Orang hidup setiap kali dihadapkan kepada tandatanya, dan tandanya itu terus bermunculan, silih berganti tiada henti. Demikian pula terjadi pada penulis, ketika diberi tahu akan ada Reuni Akbar I.K.D., Ikatan Keluarga Djojodinngrat.

Secara pribadi, kalau hanya soal nama, yang bernama IKD bagi penulis bukan barang baru. Tetapi ketika ada tambahan keterangan 'reuni' dan 'akbar', penulis merasa tergelitik juga. Maka penulis menjadi melit (ingin tahu), bagaimana sebenarnya tempat pribadi yang ditokohkan itu dalam sejarah nasional kita? Tulisan ini mencoba memberi jawabnya.

Satu hal yang juga tak dapat dipisahkan adalah yang disebut lambang atau simbol.Lambang juga terdapat di mana-mana dan di sepanjang masa. Apalagi yang disebut dunia orang Jawa, isinya penuh dengan lambang. Jadi, jika kita membicarakan 'Jawa', yang namanya lambang mau-tidak-mau juga ikut berperan.

Tulisan ini bekisah mengenai R.M.A.A. Djojodiningrat, tokoh yang mungkin hanya berarti bagi orang yang merasa masih keterunannya. Atau, karena ikut diundang dalam pertemuan yang diberi nama 'Reuni Akbar', lalu menyempatkan diri hadir. Dalam menerakan gagasan yang diuraikan di bawah ini, penulis berketetapan dengan niatnya dan kemudian berharap, semoga apa yang tertulis ini selain bermanfaat bagi mereka yang tanggap akan undangan tersebut, juga bagi orang lain

R.M.A.A. Djojodiningrat, atau nama kecilnya Abdoeldjalil adalah putera Pangeran Moerdaningat (seda Lengkong) dan cucu Sultan Hamengkoe Boewono II yang selama Perang Diponegoro jadi ajudan Pangeran. Beliau tidak sendirian tetapi menjalani tugasnya berdua dengan R,M. Semedi, adik kandung Pangeran. Sebagai dua orang muda, mereka kemudian mengalami kehidupan yang menarik, karena menjadi jembatan antara dua zaman yang berlainan sama sekali: di satu pihak lingkungan Kasultanan Yogyakata dan pihak yang lain pemerintahan penjajahan Hindia Belanda pada awal masa diberlakukannya yang dalam bahasa Belanda disebut pacificatie atau istilah Indonesianya sekarang, trantib. Dalam perkembangannya, R.M.A.A.Djojodiningrat jadi Bupati di Karanganyar, dan R.M. Semedi dengan nama R.M.A.A.Poerbonegoro jadi Bupati Ambil, dua daerak kabupaten yang sekarang tidak ada lagi.

Bahan untuk menulis kisah ini tidak ada dalam arsip resmi, apalagi buku tercetak dan tersimpan dalam perpustakaan. Penulis beruntung memiliki ayah yang rajin mengumpulkan kepingan kisah dari masa lampau. Sebagai seorang yang mengenyam pendidikan dasar Europeesche Lagere School, pendidikan dasar Belanda sebelum akhir abad ke-19, dan kemudian jadi pegawai dinas Binnenlandsch Bestuur sampai masa pensiunnya. Maka untuk menyusun naskah ini penulis memanfaatkan catatan yang dibuat ayah, Mohammad Joesoef Poerbo Hadiwidjojo (1881—1964), dan juga catatan kakak Slamet M.M.D. Poerbohadiwidjojo (1908—93). Latar kisah dijelaskan dengan memanfaatkan Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, terbitan tahun 1921. Alasannya sederhana, karena waktu yang terlalu pendek untuk menelusuri semua bahan, hanya sekitar sebulan. Akhirnya, penulis juga memanfaatkan pengalaman yang, Alhamdulillah, masih terekam dalam ingatan, dari sejak kanak-kanak hingga sekarang serta kiprahnya bertahun-tahun dalam bidang ilmu dan teknologi kebumian.

Dalam menyimak kisah yang tersaji ini, hal yang juga menarik yaitu, dalam perputaran sejarah terkandung kenyataan adanya dua ujung, awal dan akhir. Setelah ada awal, kita juga harus sadar akan kepastian bakal datangnya akhir. K.R.M.A.A. Djojodiningrat mengawali hidup sebagai Abdoeldjalil, menyusul jadi R.M. Djojoprono, lalu berperan sebagai santri Bagoes Abdoeldjalil, melewati persiapan tugasnya dengan menyandang lagi nama R.M. Djojoprono, dan akhirnya sampailah beliau pada peran sebenarnya yang harus beliau jalani, tugas pacificatie, yaitu trantib model pemerintahan Hindia Belanda, dan berakhir dengan minandita, hidup menyepi, mendoakan bagi kebaikan keturunannya.

Dalam menerakan uraian, penulis mendapat kesulitan dengan angka yang digunakan, yang karena terpaksa lalu menggunakan taksiran dan dasarnya tak lain adalah yang masih teringat dari masa kecil. Tidaklah mungkin membanding-bandingkan dengan yang sebenarnya, sedang peta-tempat juga tidak tersedia, demikian potret, termasuk potret udara, yang dapat digunakan untuk menaksir jarak. Penulis beruntung karena memiliki kebiasaan sejak kecil suka 'kluyuran', berjalan-jalan melewati setiap lorong, dan pada waktu berliburan sempat naik-turun pebukitan di utara Kota Karanganyar, atau dapat bersepeda sampai di tepi pantai. Pada waktu di Mulo Magelang dan kemudian AMS-B Yogya dengan bersepeda penulis juga sempat berkenalan dengan jalan yang terbentang di antara Karanganyar-Magelang-Yogyakarta.

Dengan rasa penuh permohonan maaf, tulisan ini terpaksa disajikan dengan segala kekurangan, tetapi disertai harapan mudah-mudahan masih ada kesempatan memperbaiki semua kekurangan. Akhirnya, yang ingin penulis sampaikan adalah penghargaan setinggi-tingginya kepada Penerbit P.T. Muria Baru yang berhadapan dengan berbagai kendala masih berusaha menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.