Di akhir Parwa Tiga ini ada gunanya mempertanyakan mengapa kita sebagai masyarakat yang jika boleh diwakili para pembaca tulisan ini diberi rangkuman keberadaan kendala yang kita hadapi sebagai bangsa. Penghalang yang merepotkan kita itu berkisar seputar tradisi dan kunci yang kita pegang untuk mengatasi adalah kesatuan dan persatuan.

Yang namanya kesatuan berhubungan dengan sifat, sedangkan yang kedua persatuan adalah sistem. Yang melatarbelakangi semua itu adalah kepahaman atau bahkan lebih baik, penghayatan yang dijadikan permasalahan.

Dengan sendirinya, dalam hal ini pun kita mulai dengan tokoh Bung Karno. Bung Karno diakui bahwa ia adalah arsitek bangsanya. Tidak hanya kita yang beranggapan begitu, bangsa lain pun demikian. Dalam tindak-tanduk ia tidak terlepas dari asas kesatuan-persatuan. Ini kita saksikan dalam setiap tindakan yang dilakukan di awal kita merdeka. Kita tidak boleh mengingkari yang namanya sejarah Kota Jakarta yang berawal dari sejarah Batavia Centrum, pusat ibukota negeri yang bernama Hindia Belanda.

Dengan beralihnya kedaulatan ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, khusus Jakarta Pusat perlu ditata kembali. Di sana Bung Karno berhadapan dengan tempat dan penempatan rumah ibadat. Hal ini saya perhatikan setelah saya melihat di seputar Masjid Istiqlal di Jakarta.

Pendapat ini tidak didasarkan pada penelitian arsip. Melainkan hasil pengamatan saya sejak dari Masjid Istiqlal mulai dibangun di awal tahun 1950-an. Ada pertanyaan yang selalu mengganggu: Mengapa masjid itu dibangun di tempat yang sekarang ini? Masjid selain berukuran besar, juga tempatnya di lingkungan yang sudah terbangun. Sebagai seorang bukan-arsitek, akhirnya saya menemukan jawab sendiri: Kuncinya, kesatuan dan persatuan.

Intinya, Masjid Istiqlal harus merupakan kebanggaan bagi Bangsa Indonesia. Sebagai akibat masa penjajahan menimbulkan tatakota penuh ketimpangan. Maka dari itu, apa yang tidak di tempatnya harus diganti agar sesuai dengan persyaratan untuk tengah ibukota Negara Indonesia. Kebetulan di dekat situ sudah berdiri katedral, gereja besar umat Katolik. Soal sejumlah bangunan yang perlu terpaksa diruntuhkan, itu perkara lain. Saya simpulkan, karena terletak di pusat kota, tak jauh dari Hotel Borobudur yang di waktu itu juga dalam tahap pembangunan. Saya kira nama Borobudur dipilih oleh Bung Karno setelah di Jakarta berdiri Hotel Indonesia yang sekelas, sebagai bagian dari pampasan perang.

Di tengah kota terdapat dua lapangan, Koningsplein dan Waterlooplein, yang dua-duanya tentu ada hubungan dengan sejarah Belanda. Disebut Koningsplain, Lapangan Raja, nama yang tak terpisah dengan kenyataan bahwa sejak pemerintahan Hindia Belanda mapan, yang memerintah Nederland adalah Raja Willem I, dan Waterlooplein, Lapangan Waterloo, untuk mengingat perang di Eropa berakhir setelah pertempuran besar di Waterloo, Belgia dan Napoleon ditundukkan. Begitu kita merdeka, yang pertama dijadikan Lapangan Merdeka dan satu lagi Lapangan Banteng. Seperti dibahas di Parwa Satu, Bung Karno terilhami mengangkat kata banteng oleh syair dalam buku karangan Multatuli.

Ringkasnya, Bung Karno telah menata kembali Jakarta Pusat yang dulu disebut Batavia Cenrum, kini Pusat Ibukota Republik Indonesia. Sekali lagi, di sinilah letak kehebatan dan hemat saya juga kewaskitaan Bung Karno.

Sejak Hotel Borobudur berdiri, baru di tahun 2012 saya berkesempatan menginap di sana karena berapat di sana, tidak hanya sekali, sampai beberapa kali. Kesempatan itu memberi saya peluang menangkap suasana yang meliputinya baik di dalam maupun di luar bangunan. Saya merasa semua tertata, sesuai dengan persyaratan tinggi.

Bung Karno sadar memiliki citarasa seni tinggi, tetapi ia pun Presiden Republik Indonesia. Bukan karena ia tidak memiliki citarasa membangun masjid, dan itu ia buktikan dengan cara membangun masjid ketika ia dibuang di Bengkulu. Kepergian ke sana itulah yang memberi saya peluang.

Di Jalan Cipaganti, Bandung yang ada masjid yang berasal dari sebelum PD II dan dirancang oleh Prof. Kemal Wolff-Schoemaker, gurubesar di TH Bandoeng. Dulu bangunan masjid itu belum jadi yang sebesar sekarang, Di awal tahun 1950-an, ketika saya bertempat tinggal di Jl. Cipaganti no. 1, saya sering bersalat Jumat di sana, ketika masjid belum sebesar sekarang. Sebenarnya, menarik jika jika mengetahui hubungan antara mahasiswa Soekarno dan mualaf Wolff-Schoemaker yang setelah Perang Dunia II konon bertempat tinggal di Amerika Serikat.

Kita kembali ke perkara membangun masjid yang akan dijadikan kebanggaan bangsa. Saya pikir, Bung Karno merasa akan lebih baik jika ia menyerahkan proses perancangan kepada arsitek yang berkeahlian dan teruji. Lewat sayembara yang salah seorang anggota jurinya Bung Karno, yang terpilih adalah Frederik Silaban.

Ketika terpilih, Frederik Silaban langsung menghubungi pihak yang dinilai dapat memberinya masukan yang dapat meningkatkan safaat Masjid Istiqlal sebagai kemudahan umum. Intinya tertuang di keharusan akan adanya dua sistem, masjid dan yang menunjangnya, masing-masing bendiri sendiri-sendiri. Persediaan air dan tenaga listrik berdiri sendiri berupa sumur bor-dalam beserta pembangkit tenaga listrik tersendiri.

Kecermatan di tahap pelaksanaan kerja juga harus dijaga. Maka, yang ditunjuk sebagai Kepala Projek adalah Kol Zeni ir. Amandus Sudarto dari Yogya. Kebetulan saya tahu siapa Pak Darto, karena di zaman pendudukan Jepang beliau masih mahasiswa TH Bandung, dan mengajar mekanika di SMA Kotabaru, Yogya dan saya seorang muridnya,

Siapa orangnya yang tidak terkesan bilamana berkesempatan bersalat di Masjid Istiqlal yang benar-benar besar dan megah itu. Bung Karno sendiri hanya menggagas pembangunan masjid besar dan memastikan tapak serta tataan lingkungannaya. Ia keburu tersingkir oleh penggantinya, Soeharto, yang juga meresmikannya.

Sebagai orang Bandung saya sangat sulit mencari kesempatan bersalat Jumat di masjid terbesar di Asia Tenggara ini, karena perlu upaya khusus. Kebetulan tahun 1970-an saya anggota Perutusan Indonesia, Majelis Bahasa Indonesia Malaysia. Saya menemukan kesempatan baik untuk bersalat di sana. Ketika itu akhir 1970-an dan MBIM, Majelis Bahasa Indonesia Malaysia bersidang di Jakarta, dan saya mengajak Perutusan Malaysia bersalat Jumat di Masjid Istqlal. Tatkala mereka sudah ada di dalam masjid, mereka benar-benar kagum. Tak terbayang, masjid besar itu ternyata ber-AC alam, dengan kata lain, mengandalkan peredaran udara alam, karena itu terencana. Rasa heran mereka makin bertambah setelah saya katakan bahwa perancangnya beragama Kristen. Itulah Pancasila yang dicetuskan Bung Karno sebagai landasan negara dan di sini dapat dilihat hasil penerapannya. Saya kira tidak semua menangkap hal seperti itu.

Tentang Bung Karmo dan masjid sudah saya singgung di atas. Saya tambahkan di sini masjid di Hotel Bali Beach yang dibangun Bung Karno di sana juga sebagai pampasan perang Jepang. Baik sebagai arsitek, orang setengah-Bali maupun penghayat Pancasila, Bung Karno dalam hotel besar internasional yang pertama di sana itu asas kesatuan dan persatuan dapat segera dihirup. Jadi, kita dapat memastikan bahwa sebelum hotel dibangun, lingkungan sudah penuh rumah penduduk dan puranya. Hunian penduduk yang disingkirkan adalah permukiman, tetapi pura tidak digusur.

Dengan perkembangan waktu kehadiran masjid di Sanur dirasa mendesak, terutama untuk salat Jumat. Jelas, di sini Bung Karno turun tangan. Hasilnya dapat dilihat dari letak masjid, tepat di perbatasan antara daerah hotel dan umum. Selain cukup dekat dengan hotel sehingga mudah dijangkau oleh para tamu untuk berjumat, orang luar pun dapat juga menggunakan, Itulah asas masjid, bagi umum. Dari segi ukuran, masjid yang cukup besar itu, juga tidak ber-AC.

Pengaruh Bung Kano dalam pembangunan masjid menjangkau juga saat di kampus alma maternya akan dibangun masjid. Perencananya Ahmad Nukman, alumnus angkatan pertama jurusan arsitektur ITB. Mula-mula, rencana menghadapi tentangan. Justru karena tokoh Bung Karno akhirnya dapat dilibatkan dalam pertimbangan, meskipun warga perguruan tinggi ITB tidak hanya beragama Islam. Dalam perkembangan sejarah, arsitek Ahmad Nukman tidak hanya jadi spesialis masjid, ia pun jadi kondang sebagai perencana seribu masjid.