dapat dilakukan kapan saja, tidak hanya begitu malam tiba, bisa hingga menjelang pagi, dan jika dikehendaki terus ke siang benderang. Bahkan pada tengah hari sewaktu orang kantoran istirahat, ada saja yang memanfaatkannya, dan Moamar dalam bukunya menggunakan istilah BBS, bobo-bobo-siang. Siapakah yang biasa melakukan tindak seperti itu? Siapa lagi jika bukan orang muda tetapi berduit. Istilah Inggrisnya young executives, Majalah budaya Basis pernah juga menyajikan artikel yang menyinggung-nyinggung perilaku decadent, nyeleweng itu.

Pada hakikatnya, kemunafikan terjadi di mana-mana, di Barat diakui, di kita ditutup-tutup. Di kita dikenal daerah lokalisasi, daerah lampu merah, di Jakarta dulu ada Kramattunggak dan Gang Huber dikenal umum dan menunjuk ke arah sama. Tidak hanya Jakarta, kota besar maupun kecil tidak ada bedanya, dan 'warung remang-remang' ada di pinggir jalan raya dekat Indramayu.

Di masa kerajaan Jawa dulu, kita mengenal tulisan tentang Centhini dan Gatoloco, yang sebenarnya mengacu ke segi kehidupan yang lain, bukan yang tampil sehari-hari. Kita tidak perlu menutup-nutup, hanya yang harus kita lakukan adalah menempatkan semua itu di tempat yang semestinya, jangan sampai terjebak dan akhirnya salah-wesel. Itu pun bagian dari dunia nyata.

Kita membicarakan tsunami yang menimpa Aceh, peristiwa yang timbul sekali entah dalam sekian ribu tahun, itu yang seukuran tsunami terakhir. Penyebabnya karena desakan dari arah selatan pada suatu saat melewati dayatahan masa batuan di hadapannya. Ujung lempeng Australia-India yang berada di lepas pantai barat Aceh menunjam atau boleh juga dikatakan memyuruk ke bagian bawah Sumatera, dan pada kedalaman 30 km 'patah' dan runtuh, dalam hitungan detik.

Hentakan dari runtuhnya potongan lempeng ke kedalaman tubir di barat Sumatera menimbulkan gempa besar. Ukurannya dalam besaran Richter, tercatat 9, angka tertinggi, menimbulkan ruang kosong. Ruang itu langsung terisi air samudera, dan menyeret masa air entah berapa juta meter kubik di sekitarnya. Pada saat itu orang di darat melihat laut tiba-tiba surut.sampai entah berapa kilometer. Tak terduga banyak orang bahwa surutnya air laut tak antara lama disusul oleh gerakan kembali gelombang besar. Itulah tsunami yang jadi petaka,

Di atas telah kita bicarakan Gunng Bijih, Ertsberg di Papua. Cebakan itu terdapat di sana juga sebagai akibat pergerakan lempeng. Lempeng Australia yang terus mendesak Lempeng Pasifik, akhirnya mencuat ke atas, dan dalam proses itu cairan bermineral yang berasal dari magma yang ada di kedalaman membentuk endapan emas-perak-tembaga.

Setelah cadangan Ertsberg ditambang selama 30 tahun, menjelang habis, di dekatnya ditemukan tubuh bijih yang lain, Grasberg, yang sekarang terus diusahakan. Cadangan itu baru akan habis entah berapa puluh tahun lagi. Sesuatu yang luar biasa, tetapi untuk dapat memperoleh kekayaan sebesar itu, 'akal', dst, dst. harus ada.

Kecelakaan di tambang Freeport yang terjadi Mai 2013 benar-benar melengkapi segi yang memerlukan perhatian. Freeport yang pada awalnya menambang di ruang terbuka, pada saat ini melakukannya di bawah tanah. Dalam kegelapan dalam-bumi orang bekerja mencari bahan tambang yang tinggi harganya dan 28 orang jadi korban. Itu yang terjadi, saat batuan 'atap', ada di atas ruang kerja, tiba-tiba rapun, runtuh. Itulah risiko orang menambang di kedalaman bumi.

Yang kita hadapi dengan negeri kita adalah sesuatu yang sangat khas. Di satu pihak adalah bencana seperti tsunami yang terjadi sebagai akibat gempa yang bersumber di dasar samudra. Perlu dicatat di sini, tidak semua gempa yang berasal dari laut menimbulkan tsunami. Yang harus selalu kita waspadai adalah pergerakan lempeng.

Di pihak lain adalah kenyataan di negeri kita ini ada segala macam sumber daya alam, di samping segala macam bahaya. Jadi boleh kita ibaratkan dua hal itu berkait-berkelindan, atau sepert sudahi dikatakan di atas, juga mengisyaratkan bentuk hukum keberpasangan, ada segi yang bermanfaat dan ada mudaratnya.

Dalam hubungan dengan kekayaan alam ini saya selalu teringat akan pidato Bung Karno ketika berkunjung pertama kalinya di Bonn, Ibukota Jerman Barat ketika itu. Dengan suara menggelegar berujarlah beliau: “Wir sind reich, fabelhaft reich”, Kami ini kaya, kaya bagaikan dalam dongeng. Kekayaan yang ada di suatu negara seperti yang ada di sini ini belum menjamin rakyatnya makmur. Lalu siapa yang harus diandalkan? Siapa lagi jika bukan diri sendiri? Itulah sebabnya, Bung Karno keluar dengan berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, yang asalnya dari bahasa Belanda, op eigen benen staan. Maka dari itu, ketimbang mendapat bantuan yang akhirnya menelikung diri, Bung Karno berteruiak “Go to gell with your aid!” Persetan dengan bantuanmu!

Bagaimana jika yang terjadi kebalikannya? Sebagai bangsa kita juga belum siap. Hanya beberapa jam setelah tsunami melanda daerah Aceh, regu penolong negera kecil Singapura sudah tiba di Aceh, disusul regu penolong dari seantero Dunia, termasuk Jerman dengan segala perlengkapan yang sangat dibutuhkan. Setelah sejumlah rambu canggih terpasang, justru baterainya dicuri. . . .

Ada sedikit tambahan mengenai tsunami Hari Natal kedua 2004. Gelombang raksasa itu tidak hanya menerjang pantai barat Aceh Utara, tetapi juga pantai timur Srilangka, daerah Kerala di pantai timur bagian selatan anakbenua India, dan pantai barat Thailand. Ada beberapa hal yang perlu dicatat di sini, dan kita boleh menyikapinya dengan cara apa pun.

Semua daerah yang tertimpa menghadapi masalah. Daerah Aceh dilanda soalan yang berpangkal pada GAM, Gerakan Aceh Merdeka. Saat itu perundingan Helsinki masih berlangsung. Sri Langka timur yang bersengketa menghadapi gerakan Macan Tamil yang mendirikan negara sendiri. Daerah Kerala, di pantai timur India Selatan dan penduduknya seasal, masalahnya juga agama dan kasta. Ketika terlanda bencana, ada sementara orang bersikap masa bodoh, ada yang membakar jenazah para korban dan berharap dalam hidup berikutnya naik kasta. Ada yang lebih praktis, meminta bantuan gereja Katolik, yang selalu siap menolong termasuk anggota keluarga lain.

Yang mengherankan, korban di Thailand bagian terbesar—3000-an—adalah wisatawan dari Swedia yang dikenal penganut free-sex. Yang juga dipertanyakan, di Bangla Desh yang ada di bagian dalam teluk hanya tercatat dua korban.

Kita boleh juga menghubung-hubungkan dengan kemunculan tulisan dengan huruf Arab berbunyi ALLAH, tersebab kekam (scum), entah terdiri dari apa di laut lepas, dan itu terekam citra satelit yang secara berkala seperti 'mengintai' Bumi dari ketinggian.

Pergerakan lempeng, gempa dan tsunami tidak hanya terjadi di Indonesia. Pergantian sasrawarsa juga mengwajawantahkan peristiwa serupa di Jepang, negara yang berbeda segala-galanya dengan negara kita. Petaka terjadi pada 11 Maret 2012, dan kisahnya saya petik dari majalah Der Spiegel, no. 12, tanggal 21 Maret 2011, dengan judul Fukushima, Was wirklich geschah (Fukushima, Apa yang terjadi sebenarnya).

Tidak mudah menulis apa yang terjadi di Jepang itu hanya dalam beberapa kalimat. Penyebab di sana Lempeng Pasifik yang bergerak dari timur dan menunjam di bawah Kepulauan Jepang, dan. gempa yang timbul dengan besaran 9 di Sekala Richter, dengan tsunami terpantau di semua penjuru Samudera Pasifik, termasuk Indonesia. Yang berbeda samasekali adalah kehadiran PLTN, pusat listrik tenaga nuklir, yang tak terpisahkan dengan kebutuhan daerah itu akan daya listrik, karena Fukushima wilayah industri terkemuka Jepang. Akibat petaka itu 'kiamat', dengan jumlah korban sekitar setengah jutaan, tertimbun di bawah reruntuhan puing kota. Kebakaran dan ledakan yang timbul di PLTN tidak mudah kita bayangkan, karena yang ikut menyebar adalah zat radioaktip.

Di antara kita ada kelompok yang tetap ngebet mau mendirikan PLTN. Yang dijadikan alasan tentu saja kebutuhan daya listrik yang terus meningkat. Padahal orang tahu, terutama di Indonesia ada banyak energi lain, yang baru dan terbarukan. Di dalamnya termasuk listrik dari tenaga panasbumi. Bahkan Jerman sebagai negara maju sudah berketetapan untuk menghentikan PLTN. Penganjur PLTN pada kita adalah mereka yang melihatnya dari sudut pandang projek, sikap yang segera harus disingkirkan.

Kita kembali ke petaka yang menimpa Fukushima. Jika dibandingkan dengan gempa Aceh yang menyebabkan ujung Pulau Sumatra bergeser 25-an meter, gempa Fukushima pengaruhnya lebih luas. Inilah gempa terhebat di Jepang yang dikenal sebagai wilayah bergempa, bahkan hingga mempengaruhi kedudukan sumbu bumi. Sebagai akibatnya, sejak 11 Maret 2011, perputaran bumi makin cepat dan hari jadi lebih pendek 0,8 mikrodetik. (Catat: Angka sangat kecil, masih terukur.)

Sekarang kita beralih ke peristiwa yang lain. dan juga kita perhubungkan dengan pergantian zaman dan sasrawarsa. Yang ini sifatnya keduniaan dan kemanusiaan, yaitu perkara pergantian pimpinan Gereja Katolik Roma dan mundurnya Ratu Belanda.

Selama ini Paus adalah pimpinan Gereja Katolik Roma dan bertahta di Vatikan, Roma, Italia dan diganti bilamana wafat. Tetapi Paus Benediktus XVI yang asal Jerman mundur ketika berkuasa belum genap delapan tahun. Bukan maksud saya mengupas perkara ini, karena langkah yang Paus Benedictus XVI lakukan pasti didasari pernalaran dan pertimbangan matang pribadi.Maka, ada suatu saat terdapat dua orang Paus, yang segara mundur dan kembali jadi kardinal dan yang baru diangkat. Peristiwa itu sempat diabadikan oleh media masa, yang belum pernah ada sebelumnya.

Tidak berbeda dengan perkara keduniaan yang lain, di belakang latar gereja Katolik Roma yang selama berabad-abad tertutup bagi orang luar, akhirnya terkuak adanya dunia lain. Tersingkaplah, betapa di Vatikan juga terjadi pergumulan, seperti layaknya di dunia, adu-kekuatan, pengkhianatan, vatileak, dst. Ini dapat dibaca dalam Dunkle Maechte Kekuatan Gelap (Lutterbeck & Voit. 2012).

Peristiwa satu lagi yang ingin saya tampilkan juga bersifat keduniaan, dan terjadi di Nederland, negara yang pernah menjajah kita Setelah diperintah oleh tiga ratu, dan menjangkau kurun waktu lebih dari satu abad, sejak 30 April 2013, Nederland memiliki lagi raja, Willem Alexander.

Dalam Parwa Satu dan juga di awal Parwa Dua sudah banyak yang saya tulis mengenai hubungan kita dengan mereka. Negeri Belanda yang kecil dan letaknya di ujung baratlaut daratan Eropa itu pernah menjajah kita. Kita harus mengakui bahwa hubungan Belanda dan kita tidak hanya bersifat kesejarahan, juga manusiawi, merupakan kisah yang panjang. Bagi kita, itulah kisah perubahan kelompok lebih dari 200 'sukubangsa' dan berubah jadi 'satu Indonesia' yang penuh warna dan emosi, dan kini sedang berupaya jadi satu bangsa.

Di awal telah dibicarakan tentang ethische politiek di tahun 1901 yang diberlakukan sejak Ratu Wilhelmina—lahir 31 Agustus 1880—naik tahta. Sebelum Ratu Belanda yang pertama itu, Negeri Belanda diperintah Raja Willem III, yang wafat sebelum Wilhelmina cukup usia untuk memerintah. Ibundanya, Ratu Emma, bertindak sebagai wali.

Suami Ratu Wilhelmina Pangeran Hendrik yang berasal dari Mecklenburg-Schwerin. Putri satu-satunya adalah Juliana yang menikah pada tahun 1936 dengan Pangeran Bernhard von Lippe-Bisterfeld. Saat itu, saya di Karanganyar, siswa HIS dan diikutsertakan dalam keramaian bersama para siswa kelas-kelas atas. Kami berbaris di sepanjang jalan Karanganyar yang untuk perayaan itu dihiasi dengan janur kuning dan bendera triwarna Belanda—merah, putih, biru—warna Kerajaan Belanda. Tiga warna itu melambangi, dibalik dari bawah ke atas, kesetiaan, kesalehan, keberanian. Jika kita renungi, itu modal bangsa Belanda dalam menghadapi terpaan masa depan.

Dengan membawa bendera triwarna Merah Putih Biru ukuran besar yang dipasang pada tongkat pendek—sayalah yang kebetulan membawanya, entah atas prakarsa siapa, karena sudah lupa—ditopangkan di ikat pinggang yang membelit di perut. Karena saya yang jadi pembawa bendera dan berada di depan barisan murid HIS, sekali-sekali bendera itu saya kibas-kibaskan ke kanan dan kiri. Sambil bergerak maju, anak-anak yang masing-masing juga memegang rontek (bendera kertas) merah-putih-biru di tangan, juga bergerak maju. Siswa HIS Karanganyar, sebagai sekolah yang terkemuka di kota kecil itu, yang terdepan. Sejak Kabupaten Karanganyar dihapus di tahun 1932, rumah bupati ditempati Wedana Soetigwo, Kepala Kewedanaan Karanganyar pada saat itu. Kami hanya lewat di depannya. Itulah suasana negeri kita ketika masih dijajah.

Tanggal 26 Desember 1949, hari Natal kedua, secara resmi Nederland menyerahkan kedaulatan jajahannya yang bernama Nederlands Indie kepada Republik Indonesia. Ratu Juliana—yang tak lama sebelumnya naik tahta menggantikan sang Ibu Wilhelmina—yang dalam upacara itu secara resmi bertindak menyerahkan kedaulatan. Sejak itu, hubungan antara Nederland dan kita adalah antara dua negara berdaulat. Pada kenyataannya ada peralihan satu dasawarsa karena terganjal sengketa Irian Barat yang sudah dibahas di atas. Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana yang sempat berkali-kali mengunjungi Indonesia dalam kedudukannya selaku Ketua Dana Satwa Liar Dunia, sebuah organisasi swasta. Tetapi semua itu berlangsung setelah semua sudah benar-benar jadi masa lalu.

Raja Belanda yang baru dinobatkan itu menggantikan Ibundanya, Ratu Beatrix, atau lengkapnya, Beatrix Wilhelmina Armgard. Mereka dari Wangsa Oranye. Bagi kita pada umumnya paling-paling yang tertinggal hanya gaung sayup-sayupnya. Ini berbeda dengan mereka dari generasi sebelum perang, termasuk saya.

Keluarga Kerajaan Belanda sempat terekam pada nama sejumlah sekolah. Nama sekolah di zaman penjajahan yang berhubungan dengan anggota keluarga kerajaan adalah yang berikut. Sekolah itu jadi jembatan kemajuan negeri ini. Yang mula-mula berdiri adalah Koning Willem III School, di Batavia, sekolah menengah umum yang pertama, yang dirancang untuk dijadikan jembatan sekolah dasar dengan perguruan tinggi. Sekolah sejenis yang kemudian berdiri di berapa kota besar disebut HBS. Setelah itu menyusul sekolah kejuruan, berawal dengan KWS Koningin Wilhelmina School di Batavia, lalu KES, Koningin Emma School di Surabaya, dan terakhir PJS, Prinses Juliana School di Yogyakarta, semua ada di Pulau Jawa. Kita bisa melihat sikap kehati-hatian Belanda, tersebab, seperti sudah disinggung di atas, pendidikan adalah pisau dengan dua mata.

Saya menyaksikan sendiri makna ungkapan itu, dan itu berawal dari ayah. Karena memperoleh pendidikan dasar di sekolah dasar Belanda, salah satu syarat bagi zaman itu terpenuhi, memiliki kemampuan menjembatani dunia Belanda dan kita. Demikian semua adik lelakinya: seorang di KWS, seorang di KWIII, dan yang bungsu yang tidak mengenyam kejayaan Kakek seperti yang lain, ke rechtschool, sekolah hukum. Penyebabnya, Kakek pensiun pada usia 50 dan meninggal pada usia 63 tahun. Setelah Kakek meninggal, semua beban bergeser ke Ayah, putera lelaki tertua, yang ketika itu berusia 37 tahun. Sebagian kisah yang dialami Ayah sudah diuraikan dalam Parwa Satu, dan itulah kisah orang hidup di bawah kekuasaan asing, dalam hal kita kekuasaan Belanda.

Keluarga raja Belanda asalnya Jerman, termasuk Pangeran Claus, ayah raja baru, atau lengkapnya Claus von Amsberg. Sebagaimana dalam Wilhelmus, Lagu Kebangsaan Belanda, “Wilhelmus van Nassouwe, Ben ick van Duytschsen Bloet, Wilhelmus dari Nassau, Kami berdarah Jerman. Maka dari itu, sudah sesuai dengan yang tertera dalam lagu kebangsaan.

Bagaimana sekarang dengan kemunculan ratu yang dari Argentina? Tidak perlu heran kita, jika ada suara yang menentang, usul untuk menghapuskan kerajaan dan menjadikan Nederland republik. Tetapi orang Belanda rupanya belum rela bertindak sejauh itu, dan itu pula yang membuat saya tergelitik ketika dalam majalah Jerman stern, no. 18, terbitan 25 April 2013 ada laporan perkara (ketika itu calon) Ratu Belanda yang bernama Maxima Zorreguieta. Siapakah dia sebenarnya?

Saya beri jawabnya dengan memetik informasi dari artikel dari stern itu. Ia lahir di Buenos Aires, Argentina, Amerika Selatan, anak keempat keluarga katolik Jorge Horacio Zorreguieta, mantan menteri pada waktu Argentina diperintah seorang diktator. Jadi, ratu baru Belanda itu berasal dari negara yang sama dengan Paus yang baru terpilih, Franciskus. Tidak ada yang menarik pada gadis pirang itu—lahir pada musim dingin di Argentina, bulan Mai 1972—kecuali namanya, Maxima, yang artinya 'paling ngetop'.

Setelah Maxima Zorregeita tamat sekolah, ia pergi ke New York, Amerika Serikat dan bekerja di bank. Tak berbeda dengan banyak orang muda yang lain, ia memiliki kebiasaan menyukai untuk berkumpul-kumpul, berdansa-dansi, bernyanyi, sekali-sekali menenggak minuman keras dan merokok, tak berbeda dengan teman sebayanya.

Pada salah satu kesempatan itulah ia bertemu Willem Alexander sang calon raja. Beberapa kali berjumpa, eh, Pangeran Belanda itu rupanya merasa cocok. Tentu saja banyak masalah yang sebelumnya harus diselesaikan. Semua itu harus ditangani, tentu oleh pihak yang tahu caranya. Tentu tidak hanya sebatas bahasa dan logat daerah Friesland dan Zeeland, juga tatacara yang berlaku di lingkungan ningrat. Hingga akhirnya setelah semua dilewati dengan baik, Willem Alexander dan Maxima menikah di Gereja Protestan Belanda. Kini pasangan kerajaan itu telah memiliki tiga gadis, Drie kleine kleutertjes, begitu nyanyian Belanda yang terkenal itu.

Bahwa Raja baru dan Ratunya terterima masyasarakat Belanda, hal itu tentu menggembirakan bagi mereka yang masih menyukai monarki. Dan hal itu tampak seusai upacara, ketika Ratu Beatrix tidak kuasa menahan haru dan menitikkan air mata. Setelah menerima kedudukan barunya jadi Putri, Raja baru bersama keluarga tampil di balkon Istana Op Den Dam. Riuh-rendah rakyat yang sudah menanti, menyambut kemunculan mereka. Bagi rakyat Belanda semua itu adalah lambang yang mereka junjung tinggi, ditopang sejarah empat ratus tahun. Semboyan mereka dinyatakan dalam bahasa Perancis, Je maintiendrai, yang artinya, akan kupertahankan atau bisa juga, akan tetap kujunjung tinggi.

Untuk menutup Parwa Dua, sebagai geologiwan saya ingin mengajak pembaca menangkap perkara yang dalam bidang yang saya tekuni itu, yaitu dalil yang berbunyi, 'Masa kini adalah kunci bagi masa lalu'. Itu—rekaan saya—gambaran perjalanan kita sejak zaman prasejarah daerah Selat Sunda sekarang telah berkali-kali terjadi peristiwa kemagmaan dahsyat, menyongsong terwujudnya yang kini berupa cita-cita kita bersama jadi bangsa, tanpa hirau akan asal.

Sebagaimana telah disinggung di atas, negeri sangat luas dan selain itu juga kaya sumberdaya, dan ditambah lagi berbahaya. Sejak zaman prasejarah orang dari India mengenal Jawa Dwipa, negeri kaya emas, logam yang selalu dicari orang sejak dulu hingga sekarang. Letaknya di antara Jawa-Sumatera sekarang. Boleh saja kita menduga-duga daerah itu Bengkulu, karena sejak lama orang tahu emas terdapat di sana.

Alkisah, dulu hubungan India-Cina, dua negeri yang sejak lama berperan dalam perkembangan dunia, berlangsung lewat Selat Melaka. Dengan kata lain, dua bangsa itu yang termaju. Menurut keterangan dari India, setelah tahun 800-an, tiba-tiba saja muncul jalur pelayaran lain yang lebih pendek. Jalur itulah yang sekarang kita kenal sebagai Selat Sunda. Catat juga, saat itu menjelang sasrawarsa pertama.

Orang dari India dan Cina tidak hanya berlalu-lalang. Di antara mereka juga ada yang menetap di sini. Orang dari India bahkan mendirikan negara dan menggunakan tarikh sendiri dan kita kenal sebagai tahun Çaka.Tarikh itu dianggap tidak lagi sejalan, setelah agama Islam makin merata dan Sultan Agung akhirnya jadi penguasa tunggal dan menggantinya dengan tahun Jawa. Meskipun dasar perhitungan beralih dari semula mengikuti peredaran matahari lalu ke bulan, bilangan tahun diteruskan.

Pada tahun Masehi 822, di Jawa Tengah sudah berdiri tempat pemujaan Agama Buddha, bangunan candi yang selain megah juga mengagumkan. Kita mengenalnya dengan nama Borobudur dan oleh penduduk disebut (m)Budur. Samar-samar masih dapat dikenali bunyi b dan d. Hemat saya, itu tersebab antara rakyat dan pusat pemujaan telah ada jarak.Perkara ini masih akan kita singung lagi dalam Parwa Tiga.

Ada rentang waktu yang cukup lama sejak candi Borobudur berdiri dan digunakan sebagai tempat pemujaan hingga saat 'ditemukan' oleh Raffles. Di tahun 1815, Raffles adalah penguasa tertinggi Inggris di Jawa, dan ia memerintahkan menggalinya. Di negeri asal agama Buddha—India—tidak ada candi seindah itu. Ada tiga candi berdiri berderet hampir timur-barat. Arah itu jelas ditentukan (atau karena wangsit) berdasarkan garis lintasan bulan. Tepat di malam Waisak dan bulan purnama, bulan berturut-turut melintasi Mendut yang paling timur dan tertua, dan terakhir Borobudur yang termegah. Borobudur selesai dibangun sekitar tahun Masehi 850, satu-setengah abad menjelang sasrawarsa pertama. Saya rasa, tapak tiga candi itu tidak ditetapkan asal-asalan, tetapi didasari 'arahan dari atas'. Nama Buddha di mulut rakyat berubah, dan itu perlu dipertanyakan.

Dua perkara perlu kita renungi, yang pertama mulajadi Selat Sunda, dan yang kedua, kenyataan bahwa Candi Borobudur perlu digali.

Saya mulai dengan Selat Sunda. Saya menduga kuat, selat terjadi menyusul ledakan dahsyat. Dan ledakan itu berdiri sendiri, tetapi berkali-kali, yang terakhirlah yang jadi pemutus. Saya hubungkan ini untuk keperluan mencoba mereka-reka sejarah kegunungapian di daerah itu, sebagian didasarkan pada hasil pengamatan sendiri, dan itu pun tidak dalam hubungan dengan penelitian khusus. Yang tertera di bawah lebih terarah dalam tautan dengan proses mewujudnya Bangsa Indonesia.

Kita mulai dengan tataan geologi seperti dapat disaksikan kini. Di lepas-pantai antara Lampung dan Jawa pernah berdiri gunungapi raksasa. Sampai sekarang, sisa gunung dengan ukuran sangat besar dan tinggi mungkin melebihi 4000 m itu—dengan istilah Inggris super-volcano—masih dapat kita kenali. Selain di Jawa dan di Lampung, berbagai tinggalan letusan hebat itu kita saksikan berupa pulau kecil-kecil. Jika kita melewati jalan raya yang terentang dariTelukbetung ke Tanjungkarang, di sisi kiri tanjakan tersingkap endapan ba tuan gunungapi. Lapisan miring ke darat, nengisyaratkan sumbernya di tempat yang sekarang laut. Itulah pusat gunungapi raksasa tadi, untuk sementara agar mudah saya sebut saja Gunung Luhung, pendek dan artinya di atas 'agung'.

Dari segi ilmu kebumian, Selat Sunda patut dicurigai. Tempat itu entah sejak kapan menyaksikan kegiatan magma sangat besar. Berkali-kali terjadi ledakan dahsyat yang menimbulkan berbagai akibat. Tidak hanya sekali terjadi kaldera, yang saat terbentuk pasti disertai peristiwa lain, misal, gempa besar. Gerakan ketektonikaan-kemagmaan memicu bergesernya Pulau Sumatera terhadap Pulau Jawa. Sebagai akibatnya, Pulau Sumatera beringsut sedikit demi sedikit, hingga kedudukan sekarang dan timbul tekuk. Arah membujur pulau itu berbeda dengan Jawa yang nyaris timur-barat. Sejarah Sesar Besar Sumatera juga tak terpisahkan dengan sumbernya. Yang jadi penyebab sama, gerak Lempeng Australia-India yang terus-menerus mendesak ke utara.

Ada petunjuk, pergerakan keteknonikaan-kemagmaan berlangsung dalam dua tahap. Pada tahap pertama terjadi pembentukan gunungapi raksasa G' Luhung, hingga riwayatnya berakhir. Letusan dahsyat membekas berupa kaldera, juga bahan letusan tufa asam yang terlontar ke angkasa dan ketika jatuh mencapai jarak ratusan kilometer. Peristiwa besar yang menyudahi babak pertama itu kini kita temukan baik di Jawa maupun Lampung. Di Jawa, tufa asam tersebar mulai dari daerah Serang—selebihnya tertutup bahan gunungapi lebih muda—sampai Jakarta Barat, dan di Lampung menutupi dataranTanjungkarang-Lampung Tengah, yang kini jadi persawahan.

Tidak mustahil, sebagian tufa asam Lampung berasal dari sumber lain. Munculnya lewat rekahan, sebelum kemudian juga menyebar ke arah timur. Lewat rekahan searah Sesar Besar magma asam naik, menyisakan sejumlah bukit yang berderet. Saya kira, di saat ini sebagian besar atau bahkan mungkin semua bukit liparit itu sudah lenyap, dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.

Babak kedua disebut Kurun Krakatau, dan dibedakan dalam Krakatau-dini dan Krakatau-akhir. Pra-ledakan 1883, ada ledakan hebat hingga membentuk kaldera. Dari ledakan itu kini tersisa beberapa pulau, di antaranya Pulau Rakata. Saya rasa, dari segi tatabunyi 'Krakatau' itu asing, berian orang Barat (Belanda), kita hanya ikut-ikutan. Yang benar Rakata, pulau kecil itu, nama yang kita jumpai juga dalam dongeng lama tentang ketam raksana, Dewi Rekatawati.

Letusan kedua biasa dikenal sebagai letusan G. Krakatau Agustus 1883. Seperti sudah disinggung, peristiwa itu amaran lahirnya Indonesia, setelah sebelumnya Bastian memperkenalkan pertama kali nama Indonesia, (Catat bulan Agustus, dan waktunya, 17 tahun sebelum abad baru.Itu kutak-katik.)

Demikianlah, kita melihat betapa Nusantara adalah negeri yang diwarnai peristiwa letusan besar atau bahkan sangat hebat. Kejadian itu berulang dalam hitungan zaman, dan tentu saja sasrawarsa.

Sekarang saya mau mengajak pembaca berkenalan dengan perkara baru di bidang kegunungapian. Ada dua orang, pertama Chris Newholt dari Sigi Geologi Amerika Serikat dan seorang lagi Stephan Self dari Universitas Hawaii. Dua ilmuwan itu pada tahun 1982 memperkenalkan konsep mereka tentang VEI, volcanic explosivity index, dan jika diindonesiakan jadi angka keletusan gunungapi, AKG. Jika dinyatakan dengan angka, kita memperoleh gambran bahwa keletusan memiliki delapan peringkat dari yang terkecil 0 hingga yang paling hebat 8. Bagi kita, gagasan ini sangat berguna untuk memahami betapa berbahaya negeri kita ini.

AKG tertinggi adalah 8, dan di Nusantara ditemukan pada letusan Danau Toba. Peristiwanya berlangsung pada 74.000 PTM (Pra-Tarikh Masehi), ketika bahan letusan dari Toba terlontar dan menutup Sumatra bagian utara, juga mencapai Semenanjung Melayu. Setelah sekitar 70.000 PTM, sekitar empat sasrawarsa kemudian, G. Maninjau di Sumatra Barat meletus. Bagi wilayah seluas itu peristiwa dahsyat tadi berarti kiamat.

Yang berikutnya adalah letusan Gunung Maninjau di Sumatra Barat. Bentuk kawahnya tidak lazim karena ganda—berderet—dan bahan letusan yang volumnya sangat besar terlontar sangat jauh, Menurut taksiran volumnya berjumlah beberapa ratus juta kilometer kubik, dan tinggi lontarannya entah berapa puluh ribu meter. Itu yang menyebabkan bahan letusan tidak hanya jatuh di daratan, sebagian juga di laut. Perkiraan saya, letusan itu ber-AKG 7, masih di bawah letusan Danau Toba, tetapi sudah tergolong dahsyat. Bagi daerah di Sumatera Barat yang tertutup tufa asam, peristiwa itu juga berarti kiamat karena menghapus semua budaya yang ada pada saat itu. Di Padang-Periaman saya melihat ada menhir, dan itu merujuk ke budaya purbakala.

Kegiatan kemagmaan di daerah Selat Sunda baru saja kita bahas, Selain berciri perulangan dalam kedahsyatan letusan, daerah itu boleh saja kita anggap mewakili sifat ketektonikan-kemagmaan negeri ini, Indonenia. Saya pikir, dua gunung saja yang kita taksir AKG-nya, ledakan G. Luhung 7, dan G. Krakatau 1883, 6.

Sekarang kita meneruskan kisah kegiatan kemagmaan ke Pulau Jawa, dan mulai dengan Gunung Padang di daerah Cianjur Itulah nama yang tiba-tiba mencuat, tapak tinggalan budaya megalit yang baru-baru ini ditemukan. Jelas wawasan kesejarahan kita perkara kegiatan kemagmaan Nusantara, khususnya Jawa Barat. Sebelumnya, 'Gunung Padang' tidak pernah menarik, karena yang tampak hanya tinggian. Setelah digali, muncullah bangunan prasejarah. Heboh pun terjadi karena penentuan umur—bagian dari langkah yang perlu—menghasilkan angka 12,000 PTM.Dari sanalah muncul petunjuk usia budaya itu. 12 sasrawasa. Saya kira permukiman kuno itu terkubur ketika G. Gede Purba meledak.Bahan letusan dalam jumlah besar terlontar ke tenggara, gejala serupa juga pernah terjadi di sejumlah gunungapi di Jawa.

Saya anggap petaka ini terjadi dua sasrawarsa sebelum Gunung Tangkubanparahu meledak dahsyat yang akan kita bicarakan di bawah. Letusan dahsyat G.Tangkubaparahu yang diperbincangkan oleh banyak orang bukan yang pertama kali di daerah utara Bandung. Yang pertama menghancurkan sebagian G. Burangrang di sebelah baratnya. Morfologi gunung yang terbiku dan pelapukan yang menimbulkan warna merah menunjukkan gunung itu umurnya pra-G. Tangkubanparahu. Ledakan menyisakan dataran tak berapa luas dengan Danau Cikole. Itulah akhir dari babak awal sejarah kegunungapian daerah utara Bandung. Sejak itu mulailah babak awal sejarah G.Tangkubanparahu, nama yang menunjuk ke kemiripannya akan perahu. Kemilikannya akan dua kawah yang berderat barat-timur mengisyaratakan bahwa magma mencapai permukaan bumi lewat retakan barat-timur. Letusan berpuncak pada pembentukan kaldera dan semburan tufa asam. Bahan letusan mengalir sebagian besar ke arah selatan dan membendung alur Citarum Purba di dekat Padalarang. Menurut taksiran AKG sebesar 7.

Dalam abad ke-19 saja di Nusantara terjadi dua letusan besar, Gunung Tambora, 25 April 1815, ber-AKG 7, dan Gunung Krakatau, Agustus 1883, ber-AKG 6. Dua-duanya menimbulkan tsunami dan terjadinya kaldera.

Kita masih dapat menambahkan peristiwa letusan di Jawa bagian barat yang saya curigai ber-AKG antara 6 atau 7, yaitu pada Gunung Salak. Gunung Papandayan dan Gunung Dano di Banten.

Kita tidak menemukan kaldera di Jawa Tengah. Yang ada kaldera di Jawa Timur dan Nusatenggara Barat. Kita tidak menemukan kaldera di JawaTengah, yang ada di Jawa Timur dan Nusatenggara Barat, satu di antaranya Gunung Tambora yang baru saja disebut, Di Jawa Timur ada dua kaldera, yaitu Kaldera Ijen di ujung timur Jawa dan satu lagi, Kaldera Tengger, yang di dasarnya tumbuh Gunung Bromo yang bekerja, dikelilingi oleh 'laut pasir'. Saya berpendapat bahwa waktu Kaldera Tengger terjadi, letusan disertai gas dalam jumlah sangat besar, Tetangga timurnya G. Lamongan memiliki sangat banyak maar, istilah setempat ranu. Ranu semestinya berair, karena kata ranu artinya air, tetapi ada ranu disebut ranu wurung, artinya 'yang tidak jadi'.

Yang jelas, di Bali pernah terjadi dua kali letusan besar, yang terakhir 22.000 PTM yang lalu yang sumbernya Kaldera Batur, dan yang lebih tua, Kaldera Buyan-Bratan, tetangga baratnya. Dua-duanya saya taksir ber-AKG 7. Di Pulau Lombok yang terpisahkan dari Bali oleh Selat Lombok yang sangat dalam, terdapat Kaldera Rinjani. Itu nama hingga beberapa tahun yl. Hasil penelitian Franck Lavigne dari Universtas Sorbonne dengan sejumlah rekannya, nama itu perlu diubah jadi Kaldera Samalas. Mereka menunjukkan bahwa letusan yang ber-AKG 7 itu terjadi di tahun 1257, ketika di Jawa Timur berkuasa Raja Singasari. Informasi terus bertambah.

Demikianlah kita berhadapan dengan kenyataan seperti diuraikan di atas. Masih banyak rincian yang kita perlukan. Waktu yang menentukan berapa mantap luasnya wawasan kita. Untuk Pulau Jawa, yang juga perlu dicatat, selain soalan kegunungapian, yang juga diwapadai adalah gerak ketektonikaan, dan itu setiap saat bisa terjadi di mana saja, sebelum, sesudah, atau meyertai letusan.

Termasuk di dalamnya adalah mulajadi Gunung Tidar di Magelang yang akan saya singgung secara singkat. Saya lahir di kaki baratdaya Gunung Merapi dan sejak kecil mendengar pernyataan bahwa gunung—lebih tepat 'bukit', karena tingginya hanya seratusan meter, 'pusatnya' (Jawa wudel) Pulau Jawa. Saya memerlukan pernalaran sekitar 85 tahun untuk jadi yakin bahwa G. Tidar adalah tahap terakhir kegiatan magma. Awal mulanya adalah penerobosan magma basal melewati rekahan yang berarah hampir utara-selatan. Kegiatan yang semula berupa peleleran itu berangsur-angsur bergeser ke selatan, dan berpuncak di tempat yang oleh Belanda pada waktu membangun Magelang di tahun 1822 dijadikan pusat kota. Di sanalah dibangun selain alun-alun, juga masjid dengan rumah bupati. Belanda membangun semua itu menjelang pemberontakan Pangeran Diponegoro, yang dibahas dalam Parwa Satu. Setelah peleleran lava basal lalu menyusul penyemburan bahan lepas (abu, atu istilah geologinya, tufa), dan berakhir dengan penyemburan bahan serupa dari satu titik, Gunung Tidar. Sebagai akibatnya, anak Kali Progo yang bermuara di dekat Payaman, di utara Magelang terhalang. Maka kemudian terbentuklah pola penyaliran yang sekarang ini. Perkiraan saya ini didasarkan pada sejumlah nama topografi (toponimi).

Kegiatan magma yang menurut perkiraan saya ber-AKG 2 ini berlangsung tatkala pemerintahan Sultan Agung. Toponimi yang saya singgung itu ialah Magelang yang mengarah ke bentuk lubang semboran berbentuk wudel (pusat), Kali Elo yang berasal dari rasa terperanjat 'e, lho', Mendut yang menunjuk ke aliran lumpur dari hasil penyemburan abu, Matesih di barat Kota Magelang yang bagi kita menunjukkan itulah tempat penyeberangan Kali Progo pra-letusan yang tetap masih ada. Pada peristiwa itu, selain Candi Borobudur, juga Candi Mendut terbenam bahan semburan. Nama tempat yang berawalan me- menunjuk ke zaman pra-Jawa moderen. Saya curiga kata Tidar berasal dari bahasa Arab yang maknanya lebih-kurang 'yang ditinggalkan' atau Inggrisnya deserted.

Dari segi kegunungapian Indonesia kata melaya sangat menarik. Kata pokoknya laya, mati.Kata itu lama, dan kita jumpa dari barat (Semenanjung Melaya), Jawa Barat (Tasikmalaya), dan Bali. Rupa-rupanya semua ada hubungannya dengan letusan sangat hebat. Semoga semua perkiraan itu dapat terbukti dalam waktu tak lama lagi.

Ada butir yang selalu harus kita pegang sebagai pedoman. Ini terutama berlaku bagi Pulau Jawa yang berpenduduk sangat padat dan rawan bencana. Di zaman kita dijajah Belanda, mereka sangat berhati-hati sebelum membangunan waduk besar di sini, dan mereka pegang teguh sampai kita berdaulat. Ini tidak berarti, mereka menghentikan merekam data dasar. Ini terbukti dari kenyataan bahwa data dasar yang dikumpulkan akhirnya kita yang menggunuakan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, Yang pertama dibangun—oleh konsultan asing dan dana dari luar—adalah Waduk Jatiluhur. Setelah itu menyusul waduk besar kelas dunia, di DAS yang sama, DAS Citarum dua lagi. Bukan maksud saya membahas pokok ini rinci. Kita tidak boleh lengah sesaat pun, dan terus berupaya memantau pergerakan ketektonikaan sampai yang renik-renik.