'Kisah-bersama kita' ini sebaiknya dimulai dari zaman ketika negeri ini masih berupa tanah jajahan Belanda. Dengan cara itu, untuk menyimak perjalanan kita menuju ke perwujudan yang disebut Bangsa Indonesia mudah-mudahan akan lebih mengena. Untuk itu, kita harus memahami adanya proses yang kita sebut pembentukan bangsa yang sangat panjang, penuh leliku dan juga jebakan, yaitu kurun waktu yang disebut dengan istilah zaman penjajahan. Selama zaman itu pula terbentuk semua kelembagaan dan tatanan, baik yang berhubungan dengan ketataprajaan, termasuk batas kewilayahan dan hubungan antardaerah, tata-peradilan, hingga pendidikan dan pengajaran. Semua itu terbentuk salama masa penjajahan Belanda.

Belanda menjajah kita sampai Balatentara Jepang menyerbu negeri ini. Zaman penjajahan adalah zaman penuh diskriminasi, karena orang dibeda-bedakan dalam banyak hal. Kita adalah inlanders, orang pribumi, kelompok terbesar.Yang sebaliknya adalah kelompok terkecil, orang berkulit putih, entah dari mana asalnya. Mereka adalah Europeanen, orang Eropa. Di antara orang pribumi ada yang disebut Christen inlanders, yang terdiri dari Menadonezen, Ambonezen, Timorezen, dst. Orang Cina jumlahnya banyak, terutama di kota. Mereka adalah Chinezen dan bertempat tinggal di Chinezenwijk, Chinezenkamp, kampung Cina atau pecinan, kepalanya disebut kapitein der Chinezen. Orang asing Asia lainnya dimasukkan ke dalam golongan vreemde oosterlingan. kcuali orang Jepang yang dimasukkan ke dalam golongan orang Eropa. Ada golongan yang tumbuh alami sebagai akibat kawin campur antara pria Eropa dan wanita pribumi atau dari golongan lain. Mereka disebut Indo-Europeanen atau disingkat Indo's. Golongan satu lagi adalah wadah bagi mereka yang haknya dipersamakan dengan orang Eropa, disebut gelijkgestelden dan asalnya dapat dari mana saja, orang pribumi atau golongan lain. Ada istilah—yang diucapkan dengan nada agak menyindir—Belanda satu-setengah gulden (rupiah Belanda), karena untuk masuk golongan itu diperlukan surat ketetapan bermeterai fl 1,50,-. Harus diakui juga, dengan hak dipersamakan itu membuat yang bersangkutan jadi berbeda. Mereka yang bernalar dapat merasakan pahit-getirnya kehidupan di negeri yang penuh diskriminasi ini, dan lalu mendorongnya jadi nasionalis pada saat Belanda harus meninggalkan negeri ini. Di antara mereka termasukYap Tjwan Bing yang perjalanan hidupnya terekam (Yap, 1988). Ternyata masih ada faktor yang perlu diperhitungkan, yaitu prasangka. Yap Tjwan Bing, yang jadi nasionalis karena pilihan atas dasar keyakinan, mengalami kejadian yang tidak diperhitungkan banyak orang. Faktor yang tidak dapat diabaikan begitu saja ternyata yang kemudian dikenal sebagai 'sara', singkatan untuk suku-antarernis-ras-agama, Sebagai seorang terajar,Yap Twan Bing begitu Indonesia merdeka langsung terlibat dalam perpolitikan. Sebagai anggota PNI, ia terlibat dalam jajaran kubu nasionalis.Ternyata pada waktu ada kerusuhan yang tersebab 'sara' pada tahun 80-an, ia mendapat getah dari pilihannya jadi 'orang Indonesia'. Dalam kerusuhan itu, jangankan keturunan, bahkan 'kemiripan' dapat membuat orang celaka, karena masa yang bergerak bagaikan gerombolan liar, tidak lagi menggunakan akal sehat. Gerakan itu timbul karena trauma sejarah, dan itu tidak dapat dihapus begitu saja.

Seperti halnya dengan Yap Tjwan Bing yang isterinya tidak kuasa menghadapi gejolak sosial yang menimpa mereka memilih untuk pindah ke Amerika Serikat, saya memahami sikap yang diambil seorang pasti tidak berdiri sendiri, karena keluarga ikut menentukan.

Kisah yang alur ceritanya tersaji di bawah ini pun dilatarbelakangi pilihan. Saya memiliki Ayah yang lahir di Karanganyar, Kedu Selatan di tahun 1882, setengah abad setelah Perang Diponegoro usai. Kakek adalah Penghulu Landraad (Pengadilan Negeri) Karanganyar, dan juga buyut Bupati Karanganyar pertama. Zaman itu, pendidikan dasar umum masih sangat terbatas. Yang ada baru sekolah rakyat dua tahun berbahasa Jawa. Ayah beruntung dapat masuk Europeesche Lagere School di Gombong, sekolah dasar berpengantar bahasa Belanda, ketika ethische politiek belum lagi ada. Ethische politiek adalah kebijakan pemerintahan kolonial, yang biasanya kita ambil alih begitu saja dan kita jadikan politik etis, tanpa tahu makna sebenarnya. Padahal yang terkadung di dalamnya selain tatasusila dan tatanilai sebagaimana yang seharusnya. Perkara ini disinggung lagi di bawah. Pendidikan itu yang memungkinkan Ayah dapat meniti karir dalam pemerintahan kolonial.

Beliau tentu tidak membayangkan apa yang akan terjadi dalam perkembangan selanjutnnya. Dalam pada itu, muncul kebijakan baru pemerintah, yang terjadi setelah Dr. Christiaan Snouck Hurgronye tampil di pentas. Snouck Hurgronje adalah ilmuwan sosial lulusan Universitas Leiden di negeri Belanda, Ia sebaya Kakek dan menguasai bahasa Belanda—tentu saja—dan sebagai layaknya setiap sarjana Belanda juga bahasa Jerman, Perancis serta Inggris. Ia juga ahli dalam bahasa Arab dan Melayu. Dengan menyandang nama Abdoel Ghoffar, Snouck Hurgronje berhasil bermukim di Mekah selama beberapa tahun. Dengan modal itu, ia diangkat pemerintah Belanda jadi penasihat pada Dienst voor Inlandsche Zaken (Dinas Urusan Kepribumin). Dari Snouck Hurgronye lahir gagasan untuk menjadikan Islam sebagai agama masjid. Ketika ia ada di Tanah Suci, yang dikenal sebagai gerakan Wahabi mulai menyebar, gerakan yang juga jadi dasar pemerintahan Arab Saudi sekarang. Sebagai layaknya ilmuwan, ia bernalar, agama Islam di Jawa tidak sama dengan yang ada di Tanah Arab. Dalam masyarakat Jawa ada berbagai kebiasaan yang berasal dari zaman Hindu dan masih melekat. Maka—begitulah yang disimpulkan—di Jawa tidak akan timbul kesulitan bila ada upaya menyiarkan agama Kristen, karena sifat syncretisch penduduknya.

Penelitian sosial sebenarnya merupakan hal yang dilakukan orang di mana saja, apalagi dewasa ini. Seusai PD II, ada seorang mantan perjurit Amerika Serikat yang berbuat itu di Jawa Timur. Orang itu Clifford Geertz (1960) melakukannya di daerah Pare. Hasilnya memberikan gambaran—sangat sederhana, tetapi dianggap mengena—yang menyatakan bahwa masyarakat Jawa dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, priyaji, santri, dan abangan. 'Dalil' itu membuatnya terlontar ke mercu ilmu sosial masyaraat Jawa. Karyanya jadi rujukan banyak peneliti yang menyusul kemudian. Itu yang terjadi, karena orang Barat dengan tulisan yang 'mengena' dapat memperoleh 'pengakuan' tentang keahlian yang dimiliki. Menganalisis masalah kemasyakatan dan menganggap dedasarnya telah ditemukan, itulah yang diperlukan jika kita berhadapan dengan dunia yang berubah dengan cepat dewasa ini. Bila berhadapan dengan sifat kebinekaan masyarakat seperti yang terdapat di Indonesia sekarang, yang harus digunakan orang adalah sikap bijak dan rasa tenggang-menenggang.

Sekarang kita kembali ke Snouck Hurgronje, seorang ilmuwan sosial yang jadi terkenal karena dinilai ahli tentang Aceh. Sebagai pejabat resmi pemerintah, ia rajin menyambangi para penghulu yang ada di Jawa. Ia juga sempat beberapa kali bertemu Kakek yang ketika itu menjabat Penghulu di Karanganyar. Mereka tentu saja berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu mengenai agama Islam tetapi dengan sudut pandang yang berbeda. Ketika itu Ayah sudah tamat dari ELS dan berkomunikasi dengan Snouck Hurgronje dalam bahasa Belanda. Saya menyimpulkan ini dari kenyataan bahwa Ayah tersadar, beliau tidak lagi mungkin menggantikan kedudukan Kakek jadi penghulu di Karanganyar, jabatan yang dipangku Kakek turun-menurun sejak sebelum Perang Diponegoro. Beliau harus banting setir.

Jalan lain yang masih terbuka adalah masuk ke jalur Binnenlandsch Bestuur (Pemerintahan Dalam Negeri). Dengan ijazah tambahan KE (kleinambtenaarsexamen), maka Ayah mulai meniti karirnya dan bawah, mula-mula di Kantor Kabupaten Karanganyar, naik-naik hingga jadi mantri polisi di Petanahan, daerah pantai selatan. Ayah dinilai layak untuk jabatan asisten wedana (kini camat), tetapi jabatan itu tertutup, karena Ayah sebagai keturunan Djojodiningrat—jadi masuk golongan pemberontak—ditambah pendidikan sekolah Belanda, maka Ayah terkena cekal (dicegah-dicekal) di daerah Karanganyar dan Ambal. Di pihak lain, pemerintah kekurangan tenaga, maka Ayah pada tahun 1910 ditetapkan sebagai Asisten Wedana Secang di utara Magelang. Setelah itu, Ayah lalu bertugas di Kalikotes di daerah Kutoarjo, Kabupaten Purworejo. Pada 1922, beliau dinaikkan jadi Wedana Salam, di perbatasan Kedu-Yogyakarta. Pada tahun 1926, meletuslah pemberontakan PKI. Ketika itu saya berumur tiga tahun dan dengan dipanggul opas—sekarang anggota polisi pamong praja—bernama Sali, dibawa berjaga di pinggir jalan besar depan rumah wedana. Dengan lentera di tangan yang digerak-gerakkan ke kanan dan kiri, Sali membuat setiap mobil berhenti sebenar untuk diperiksa semua surat keterangannya. Mobil ada yang keluar dari Kedu dan menuju ke Yogyakarta, atau sebaliknya. Setelah beres, kendaraan melanjutkan perjalanan. Pada zaman itu kendaraan yang berlalu-lalang masih sangat sendikit, sangat berbeda dengan sekarang.

Konon, pada suatu hari di suatu warung minum di pinggir jalan Salam terjadi percakapan di antara sejumlah pengunjung yang sedang medang (minum-minum dengan omong-omong). Di antara para pengunjung ada yang nyeletuk, betapa daerah Salam, meskipun masyarakat sedang heboh dengan pemberontakan, ternyata orang tetap 'adem-ayem'. Gara-gara celetukan itu, tukang warung pun menanggapi dengan spontan: 'Andaikata saja nDoro di sini ngraman, ya kita semua pasti ikut.'. Rupanya celoteh itu sudah cukup bagi resisir (rechercheur, sekarang intel) yang kebetulan ada di antara pelanggan warung tadi untuk meneruskan info itu ke atasan. Maka, tak lama kemudian Ayah pun dipindah ke Prembun di timur Kebumen.

Bagi Ayah, meniti karir sebagai pegawai BB memberikan pengalaman yang sangat berharga. Ada kenyataan yang tidak dapat diingkari dalam berhadapan dengan pemerintahan kolonial, yang selalu dijadikan sebagai semacam 'tanda pengenal' jatidiri, dan jumlahnya ada dua, yaitu keturunan dan nama. Tanda pengenal jatidiri itu dapat menolong, atau sebaliknya, menjebak orang yang dalam lingkungan atau suasana tertentu. Ayah berasal dari dua jalur, ulama dan umara. Mereka dari jalur pertama, lazimnya memiliki nama Arab, sedangkan yang dari jalur kedua namanya Jawa, Jawa Kuno atau Sansekerta. Itu dialami Ayah yang nama aslinya Mohammad Joesoef, dan menunjuk kepada jalur ulama. Nama paman dan bibi beliau dari pihak ayah semua juga bernafaskan Islam. Dari pihak ibu, Ayah masuk jalur umara, dan karena kedekatan dengan keraton Yogyakarta, saudara sepupu yang laki-laki menyandang gelar R.M sedangkan yang perempuan R.A. Itu 'aturan' yang berlaku pada waktu dulu.

Dengan bergulirnya waktu, pada sementara pihak gelar seperti itu bisa saja menimbulkan senyum, olok-olok, cibiran, atau pada pihak tertentu sikap 'sebodoh'. Ini saya alami sendiri sejak saya di sekolah rendah hingga sekelah menengah menjelang PD II. Pada waktu itu, mencantumkan gelar masih lazim, apalagi di Yogya. Ketika itu, ada seorang teman yang bergelar R,M. dan ada seorang lagi yang merasa diri 'rakyat', orang kebanyakan. Dengan nada meledek teman kedua itu menyapa yang pertama dengan sapaan, 'E, Den Mas Luwak . . , dst.dst.' Sapaan semacam itu selain terasa tidak bersahabat, pasti juga tidak akan enak untuk didengar. Itulah akibat dari pilihan kata.

Dalam perkembangan zaman, 'Den Mas Luwak' jadi jenderal sedangkan penyapa tersingkir oleh sejarah. Itu yang saya lihat sendiri, nasib dua teman seangkatan dalam perjalanannya mengarungi zaman yang terus berputar di negeri yang bernama Indonesia, dan itu bernama sejarah.

Kembali lagi kepada Ayah, dan melihat cara beliau menghadapi zaman. Setelah pindah di Prembun, keluar anjuran dari pemerintah mengenai apa yang disebut penggunaan geslachtsnaam, atau istilah Indonesianya nama keluarga. Para pegawai negeri yang setidaknya memiliki gelar raden atau gajih yang besarnya fl100,- (seratus gulden) setiap bulan atau lebih, dianjurkan untuk menggnakan nama keluarga. Sejak itu, Ayah menggunakan nama lengkap Mochammad Joesoef Poerbo Hadiwidjojo, bagian pertama mengacu kapada Poerbonegoro, Bupati Ambal pertama, dan bagian kedua diambil dari nama Djojodiningrat, Bupati Karanganyar pertama. Semenjak itu, para puteranya secara resmi juga mencantumkan Poerbo Hadiwidjojo sebagai nama belakang. Sejak awal, cara menulis nama yang dengan ukuran umum—apalagi untuk zaman sekarang—panjang itu, sudah jadi pemikiran. Bahkan Ayah sendiri sadar akan hal itu. Alih-tulis dari huruf Jawa ke huruf Latin ternyata juga jadi masalah, apakah huruf 'ha' Jawa ditulis ha atau a. Akhirnya ejaan dengan huruf Latin untuk bahasa Jawa, yang semula untuk bunyi Jawa o digunakan a, berubah ditulis dengan o. Pada tahun 1972 muncul ejaan EYD, yang menulis bunyi dj dengan satu huruf j. Sebagai akibatnya, di antara kami ada yang menulis namanya Poerbohadiwijojo, Purbo Hadiwidjojo, Purbo Hadiwidjoyo, dan versi pendeknya Poerbo dan Purbo.

Sebagaimana dapat kita lihat sekarang, di Indonesia—selain mereka yang tergolong Christen inlanders dan keluarga tertentu—perkara nama keluarga tetap saja tidak terlalu diperhatikan. Termasuk di dalamnya adalah orang Jawa yang menjadi Kristen sejak ada anjuran itu.

Tidak ada dua daerah yang sama, karena di setiap daerah ada sesuatu yang khas, demikian pula dengan Kewedanaan Prembun, dan Ayah menyadari hal itu ketika beliau bertugas di sana: Prembun bukan daerah mudah. Di sana ada pabrik gula besar, terbesar kedua setelah PG Jatiroto di daerah Jember, Jawa Timur. Pada zaman itu pabrik gula hanya ada di Jawa, dan Hindia Belanda adalah produsen gula pasir dunia terbesar setelah Kuba. Di PG Prembun setiap tahun timbul masalah, apalagi kalau bukan masalah sewa-tanah milik petani yang diperlukan untuk tanam-tebu. Di satu pihak ada kekuatan kapital—artinya uang, yang dulu atau sekarang juga sama saja—dan di pihak lain adalah rakyat yang kedudukannya lemah. Di antara dua pihak itu ada pemerintah yang diwakili oleh wedana. Salah langkah, orang pasti tergelincir atau terjungkal. Bagi Ayah ini masalah yang tidak sederhana karena menyita tidak hanya tenaga juga pikiran tidak sedikit.

Di Prembun terdapat masalah lain, yaitu kejahatan, karena di daerah itu ada desa dengan penduduk yang sejak dulu dikenal sebagai kecu atau perampok. Tetapi Ayah menganggap hal itu berbeda, karena menangani kejahatan menuntut otak dan bukan rasa.

Menjelang 1932 Ayah sudah bersiap-siap mengundurkan diri, karena pada bulan September tahun itu beliau akan berusia 50 tahun, umur ketika seorang pegawai negeri dapat mulai hidup dari uang pensiun penuh. Pada saat itulah Asisten Residen mencoba membujuk Ayah agar memperpanjang masa dinas dengan bertugas sebagai patih di Indramayu, Jawa Barat. Sebagai seorang yang dalam waktu singkat akan jadi Residen Cirebon, rekam-jejak Ayah jadi acuan bagi usul itu.Tawaran yang simpatik itu Ayah tolak, dan putusannya tidak tergoyahkan, dan kami semua pun mafhum. Padahal, putera-puterinya masih dalam perkembangan, kecuali yang tertua. Yang kedua di MLS, Middelbare Landbouwschool.di Bogor menjelang tamat. Karena sifat sekolahnya dipastikan akan dapat segera bekerja, Putera yang ketiga baru tamat dari AMS-B dan bersiap-siap masuk ke TH di Bandung, yang keempat hampir selesai dari Mulo-B dan baru saja meninggal di Prembun. Yang berikutnya putri, dalam waktu dekat akan menikah, dan adiknya perempuan akan ke Van Deventerschool di Solo. Saya masih di awal sekolah dasar dan adik kembar di kelas persiapan. Kakak tertua sudah lebih dulu mengambil putusan; putus MULO dan menerima apa yang harus dilakoni, bekerja dan berumah tangga. Sebagai yang tertua, layaknya Nabi Ibrahim—ia menyandang beberapa nama, salah satu di antaranya Ibrahim—beliau seakan-akan hanya menerima yang harus dilakoni. Tidak ada yang mengira bahwa dalam perjalanan hidupnya kelak, ia menjadi tempat berteduh semua adiknya, entah pada tahapan apa dan bilamana, dan dalam segi apa. Saya ingat benar ketika Ayah menyatakan niatnya, dan berpesan kepada kami, semoga kami kelak tidak meniti karir di bidang BB. Kami baru menyadari sebabnya pada waktu sudah dewasa.

Yang tidak terduga-duga adalah perkembangan dunia ekonomi dan dunia internasional secara umum. Mendung tebal krisis ekonomi yang menggantung akhirnya menimbulkan prahara krisis yang disebut malaise, istilah Perancis untuk kelesuan ekonomi. Sebagian besar industri, termasuk industri gula tutup, PHK di mana-mana, dan lowongan kerja tidak ada. Setelah semua tugasnya diselesaikan Ayah pindah ke Karanganyar, kembali ke tempat kelahiran beliau. Beliau mencoba memulai dengan kegiatan yang Kakek lakukan lebih dari dua dasawarsa sebelumnya, berkumpul dengan mereka yang sudah akrab pada waktu mereka muda, sambil membahas ihwal keagamaan. Pertemuan itu baru berlangsung beberapa kali, rupanya info-nya sudah sampai pada Residen. Maka PID (Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Rahasia Dalam Negeri) melayangkan surat yang isinya menyatakan bahwa berkumpul-kumpul untuk 'mengaji' adalah tindak terlarang, apalagi yang melakukan adalah seoran g mantan anggota BB. Ayah sadar, kegiatan yang masih dapat dilakukan hanya membaca dan menulis.Yang ditulis Ayah berkisar antara piwulang atau pelajaran hidup dan dedasar agama Islam, yang kemudian diberikan kepada kami para puteranya.

Bagi kakak nomor tiga Basoeki Abdoellah Rasjid Prabotokoesoemo Poerbo Hadiwidjojo, sejak itu jalan kehidupannya adalah yang dalam agama Kristen diistilahkan via dolorosa, jalan penderitaan. Ia berhadapan dengan berbagai masalah yang semua diterimanya dengan penuh ketawakalan dan kesabaran. Yang diperolehnya berupa keahlian dalam bidang kendaraan bermotor dan itu yang justru tampak manfaatnya pada saat Belanda hampir tamat sejarahnya, ketika ia dijadikan kepala bengkel kendaraan tempur, termasuk tank di Magowo. Masih diselingi lagi penjajahan Jepang, ketika ia harus putar-otak untuk dapat sintas (bertahan hidup), hingga tiba saatnya Indonesia merdaka, dan ia mendapat tugas menangani para bekas pejuang. Bengkel mobil di Jalan Slamet Rijadi 296, Solo, itulah ia tempar terakhir ia berkarya. Dengan sejumlah pembantu dekatnya ia menangani bengkel mobil BRN, Biro Rekonstruksi Nasional yang dalam waktu tak terlalu lama dapat maju. Tetapi itu pula akhir kiprahnya, setelah semalaman membuat rancangan kerja bagi bengkelnya. Saya terakan di sini sepotong berita yang dimuat koran Suara Merdeka, 15 Januari 1954. '. . . Suatu peristiwa yang menyedihkan telah menimpa dirinja Basoeki Purboadiwidjojo, pemimpin Motor Service Perusahaan Rekonstruksi B.R.N. Daerah Surakarta, Selasa j.l. . . . [yang dipukul dengan sepotong besi di bagian belakang lehernya] . . .Rebo paginja djam 11.00 djenazah Basuki telah dimakamkan dengan mendapat perhatian besar dari wakil2 djawatan setempat dan kawan2 sekerdjanja, berangkat dari Djl Slamet Rijadi 296 kemakam Djurutanen . . . meninggalnya Basuki Purboadiwidjojo B.R.N daerah Surakarta kehilangan seorang tenaga yang sukar ditjari gantinya. . ...Itukah yang diisyaratkan nama pralahir berian paman Ibu, Sae'oen Tjokrosendjojo, yaitu Abdoellah Rasjid? Hanya Allah yang tahu.

Ayah seorang yang suka membaca dan yang dibaca selain koran dan majalah juga buku pinjaman dari Hollandse Volksbibliotheek di sekolah HIS Karanganyar. Perpustakaan buka setiap hari Saptu, seusai jam pelajaran. Saya jadi penghubung, dan yang melayani Meneer (sekarang Bapak) Arseno salah seorang guru HIS. Buku yang tersedia sangat beragam dari pengetahuan populer, sejarah, literatur dunia, hingga novel.

Karena jadi perantara Ayah, saya sendiri kemudian juga jadi peminjam buku, demikian pula kakak perempuan saya. Dari sanalah saya mengenal buku Multatuli, Max Havelaar, kumpulan syair Noto Soeroto, “In de geur van moeder's haarwrong” (Dalam semerbak wanginya gelung Ibu), berjilid-jilid buku karangan Jules Verne, buku nyanyian J.H. Speenhoff dan masih banyak lainnya. Salah satu di antara nyayian yang tercantum dalam buku nyanyian Speenhoff berjudul “Vaarwel Marie”, Selamat tinggal, Marie, yang pra-Perang Dunia II pernah jadi hit, lagu populer berbungkus lagu “Terang Bulan”. Lagu itu menghiasi film Pare, Het Lied van de Rijst, Nyanyian Padi, film yang dibuat di Tanah Priangan dengan pemain utamanya Raden Mochtar dan Miss Roekiah.

Buku Multatuli memberikan kesan sangat mendalam pada saya. Yang juga menarik adalah buku R.A. Kartini yang berjudul Door duisternis tot licht, yang bagi saya sebagai anak SD terlalu sulit untuk 'dicerna'. Baik Multatuli maupun Kartini masih akan saya singgung lebih lanjut berkaitan dengan perkembangan zaman.

Ayah tidak hanya membaca buku dari perpustakaan umum. Beliau juga membeli buku yang tidak hanya menarik untuk dibaca sendiri, juga menarik bagi kami untuk menambah pengetahuan umum. Sejak masih berdinas, Ayah secara teratur memperoleh prospectus dan kita sekarang mengenalnya sebagai 'berita buku baru', tidak hanya yang berbahasa Belanda, juga berbahasa Melayu dan Jawa. Kini sebagian dari buku kumpulan Ayah itu masih saya simpan.

Sekarang saya beralih ke kisah mereka yang juga memiliki hubungan dengan Perang Diponegoro. Untuk itu, saya menemukan dua tulisan, yang satu tentang Margono Djojohadikusumo dan yang kedua tentang Oerip Soemohardjo, dua-duanya saudara misan Ayah, tetapi 10-an tahun lebih muda. Ketika kecil, mereka juga bersekolah di Europeesche Lagere School, yang pertama di Banyumas, yang kedua di Purworejo. Kisah Margono Djojohadikusumo dapat kita ikuti dari buku yang ia tulis sendiri dalam bahasa Belanda sangat baik, geschreven in puik Nederlands. Meskipun semula ragu-ragu menulis tentang kisah keluarga, karena bisa dianggap iklan-diri, berkat dorongan Mochtar Lubis akhirnya buku terbit juga.(Djojohadikusumo, 1969). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Moh. Radjab dari Fakultas Sastra, Universitas Indonesia dengan judul “Kenang-kenang dari tiga zaman”, dan pernah dimuat sebagai ceritera bersambung di Harian Indonesia Raya,

Ada baiknya saya terakan di sini betapa belajar di ELS bagi Margono kecil benar-benar merupakan 'ujian' yang sangat berat. Sebelumnya, Margono mengikuti pelatihan bahasa Belanda, syarat yang harus dipenuhi untuk diterima di sekolah itu. Hari pertama masuk ELS diawali dengan pidato kepala sekolah. Layaknya pada zaman itu, semua anak mengenakan jas-tutup warna putih dengan kain batik, tanpa sepatu, nyeker dengan istilah sekarang. Saya pun masih mengalami masa nyeker, terutama pada masih pada awal sekolah dasar.

Sebagai murid, Margono belum diperkenankan masuk kelas, karena ada 'upacara' mencuci tangan dan telinga. Untuk keperluan itu, pembantu sekolah menyiapkan sejumlah baskom berisi air. Maka 'upacara cuci-tangan-dan-telinga ini' pun dilakukan, dan baru setelah itu pelajaran dimulai. Hal itu diulangi setiap pagi, dari tahun ke tahun, dan berlaku tidak hanya bagi anak baru, juga bagi mereka yang ada di kelas atas. Itu sebabnya ada di antara anak yang 'berfilsafat', upacara itu diibaratkan sebagai berwudu sebelum sembahyang.

Yang membuat Margono kecil merasa diperlakukan sebagai paria adalah pernyataan sang kepala sekolah yang menyakitkan—namanya hanya dinyatakan dalam singkatan A.v.W.—seperti vuile en vieze inlanders (pribumi kotor dan menjijikkan), vieze Javaantje (bocah Jawa njijiki), dan Je hoort hier niet in de klas maar daar in de kampong bij je soortgenooten (Kau bukan di sini tempatnya, di kampung sana, dengan sesamamu.) Tidak semua orang seperti A.v.W., bahkan guru lainnya di ELS Banyumas.

Hal yang tidak dapat dihapus begitu saja dari ingatan orang pribumi adalah papan yang terlihat pada banyak kolam renang pada zaman itu. Pada papan itu tertulis Verboden voor honden en inlanders (Dilarang bagi anjing dan orang pribumi). Menjelang Perang Dunia II pecah, saya masih sempat menyaksikan papan pengumuman seperti itu.

Margono tamat dari ELS pada tahun 1907 dan meneruskan ke OSVIA, Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren (Sekolah Pendidikan Calon Pegawai Pribumi), di Magelang. OSVIA ada di enam tempat, tiga di Jawa (Bandung, Magelang, Probolinggo) dan tiga di luar Jawa (Fort De Kock, sekarang Bukittinggi, Makassar, dan Tondano). jalur yang ditempuh mereka yang akan dipekerjakan di BB. Ternyata, baru dua tahun di OSVIA, Margono 'menyeleweng' ke jurusan perkreditan rakyat, langkah yang ternyata membawanya ke jalur masa depannya. Di kemudian hari—1946, setelah Indonesia merdeka—keberadaannya di dunia perbankan, membuatnya ia tercatat sebagai pendiri Bank BNI 1946. Tak hanya itu, putera sulungnya, Sumitro Djojohadikusumo kemudian mengikuti jejaknya menapaki bidang ekonomi, dan bersekolah di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam. Tetapi jangan mengira, biaya untuk kuliah dan hidup di negeri Belanda tersedia; semua itu diserahkan kepada Sumitro, yang harus mencarinya sendiri.Yang tersedia hanya uang perjalanan ke Eropa. Seperti diketahui, kemudian meletus PD II. Sebenarnya, dengan semua itu Soemitro dipersiapkan bagi tugas yang akan dihadapinya di masa mendatang. Karena godogan hidup itulah sebagai ahli ekonomi muda ia langsung melejit, dan dalam waktu singkat menduduki berbagai jabatan penting sehingga pada akhir perjalanan hidupnya ia mendapat gelar 'Begawan Ekonomi' (Katoppo & Tim, 2000).

Saya tidak perlu membahas semua itu di sini. Yang saya ingin sampaikan hanya pendapat Bung Karno mengenai Sumitro. Ketika pada suatu ketika Bung Karno ditanya bagamana pendapatnya mengapa ia tak sejalan dengan Sumitro, jawabnya; He is too western, (Ia terlalu ke barat-baratan), dan kemudian ditambahkan, And too clever (dan terlalu pintar). Yah, terserah kepada kitalah untuk menilainya. Itu perjalanan hidup seorang keturunan Bupati Karanganyar pertama yang terekam.

Saya beralih ke Oerip Soemohardjo, pelakon yang selain bersekolah di ELS, juga mengikuti alur yang sama. Setelah tamat ELS tahun 1905, ia juga masuk ke OSVIA Magelang. Sebagai seorang anak yang tumbuh di Purworejo, sejak kecil ia senang hidup di alam bebas, dekat dengan hewan peliharaan mulai dari ayam, domba, kerbau, hingga satwa liar. Ia biasa mandi-mandi, berenang dan meloncat untuk mencebur ke dalam Kali Bogowonto yang arusnya deras dan airnya pada zaman itu jernih. Segera terasa, kehidupan dalam lingkungan OSVIA tidak sesusai dengan panggilan hidup di sekolah itu.

Akhirnya Oerip lari, mimggat atau apa pun istilahnya, dan masuk ke sekolah calon opsir di Meester Cornelis, sekarang dikenal dengan nama Jatinegara. Maka Oerip meniti karir di bidang kemiliteran, dan jadi 'kumpeni'. Ia bukan serdadu biasa, karena mengikuti jalur yang tidak dilalui banyak orang pribumi, yaitu jalur opsir atau sekarang perwira.

Selama bertugas, Oerip sempat ditempatkan di berbagai tempat baik di Jawa maupun di luar Jawa. Saya masih ingat ketika Ayah bertugas di Prembun, saya melihat beberapa kali ada serdadu yang singgah di kewedanaan Prembun dengan berkendaraan mobil Baby Ford, Ford kecil. Sopirnya juga berpakaian hijau, layaknya serdadu. Sebagai seorang anak, dari kejauhan saya dapat melihat gaya perbincangan selalu begitu santai. Baru kemudian saya tahu itu adalah Major Oerip Soemohardjo, Komandam Depot Batalyon Purworedjo. Setiap kali ada keperluan ke Gombong, ia rupanya tidak menyia-nyiakan kesempatkan bertemu saudara misannya—Ayah—yang kebetulan ada di Prembun.

Hal yang selalu diingat Oerip adalah bahwa perlakuan Belanda membeda-bedakan orang ternyata tetap saja terasa, meskipun sebagai opsir KNIL ia memperoleh kemudahan sama dengan rekannya orang kulit putih, termasuk kemilikan hak cuti ke Eropa. Sampai akhirnya, pada suatu ketika ia mengalami kenyataan bahwa diskriminasi memang tidak begitu saja dapat tersingkir. Saat itu tiba, ketika pimpinan KNIL harus memilih satu di antara dua calon yang akan menempati jabatan lebih tinggi dan ia—lewat saluran lain—akhirnya tahu dikalahkan. Pada saat itu ia mengetahuinya, ia langsung mengangkat gagang telepon dan meminta agar ia segera dihubungkan dengan pimpinan KNIL di Departement van Oorlog di Bandung. Tanpa ragu-ragu sedikit pun, saat itu ia menyatakan mengundurkan diri dari KNIL. Putusan Oerip adalah harga mati, juga setelah pimpinan membujuk agar ia mau menerima pengangkatan dalam kedudukan setara. Maka Oerip pun memasuki masa pensiun dengan pangkat overste, yang tertinggi dicapai oleh orang pribumi dan setelah itu memilih untuk bertempat tinggal di Gentan di utara Kota Yogyakarta. Di sanalah ia hidup bertani, sampai Hindia Belanda terlibat dalam perang dengan Jepang. Selaku perwira cadangan ia langsung datang di markas besar KNIL untuk melapor. Ternyata ia adalah orang pertama yang berbuat itu sehingga sempat membuat orang terheran-heran. Setelah Hindia Belanda menyerah, ia ditawan Jepang, tetapi kemudian dikeluarkan dari tahanan karena dianggap orang pribumi.

Selama pendudukan Jepang, Oerip selalu berhubungan dengan banyak mantan anggota KNIL yang mengenalnya dengan baik, yang secara diam-diam mengunjunginya di Gentan (Nasution, 1969), Itu sebabnya, mengapa ia dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di tanah air. Begitu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta Oerip langsung dilibatkan dalam perkara yang berhubungan dengan angkatan bersenjata. Maka dari itu, dari yang semula bernama Barisan Keamanan Rakyat, lewat Tentara Keamanan Rakyat, akhirnya menjelma Tentara Nasional Indonesia, TNI, senafas dengan yang Oerip yakini, yaitu bahwa Indonesia yang merdeka juga harus mengandalkan pada kekuatan sendiri. Nama A.H. Nasution dan T.B. Simatupang masih akan kita singgung di bawah.

Mereka yang mengalami kurun waktu sejak Proklamasi hingga beberapa waktu kemudian pasti ingat suasana tegang di mana-mana. Orang tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan, bahkan dalam lingkungan dekat, sesama orang 'kiblik'. Oerip yang pada saat itu sudah resmi diangkat sebagai Kepala Staf TNI setiap saat sadar sikap dan tindakan yang harus diambil dalam berhadapan dengan bekas penjajah. Pada bulan September 1945 ada tugas yang harus dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka pemulangan para bekas tawanan sipil, sebagian besar perempuan dan anak, untuk mengangkut mereka dari pedalaman ke Jakarta. Tugas itu datang dari RAPWI. Oerip tentu sadar tugas itu harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Maka meskipun ia menduduki pimpinan tertinggi TNI, ia sendiri yang memimpin pengangkutan para bekas tahanan itu menuju Jakarta. Ia sadar, sikap bermusuhan terdapat di mana-mana. Meskipun mereka bekas tawanan itu orang sipil, tentu ada di antara kita yang rasa bermusuhannya masih meluap-luap.

Oerip juga tahu sikap militer Belanda yang dipimpin oleh oleh Letnan Jenderal S.H. Spoor dalam menghadapi kekuatan militer negara baru Republik Indonesia, yang dalam pendangannya adalah pemberontak,termasuk tentu saja Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, yang pernah jadi atasannya. Maka ketika ia bertemu secara pribadi, Jenderal S.H. Spoor megucapkan salam Goede morgen, Kapitein, (Selamat pagi, Kapten), dan Oerip pun langsung menjawab, 'Goede morgen, Luitenant'' (Selamat pagi, Let.).

Dari dialog singkat ini saya melihat bukan canda, melainkan permusuhan. Diubah dalam bentuk dialog—rekaan saya—lebih-kurang 'Oerip, Anda telah melanggar sumpah kesetiaan pada negara, karena menyeberang ke kaum pemberontak!' Dan dijawab, 'Negeriku telah merdeka, dan dengan sendirinya kesetiaanku beralih ke negeriku. Tidak ada yang salah.' Bisa juga ditambah, 'Ingat, lagu Wilhelmus yang mengisyaratkan hal serupa.'

Ternyata, Oerip belum terlepas dari ujian, terutama karena ada saja pihak yang beranggapan ia berasal dari kubu musuh. Karena menanggung rasa bahwa pengabdian yang telah ia berikan tidak terterima, ia akhirnya jatuh sakit, raganya terus melemah dan tidak kuasa lagi menghadapinya. Ia wafat pada 17 November 1948, dan menjelang asar jasadnya diturunkan ke dalam liang lahat di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta, dengan iringan tembakan kehormatan dalam guyuran hujan lebat.

Makamnya lerletak berdampingan dengan makam Jenderal Soedirman. Pada nisannya tertera Oerip Soemohardjo. Letnan Jenderal TNI, 22 Pebruari 1893—17 Nopember 1948. Sebagai penghormatan dan dengan mempertimbangkan semua jasanya kepada Negara, secara anumerta selain pangkatnya dinaikkan jadi jenderal ia juga diangkat menjadi pahlawan nasional karena telah meletakkan dasar bagi tentara nasional.

Sekarang saya akan mencoba merunut perubahan yang kita alami, sejak kita masih terjajah dan kemudian mencari jalan hingga akhirnya menemukan cara bertahan dalam dunia yang terus berubah dan saya menempatkan diri jadi pelakon. Di atas sudah disinggung saya lihat atau alami, meskipun dalam tautan yang berbeda.

Untuk memberi gambaran bagaimana berlangsungnya pendidikan di zaman Belanda yang akhirnya membuat saya seperti ini, saya akan mencoba mengisahkan pengalaman saya. Saya masuk generasi orang Indonesia yang memperoleh pendidikan di zaman itu. Sejak di sekolah dasar kami mendapat mataajar Geschiedenis (Sejarah), yang terbagi dalam Vaderlandse Geschiedenis (Sejarah negeri leluhur) dan Geschedenis van Nederlands Indie (Sejarah Hindia Belanda). Terus terang, saya tidak menyukai mataajar itu, untuk tidak mengatakan membenci.Yang jadi penyebab, karena saya curiga sejarah Hindia Belanda 'diarahkan', direkayasa dan perasaaan itu tentu karena saya sudah mendapat 'versi' sejarah yang lain dari Ayah.

Sebagai siswa Openbare Hollands-Inlandse School di Karanganyar saya mendapat pelajaran bahasa Belanda. Guru bahasa Belanda orang Indonesia, tetapi berijazah dan pasti memenuhi syarat. Bahasa Belanda tidak hanya diberikan agar siswa dapat berbahasa itu, tetapi sampai benar-benar menguasai bahasa Belanda. Untuk keperluan itu, sejak Kelas IV, di setiap kelas ada perpustakan kelas sebesar satu lemari, mencukupi untuk pelajaran satu tahun dan sesuai dengan umur siswa. Setiap minggu siswa diharuskan meminjam buku, dan mengembalikannya minggu berikutnya, sambil membawa ringkasan buku yang baru dibaca, terugvertellen met eigen woorden, mengisahkan kembali isi buku dengan bahasa sendiri. Untuk keperluan itu, dalam kumpulan buku ajar yang dipinjamkan kepada setiap siswa di awal tahun ajar baru, terdapat kamus Koenen, Verklarend Zakwoordenboek, 'kamus saku' yang ukuran terlalu besar untuk dimasukkan dalam saku. Kamus berisi kata umum sehari-hari, padanan, serta penjelasannya. Di samping perpustakaan kelas, terdapat Hollandse Volksbibliotheek, perpustakaan rakyat berbahasa Belanda, seperti sudah disinggung di atas.

'Dunia Belanda' juga diperkenalkan lewat nyanyian. Untuk itu, setiap jam pelajaran terakhir hari Saptu, anak kelas VI dan VII berkumpul di speelloods (bangsal main) dan bernyanyi bersama, dipimpin oleh salah seorang guru. Berkat ada jam mernyanyi, setiap anak lulusan sekolah zaman Belanda pasti mengenal buku nyanyian “Kun je nog zingen, Zing dan mee!” (Veldkamp & De Boer, 1930). Dari sanalah kami tidak hanya mengenal bahkan hafal sejumlah lagu Belanda sampai di hari tua.

Dengan sendirinya, Wilhelmus, lagu kebangsaan Belanda tercantum sebagai lagu pertama. Banyak di antara lagu bernada pujaan terhadap kepahlawanan warga Belanda, contohnya Piet Hein (Piet Hein, Piet Hein, zijn naam is klein, Maar zijn daden bennen groot......dst.dst. (Piet Hein, Piet Hein, namanya kecil—maksudnya sangat umum, sehari-hari—tetapi tindakannya sangat luar biasa: ia mampu mengalahkan armada Sepanyol pembawa perak).

Lalu ada lagu yang menggambarkan keperkasaan bendera negara,“Vlaggelied” (Lagu bendera”.'O, schitterende kleuren van Nederlandse vlag, Wat wappert gij fier langs de vloed, . . .'(Benderaku, Ayo Berkibar gagah gemerlapan seirama ombak, . . ' Terdapat sejumlah lagu tentang alam, seperti: In 't kleine dal, In 't groene dal, waar kleine bloemen groeien, …....dst. dst. (Di lembah kecil nan hijau sunyi, dengan bebungaan kecil-kecil, bertebaranlah tempias untuk menyiram bahkan bunga yang kecil pun. Tamsilnya, konon, rizki bukanlah milik yang gede-gede saja, juga bagi yang kecil, artinya, juga bagi rakyat. Lewat nyanyian, siswa diajak tidak hanya mengenal, bahkan mencintai tanah air dan alamnya. Seperti akan kita lihat dalam perjalanan sejarah kita, sejumlah penggubah lagu kita juga terilhami menuangkan karyanya dalam bentuk nyanyian.

Tidak sedikit orang dari angkatan pra-PD II yang sangat terkesan akan lagu Veel voor anderen te wezen, (Banyak berbuat bagi orang lain) Hen te helpen, altijd weer, (Dan menolong, menolong lagi) Och, mocht dit de vreugde worden, Die ik bovenal begeer (Duh, jika 'ni yang disebut gembira, Yang kudambakan atas segalanya) Zalig, zalig, is hij die geeft, Wat hij heeft, en zich rijk voelt er bij (Bag'ya, bag'ya, yang memberi yang dimiliki, Dan malah merasa kaya) Ada satu lagi lagu senada, Vriend ik ben tevreden, Laat mij met rust, alleen.(Kawan, aku puas, Biarkan 'ku sendirian) In mijn kleine woning, Leef ik blij en stil, (Dalam rumahku yang kecil 'ni, Aku hidup senang dan tenang), Menig mens heeft alles, Wat hij wenst op aard . . .(Tak banyak orang memiliki segalanya, yang diingini di dunia ini). Mereka dari angkatan itu yang tidak sempat mendapat bimbingan jiwa dari tempat yang semestinya, maka lagu seperti itu menjadi siraman kalbu, dan intinya mereka bawa sampai usia senja, dan terhindar dari ketamakan dan selain itu selalu bersyukur.

Setelah tamat HIS, saya masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs B, MULO dengan tambahan B, di Magelang, sekolah untuk persiapan bagi mereka yang akan masuk ke jenjang berikutnya. MULO yang seperngkat SMP terbagi dalam bagian A, B, dan C. Mereka dari bagian B dipersiapkan untuk meneruskan ke sekolah menengah bagian atas, dan selanjutnya ke perguruan tinggi. Lulusan bagian yang lain dapat masuk ke sekolah kejuruan seperti MOSVIA dan sekolah dagang. Dari Mulo B saya masuk ke Algemene Middelbare School Afdeling B di Yogyakarta. Saya terus terang tak memiliki gambaran apa selanjutnya, karena untuk itu pasti diperlukan biaya. Di sinilah rupanya peran Ayah sebagai pihak penentu, meskipun sudah pensiun, pendidikan jangan sampai telantar.

Di sekolah pada jalur yang menuju ke perguruan tinggi, bahasa dinilai penting. Di Mulo, selain bahasa Belanda juga diajarkan bahasa Inggris, Jerman dan Maleis (bahasa Melayu). Bahasa Jerman saya peroleh sekitar satu tahun ajaran, dan Negeri Belanda keburu diduduki tentara Jerman. Dalam waktu sesingkat itu, Alhamdulillah, sampai sekarang penguasaan bahasa Jerman saya tidak hanya pasip, juga aktip. Hal ini selain ada hubungannya dengan cara bahasa itu diajarkan, tentu karena kemiripannya dengan bahasa Belanda. Ada lagi yang juga membantu. Sejak pendudukan Jepang, dalam tugas dan ketika belajar sehari-hari, saya banyak menggunakan buku Jerman. Bahasa Inggris saya peroleh di Mulo dan di AMS-B, dan di samping itu juga bahasa Perancis. Selama zaman pendudukan Jepang, saya sempat memperoleh bahasa Jepang, tetapi hampir tidak ada yang tersisa. Bagi saya pribadi, rupa-rupanya yang jadi penyebab adalah suasana pendudukan yang menekan jiwa. Saya bersyukur karena modal bahasa yang saya peroleh dari sekolah membuat saya mampu berkomunikasi dalam berbagai bahasa sampai sekarang.