Setelah Pangeran Diponegoro dapat ditangkap, maka tersingkirlah ganjalan penting pemerintahan kolonial. Ini kita mengerti, karena perang yang sudah berlangsung lima tahun telah menyedot biaya besar. Maka yang harus segera menyusul adalah pemberlakuan trantib.

Pada awal peperangan, pasukan Diponegoro masih leluasa bergerak. Itulah yang membuat Belanda menempatkan dua bupati, yaitu untuk Kabupaten Puworejo dan Kabupaten Kebumen. Batas daerah Purworejo dan Yogyakarta adalah Pegunungan Menoreh, tanpa jalan sebagai sarana perhubungan, kecuali di bagian selatan dekat laut, daerah Urutsewu, yang masih merupakan bagian dari daerah Kasultanan Yogyakarta. Kabupaten Kebumen di sisi selatan berbatasan juga dengan Urutsewu, dan barat dengan Kabupaten Roma yang masuk Kasultanan Yogyakaita. Batasnya sangat tajam karena berupa sungai, K.Lukulo. Bupati Purworejo ialah KRAA Tjokronegoro I sedang Bupati Kebumen KRAA Aroeng Binang I, dua-duanya diambil Belanda dari Surakarta.

Dari nama Purworejo kita dapat menyimpulkan bahwa kota itu baru, maknanya 'yang paling dulu makmur'. Belanda membangun kota itu pada awal mereka menata keprajaan daerah Kedu Selatan bagian timur dan Purworejo dijadikan ibukota Keresidenan Bagelen. Itulah saat Bagelan muncul sebagai nama tempat kedudukan pemerintahan.

Pada tahun 1901 Keresidenan Bagelen dihapus, dan Kabupaen Purworejo disatukan dengan daerah Kabupaten Wonosobo yang ada di utaranya. Kota Wonosobo juga dibangun Belanda di tempat yang bernama Ledok, semam lembah, karena sekitarnya tinggi. Hemat saya lingkungan yang umumnya berlereng curam itu rentan longsor dan pernah ada sepetak hutan yang bergerak. Dari sana muncul kata wana saba, hutan melanglang. Karena Belanda menempatkan di sana pejabat yang berasal yang dikuasai—boleh jadi dari Solo sama halnya dengan Purworejo—dengan sendirinya kota itu lalu disebut Wonosobo. Maka terbentuklah Keresidenen Kedu dengan ibukota Magelang.

Bentuk Keresidenan Kedu tampak aneh dan tidak ada jalan penghubung Purworejo dengan Ibukota Magelang. Bentuk itu tak lain adalah hasil 'bagi-bagi daerah' dengan pihak yang ketika itu masih perlu diperhitungkan, Sultan Yogyakarta. Baru sekitar tahun 1920-an, jalan penghubung Purworejo-Magelang terwujud, setelah bagian tanjakan yang sangat tajam dapat diatasi dan sekarang dikenal dengan nama Margoyoso. Jalan besar lintas selatan menuju Yogyakarta lewat Wates rampung setelah jembatan baru melintasi Kali Bogowonto di dekat Cangkrep dibangun. Itu terjadi setelah 1930, hemat saya karya insinyur Roosseno Soerjohadikoesoemo, salah seorang insinyur sipil Indonesia lulusan awal TH Bandung, Ia juga yang merencanakan jembatan Kali Serayu yang jauh lebih panjang. Sebelum jembatan Cangkrep ada, untuk menuju ke Yogyakarta dari Kedu Selatan, orang harus menyeberangi Kali Bogowonto dengan rakit di dekat Purwodadi.

Pada zaman Perang Diponegoro, di barat Kebumen terdapat Kabupaten Roma dengan pusatnya di Jatinegara yang letaknya seperti telah disinggung di atas, di tempat pasar Gombong. Kata 'roma' berasal dari bahasa Sunda reuma, yang artinya ladang setelah hutan asli ditebang. Tak perlu heran kita, dari segi sejarah, daerah Roma yang semula Reuma masuk ke 'barat'. Karena yang berkuasa dari 'timur', Mataram, maka nama Roma diucapkan 'Romo'. Kabupaten (semula Kadipaten) Roma dibentuk pada tahun 1553 sebagai hasil penggabungan dua kadipaten, Kadipaten Pucang dengan pusatnya di timur Gombong dan Kadipaten Kaleng yang daerahnya di tepi pantai selatan. Nama Pucang kini hanya dikenal penduduk setempat; dan yang ada sekarang Desa Kedungpuji.

Pada saat perang meletus, Bupati Roma dijabat K.R.T. Kertanegara IV (atau Kertonegoro jika kita menggunakan logat Timur). Bupati dengan rakyatnya berpihak pada Pangeran dan oleh Pangeran diangkat jadi senopati (panglima) dengan nama Banyak Widé. Dalam perkembangan selanjutnya, Bupati Banyak Wide disertai isteri bergerilya dengan berkuda di daerah Banyumas. Akhirnya mereka tertangkap Belanda dan diasingkan ke Ternate. Karena usia bertambah dan makin rentan, keluarga Banyak Wide mengajukan permohonan agar yang bersangkutan dapat kembali ke Jawa, dan diizinkan untuk bertempat tinggal di Pejagoan di barat Kebumen, di seberang Kali Lukulo. Ketika meninggal, jenazah dimakamkan di Pekuncen di utara Gombong.

Setelah Bupati Banyak Wide tersingkir, Belanda mengangkat R.T. Sindoenegoro, bupati nayaka dari Yogyakarta untuk mengurus pemerintahan daerah Roma. Agar kewenanganya lebih luas, bupati diberi pangkat militer mayor. Pergolakan yang terus terjadi membuat Bupati R.T. Sindoenegoro keplayu (kabur atau 'hengkang', istilah Jepang dari zaman pendudukan) dan kembali ke Yogya. .

Belanda memang tidak berdiam diri, tetapi terus melangkah. Selain Kabupaten Roma, atas dasar pertimbangan luas daerah Kedu Selatan di luar Purworejo dan Kebumen—yang dinilai sudah bisa dikelola—kemudian dibentuk Kabupaten Ambal yang mencakup daerah Urutsewu. Bentuk daerah kabupaten ini memang aneh, memanjang lebih dari 60 kilometer dengan lebar tak seberapa. Aneh bentuk tidak berarti justru baik dipandang dari segi lain, yaitu kepemerintahan. Oleh sebab itu, pusatnya, ibukota, ditempat di tengah, bagian yang agak lebar, berseberangan dengan Petanahan yang telah disinggung di atas.

Selain masalah tenaga dan asal calon pejabat, ada gunanya kita mengetahui sejarah daerah yang bersangkutan.

Sri Sultan berpendapat bahwa orang yang akan ditempatkan sebagai pimpinan kedua daerah itu sebaiknya R.M. Abdoeldjalil alias R.M. Djojoprono dan R.M. Semedi alias R.M. Mangoenprawiro. Kedua-duanya masih dalam tahanan. Belanda dapat menyetujuinya, tetapi sebelumnya mereka harus dijinakkan dan dipersiapkan untuk tugas mereka. Dengan istilah Inggris sekarang, debriefed dan conditioned. Mereka kemudian di'titipkan' pada bupati yang bertugas dalam kepemerintahan kolonial: R.M Mangoenprawiro diserahkan kepada Bupati Magelang, R. Adipati Danoeningrat, dan R.M. Djojoprono diserahkan kapada Bupati Purworejo, R. Adipati Tjokronegoro I. Yang penting, mereka jangan sampai menjalin hubungan dengan orang banyak. Setelah kelihatan dapat memenuhi apa yang diharapkan, R.M. Mangoenprawiro jadi pembantu kolektur (hulpcollecteur, pengumpul pajak) di Muntilan, dan R.M. Djojoprono jadi anggota Landraad (Pengadilan Negeri) Purworejo. Setelah dinilai ada kemajuan, jabatannya naik. R.M. Mangoenprawiro jadi collecteur di Kebumen, di bawah pengawasn Bupati Kebumen, R. Adipati Aroeng Binang I, sedang R.M.Djojoprono ketika jabatan beskal (fiscaal, sekarang jaksa) lowong, diangkat untuk menduduki tempat itu..

Pascaperang, Kabupaten Roma masih tetap masuk wilayah Kasultanan Yogya, dengan pengawasan Belanda. Pimpinan pemerintahan umum adalah R.T.Sindoenegoro dibantu oleh Bupati Anom R.T. Koesoemoredjo yang mengurus pembangunan kembali desa yang rusak sebagai akibat perang dan perpajakan. Sekitar tahun 1839, di daerah Roma dan Ambal timbul huru-hara. Siapakah yang ada di belakangya? Tentu saja para mantan pengikut Pangeran Diponegoro. Sampai-sampai para bupati hengkang lagi. Agar trantib terjamin, Sri Sultan mengusulkan, bupati dua daerah itu dijabat oleh mantan pengikut Pangeran. Setelah para pemimpin gerakan tertangkap, R.M. Mangoenprawiro dijadikan wakil bupati di Ambal dan R.M. Djojoprono jadi wakil bupati di Roma. Karena dua daerah itu jadi aman, kedua orang itu selanjutnya ditetapkan jadi Bupati, R.M. Djojoprono untuk Kabupaten Roma dengan nama KRMAA Djojodiningrat dan R.M. Magoenprawiro dengan namaa KRMAA Poerbonegoro untuk Kabupaten Ambal. Kedekatan dua mantan ajudan Pangeran itu ternyata terus berlangsung. Dalam perkembangan sejarah, kawin-mawin terjadi di antara keturunan kedua-duanya sejak peringkat cucu.

Mereka memerintah hingga saat mereka mundur, setelah melewati masa penuh gejolak. Bupati Karanganyar Djojodiningrat mengundurkan diri pada tahun 1868, karena hubungannya dengan asisten residen tidak lagi seperti semestinya, dan Bupati Ambal Poerbomegoro bertugas hingga wafat pada 7 Maret 1871. Maret tahun 1872, Kabupaten Ambal dihapus, disowak, afgeschaft, Pendopo dengan empat 'soko guru', tiang utamanya yang terbuat dari kayu jati mitu-tinggi yang sangat langka dipindah ke rumah kediaman Bupati Karanganyar. Bupati Poerbonegoro sempat memperoleh penghargaan bintang emas, dan barangnya kini disimpan oleh keturunannya.

Sejarah Kedu Selatan mengenal dua tokoh itu sebagai tonggak awal 'aturan main baru'. Merekalah yang jadi jembatani masa peralihan, dari yang semula daerah kasultanan kemudian berubah jadi daerah 'gubermen' seperti daerah yang lain.

Upaya pemerintahan Hindia Belanda dalam memutus ikatan antara pimpinan dan rakyat di dua daerah kabupaten baru itu tidak setengah-setengah Bagi keturunan dua bupati itu tidak lagi ada kesempatan untuk berkiprah di Karanganyar dan Ambal, apalagi mereka yang dianggap Belanda diehards, yaitu mereka yang tidak dapat diajak bekerja sama. Itu sebabnya, daripada mendapat kesulitan, para keturunan itu memilih menyingkir ke daerah lain, dan kalau perlu 'menutup buku' sejarahnya. Jika nama juga disoal, yaah, apa boleh buat, menggunakan nama lain. Belanda juga tahu, justru si kepala batu itu yang dapat meimmpin karena merasa memiliki dignity, martabat.

Nama RMAA Djojodiningrat dan RMAA Poerbonegoro tidak dapat dipisahkan dari pacificatie daerah yang pada saat ini merupakan bagian barat Kedu Selatan. Pacificatie adalah kata Belanda yang menunjuk kepada upaya mereka memberlakukan trantib (ketenteraman dan ketertiban) seusai Perang Diponegoro.

Perang yang berlangsung antara tahun 1825—30 itu oleh Belanda disebut Java-oorlog (Perang Jawa), karena dianggap sebagai perlawanan terakhir oramg Jawa terhadap upaya Belanda dalam memberlakukan kekuasaan mereka di negeri ini. Perang itu benar-benar telah menguras tenaga dan keuangan pemerintah Belanda, sehingga mereka terpaksa 'menjual' yang kemudian dikenal sebagai Pamanoekan-Tjiasem Landen, tanah partikelir Pamanoekan-Tjiasem yang sekarang jadi bagian dari daerah Kabupaten Subang di Jawa Barat. Di daerah Jawa Timur ada juga tanah yang 'dijual' (digadaikan) seperti itu untuk menutup kekurangan anggaran negara.

Pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan yang disebut Cultuurstelsel, undang-undang wajib tanam. Pokok-pangkalnya karena pemerintah sudah kepayahan menghadapi anggaran yang terus tekor. Menurut teori, jangan sampai tindakan itu membebani rakyat, karena hanya sepertiga lahan milik rakyat yang digunakan untuk keperluan tanam-paksa, dan itu dibebaskan dari pajak. Hasilnya dijual di pasar dunia. Pelaksanaannya diserahkan kepada para kepala yang pribumi. Kenyataannya, rakyat dipaksa membudidayakan tanaman yang hasilnya laku di pasar dunia. Sebagai akibatnya, penderitaan rakyat makin menjadi-jadi, tentu saja di mana-mana terjadi penyimpangan.

Sejak tahun 1841, Kabupaten Roma berubah jadi Kabupaten Karanganjar, dan ibukotanya pindah dari Jatinegara ke Karanganyar yang baru dibangun. Ini berbeda dengan Kabupaten Ambal yang dibiarkan ada di daerah Urutsewu. Pertimbangan pemerintah jajahan sudah jelas karena melihat ke masa depan. Tidak jauh di barat Purworejo dibangun Ibukota Kabupaten Kutoarjo, disisipkan di antara Kebumen dan Purworejo, dengan daerahnya membujur utara-selatan, dan bagian selatannya mencakup Urutsewu, dan ibukotanya terletak tidak menyimpang dari jalur jalan raya penghubung antaribukota Kedu Selatan. R.M. Sarwits Poerboatmodjo, buyut Poerbonegoro masih sempat jadi Bupati Kutoardjo. Sama dengan Kabupaten Karaganjar, Kabupaten Kutoarjo dihapus ketika terjadi malaise. Kota Kutoarjo beruntung karena jadi persimpangan jalur rel keretapi lintas selatan Jawa, alih-alih Purworejo yang terletak menyimpang. Sewaktu pendudukan Jepang, jalur rel Kutoarjo-Purworejo dibongkar, tetapi dalam Pelita atas perintah Menteri Harjono Danutirto dipulihkan dengan alasan agar selain beban jalan raya berkurang—terutama waktu Lebaran—juga karena membludaknya pemudik dari arah barat.