Tulisan ini tidak mewujud secara tiba-tiba, karena prosesnya sangat panjang. Sebagai seorang yang berlatar belakang ilmu kebumian, saya mengibaratkan proses itu diwarnai sentakan seperti yang terjadi di bidang ketektonikaan. Dalam bahasa Inggris dinamai spasmodic process. Dalam hal yang dialami tulisan ini awalnya adalah kemunculan buklit (buku alit) berjudul “RMAA Djojodiningrat”, dengan anakjudul Bupati Karanganyar pertama, 1841—1868. Sentakan pertama berupa buklit itu memberikan hasil yang tidak memenuhi pesan seperti yang hendak disampaikan. Didorong oleh kegeraan—ada proses pemercepatan di dalamnya—maka sentakan kedua pun terjadi, dan tulisan berjudul Perang Diponegoro, Cikal-bakal, dari nasionalisme pribumi jadi nasionlisme Indonesia sempat muncul. Dengan judul itu, sasaran yang sebenanya belum juga tercakup. Maka sentakan dengan sentakan berikutnya, ketiga, yang semula hanya tampil berupa judul tambahan, akhirnya saya jadikan saja judul, yaitu 'Sejarah pembentukan Bangsa Indonesia'. Dengan judul tambahan sifat tulisan yang subjektip itu dapat dipertanggungjawabkan. Dapat dipahami, 'bongkar-pasang' dan penataan kembali bahan yang dibahas juga merupakan keharusan. Riasalah awal sempat difotokopi dan—pada beberapa tahapan—beredar secara terbatas, terutama untuk memperoleh tanggapan

Saya serumah dengan anak ketiga saya, Yusuf W. Purbo-Hadiwidjoyo. Mengikuti yang kita temukan dalam bermain tinju, saya akhirnya menggunakan anak saya sebagai sparring partner. Maka, itulah yang kemudian terjadi.

Pembahasan dimulai dengan Perang Diponegoro. Perang itu usai hampir dua abad. Setelah terlewat kurun waktu yang sekian lama itu kita dituntut untuk menggunakan cara pandang yang lebih sesuai terhadap peristiwa yang pada hakikatnya telah menorehkan kesan mendalam Di pihak Belanda, agar dalam menyikapi bekas daerah jajahan yang disebut Hindia Belanda—awalnya hanya Pulau Jawa—dan di pihak kita, pada orang pribumi, terutama mereka yang terimbas langsung oleh perselisihan itu, untuk menemukan cara yang tepat dalam berhubungan dengan Belanda. Pada hemat saya, itu yang lalu menengarai munculnya di pihak pemerintah dan bangsa Belanda dorongan menemukan jalan sebaik-baiknya dalam menyikapi perkembangan selanjutnya. Sebaliknya, pada orang pribumi yang sekarang, tanpa terasa, jadi orang Indonesia, kesadaran untuk menemukan wacana, yang pada gilirannya menjelma dalam bentuk nasionalisme. Itu pun terjadi secara bertahap.

Nasionalisme yang timbul mula-mula bersifat Jawa, kemudian kedaerahan, dan baru setelah itu nasionalisme Indonesia. Dengan jalan itu pula kita dapat memandang semua kejadian dari segi kesejarahan yang lebih tepat. Dalam prosesnya, kita berjumpa dengan berbagai rona dan semua itu mewarnai kisah dalam proses tersebut, yang sebagian nyata tetapi sebagian lagi perlu direka-reka.

Dalam berhubungan atau setidaknya perjumpaan dengan berbagai pihak, saya memperoleh kesan kuat akan hal yang kemudian saya pecah ke dalam sejumlah butir untuk dibahas dalam tulisan ini. Pertama, kenyataan betapa terbatas gambaran yang dimiliki orang mengenai peristiwa yang disebut Perang Diponegoro. Banyak tinggalan yang telah hilang, dan yang masih ada berubah, entah nama, entah kegunaannya. Penyebab yang jelas, di antaranya, kita acuh-tak-acuh terhadap sejarah.Yang kemudian menonjol adalah maksud lain—meskipun terselubung—yang mencoba memanfaatkan yang tersisa dari yang telah berubah itu untuk tujuan lain, yaitu keuntungan sendiri dengan cara yang mudah, atau setidaknya menemukan titik-temu kebersamaan yang disebut emosi.

Ada hal yang sangat menyulitkan dan ini harus kita akui: Kita bukan bangsa yang suka membaca. Kesukaan itu hanya terdapat pada keluarga tertentu yang jumlahnya sangat kecil. Ini dapat kita ketahui dari tiras buku yang terbit. Orang lebih suka minta agar diberi buku, jika ada buku yang baru terbit, tetapi jika permintaan itu terpenuhi, buku itu juga tidak dibaca. Apalagi jika kita mau menyinggung kamus. Sangat mengherankan betapa mereka yang memiliki kamus pun jarang yang membukanya, untuk tidak menyatakan tidak pernah. Sejak awal 1980-an saya terlibat dalam penataran penulisan dan penerjemahan buku ajar untuk perguruan tinggi, dan kegiatan terus -menerus terjadi hingga 2006. Mengenai ini saya dapat menulis panjang-lebar. Intinya, membaca belum merupakan tradisi bangsa kita, dan membuka-buka kamus adalah langkah yang jika bisa dihindari saja. Bagaimana dengan makna kata? Ditebak saja!

Kendala satu lagi adalah bahasa asing. Maka bacaan dalam bahasa asing—termasuk bahasa Inggris yang sekarang kita jumpai di mana-mana—sulit untuk mencapai pembaca di Indonesia. Ini tidak berarti para penerbit kehabisan akal. Umumnya, mereka menggunakan 'jurus' membiarka judul aslinya (Inggris), tetapi isinya saja yang diindonesiakan, bahkan mungkin disingkat di sana-sini. Mengingat akan semua itu, saya mencoba memanfaatkan sarana baru informasi yang tersedia, Internet.

Dalam pidato terakhirnya sebagai Presiden Republik Indonesia Bung Karno menekankan betapa penting sejarah bagi Bangsa ini. 'Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah' Itulah judul pidatonya tanggal 17 Agustus 1967, dan seperti kebiasaannya, kemudian disingkat jadi Jas Merah. Ingatan orang pendek; berkali-kali saya bertanya kepada siapa saja, dan jawab yang saya peroleh berupa senyum, dan kata 'merah' biasanya lalu dihubungkan dengan PKI!

Belanda dalam menghadapi daerah kekuasaan mereka pada dasarnya menempatkan diri di pihak kepentingan bisnis, karena sejak awal di negeri ini bisnis itulah tujuan mereka. Kemudian datang yang disebut pemerintahan Hindia Belanda, diselai pemerintahan Inggris, dan zaman penjajahan berakhir berupa pendudukan Balatentara Jepang selama tiga-setengah tahun. Negara Republik Indonesia yang tiba-tiba saja muncul membuat sementara Belanda salah-tingkah.

Tidak ada ungkapan lain kecuali sangat tepat waktu bahwa pada saat seperti ini terbit buku baru oleh Carrey yang mengisahkan pribadi Pangeran Diponegoro Inilah saat ketika kita berada tepat di ambang zaman baru, zaman dengan tata-nilai baru, zaman nir-batas kebendaan, nir-prasangka. Karya Peter Carrey yang menyajikan sudut pandang baru itu dan memungkinkan para pembacanya memperoleh gambaran tambahan mengenai dunia elite Jawa akan disinggung lagi di belakang.

Sejak beberapa tahun yang lalu, bermunculan satu demi satu pertanda akan segera tibanya zaman baru, seperti terbaca dari peristiwa alam maupun yang tersebab ulah manusia. Yang juga mengusik, agama yang selalu dijunjung tinggi kini harus bertukar baju. Jika tamsil Jawa diikuti, agama tak lain adalah ageman, pakaian. Karena iman mengandung kekuatan yang terbungkus rahasia, keyakinan dapat mengangkat derajat seorang atau justru merendahkannya, dan itu bergantung pada tafsirnya.

Kandungan risalah ini disesuaikan dengan cakupun yang hendak dicapai, tentu dalam batas yang dimungkinkan. Untuk keperluan ini, dengan sendirinya tak hanya bahan yang digunakan diperluas, juga yang jadi sorotan melebar. Sumber bahan tidak hanya yang terbit dan berhubungan langsung dengan Perang, juga yang ada kaitannya dengan pengembangan daerah pasca-Perang. Saya sangat terbantu oleh tinggalan Ayah, seperti disinggung dalam Prakata buklit KRMAA Djojodiningrat dan di bawah ini. Ibaratnya, Ayah mempersiapkan saya jadi orang yang melit, selalu ingin tahu—dan kalau saja bisa—sampai pada yang rinci-rinci. Sebagai mantan warga BB (Binnenlandsch Bestuur, Pemerintahan Dalam Negeri), Ayah tahu politik, tanpa mau ikut-ikutan di dalamnya. Rupa-rupanya, sebagai putera lelaki tertua Kakek yang meninggal ketika Ayah baru berusia 38 tahun, sikap ini juga dipesankan kepada adiknya sejauh dimungkinkan. Ayah tahu, semua 'ilmu' hanya didapatkan lewat usaha—artinya disertai sarana, termasuk uang—karena uang diperlukan bagi pendidikan, resmi atau tidak resmi..

Sejak Perang Diponegoro usai. banyak yang berubah. Bagi saya pribadi yang juga menarik adalah perubahan dalam bahasa, tidak hanya logat Jawa di barat Yogyakarta, yang kecap a-nya berubah ke o, bahkan ada yang berubah jauh. Sebagai anakjudul pernah dimnculkan tambahan yang diperlukan untuk zaman sekarang, yaitu nasionalisme Indonesia, dan yang juga harus diberi wadah demokrasi. Jadi, dalam rentang waktu satu abad, dari masyarakat feodal dan dijajah, yang merangkumi suku bangsa dengan jumlah lebih dari 200, berubah jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara-bangsa serupa dan setara dengan negara lain yang ada di muka bumi ini! Sungguh, bukan tugas ringan.

Mau-tidak-mau, yang perlu disoroti lebih banyak perkara kebahasaan. Padahal, bahasa (dan sastra) masuk ranah budaya. Meskipun tidak ada maksud melebarkan bahasan ke sana, tidak dapat kita pungkiri sebagai akibat perjumpaan bangsa Belanda dengan Kita timbul interface (bidang temu, persitemu), yang terindera sejak Pangeran Diponegoro berhadapan dengan Residen Yogyakarta A.H. Smitssaert dalam benteng Vredenburg. Itu merupakan puncak ketegangan dan picu yang mengobarkan perang tidak lain adalah peristiwa Tegalrejo. Pertemuan Residen dengan Pangeran dibahas di bawah.

Daerah Kedu Selatan—khususnya bagian yang datar, medan laga terakhir Pangeran—sudah sejak lama dikenal sebagai daerah padat penduduk. Itu pula yang mendorong pemerintah jajahan sejak Perang usai, untuk berbuat sesuatu demi mengurangi penderitaan orang banyak. Sejak awal abad ke-20 orang Jawa sudah mulai dijadikan pekerja di perkebunan di Sumatera Timur yang lahannya luas, tetapi jarang penduduknya. Jumlah orang Jawa di Sumatera Timur terus-menerus bertambah dan akhirnya jadi sangat banyak hingga ada daerah yang dikenal dengan nama Tanah Jawa. Pada waktu kecil ketika di Prembun, saya masih melihat kantor agen yang mengirimkan calon tenaga untuk Deli. Dengan lidah rakyat, tidak mengherankan usaha itu disebut werek deli, atau yang lebih singkat lagi, berupa kata kerja diwerek, semula ungkapan Belanda yang berbunyi tewerk stellen in de Deli plantages, tetapi kemudian disingkat jadi istilah itu.

'Bunyi' tak dapat dipisahahkan dengan kehidupan. Kita harus mengakui, bunyi ikut menentukan apakah suatu kata dapat diterima umum, atau ditolak. Maka kata yang juga mendapat angin adalah Pujakesuma, putera Jawa kelahiran Sumatera, yang selain menunjuk pada orang Jawa dari Deli, juga orang Jawa yang lahir, dibesarkan atau menetap di Pulau Sumatera dan kemudian berbaur dengan penduduk setempat.

Dengan pertambahan jumlah orang Jawa di Tapanuli Utara, upaya pemerintah untuk memindahkan penduduk Jawa ke 'tanah seberang' tidak mengendur, bahkan sebaliknya, dilakukan secara besar-besaran dan berencana. Semula yang dijadikan penerima adalah Lampung dengan alasan yang sangat sederhana: kemiripan alam dengan Jawa, dan juga jaraknya tidak jauh. Itu awalnya, tetapi layaknya setiap tindakan orang Belanda, lalu diberi landasan yang bersifat ilmiah.

Di pihak lain, selain jiwa yang harus dipindahkan berjumlah besar, di Nusantara masih terdapat banyak daerah 'kosong'. Maka daerah yang lain pun perlu dicoba, seperti Sulawesi Selatan bagian barat. 'Transmigrasi', itulah istilah yang dipilih untuk menamai pesusun (komponen) sarana dalam model penyebaran penduduk di Hindia Belanda. Lidah Jawa tidak biasa mengucapkan suku trans pada kata transmigrasi, maka kata itu menjadi tranmigrasi, tidak hanya oleh mereka di kalangan rakyat, bahkan pada sementara pejabat.

Semua yang diuraikan di atas dipumpunkan dalam sorotan yang disebut Bangsa Indonesia, dirunut alurnya yang bermuara dalam wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dorongan awal saya menulis terbitan ini pertama-tama dari kakak-kandung, Siti Moelat Soeroso binti Mohammad Joesoef Poerbo-Hadiwidjojo. Setelah beliau selesai membaca buklit terbitan pertama, beliau yang telah berusia lanjut—di atas 90 tahun, tetapi masih dapat bernalar dengan jernih—memberikan sejumlah komentar. Komentar saudara kandung satu-satunya yang masih ada itu memantapkan hati saya untuk berupaya menuntaskan tugas ini dalam waktu tidak terlalu lama. Intinya, orang hidup harus selalu berupaya demi kemajuan dengan andalan utama hanya doa dan usaha. Berbeda dengan tulisan Kakak yang bersasaran khusus keluarga, buku ini berarah nasional.

Mengingat akan kenyataan seperti dikatakan tadi, saya rasa buku ini boleh juga ditangkap (diberi judul tambahan lagi, ditafsirkan) sebagai sejarah pembentukan bangsa Indonesia. Meskipun apa yang tertera merupakan suatu kesatuan, untuk membuat pembaca dapat lebih mudah mengenali adanya aliran, buku terbagi dalam tiga parwa. Dan agar memudahkan pencarian kembali pokok yang dibutuhkan, ada tambahan takarir serta dua penjurus, penjurus nama dan penjurus ihwal. Takarir tak lain adalah kamus kecil, dan penjurus menunjukkan pokok yang dicari.

Perang Diponegoro memiliki segi yang bersifat kemiliteran. Maka dari itu, dalam hubungan dengan ini, saya mendapat sumbang-saran dari Laksma (Purn) S.S. Reksodihardjo, Stno. 727, Nrp.607/P., adik ipar, sebaya dan sepermainan adik kembar saya Hasan dan Husein di Karanganyar, sewaktu akhir zaman Belanda; Kol. Marinir (Purn), Waseso Sedyono, Nrp. 6719/P (meninggal 1 Juni 2012), dan Kol.Laut (KH) Dwi Santosa, Nrp 11189/P, menantu.

Ananda Wijarti Koesfandi binti Soeroso menyediakan kemudahan untuk berkunjung di Gombong dan Karanganyar beberapa jam pada akhir Juli 2011, cukup untuk memperoleh ground-truth, fakta lapangan bagi peta unduhan dari Google Earth dan untuk mentahkikkan (memverifikasi) beberapa data yang semula hanya taksiran dan bersumber dari yang teringat dari masa lalu.

Tidak mungkin saya merampungkan tulisan ini tanpa bantuan sejumlah pihak. Selain terbitan, ada pihak yang dengan uluran tangannya meringankan tugas yang saya hadapi ini. Sanwana khusus menyangkut bantuan khas seperti misalnya yang bentuknya berupa potret jepretan sendiri, atau gambar lainnya, tertera langsung dalam pernyataan yang menyertanya. Akhirnya, saya sangat bersyukur masih mampu menyelesaikan tugas ini, karena semua hanya mungkin berkat Rahmat Allah s.w.t.