Umur Bangsa Indonesia—resmi lahir 28 Oktober 1928—belum seabad. Adalah orang muda yang pada saat itu dengan lantang mencanangkan yang kini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Yang digunakan sebagai acuan ada tiga: Satu, Indonesia, yaitu wilayah bernama Hindia Belanda; dua, bangsa Indonesia, padahal yang ada orang pribumi, dan di dalamnya terdapat banyak suku, dan 'bahasa Indonesia', yang pada kenyataannya disebut bahasa Melayu, karena nama Indonesia tidak boleh digunakan.

Andaikata saja tatanan yang ada di masyarakat mau kita sebut milik 'bangsa Indonesia', itu pun tidak benar. Banyak di antara segi tatanan kita diperoleh sebagai warisan dari perwujudan yang bernama Hindia Belanda. Pranata dan kelembagaan masyarakat semuanya bersifat kedaerahan, bahkan mungkin 'daerah berukuran kecil'. Belanda memasukkan istilah adatrecht, dan Belanda menjadikannya 'hukum adat', sedangkan adat merujuk ke daerah sangat sempit. Yang tampil membawanya hukum bagi seluruh tanah jajahan Belanda bersumber dari Perancis. Tidaklah mungkin negara di daratan Eropa itu terbawa-bawa jika tak pernah menguasai daerah luas di seantero dunia. Hukum itu diberlakukan di Perancis semenjak Napoleon di sana tampil sebagai penguasa tertinggi, padahal ia bukan orang Perancis, tetapi Pulau Sicilia dan nama aslinya dieja Napoleone.

Belanda menamakan hukum itu Strafrecht dan Burgerlijk reccht, dari aslinya Code de Penal dan Code de Civil. Kita menerimanya jadi Hukum Pidana dan Hukum Perdata, begitulah 'ketentuan peraturan' itu yang berasal dari Eropa Daratan akhirnya mencapai kita.

Napoleon memang orang hebat linuwih (memiliki kelebihan) dan mampu mengubah dunia. Dalam Parwa Satu juga disinggung berbagai peraturan tentang bobot dan ukuran, yang riaknya mencapai juga negeri ini. Napoleon memperkenalkan berbagai ketentuan yang menyangkut kependudukan, tetapi itu di Eropa. Napoleon juga dapat dipandang dari sudut lain: pelopor kediktatoran moderen. Itulah hidup yang penuh perkara berlawanan tetapi saling saling mengisi dan semua terwadahi di kerangkanya masing-masing.

Di atas beberapa kali nama Napoleon disinggung. Ia juga yang untuk pertama kalinya menetapkan bahwa orang harus memiliki nama keluarga, selain nama sendiri. Dalam agama Katolik ada yang disebut nama baptis. Maka tidak mengherankan ketika pada zaman itu penduduk Negeri Belanda diharuskan menggunakan nama keluarga. Seperti yang terjadi dalam hal apa pun, ada saja orang yang bercanda. Contohnya, nama yang diajukan adalah Poepaart (plesetan dari poeppaard, yang artinya tahi kuda.) Ada yang mengusulkan nama Sondaar, dari kata zondaar, yang artinya pedosa. Perbuatan seperti itu mengakibatkan keturunannya berpikir. Yang membiarkan, ya nama tadilah yang terus disandang. Jika tidak menyukai, langkah yang pasti perlu dilakukan adalah mengurus ganti nama di kantor pencatatan sipil.

Setiap bangsa memiliki caranya sendiri. Di Timur Tengah orang menggunakan kata bin untuk lelaki dan binti jika perempuan. Orang yang namanya tanpa bin atau binti berarti bahwa ia adalah anak gelap atau anak haram. Siapa yang mau?

Saya sudah beberapa menyinggung mengenai perkara nama, temasuk nama keluarga saya, yang kami gunakan sejak sebelum 1930; tak lain, kami mengikuti anjuran pemerintah.

Dalam penjajahan Belanda, perkara kependudukan belum jadi masalah rumit, sehingga pemerintah harus turun tangan. Tatanan keprajaan peringkat terbawah adalah desa yang dikepalai kepala desa, dan di Jawa disebut lurah. Oleh sebab itu, memindahkan penduduk besar-besaran yang ketika itu sudah dilembagakan dan disebut transmigrasi tidak menyita banyak tenaga, sehingga tidak perlu banyak keluar biaya.

Seperti disinggung dalam Parwa Dua, pemerintah pendudukan Jepamg melakukan pertama kali pencatatan penduduk lewat kelembagaan di bawah desa. Waktu itu digunakan kata kumi, yang dipimpin seorang kumicho. Sejak itu dalam bahasa Indonesia dimunculkan kata rukun tetangga, disingkat RT dan yang memimpin ketua rukun tetangga, KRT. Desa, terutama di kota besar, bisa berpenduduk banyak, maka di atas RT dibentuk rukun warga yang terdiri dari sejumlah RT. Saya tidak ingat kapan RW terbentuk, tetapi rasanya sekitar waktu yang sama.

Dari sana pemerintah mendapatkan nama penduduk. Ternyata gunanya daftar nama penduduk ada banyak, untuk keperluan orang-seorang, dan tentu saja untuk keperluan pemerintah. Bagi orang seorang, untuk memperoleh bagian barang yang dibagikan secara gratis. Sejak itu benda hasil yang dibagikan dikenal dengan nama jatah. Bentuknya mulai dari beras, minyak goreng dan minyak tanah, gula dan garam, pendeknya bahan pokok untuk hidup, semua yang di luaran tidak dapat dibeli, selain dengan susah-payah dan harga tinggi. Sebagai misal, jatah beras hanya sebanyak 100 gram sehari setiap orang dan jelas kurang bagi orang dewasa. Kekurangan kalori ditambah dengan cara makan ubi, ubi jalar atau ubi kayu, atau yang lain. Bagi pemerintah, daftar nama penduduk berguna untuk berbagai tujuan, selain pembagian bahan pokok juga untuk mengontrol, sehingga orang tidak dapat berpindah-pindah dengan bebas. Dengan itu pula orang dipaksa agar nama yang disandangnya tetap dan tidak lagi bisa diganti setiap kali.

Dewasa ini, di masyarakat mulai terasa arti nama sebagai tanda penting pengenal jatidiri, dan bagi kita, untuk menuntaskannya, perlu waktu lama. Barangkali ada baiknya saya kemukakan di sini beberapa nama yang kebetulan saya ketahui. Yang pertama nama seorang yang pada waktu ini dalam masyarakat Indonesia menonjol, tidak hanya dari sudut pandang kependidikan, juga dari sisi kedudukan. Nama itu Mahfud MD bagi kita umumnya di saat ini bukan nama yang asing.

Saya mengutip Kompas 11 Sep 2013, kolom nama dan peristiwa tentang Mahfud MD, Mohammad Mahfud dan saat ditampilkan berumur 56, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia berkisah tentang namanya yang hanya disingkat, dan mengingat kembali di waktu ia duduk di SMP. Karena di kelas ada dua siswa bernama kembar, untuk membedakan, guru menambahkan nama ayah, Mahmudin. Konon, Mahfud menganggap nama ayah kurang keren, dan meminta agar disingkat jadi MD. Perbuatan Mahfud tidak disetujui, maka nama Mahmudin tetap tertulis dengan utuh di ijazah.

Bagi saya 'polemik' itu menarik, dan saya akan mencoba merangkaikannya dengan yang lain yang saya ketahui. Ia ipar saya, Hermawan Wibisono, ahli mesin sekarang purnawirawan. Ia pun pernah pernah mengalami hal serupa. Inilah yang ia tuturkan.

Ketika di SMP, ia menemukan kenyataan ada dua lagi teman sekelas yang juga bernama Hermawan. Berbeda dengan guru Mahfud yang mengambil langkah menambahkan nama ayah, yang dilakukan guru ipar saya memberi tambahan nomor, berturut-turut satu, dua, dan tiga. Atas kemauan sendiri, ipar saya membubuhkan nama ayahnya di belakang. Maka sejak saat itu, ia resmi jadi Hermawan Wibisono.

Dua orang guru, dua cara, dua-duanya berbuat wajar dan masuk akal. Gurunya Mahfud menaruh nama ayah di belakang nama sendiri merupakan kebiasaan tidak hanya di Timur Tengah, juga di negeri Barat. Di Timur Tengah, dinyatakan tertulis dengan kata bin atau binti, jika perempuan. Sebagai akibatnya, orang tanpa bin atau binti—seperti kita—mereka anggap sebagai 'anak haram'(!). Dalam zaman penjajahan, Belanda pernah melakukan tindak yang sama terhadap orang pribumi. Di awal kita merdeka—bahkan sampai sekarang—sementara di antara kita juga berbuat serupa: Menggunakan nama ayah sebagai nama belakang.

Sekarang bukan dua orang guru, melainkan dua orang bersaudara, kakak Hermawan Wibisono yang jadi isteri saya. Sebelum menikah sampai di perguruan tinggi, ia tercatat sebagai Sasanti Warsiki Wibisono. Sebelum tamat, ia menikah dan kepadanya ditanyakan nama yang hendak dicantumkan dalam ijazahnya. Tanpa ragu-ragu ia menjawab, Sasanti Warsiki Purbo-Hadiwidjoyo. Semenjak itu, ia menulis namanya Ny. S.W. Purbo-Hadiwidjoyo. Sejak itu pula ia menulis tandatangannya S.W. Purbo, agar pendek, dan dikenal sebagai Nyonya atau Ibu Purbo, kecuali kenalan lamanya yang tetap memanggil Sasanti atau pendek Santi.

Sebenarnya, pemerintah jajahan di sini pernah mencoba juga menerapkan aturan nama belakang, dan tujuannya demi tertib administrasi. Saya juga telah menulis perkara ini di atas.

Yang berikut adalah Paul Suharto (alm.). Ia ahli geodesi penyandang gelar PhD Amerika Serikat. Pada suatu kesempatan bersalat jumah bersama—ketika itu saya baru mengenalnya, dan saya ada di sampingnya dalam satu baris—saya hanya bertanya-tanya pada diri sendiri. Karena melit, usai salat saya pun mendekatinya dan bertanya mengenai nama pertamanya, karena umum mengenal beliau sebagai Dr. Paul Suharto. Dengan ringan ia menjawab, 'Ah, itu kan ketika saya di Amerika demi kelengkapan selalu ditanya nama pertama saya'. Jawab saya, ya sekenanya, 'Paul'. Semenjak itu saya jadi Paul Suharto'.

Dalam masyarakat Jawa, dulu dikenal nama kecil dan nama tua. Nama kecil diberikan pada waktu ia masih kecil. Dalam perkembangannya, karena 'sesuatu hal', misalnya si anak sering sakit, orang tua kemudian mengganti namanya. Agar jadi sehat, maka biasanya dicari nama yang lebih cocok. Oerip yang di kemudian hari jadi jenderal TNI dan nama lengkapnya Oerip Soemohardjo semula bernama Mohammad Sidik, gara-gara jatuh dari pohon dan memerlukan perawatan khusus, lalu diganti namanya jadi Oerip.

Saya memiliki rekan dan sahabat bernama Rabiyal Sukamto. Setelah jadi sarjana dan lingkungan pergaulannya luas, nama Rabiyal rupanya dinilai lebih cocok jika disesuaikan dengan bunyi yang umum, jadi Rab Sukamto. Setelah berkeluarga mapan, ia pun merasa sebaiknya menyandang nama tua. Maka seperti banyak orang Jawa melakukan, namanya pun ia tambah dengan nama tua, gabungan nama tua ayah dan nama tua mertua, sehingga jadilah ia Rab Sukamto Kartomihardjo, gabungan dari dua nama, Kartotinojo dan Tjokromihardjo. Rupanya ada juga pihak perlu diminta pertimbangan, yakni putra-putrinya. Ternyata, mereka tidak setuju. Pada hemat saya, mereka hidup di zaman yang telah berubah, maka akhirnya nama tua itu pun setengah jadi.

Di Yogya dan Solo ada kebiasaan sejak dulu, setiap pejabat diberi nama oleh pemerintah setelah menduduki jabatan, meskipun ia seorang pendatang. Dalam tertib administrasi zaman sekarang, hal itu bisa menimbulkan kesulitan. Oleh sebab itu, kebiasaan ini hanya kita catat saja. Kebiasaan yang sudah ada sejak dulu itu tidak hanya ada pada kita, di Eropa seperti pun ada dan sudah disinggung di Parwa Satu.

Saya sudah menyinggung keluarga kami secara garis besar dan kebiasaan menulis nama sejak awal, dan apa yang terjadi dengan bergulirnya sejarah. Pertama, nama keluarga yang terlalu panjang bagi ukuran umum, apalagi kini zaman komputer, Kedua, ejaan berganti dari Belanda, di tahun1947 ke Ejaan Soewandi, dan ke EYD di tahun 1972. Sejak ada EYD, saya menulis nama saya seperti tertera di depan.

Sedikit lagi tentang dua adik saya yang dua-duanya kini telah tiada, Hasan Moehdad dan Hoesein Moehidin. Saya perhatikan, mula-mula Hasan mencoba di satu pihak hendak mentaati ketentuan, dan di pihak lain, kenyataan bahwa sikap itu dapat menimbulkan kesulitan bentuk lain, ia mulai dulu dengan menyingkat namanya.Yang pasti, tandatangannya tampak jelas H.M. Paw. Akhirnya, ia memilih yang pendek, maka jadilah ia dikenal dengan nama Hasan Poerbo. Demikian pula adik kembarnya yang meninggal jauh lebih dulu, di tahun 1964, Hoesein M. Poerbo, dan di nisannya juga tertulis itu.

Bagi kita orang Indonesia, yang disebut nama keluarga, masih jauh dari selesai, terutama mereka yang tidak biasa, atau pokok yang masih akan dibahas di bawah, tidak memiliki tradisi. Di waktu mendatang, pemerintah perlu memastikan perkara nama keluarga lewat peraturan. Adalah suatu kenyataan bahwa sebagian besar penduduk adalah mereka yang belum biasa memikirkan nama sebagai bagian dari jatidirinya. Bagaimanapun, nama berhubungan erat dengan tertib-administrasi umum.

Akhirnya cerita tentang orang yang mampu berbuat banyak bagi negerinya termasuk menentukan nama untuk disandang atau diberikan. Orang itu adalah Mustafa Kemal, Jenderal Turki yang usai Perang Dunia I dengan berbagai tindakannya telah mengubah sendi kehidupan negara Turki. Sebagai negara Islam dan sekutu Jerman yang kalah, ia menghadapi masa depan negara dengan sikap yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Langkah yang ia lakukan tidak kepalang-tanggung. Sebagai negara yang bagian terbesar rakyatnya beragama Islam, ia bertindak sangat jauh. Adat-istiadat yang turun-menurun, dengan satu gebrakan tiba-tiba berubah jadi negara lain. Yang berganti dari cara berpakaian, huruf yang digunakan hingga nama. Mustafa Kemal menambahkan di belakang namanya nama 'keluarga', dan memilih Ataturk, Bapak Orang Turki. Semenjak itu, semua orang Turki memiliki nama belakang. Kini, nyaris satu abad setelah gebrakan Mustafa Kemal Ataturk, berbagai ganjalan masih belum dapat disingkirkan. Itu saya sebut 'aturan umum' yang berlaku bagi 'apa pun', tetapi perkara nama sudah mapan, dan orang Turki sekarang memiliki nama belakang,

Dari perkara nama diri, kita sekarang beralih ke nama yang memimpin kita dalam kelompok. Kita mulai dari masa lalu. Di waktu itu, dalam keprajaan dikenal kelembagaan lurah sebagai peringkat terbawah, yang di tempat lain bernama kuwu. Ini di Jawa, dan di daerah lain untuk perkara yang sama tentu berbeda. Ini masih tertinggal dalam nama tempat seperti Lurahgung di Kuningan dan Kuwu di Purwodadi-Grobogan.

Di waktu pendudukan Jepang, semua tataistilah disesuaikan dengan aturan penguasa. Lurah kala itu disebut dengan istilah Jepang ku-cho.Yang diperkenalkan sejak zaman itu adalah kelembagaan di bawah lurah, kumi-cho, dan terus dipertahankan hingga sekarang dan jadi kepala rukun tetangga, disingkat KRT. Sejak itu orang juga harus memiliki kartu penduduk, disingkat KTP. Ketika itu, kepemilikan KTP merupakan keharusan, dan jika tidak memiliki, orang tidak akan mendapat jatah kebutuhan pokok hidup sehari-hari seperti beras dan minyak. Bagi pemerintah, KTP berguna agar diketahui jumlah jiwa, juga perubahan penduduk setiap saat atau mutasi dan mengawasi warga. Sejak itu, orang tidak mudah mengganti nama seperti sebelumnya.

Di daerah Yogyakarta ada kepangkatan yang bersifat kedaerahan, yaitu panatus dan panewu. Yang pertama berasal dari kata atus (ratus) dan yang kedua ewu (ribu). Maksudnya jelas, yang menunjuk kepada jumlah jiwa di bawahan seorang, masing-masing dan sekarang disepadankan dengan lurah dan camat.

Sejak dulu, daerah kekuasaan pembesar yang dirasakan terlalu luas selalu dibagi ke dalam daerah yang lebih kecil, bergantung pada 'keadaan'. Di bawah raja ada adipati. Adipati memerintah daerah keadipatian, kata yang demi tatabunyi kemudian jadi kadipaten. Hingga kini, Kadipaten jadi nama tempat di jalan raya Cirebon-Sumedang, tinggalan sejarah masa lalu.

Kata assistent, yang kita peroleh dari Belanda, artinya pembantu semasa Belanda, kata itu banyak digunakan dalam berbagai jenis jabatan rendah, dalam aneka bidang. Dengan lidah kita, kata itu dijadikan asisten, hilang t-nya, sesuai dengan lidah kita yang tidak mengenal ada dua huruf mati bertutut-turut. Dalan lingkungan pemerintahan dalam negeri terdapat dua jabatan dengan sebutan asisten, assistent resident (yang kita jadikan asisten residen yang diisi orang Belanda) dan assistent wedana (jadi asisten wedana), yang dijabat orang pribumi, Di Kalimantan Selatan jabatan itu jadi asisten kiai, karena wedana tidak ada di sana, yang ada istilahnya kiai. Sejak awal kita merdeka, nama asisten wedana tersingkir oleh camat yang berasal dari Jawa Barat, kata itu pendek, dua suku, sesuai dengan umumnya kata Indonesia.

Saya sendiri pernah jadi assistent geoloog, jabatan yang diciptakan dalam keadaan darurat, sebelum Jepang datang. Ketika itu perserta pribumi dua orang, Soenoe Soemosoesastro dan A.F. Lasut. Dalam keadaan kelangkaan tenaga, angkatan kedua dan terakhir setelah kita merdeka dibuka di Magelang pada bulan Nopember 1947, dan saya termasuk di dalamnya. Perkara ini bersambung di tempat lain.