Sejak kedatangan di negeri ini, orang Barat—tidak terkecuali orang Belanda—bersikap berbeda-beda terhadap kita daripada antarsesama mereka. Apalagi pada zaman itu masih ada yang disebut budak, entah dengan cara apa orang akhirnya dijadikan budak. Salah satu jalan untuk mendapatkan mereka ialah berburu, tak ubahnya dengan berburu binatang. Asal kita ketahui, di negeri mereka sendiri yang disebut perbudakan juga ada.

Dengan bergulirnya waktu semua berubah. Orang Belanda mulai menyadari, pada hakikatnya orang pribumi tak ubahnya dengan mereka; juga manusia. Rasa tak hendak membeda-bedakan tentu saja tidak serta-merta muncul. Atau dengan istilah yang digunakan, yang mendapat pencerahan. Seperti dapat kita lihat, di negeri Belanda kemunculan kesadaran itu bermula pada orang-seorang, di antara yang tercerahkan itu adalah suami-isteri Abendanon. Mereka tersentuh oleh 'curhat' Kartini, dan hal ini akan diuraikan di bawah.

Ethische politiek –yang sudah disinggung di atas—tidak akan muncul jika di antara orang Belanda sendiri tidak terdapat mereka yang berpikiran 'lain', atau dengan kata lain, maju. Sebab, pada kurun waktu sebelumnya mereka yang datang di negeri ini pada umumnya berniat untuk berdagang atau mencari fortuin, istilah untuk kekayaan. Ini tidak berarti, di antara mereka tidak ada yang berpikiran lain, seperti yang baru disebut.

Kemajuan ternyata memang hanya dapat dicapai lewat pendidikan. Kebijakan etische politiek di Hindia Belanda memunculkan sekolah. Satu demi satu berdiri sekolah, bermula dari sekolah desa tingkat terbawah. Pemerintah juga mulai dengan pendidikan yang dimaksudkan untuk mengisi tenaga, setelah ada sekolah dasar, mendidik tenaga bidang kesehatan peringkay bawah. Entah di bidang apa, jabatan terendah itu oleh Belanda disebut mantri, jadi di bidang kesehatan muncul mantri kesehatan. Perhatikan, mereka adalah lulusan sekolah desa, Tweede Inlandsche School, dan ditambah kursus singkat. Jabatan mantri yang pada awalnya digunakan di bidang kesehatan dan mungkin juga keamanan—mantri polisi—lalu menyebar ke semua bidang. Dalam pendidikan ada kedudukan mantri guru, yang jelas lebih tinggi daripada guru biasa. Ada lagi mantri opziener, yang pasti juga berbeda dengan mantri biasa termasuk gajinya, dan orang mengucapkan siner, dan di masyarakat mendapatkan kehormatan yang lebih tinggi. Yang jelas, orang Belanda sangat pandai menciptakan semua istilah itu karena mereka berhadapan dengan masyarakat bertatanan feodal dengan tatanilai yang berbeda samasekali. Belanda mengambil banyak kata dari Sansekerta, termasuk 'mantri', yang di kemudian hari—setelah kita merdeka—masuk sekali lagi ke dalam kosakata kita dengan ucapan sedikit lain, 'menteri'.

Di bidang Pertambangan-Geologi tempat saya berkiprah, hingga menjelang pecah PD II dalam masih terdapat mantri opnemer. Karena saya masuk bidang itu pada tahun 1946, saya masih dapat menyaksikan sendiri dalam ketiadaan tenaga terdidik, tidak sedikit mantri opnemer yang terpaksa melakukan tugas yang sebenarnya diperuntukkan bagi mereka dengan pendidikan lebih tinggi, dan baru baru dihapus setelah tatanan baru tiba.

Ada seorang di antaraya, Andoyo—ejaan dulu Andojo—atau seperti kebiasaan orang Jawa setelah berumah tangga menggunakan 'nama tuanya' Tjokroandojo. Ia membuat Dr Frank Huffman, peneliti dari Universitas Texas, Austin, Amerika Serikat terkagum-kagum karena kecerdasannya telah dapat menemukan tapak Homo modjokertensis di Perning. Andoyo berasal dari daerah Purworejo bagian selatan, Mantri yang cerdas banyak. Yang dapat mengangkat derajat mereka tidak ada lain kecuali pendidikan. Satu lagi contoh mantri yang juga cerdas dan menjelang PD II sudah jadi hoofdmantri, mantri kepala adalah Martodihardjo. Ia satu-satunya mantri yang mampu menyusun buku panduan ukur-tanah (sekarang ukur-lahan). Buku itu diterbitkan oleh Dienst van den Mijnbouw, Jawatan Pertambangan Hindia Belanda. Trisulo Djokopurnomo, menantu lelakinya adalah insinyur tambang pertama lulusan Universitas Indonesia Cabang Bandung, sekarang ITB. Ia pernah jadi orang kedua di Pertamina. Di kemudian hari ia jadi mertua, Ann Dunham Sutoro, ibu Barack Obama, Presiden Amerika Serikat, yang dua kali terpilih.

Dr, I.M. Van der Vlerk, paleontologiwan pada tahun 1930-an adalah ahli yang banyak meneliti fosil foraminifera kecil. Dalam tugasnya ia berkecimpung dengan cangkang binatang kecil yang jumlah dan jenisnya sangat beraneka. Untuk memilah, memilih, dan akhirnya dapat memberi nama kepada jenis fosil kecil-kecil itu diperlukan kerja persiapan. Untuk keperluan itu ia membutuhkan bantuan orang lain, tidak perlu bergelar doktor. Ia menemukan seorang pembantu, pegawai rendah bernama R.M. Soebandhi. Berkat ketekunan pembantunya itu, Dr I.M. van der Vlerk kemudian memberi nama salah satu jenis foraminifera berumur Tersier Lepidocyclina soebandhii. Itulah cara seorang ahli menghargai pembantunya yang sangat tekun. Penghargaan semacam itu saja terjadi di berbagai bidang lajn. Saya hanya menyebut contoh ini, karena kebetulan saya seorang geologiwan.

Sekolah dasar yang berpengantar bahasa Belanda baru menyusul kemudian, dan setelah itu sekolah menengah gaya-Eropa dan Belanda, Lyceum dan Hoogere Burgerschool, HBS. Berikutnya secara berangsur-angsur baru berdiri berbagai macam sekolah yang memang diperlukan bagi negeri yang sangat luas ini.

Nasib kaum wanita juga mendapat perhatian. Dalam masyarakat pribumi, derajat wanita dan pria sama tetapi berbeda tempatnya, hal yang tidak dimengerti oleh orang Barat. Salah tafsir dalam menangkap bahwa kedudukan pria dan wanita sama memang umum terjadi di masyarakat mana saja, apalagi di Timur. Ini tidak berarti wanita diabaikan, karena mereka dianggap mitra (partner) dalam hidup, seperti nyata dari istilah Jawa kanca wingking (teman belakang). Dalam bahasa Jawa terdapat pernyataan: Swarga nunut, neraka katut (bersama-sama di surga, tetapi jika suami sampai masuk neraka janganlah ia ditinggalkan). Saya rasa, dalam ungkapan itu tersirat makna bahwa andil suami dan isteri dalam kehidupan berumah tangga sama besar. Biasanya, orang—terutama lelaki—cenderung beranggapan perempuan hanya bertugas melayani suami agar suami senang. Sebenarnya, itu adalah tafsir, dan itu berarti pendapat pribadi.

Untuk memenuhi persyaratan yang sesuai, pemerintah mulai membangun persekolahan yang lebih cocok bagi negeri ini. Awalnya yang didirikan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, disingkat Mulo dan Algemeene Middelbare School, AMS. Itu merupakan jalur pilihan lain bagi orang pribumi di samping HBS dan Lyceum. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh orang di Eropa, siswa diberi sarana tambahan untuk meningkatkan kecendikiaan berupa pengetahuan umum serta bahasa asing Jerman, Perancis, dan Inggris, sesuai dengan runtunan keadaan di Eropa pra-PD II. Pengajaran bahasa dianggap sangat penting, dan anak didik dilatih agar tak hanya sekedar 'tahu' bahasa, tetapi harus 'menguasai'-nya. Itulah yang membuat orang Belanda—dan yang mengenyam pendidikan Belanda—jadi poliglot, penutur nekabahasa. Itu dulu.

Tidak hanya kaum pria yang mengungkapkan semangat zaman, juga perempuan.Yang melambangi kebangkitan perempuan pribumi Indonesia adalah Raden Ajeng Kartini (21 April 1879-17 Sept. 1904). Siapakah dia? Ia adalah puteri Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat, Bupati Jepara dari isterinya Ngasirah, puteri pasangan Kyai Modirono dan Hajjah Siti Aminah. Kartini beruntung memiliki seorang ayah yang berpandangan maju, sehingga pada waktu masih kecil diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School, sekolah dasar Belanda. Kakaknya, R.M.P. Sosrokartono (1877-1952) karena lelaki diperkenankan meneruskan belajar di HBS. Untuk membedakan gelar kebangsawanan yang tidak berasal dari Solo atau Yogya—seperti halnya Sosrokartono—gelarnya ditambah P, artinya panji, yang menunjukkan akan keturunan wali. Sosrokartono lulus HBS pada usia 20 tahun dan semula akan ke TH Delft, tetapi kemudian pindah ke Universitas Leiden dan menjadi orang pribumi terajar pertama, didikan universitas barat. Kecerdasannya sangat menonjol, dan ini nyata dalam jumlah bahasa yang ia kuasai, 37, 17 bahasa Eropa, 9 bahasa Timur, 18 bahasa Nusantara. Selama Perang Dunia I, 1914—1918, ia jadi wartawan perang untuk New York Herald Tribune, dan seusai perang ia pernah bekerja pada markas besar Liga Bangsa Bangsa di Jenewa, Swis sebagai penerjemah. Setelah kembali di tanah air, ia memilih mengajar di Taman Siswa ketimbang jadi pegawai negeri. Sikap itu menunjukkan ia seorang nasionalis. Akhirnya ia merasa lebih cocok menetap di Jalan Pungkur, Bandung dan melayani rakyat banyak sebagai penyembuh, sampai-sampai orang berantri. Soedjoko yang di kemudian hari jadi guru besar ITB bercerita bahwa ia bersama Mathias Aroef—yang bukan Jawa, dan kemudian juga jadi guru besar ITB—pernah pula mengantri untuk memperoleh air dari 'doktor cai', begitu rakyat menyebutnya, atau dengan kata Belanda, wonderdokter.

Budaya Jawa penuh dengan lambang dan kiasan, dan itu diterapkan oleh Sosrokartono dalam kiprahnya mengabdi negeri ini. Ada sekumpulan suratnya dari Sumatera Timur, ketika ia melawat ke sana pada awal 1932. Suratnya itu dialamatkam ke Monosuko, mereka yang sudi membaca—to whom it may concern—di rumahnya di Bandung. Akhirnya, kumpulan surat itu sempat diterbitkan disertai bahasa Indonsianya (Sosrokartono, 1992). Karena itu dilakukan para pengagumnya setelah ia wafat, akhirnya saya pun tahu isinya. Jika kita baca, kita dapat memperoleh pandangan hidup seorang nasionalis Jawa. Sebagai salah seorang terajar dari zamannya, dengan pengetahuan yang luas, ia merasa paling sreg memilih berkiprah sesuai dengan keyakinannya. Isi sarat berupa sanepa dan singidan, seperti biasa dilakukan orang Jawa, hanya bentuknya gancaran, tidak berupa tembang.

Dalam bahasa Jawa terdapat sejumlah ungkapan seperti sakderma anglakoni, aja dumeh, dan mati sakjeroning urip atau lebih-lebih lagi, sakjeroning aurip, yang berarti aktip. Pada hemat saya, yang pertama 'apa adanya', sedangkan yang kedua lebih aktip. Dalam bahasa Inggris semua itu dapat kita rangkumkan dalam kata selfdenial, sikap yang tidak semua orang dapat menangkap, lebih lagi menjalaninya. Rupanya, perkara ini di Barat dewasa jadi hal menarik, terutama setelah krisis Euro berlarut-larut, hingga di Jerman kini timbul pendapat bahwa yang disebut haben (memiki) adalah teilen (berbagi).

Pada hemat saya, perkara yang dikemukan Sosrokartono lewat nama singidannya Mandor Klungsu dan tecermin pada sikapnya. Oleh karena itu, kita yang harus pandai-pandai melihat semua itu dari sudut pandang tempat dan waktu. Bagaimanapun, mandor pasti lebih tinggi kedudukannya daripada mereka yang 'dimandori'. Yang disebut klungsu ialah biji asam (Tamarindus indica). Andaikata saja biji itu ditanam—bahkan dibuang di sebarang tempat—dari biji yang satu itu dapat tumbuh pahon besar, maka selama bertahun-tahun bohon yang satu itu menghasilkan buah yang besar manfaatnya bagi banyak orang. Di sini yang diperlukan pernyataan bersyarat—seperti dalam matematika—jika dan hanya jika. Jadi, jika dan hanya jika, dari klungsu itu tumbuh pohon asam dan lalu berbuah, manfaatnya besar dan diperoleh banyak orang.

Apa yang Sosrokaartono yakini pada hakikatnya juga berlaku bagi siapa saja—kecuali penganut kapitalisme—dan juga di mana saja, dengan latar belakang agama apa pun. 'Ilmu' yang dianutnya disebut kantong bolong (saku atau kantung ajaib berlubang). Ia menamakan diri Joko Pring atau Mandor Klungsu. Kita boleh menafsirkan semua itu sekehendak kita, tetapi akan lebih mengena jika kita dekati dari dunia Jawa, karena semua berujung pada paham kenisbian, seperti nyata dari ungkapan sugih tanpa banda (kaya tanpa kekayaan), anglurug tanpa bala ([maju] perang tanpa pasukan), serta menang tanpa ngasorake (menang tanpa meremehkan pihak lawan). Ujungnya apa yang disebut pring pada pring (sama sama bambu), yang pada hemat saya dapat kita simpulkan, kita guru dan sekaligus juga murid diri kita sendiri.

Bung Karno menaruh minat besar terhadap perjuangan Sosrokartono dan cara yang ditempuhnya. Tidak mengherankan, pada waktu pejuang itu wafat jenazahnya atas instruksinya sebagai Presiden Republik Indonesia diterbangkan dari Bandung ke Semarang untuk selanjutnya dimakamkan di makam keluarga di Kudus. Di bagian lain tulisan ini dalam membahas Jenderal MacArthur saya juga menyinggung pandangan hidup Sosrokartono.

Kartini berbeda dengan kakaknya. Meskipun usianya baru 12 tahun, ia tidak meneruskan ke jenjang lebih tinggi, tetapi manut-miturut (mengikuti apa yang jadi kehendak ayahnya, dan tunduk). Tidak sepunuhnya, karena ia pun memilih juga siapa yang akan jadi suaminya. Ini dapat kita lihat ketika kemudian adiknya dijodohhka dengan Bupati Kudus, dan baru kemudian mau menerima pinangan seperti akan dibahas di bawah.

Seperti kakaknya, ia sangat cerdas. Dengan berbekal sekolah di ELS, ia memperoleh 'ilmu' berupa kemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Belanda dengan sangat baik. Keterampilan itu bagi Kartini merupakan senjata yang sangat ampuh. Tanpa melanjutkan sekolah pun pengetahuan yang ia miliki sangat luas, berkat buku yang dibacanya. Hasil pemikirannya—atau dengan kata lain energi yang ia himpun—kemudian ia salurkan lewat pendirian 'sekolah'. Untuk siapa? Di awalnya, tujuannya agar gadis muda di sekitar rumah bupati Jepara dapat membaca dan menulis. Maklum, pada zaman itu pendidikan umum tidak melibatkan sama sekali kaum hawa. Hemat saya, ada segi lain langkah ini yang mendapat persetujuan ayahnya. Ia memperoleh teman bergaul. Jika tidak, Kartini yang masih muda belia itu karena 'dipingit', terpaksa dikurung dalam rumah. Meskipun halaman rumah bupati sangat luas, tetapi seluruhnya dikelilingi tembok tinggi juga tebal.

Selain ayahnya yang bupati—yang masuk ke golongan umara, pejabat, pengatur negara—ibunya dari lingkungan ulama, yang menguasai seluk-beluk agama. Sikap manut-mitutut tampak ketika Kartini akan memasuki gerbang perkawinan. Pilihan ayahnya jatuh pada Bupati Rembang R.M.P. Djojoadiningrat yang dalam usia jelas berbeda jauh, tetapi Kartini menerimanya sebagai kewajiban, sesuai dengan adat zaman itu. Jadi, ia mau menikah dengan orang yang jauh lebih tua karena calon suami dianggapnya dapat mengerti apa yang jadi cita-citanya, mendidik kaumnya. Itu yang jadi sebab, mengapa setelah jadi Raden Ayu Bupati Rembang ia meneruskan cita-citanya, mendidik kaumnya, dan Sang Suami tidak hanya menyetujui, bahkan membantu sepenuhnya.

Ternyata ia berumur pendek. Tidak lama setelah menikah Kartini mengandung. Menjelang saat babaran, suaminya berupaya ada dokter yang bersiaga untuk membantu kelahiran bayinya. Karena dokter di Rembang berhalangan, suaminya memanggil dokter di Pati, Van Rafestestijn yang ahli dalam kebidanan. Dokter berhasil membantu persalinan yang sangat berat sampai bayi keluar, lelaki dan tenaga Kartini benar-benar terkuras. Pasca-kelahiran, Kartini terserang rasa tegang yang tidak mempan dihadapi dengan obat yang diberi oleh dokter. Maka, Kartini pun menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan suaminya, disaksikan oleh ibunya yang hadir menungguinya, khusus datang dari Jepara. Sesuai dengan kehendak sumaminya, Kartini dimakamkan di halamn peristirahatannya di Bulu,13 mil (20 km) dari Rembang.

Pada hemat saya itu adalah sebuah isyarat bahwa tugas Kartini sebagai seorang perintis kamajuan kaumnya telah selesai. Orang lainlah yang harus meneruskan upayanya. Anak lelaki Kartini yang diberi nama R.M. Singgih, dalam perkembangannya berganti nama jadi Soesalit, dan pada awal kita merdeka jadi jenderal TNI.

Bulu terletak di dekat jalan raya Rembang-Blora yang sebelum PD II di dekatnya ada rel keretapi milik SJS, Semarang Joana Stoomtram Maatschappij. Di dekat Bulu ada halte, istilah Belanda untuk tempat-henti 'tingkat-rendah' keretapi, kata pinjaman langsung dari Belanda. Yang lebih 'tinggi', station, kita ucapkan sesuai dengan lidah kita jadi setasiun atau tapsiun. (Itu di Jawa, di daerah Pasundan yang pertama jadi halteu dan yang kedua setasion) Yang terdapat di Mantingan halte.

Pada tahun-tahun menjelang PD II hingga menjelang kedatangan Jepang di Indonesia, berkali-kali saya pergi ke Rembang dan daerah Purwodadi. Ada dua kakak perempuan, seorang di Tawangharjo dan seorang di Kota Rembang, suaminya anggota Dinas Pamong Praja. Oleh sebab itu, saya cukup kenal dengan keretapi daerah itu, karena setiap liburan berkunjung ke sana. SJS Semarang Joana Stoomtrammaatschappij (Perusahaan Trem Semarang Juana), adalah perusahaan milik swasta yang sudah jadi sejarah. Yang masih ada kini adalah bekas jalur milik NIS, yang sekarang jadi PT KIA, yaitu jalur Semarang-Surabaya dan menyinggahi Cepu.

Pepohonan jati menutupi daerah sekitar Mantingan. Tempat itu agak berbeda daripada selebihnya, mungkin karena ada aliran air di dalam tanah yang berarah ke sana. Sebagai geologiwan, sekarang saya dapat menyimpulkan mengapa ada mataair di sana, dan airnya dimanfaatkan selain untuk Kota Rembang, juga bagi kolam renang, semenjak zaman pra-PD II.

Usia Kartini ketika meninggal baru 25 tahun. Pada usia semuda itu, ia menorehkan jasa yang membuat pemerintah menetetapkan sebagai pahlawan nasional (1964), dan 21 April, hari lahirnya sebagai Hari Kartini. Sebelumnya, W.R. Soepratman terilhami menggubah lagu “Raden Adjeng Kartini”, yang kemudian diubah jadi “Ibu Kita Kartini”, sesuai dengan novel Pramoedya Ananta Toer “Panggil saja Kartini sadja

Berkat pendidikan dasarnya di ELS, dalam sejarah ia tercatat sebagai pelopor kemajuan wanita pribumi. Ini tak terpisahkan dengan kemampuannya untuk mengungkapkan yang berkecamuk dalam lubuk hatinya lewat tulisan kepada orang lain, wanita Belanda. Lewat surat-menyurat yang ditinggalkan dan dengan bantuan Nyonya Abendanon, isteri Mr.H.J. Abendanon, muncullah buku “Door duisternis tot licht”, ungkapan dalam bahasa Qur'annya Minal dzulumaati ila'n nur. Judul itu dibuat suami-isteri Abendanon untuk mengantarkan kumpulan sebanyak 53 surat Kartini. Dari uang sebanyak fl500,- yang berasal dari hasil penerbitan bukunya oleh G.C.T. van Dorp dapat dibentuk Kartini-Fonds (Yayasan Kartini). Badan itu kemudian mendirikan Sekolah Kartini di beberapa tempat. Buku itu terbit beberapa kali, tidak hanya pada penerbit yang sama. Bertahun-tahun kemudian, buku itu diindonesiakan oleh Armijn Pane dengan judul yang indah, “Setelah gelap, terbitlah terang”, (1938) yang mencerminkan semacam bimbingan yang melatarbelakangi proses itu, seperti diisyaratkan ayat Al Quran, seperti disinggung di atas. Armijn Pane menguasai tidak hanya bahasa Belanda dengan baik, juga bahasa Indonesia. Buku terjemahan itu sempat terbit 11 kali. Saya tidak tahu, apakah generasi sekarang masih mengenal buku Kartini, semoga tidak seperti dinyatakan dalam ungkapan Belanda, In het vergeetboek geraakt, terselip entah di mana, akhirnya terlupakan, seperti begitu banyak perkara yang lain.

Yang tidak banyak diketahui. buku ini juga diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa, yang pertama bahasa Arab (1926, Beirut), juga Perancis, Inggris, dan Jepang. Kita dapat membaca itu dalam buku yang terbit berdasarkan kumpulan dokumen yang ditinggalkan suami-isteri Abendanon. Dokumen itu berupa surat dari Kartini, juga dari adiknya, bahkan suaminya, Bupati Rembang Djojoadiningrat. Kisah kehidupan Kartini hingga saat-saat terakhir, menjelang maut menjemputnya, kelahiran bayinya yang sangat berat, upaya suami untuk mendatangkan dokter dari Pati, hingga sampai ke pemakaman, semua itu dapat kita baca. Semua dokumen itu tersimpan dalam peti kecil dan diserahkan oleh Jaquet (1978). Demikian riwayat perjalanan hidup Kartini yang singkat itu dapat kita ikuti. Tetapi karena semua tertulis dalam bahasa Belanda—yang sangat bagus—sehingga bagi para pencinta buku, kendala bahasa perlu diatasi.