Dalam keadaan serba galau, serba kacau tiada pegangan bagi banyak orang yang ingin cepat-cepat memiliki pegangan, terbetik berita ada menteri yang baru menduduki jabatan kurang dari tiga tahun, tiba-tiba diberitakan meninggal. Tanpilannya di cakrawala politik Indonesia ibaratnya bintang yang jatuh di langit malam hari, Bagi banyak orang, itu bagaikan suatu peristiwa yang mungkin saja akan segera masuk vergeetboek, begitu ungkapan Belanda, yang artinya terlupakan ditelan masa. Dilihat namanya, orang langsung mengetahui, Ibu menteri itu Jawa. Pada upacara menjelang pelepasan dari Kementerian Kesehatan, tayangan di layar TV salah satu stasion terdengar lagu gerejani, mungkin karena suaminya berasal dari Minahasa dan bernama Mamahit.

Ternyata dalam waktu kurang dari empat minggu, gambaran saya tentang beliau berubah sama sekali. Dan saya dapat menempatkan almarhumah Menteri Kesehatan sebagai seorang yang bisa mewakili generasi masa sekarang. Yang jadi penyebab, karena mendapat buku berjudul “Untaian garnet dalam hidupku” dan nama penulisnya tertera Endang Rahayu Sedyaningsih Mamahit. Itu berbeda, karena sekarang nama belakang suaminya. Yang tertera adalah garnet, kata Inggris bagi sejenis batu permata, yaitu yakut. Bukan usia yang pendek yang ia keluhkan, yang terpancar itu justru rasa bersyukur. Ternyata, kita sumber segala-gelanya, termasuk sumber petaka, termasuk pengalaman terakhir kita sebagai Bangsa di awal Juli 2014, tepat di peralihan sasrawarsa baru?

Dalam waktu dua jam saya telah tamat membaca buku kecil itu, dan sejumlah pertanyaan terjawab sudah. Ternyata Ibu Enny—begitu nama panggilannya—adalah seorang with character, seorang Indonesia yang lahir pasca-proklamasi dari keluarga with principles, tetapi jelas nasionalis. Pada hemat saya, ia juga seorang yang dapat mewakili tipe orang yang ingin saya jadikan contoh.

Kita selalu lantang dengan semboyan sebagai nasionalis. Nasionalis di zaman Bung Karno muda, jelas tidak sama dengan di masa sekarang. Saya kira, kini yang dapat digunakan adalah ungkapan Jawa melu handarbeni. Yang dimaksudkan tak lain, 'ikut memiliki'. Anehnya, jika kita langsung menyatakannya dalam bahasa Indonesia, mengapa jadi terasa hambar!? Itulah bahasa, ternyata ada yang berbeda antara yang diucapkan dan yang hanya tetap dalam batin.