Karanganyar adalah kota yang baru sama sekali dan dibangun setelah kekuasan Belanda benar-benar mapan. Dengan pengalaman mereka membangun kota yang lain sebelumnya, Belanda dapat menangani tatakota secara langsung. Ini tampak jelas dari 'arah', selain letak sarana penunjang yang penting-penting, yaitu pasar, rumah sakit, sudagaran (tempat orang pribumi berdagang) dan letak pecinan tempat bermukim penduduk Cina. Yang tampak terencana adalah cara air digunakan bagi orang banyak. Ada putunjuk, bupati pertama RMAA Djojodiningrat, selain memberikan perhatian juga masih besar kekuasaannya, sehingga yang dikehendaki diikuti. Ini semua tercermin pada tinggalan yang ada hubungannya langsung dengan lambang kekuasaan dan dengan kewajiban penduduk dalam peribadatan menunaikan agama yang pada waktu itu hanya ada satu, Islam.

Saya menduga, Kota Karanganyar dibangun dengan memanfaatkan keadaan medan aslinya. Medan

di sini memiliki kemiripan dengan tempat lain yang terletak di perbatasan dataran dengan daerah pegunungan yang dinamai Belanda Zuid Serajoe Gebergte, kini Pegunungan Serayu Selatan. Inti pegunungan itu berupa batuan Pratersier yang berumur di atas 200 juta tahun dan sudah disinggung di atas.

Di pegunngan bersumber sejumlah sungai dan di masa lampau menjadi alur pengangkutan bahan rombakan dalam jumlah sangat besar. Semua bahan berasal dari pelokosan (denudasi) sejak zaman prasejarah. Pada hakikatnya, peristiwa banjir besar pada tahun 1861 yang masih akan dibahas di bawah hanya ulangan kejadian serupa dari sejak zaman entah kapan.

Sungai di dataran Jawa Tengah Selatan—kecuali Kali Bogowonto dan Kali Serayu—bersumber di Pegunungan Serayu Selatan dan pada peralihan ke dataran membentuk delta sebagai akibat secara tiba-tiba kelandaian atau kemiringan alurnya berubah. Maka mengendaplah sebagian besar muatan yang dibawanya. Oleh sebab itu, delta juga tersusun dari bahan rombakan batuan dari daerah hulu. Di dalamnya kuarsa, Si02—pesusun yang sangat tahan terhadap proses pemerkecilan—ditemukam di sepanjang Kali Lukula ditemukan kerikil dan kerakal kuarsa. Sungai itu satu-satunya yang daerah alirannya berbatuan Pratersier. Warnanya yang putih menonjol, dan membuat terutama kerakal jadi barang yang digemari orang, dan sebagai akibatnya kini jadi langka.

Delta terbesar juga delta Kali Lukula. Di sana kemudian tumbuh permukiman pertama penduduk pertama—awal abad ke-14—dengan kemunculan cikal bakal Kebumen, sezaman dengan yang ada di ujung timur dataran, yaitu Bagelen. Boleh jadi, Desa Candi di timurlaut Karanganyar juga berasal dari zaman itu. Nama desa itu menunjuk ke tempat beribadat umat agama Hindu dari zaman Kerajaan Galuh di akhir abad ke-14.

Letak Kebumen secara kebetulan di tempat yang tanahnya cocok untuk pembuatan tembikar, juga batu bata dan genting. Tidak mustahil candi yang terdapat di dekat Karanganyar juga dibangun dari bata, bahan bangunan yang mudah hancur, tetapi siapa tahu pada suatu hari pondasinya masih bisa ditemukan.

Saya ingat dari waktu di sekolah dasar Karanganyar di tahun 30-an, nama Haji Abu Amar sangat terkenal sebagai pengusaha genting terkemuka di Soka. Kerajinan pembuatan bata dan genting itu bertahan hingga dewasa ini. Di zaman itu juga ada mantan Residen Kedu yang memiliki pabrik genting-tekan pertama yang terletak di barat Soka. Pada zaman revolusi pabrik hancur, tetapi jembatan masuk pabrik di atas solokan pengairan sampai kini masih ada dan jadi saksi sejarah. Sekarang di daerah itu industri genting tetap hidup subur.

Karena kita membicarakan Bagelen—nama yang ada hubungannya dengan Galuh—maka sudah selayaknya kita menyebut nama Prof. Dr. R.M. Ngabehi Lesiya Purbatjaraka (1884—1964). Pada hemat saya, ia adalah seorang yang dengan ilmu yang dikuasainya mampu menjembatani dunia Jawa dengan kenyataan sebagaimana dituntut zaman. Konon, ia 'ditemukan' oleh Dr. N.J Krom ketika sedang menyapu halaman. Purbatjarakalah yang 'menemukan' asal nama Bagelen lewat analisis. (Dari kata galuh diturunkan kata galih sebagai bentuk tinggi, diberi awalan dan akhiran [walkhiran], untuk menyatakan tempat, dan akhirnya agar sesuai dengan tatabunyi, p berubah jadi b, sehingga diperleh kata Bagelen,)

Meskipun sangat lambat masuk di Europeesche Lagere School, sekolah dasar Belanda—sebagai pendengar—berkat kecerdasannya yang menonjol, ia akhirnya dapat menapaki jalur yang menuju ke perguruan tinggi dan menjadi ilmuwan tamatan Univertas Leiden. Sebagai seorang gurubesar, beliau mengajar selain di Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, juga di Universitas Nasional Jakarta, perguruan tinggi yang pada 3 Mai 1964, mengangkatnya sebagai Mpu Ilmu Sastra. Poerbatjaraka hidup di zaman pasca-Ranggawarsita, ketika hubungan antara kita dan Belanda telah menemukan 'format'. Baginya waktunya juga tepat untuk bertindak sebagai sarana untuk menjembatani jurang budaya antara kita dan Belanda.

Peralihan dari kekuasaan Mataram ke pemerintahan kolonial harus dijembatani selain dari segi nirmaujud (lewat berbagai lambang dan nama), juga yang memiliki wujud kebendaan. Yang masuk barang berwujud adalah yang disebut pengendalian sungai, Inggrisnya river training. Sebelum ada tindakan itu, sungai di Kedu Selatan adalah alur alami yang di musim hujan selalu mendatangkan banjir bandang. Tindakan yang cepat dilakukan adalah membangun tanggul di sepanjang alur sungai.

Mari kita soroti tapak Kota Karanganyar dan meninjau dari sudut pandang ilmu kebumian. Kita mulai dari alas tapak kota yang tersusun terutama dari endapan sungai Kali Karanganyar atau juga dikenal dengan nama Kali Karangkemiri. Pada waktu kecil, nama Kali Karangkemiri sering saya dengar, mengikuti nama desa di belakang rumah bupati, di seberang sungai. Desa Karangkemiri bisa jadi lebih tua daripada Kota Karangnyar.

Rumah Bupati dan alun-alun itulah tempat yang kemudian dijadikan pusat Kota Karanganyar. Dari alun-alun ke arah timur, medan tampak meninggi. Pada waktu merencanakan kota, delta purba itu dimanfaatkan sebagai landasan tata-letak jaringan solokan pengairan dan penyaluran limpasan air hujan.

Ada petunjuk batuan dasar sedimen Tersier di bawah Karanganyar miring kecil, sekitar 5-10º, ke arah baratdaya. Di timur Karanganyar ada sungai (kecil) bernama Kali Kethek. Kethek adalah jenis makanan rakyat setempat terbuat dari blothong, ampas pembuatan minyak kelapa. Warnanya sama dengan warna air keruh sungai itu, tersebab muatan lumpur yang berasal dari napal—jenis lempung bercampur batugamping—dan tersingkap di sepanjang alur sungai. Boleh jadi, kekeruhan itu akibat sungai dalam fasa menoreh, petunjuk pengangkatan kulitbumi setempat.

Di tepi jalan raya di timur Kali Kethek kini berdiri Restoran Candisari dengan hotel dan SPBU, pompa bensin. Beberapa tahun yang lalu, saya menginap di hotel, dan pada saat itu kebetulan sedang berupaya menambah persediaan airnya dengan membuat sumur bor-dalam. Lubang itu segera menjumpai napal. Karena terbiasa menghadapi tugas sejenis, saya menyimpulkan upaya untuk membor sumur-dalam di batuan napal tidak akan berhasil. Secara 'iseng' saya juga melihat-lihat di belakang hotel dan menemukan dasar sungai yang tak seberapa dalam itu juga napal. Saya menduga, itu sebabnya mengapa Kali Karanganyar setelah keluar dari pegunungan tidak langsung mengalir ke selatan, tetapi berarah ke baratdaya, dan akhirnya terantuk kepada batuan yang lebih keras, dan membelok ke selatan. Kiranya, batuan napal keras ada di barat sungai, dan tempat itu diberi nama Panjatan, artinya tanjakan. Batuan dasar yang berumur Tersier (20 juta tahun) yang cukup keras itu tercermin pada nama Alang-alang Amba, padang luas ilalang—sekarang umum menyebut Alang-alang Ombo—dan tonjolan bukit berdiri sendiri yang bernama Jong Kemureb yang sudah disinggung di atas. Semua itu menyiratkan kenyataan ada batuan yang lebih tua dan lebih keras di bawah. Kini, setelah saluran pengairan ada, Alang-Alang Amba berubah menjadi persawahan, dan airnya berasal dari Kali Kemit.

Alun-alun Kota Karanganyar cukup luas dan pada peta Google luas terukur 26,280 meter persegi. Rumah kediaman bupati ada di utara, menghadap ke selatan, entah karena ada aturan rumah pejabat harus menghadap ke samudera yang penuh mistik. Halaman boleh dikata sama lebar dengan sisi utara alun-ulun, masjid di barat, dan yang tidak ketinggalan adalah penjara, atau istilah dulu pada zaman penjajahan bui, dari kata Belandu boei, yang kita buat kata jadian buwen. Pada hakikatnya, masjid adalah unsur petentu (yang menentukan) pola dasar tatakota, dan dengan itu Karanganyar kemudian dibangun. Arah umum kota dengan jaringan jalannya sudah disesuaikan dengan arah kiblat, sehingga arah barat-timur dan utara-selatan digeser sedikit. Ini menunjukkan bahwa ilmu geodesi sudah digunakan, atau dengan kata lain, perencanaan kota bertolak dari arah kiblat, yang berarti juga Bupati Djojodiningrat dapat berkomunikasi dengan pihak Belanda.

Seingat saya, rumah bupati terlihat megah, baik tampak-depan maupun luas halaman depannya. Jalan masuk ke halaman dihiasi regol, yang berdiri setelah jembatan yang ada di atas saluran induk pengairan. (Mengenai saluran, lihat selanjutnya di bawah.) Ada sejumlah pohon koningspalm (Oreodoxia regia) (palem raja), yang menghiasi kanan-kiri halaman depan yang berkerikil. Halaman selebihnya yang cukup luas ditanami rumput. Itulah yang tampak pada waktu tahun 30-an.

Sebelum menguraikan ihwal Kota Karanganyar lebih rinci, barangkali ada baiknya kita melangkah kembali, menengok urutan terbangunnya kota. Hal ini dapat disimpulkan dari arah, baik jalan raya maupun rel keretapi. Yang paling dulu dibangun adalah jalan raya barat-timur, yaitu menjelang Perang Diponegoro. Jelas ini langkah awal yang sangat penting, karena Belanda menggambarkan ini akan dijadikan jalan penghubung utama sebagai pengganti Jalan Urutsewu. Jalan ini melewati daerah kering, kecuali beberapa tempat yang tidak dapat dihindari. Di barat Karanganyar—yang ketika itu belum ada—titik petentunya tapak untuk jembatan yang kemudian disebut Panjatan, dan di timur, titik jembatan Kali Kethek. Ruas jalan ini benar-benair lurus. Setelah Perang usai, dan rencana Kota Karanganyar (maknanya permukiman baru) matang, jalan raya ini di barat bertemu dengan jaring-jalan kota secara menyudut. Hal ini disebabkan karena jaring-jalan kota pertama-pertama ditentukan oleh jalan di depan masjid, dan arah masjid ditentukan oleh arah kiblat, seperti disinggung di atas. Yang terakhir dibangun adalah rel atau jalur jalan keretapi, menjelang 1880. Di barat petentu adalah letak terowongan Ijo. Jalur rel harus menyinggahi Gombong karena ada tangsi, baru setelah itu baru mencapai Karanganyar. Karena ketika itu daerah Karanganyar belum bebas banjir sepenuhya, rel harus ditinggikan dengan membangun tanggul, yang bahannya diambil dari kanan-kiri jalur rel. Sebagai akibatnya, galian itu menjelma jadi blumbang (kolam), salah satu sasaran bagi saya dan teman-teman sebaya pada waktu kecil untuk memancing ikan. Dengan dibangunnya rel keretapi, di tempat persilangannya dengan jalan raya yang semula lurus, dibuat tekuk, dengan pintunya dibuat selebar bagian jalan yang beraspal. Setelah tahun 1970-an, tekuk jalan raya ditiadakan agar jalan raya benar-benar lurus dan pintu jalan keretapi digeser ke barat.

Kita kembali ke Karanganyar pada 1930-an, ketika suasana kekuasaan feodal Jawa masih dapat dihirup. Pola kekuasaa itu tercermin dari kehadiran wringin kurung, sepasang pohon beringin berpagar, lebih-kurang di tengah alun-alun. Pohon beringin adalah lambang kekuasaan pelindung rakyat. Seperti kita ketahui, selama bertahun-tahun Golkar menggunakan lambang pohon beringin. Hemat saya, pohon beringin berpagar mengisyaratkan pihak penguasa juga harus mengendalikan diri, tidak berbuat sewenang-wenang, hal yang tidak mudah dilakukan.

Selanjutnya ada dua paseban dengan ukuran sekitar 10mx10 m. Kata paseban berasal dari bahasa Kawi seba, dan pada gilirannya kata ini dari bahasa Sansekerta sabha. Sebelum dapat menghadap pada nDoro Kanjeng, paseban adalah tempat tamu menunggu.

Masjid Karanganyar sebagai masjid ibukota kabupaten tampak megah dan layak disebut masjid agung. Menurut taksiran, ruang dalam dan serambi dan serambi luar dapat muat sekitar 5000-an jemaah. Ketika masih kecil, pada waktu salat Jumat masjid saya tidak pernah melihat masjid penuh, meskipun masjid 'pusat'. Dulu, di Karanganyar ada dua pondok pesantren, di Plarangan dan Candi, yang masing-masing dipimpin seorang kyai.

Di ruang dalam bagian belakang masjid terdapat bilik yang dikhususkan bagi jemaah perempuan sekitar 100-an orang. Masjid juga digunakan untuk bersalat Idul Fitri, karena dulu, pra-PD II, di Indonesia tidak ada kebiasaan orang bersalat di lapangan, lebih-lebih lagi salat Idul Qurban.

Seingat saya, pertama kali ada salat Idul Qurban yang diselenggarakan di lapangan terjadi ketika saya sudah di AMS-B Yogyakarta. Saya mengikuti arak-arakan dari Kantor Pusat Muhammadijah, Jalan Ahmad Dahlan (sekarang), menuju ke lapangan Kuncen. Usai salat menyusul penyembelihan hewan kurban, yang seingat saya berjumlah hanya beberapa ekor. Tempat itu kini tapak Universitas Mohammadiyah. Saya ingat, ketika itu saya tidak sendirian tetapi bersama adik sepupu, Soebagijo yang sama-sama bersekolah di SMA-B, setingkat tetapi berbeda kelas.

Dari zaman tahun 1930-an, pada masjid Karanganyar ada yang menarik perhatian saya, sehingga membuat saya keheran-heranan. Yang sangat menarik adalah lantai ruang-dalam masjid besar dengan mihrab dan mimbarnya. Tinggi lantai itu, menurut ingatan empat meteran di utara dan di barat mungkin bahkan lebih besar lagi, mungkin enam meteran. Lantai serambi lebih rendah, sekitar semeteran.

Pada rumah bupati terdapat hal serupa, bagian 'dalem'-nya berisi kamar tidur, dan ruang makan, yang juga dibuat tinggi. Masih di dekatnya, tetangga timurnya di seberang jalan, berdiri rumah besar dan juga berlantai tinggi. Saya kira, ini dulu adalah rumah patih, karena letaknya yang berdekatan dengan rumah kediaman bupati. Ada lagi rumah berlantai tinggi, meskipun letaknya cukup jauh, di Tanjung Anom, bagian tenggara kota, pada terusan Jalan Alun-Alun Selatan. Ayah sekeluarga menjelang Jepang datang mendiami itu, setelah pindah dari rumah tinggal Kakek di utara masjid. Rumah berlantai tinggi juga ada di daerah Pecinan, milik Tjoa Ping Joe, yang boleh jadi termasuk penduduk awal. Mungkin saja ada rumah tinggi yang lain, tetapi kemudian dibongkar setelah kota bebas banjir.

Jika kita berbicara tentang Karanganyar sebagai ibukota kabupaten, hal itu tidak lengkap, jika kita tidak menyebut adanya rumah sakit kabupaten. Namanya Nirmolo dan letaknya di pinggir timur kota. Saya mengira rumah sakit tergolong baru, sebagai kelengkapan yang dipersyaratkan bagi sebuah kota. Nama rumah sakit itu memginsyaratkan bangunan itu berasal dari awal abad ke-20, ketika pengaruh 'Timur' makin terasa dengan tampilnya nama Nirmolo (=tanpa penyakit). Letak rumah sakit di batas persawahan pada waktu itu tentunya dihubungkan dengan udara di sana yang segar. Karanganyar belum membutuhkan air pipa, karena air tanah masih mencukupi, dan bilamana cadangann memyusut—misalnya pada waktu musim kemarau—maka dapat terjadi pengiimbuhan dari saluran pengairan di dekatnya yang airnya berasal dari pintu air Sindut, menuju ke kota dan terus ke persawahan.

Di Karanganyar terdapat sejumlah bangunan yang berlantai tinggi. Semua itu merupakan bangunan yang berdiri paling awal, dari zaman ketika kota itu masih sering dilanda banjir bandang. Itu zaman ketika kota belum terlindung tanggul akibat luapan Kali Karanganyar atau Kali Karngkemiri. Itu keadaan pada zaman awal pemerintahan Bupati Djojodiningrat.

Pada zaman itu jemaah Masjid Besar Karanganyar terbanyak terdapat pada hari Jumah dan hari besar Idul Fitri. Seperti yang terjadi pada umummya di zaman itu, seminggu ada dua hari yang disebut hari pasaran atau disingkat pasaran. Pedagang menggelar dagangannya secara berkeliling, hal yang disesuaikan dengan putaran mingguan. Mereka berkeliling daerah mengikuti jadwal pasar, dengan gerobak pengankut barang dagangan mereka. Selain hari Jumah, hari pasaran yang lain di Karanganyar adalah Selasa, tetapi yang ramai dikunjungi orang adalah hari Jumat, ketika orang dari tempat yang jauh-jauh juga memerlukan datang. Di hari Jumat juga ada pasar hewan ternak dan tempatnya terpisah oleh jalan kabupaten yang menuju ke selatan. Tidak mungkin—apalagi pada zaman itu—orang membangun`masjid besar, jika jemaah tidak berjumlah besar.

Sebenarnya, pola hari pasaran yang berputar karena berhubungan dengan jadwal para pedagang yang menggelar dagangannya terjadwal, tidak hanya kita jumpai di Karanganyar dan sekitarnya. Saya kira, bagi Karanganyar pasaran jatuh pada hari Jumat memang terencana, apalagi kalau bukan ada hubungannya dengan 'jumatan', hari besar minguan, dan karena masjid besar, terbesar bagi daerah itu.

Nama tempat yang berasal dari zaman ketika pasar masih memiliki pola putaran mingguan juga dapat kita jumpai di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan pinggirannya. Kita temukan di sana ada Pasar Minggu, Pasar Senin, Pasar Rebo, Pasar Jumat, yang semuanya di wilayah bagian timur. Di rentetan nama pasae situ pula terletak nadi awal kehadiran Belanda, yang ditentukan oleh jalur Batavia-Buitenzorg, atau sekarang Jakarta-Bogor.

Yang terletak di luarnya adalah Pasar Kemis, yaitu di daerah Tangerang. Pasar Selasa dan Saptu tidak ada.Yang ada Desa Setu, dan bolehjadi itu dulu merupakan tempat yang digunakan untuk pertermuan yang terjadwal, yang jatuh pada hari Saptu.

Kita kembali ke masjid Karanganyar dengan halamannya yang sangat luas. Taksiran saya mungkin ada sehektaran, selain di depan masjid juga di kanan-kiri dan sedikit di belakang, yang dipenuhi berbagai jenis pohon dan tanaman lain. Halaman depan penuh dengan pohon sawo kecik. Jika saya kelak dapat menemukan potret lama, dengan senang hati saya akan menyertakan di sini. Selain itu, di utara masjid terdapat pohon kenanga dan di selatan masjid ada pohon kantil.Yang selalu teringat adalah perdu 'sedep malem', yang bunganya memancarkan bau wangi pada malam hari. Yang juga berbau wangi pada malam hari adalah kembang prentil, tumbuhan yang tidak sampai berupa pohon. Seingat saya, terdapat juga cukup banyak tanaman bunga mawar dan selain itu beberapa (perdu) kaca piring. Yang ikut menyebarkan bau wangi adalah bunga melati yang ditanam di sepanjang jalan-kaki bertembok—pada waktu itu belum ada semen portland—yang terdapat di kanan dan kiri masjid.

Jalan geronggong dalamnya itu sekaligus berfungsi sebagai saluran air, dari bak penando air yang menuju ke padasan menjelang tangga pintu masuk di kanan (utara) dan kiri (selatan) masjid. Air untuk keperluan masjid berasal dari dua sumur bersenggot, sebuah di utara masjid dan sebuah lagi di selatannya. Adalah tugas Pak Alikusen—magersari yang bertempat tinggal di halaman pengulon bagian selatan—untuk mengisi kedua bak penando air masjid itu. Di kanan-kiri depan masjid tidak ada padasan. Jadi, jemaah yang datang dari jauh—termasuk mereka yang sebelumnya sempat ke pasar—dapat berwudu bahkan mandi dan buang hadas besar, berkat kemudahan yang tersedia.

Masjid dilengkapi dengan keranda untuk mengusung jenazah. Keranda disimpan di atas bak penando air yang sudah disebut tadi. Dengan keadaan serta semua kemudahan yang ada itu kita dapat menyimpulkan yang berikuat: Masjid Karanganyar dilandasi konsep yang dibawa oleh para wali dan direncanakan sebagai simpul kegiatan bermasyarakat pada waktu itu, ketika agama Islam masih merupakan pengikat antarwarga. Termasuk di dalamnya adalah tanaman bermacam-macam bunga, yang terutama pada malam hari, memancarkan semerbaknya bau wewangian alami. Pada waktu ada warga yang meninggal, bermacam-macam bunga juga dapat diambil dari halaman masjid.

Yang menarik—seperti sudah dikatakan—adalah lantai masjid yang cukup tinggi, menurut taksiran sekitrar tiga meteran. Apalagi kalau dilihat di belakang masjid, mungkn bahkan ada tujuh meteran, karena. Itulah lebih kurang batas delta. Saya kira, masjid adalah salah satu di antara bangunan di Karanganyar yang paling dulu dibangun. Tinggi lantai mungkin disebabkan karena pada masa itu banjir masih sering datang, terutama pada musim penghujan, dan masjid juga dimaksudkan sebagai tempat mengungsi warga di sekitarnya.

Di barat dan timur alun-alun ada tembok cukup tebal, sekitar semeteran, dan tinggi dua meteran, kecuali tembok timur yang menjelang Perang sudah mulai dipapras (direndahkan). Istilah yang digunakan untuk tembok tinggi dan tebal itu tableg. Sewaktu Kabupaten Karanganyar belum dihapus pada tahun 1932—jika tidak salah—itu adalah rumah kediaman jaksa. Tembok tinggi pasti ada tujuannya, tetapi saya tidak dapat menduga apa.

Pejabat Belanda pada awalnya terbatas. Yang paling dulu ada tentu saja ialah pejabat yang harus menghadapi bupati langsung, yaitu asisten residen. Seorang lagi adalah kontrolir (controleur). Dari nama jabatan itu, kita dapat menafsirkan inilah pejabat terendah Belanda yang tugasnya berkeliling, menyaksikan sendiri apa yang terjadi di daerah. Rumah dua orang itulah yang berdiri di tepi jalan raya di bagian selatan kota. Rupanya baru lama setelah itu menyusul pejabat bank rakyat dengan rumah kediamannya sederet dengan asisten residen, di tepi jalan raya, dan semua menghadap ke arah utara untuk mendapatkan pemandangan terhadap pegunungan yang di zaman itu masih tampak asri. Kantor Volkscredietbank (Bank Perkreditan Rakyat) terletak di antara rumah asisten resisten dan rumah kepala bank. Saya kira perumahan orang Belanda sudah di luar daerah rawan banjir.

Pada awal pembangunan Karanganyar, faktor yang diperhatikan langsung adalah penyaluran air. Pada waktu itu, semua sungai di Kedu Selatan merupakan alur alam yang datang dari hulunya di pegunungan, jadi masih asli. Sebagai aliran alam, pada waktu musim hujan, khusus puncaknya, sekitar bulan Nopember-Desember, banjir selalu datang.

Yang rupanya juga dibangun tidak terlalu lama kemudian adalah jaringan solokan pengairan, dan airnya barasal dari pintu air Sindut, seperti disinggung di atas. Letaknya beberapa kilometer di timurlaut kota dibangun pintu air. Letak pintu air Sindut tidak terpisahkan dengan ketersediaan batuan dasar untuk menempatkan bendung, serta titik ketinggiannya diketahui, sehingga semua masuk dalam data perencanaan untuk rencana induk, jadi mencakup pengendalian (traning) Kali Karanganyar. Selain air sungai yang segera harus dimanfaatkan, daerah permukiman—terutama Kota Karanganyar—dapat terbebas dari banjir bandang setiap tahun. Lewat saluran induk yang terletak di sisi kiri sungai, dari pintu air Sindut pertama-tama air diperuntukkan bagi pengairan persawahan yang ada di selatan kota, dan juga berguna sebagai parit panyalir (drainage ditches). Gambaran itu masih terekam dalam ingatan, hingga saya mendapat kesempatan mengajar dan terlibat dalam pengembangan sumber daya air. Maka saya dapat memahami bahwa semua itu merupakan satu sistem.

Yang juga menarik di Karanganyar adalah letak TPU, tempat pemakaman umum. Semua TPU ada di luar kota, apalagi jika diingat lahan di kota terbatas. Yang sudah jadi pilihan pertama adalah Desa Karangkemiri di utara kota. Yang sudah sejak lama ada ialah TPU Balepanjang yang diperuntukkan bagi orang warga setempat. Juga ada TPU untuk penduduk Cina dan bahkan ada TPU Belanda. Di dekatnya seingat saya—sebagai seorang anak yang pada zaman pra-PD II sering 'berkeliling' ke mana-mana—ada TPU Belanda yang baru berisi beberapa makam. Bagi warga kota, bila ada salah seorang anggotanya yang meninggal, masih ada TPU yang lain, Sigedong. Rupanya, makam yang terletak di jalan desa dari Candi ke pintu air Sindut ini, semula digunakann oleh keluarga warga pendatang.

Bupati Djojodiningrat pasti tidak membayangkan bagaiman tugasnya berakhir. (Orang memang tidak perlu berfikir sejauh itu.). Setelah bertugas memimpin Kabupaten Karanganyar begitu lama, beliau menyaksikan daerahnya aman, rakyatnya sejahtera, dan hubungan antara pemimpin dan rakyat tiada cela. Itu jelas sesuai dengan perjanjian yang diikatnya dengan pemerintah ketika akan mulai bertugas pada tahun 1838, dan daerah masih bernama Kabupaten Roma, hingga akhirnya, secara resmi sejak 1841 Karanganyar jadi ibukota kabupaten.

Dalam pada itu, suasana telah berubah dan semua bupati di Jawa sudah tunduk kepada pemerintah. Ketika itu, hubungan mereka dengan pemerintah kolonial sudah sesuai dengan yang diingini. Bagi Bupati Djojodiningrat yang mengalami berjuang di bawah Pangeran Diponegoro, tidak semua itu dapat diubah begitu saja.

Sebagai misal aturan bagi para pejabat Belanda apabila mereka akan bertemu dengan bupati, harus menunggu dulu di paseban. Setelah diizinkan, tamu diperkenankan masuk ke pendopo dengan berjalan kaki. Yang dikecualikan hanya residen. Ini jelas terlalu berat untuk dilaksanakan. Apalagi kalau diingat Bupati Djojodiningrat sudah bertugas sekitar tiga puluh tahun, sekitar satu generasi. Dalam kurun waktu yang sama, berapa banyak sudah asisten residen dan kontrolir yang sudah berdinas di Karanganyar, mungkin sekitar enam orang. Maka tidak mengherankan, jika hubungan dengan asisten residen sebagai pejabat Belanda tertinggi di Kabupaten Karanganyar yang sudah bertugas di sana, dan harus menenggangnya. Ditambah lagi—seperti disinggung di atas—ada masalah bahasa yang merupakan kendala dalam berkomunikasi.

Rupanya juga telah terjadi berbagai hal yang lain, dan Bupati mengetahui semua yang terjadi di belakangnya. Maka Bupati Djojodiningrat menyimpulkan bahwa Belanda tidak lagi menyukainya. Dengan ungkapan Belanda, mereka melakukan achterbakse handelingen, melakukan kasak-kusuk, di belakangnya. Sebagai seorang satria utama, prajurit sinekti yang trah kusuma—itulah sepenggal tembang dandanggula yang beliau gubah—ketika menghadapi masalah yang timbul sebagai akibat hubungannya dengan asisten residen, beliau mengambil pilihan lebih baik jika beliau mengajukan pengunduran diri. Ungkapan dalam bahasa Belanda yang saya rasa berlaku di sini berbunyi Een man een man, een woord een woord, Orang harus dapat dipegang kata-katanya, harus memegang janji. Dalam bahasa Inggris ada kata dignity dan trustworthyness, dan jika kita gunakan bahasa Indonesia, orang harus menjaga martabat dan selalu percaya-mempercayai. Itu informasi yang berasal dari Ayah, buyut Djojodiningrat.

Belanda tahu yang jadi pengganti seharusnya putera tertua, tetapi justru itu tidak mereka ingini. Bahkan semua yang ada hubungan dengan keluarga Djojodiningrat harus ditolak dari daerah itu. Dengan istilah sekarang, daerah Karanganjar dibuat steril. Kebetulan saja, Bupati Wonosobo pada saat itu sedang lowong, maka Belanda menemukan cara yang elegant (elok) untuk menempatkan putera tertuanya di Wonosobo, dengan nama KRMAA Tjokroadisoerjo, tidak lagi menggunakan nama Djojodiningrat.

Begitu lengser, R.M.A.A. Djojodiningrat langsung pindah ke Sapuran di dekat Wonosobo, dengan istilah Jawa minandito. Beliau rela meninggalkan semua yang telah beliau bangun, termasuk juga makam garwa padmi di Grenggeng, bukit di utara jalan antara Karanganyar dan Gombong. Di sana juga dimakamkan penyiar pertama agama Islam, yang biasanya tidak disebut namanya, melainkan hanya kedudukannya, Panembahan Grenggeng. Beliau menetap di Sapuran sampai wafat dan baru meninggalkannya setelah wafat lalu diangkut ke pasareyan (makam) Candiwulan di utara Kota Wonosobo, sebagai penghuni pertama.

Itulah cara Belanda mengatasi kesulitan yang mungkin timbul dalam masa peralihan. Keturunan penguasa mendapat banyak kemudahan, termasuk 'mengkapling' lahan untuk membangun makam seperti makam Candiwulan. Untuk keperluan makam, lahan yang ada bagian yang bergunung perlu dipersiapkan. Makam RMAA Djojodiningrat sebagai tunggul ditempatkan di tengah-tengah pada baris, dan di baris berikutnya secara berturut mereka yang masih keturunan, sesuai dengan tempat dalam peringkat 'trah'.

Sebenarnya, bagi RMAA Djojodinngrat 'menarik diri' dari keramaian bukan hal baru. Ketika masih jumeneng, masih memerintah, beliau sudah mempersiapkan diri, dengan istilah lain, berlatih dalam menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. Caranya adalah berkhalwat atau dengan istilah agama Katolik, retret. Tempatnya di Rambasan, di lereng tenggara Gunung Cemara, beberapa kilometer baratlaut Karanganyar. Tempat itu masuk Desa Bodeh. Ketika masih kecil, saya mengenalnya dengan sebutan pesanggrahan Eyang Djojodiningrat. Jangan dibayangkan di sana ada gedung megah layaknya yang dimiliki orang Jakarta di daerah Puncak.Yang ada hanya gubug sederhana, dan untuk makan tersedia ubi kayu, atau nama setempat bodin. dan untuk minum terdapata belik, genangan air dari tetesan yang berasal dari batuan napal. Karena terlatih, RMAA Djojodiningrat siap untuk bertempat tinggal di Sapuran, meningggalkan semua yang melekat pada dirinya dengan hati ikhlas.

Dalam membangun Kota Karanganyar, pendidikan masuk dalam agenda, dan dapat dirunut seperti di bawah ini. Saya kira yang dibangun paling awal adalah Tweede Inlandsche School, sekolah desa atau yang dikenal dengan nama Ongko Loro. Di Karangnya pada awalnya dua buah, sebuah di Panjatan di ujung barat, dan sebuah lagi di selatan, tidak di tepi jalan besar, melainkan pada jalan yang datang dari Desa Jingklak. Saya kira, dua sekolah itu dibangun sekitar awal abad ke-20, jadi pasca-zaman Djojodiningrat, dan tahun 1920 menyusul Hollandsch-Inlandsche School, sekolah dasar dengan pengantar bahasa Belanda yang ditempatkan di tengah kota, berdekatan dengan alun-alun. Setelah itu menyusullah beberapa sekolah lain, seperti yang disebut kopschool, yang semula tidak saya ketahui, sekolah apakah itu sebenarnya. Dari kata Belanda kop, kepala, saya kemudian tahu bahwa sekolah dasar khusus anak perempuan itu sebenarnya kelas tambahan, menyambung ke pendidikan dasar yang ada, dengan menggunakan bahasa Melayu, selain Jawa; ada tambahan jam pelajaran bahasa Belanda. Sebagimana galibnya, sekolah memiliki perpustakaan umum. Saya tahu hal itu karena biasa nginthil (ikut-ikut di belakang) Mbakyu Siti, kakak perempuan langsung—di kemudian hari jadi Nyonya Suroso—yang sangat suka membaca. Saat di perpustakaan kopschool ketika kakak mengembalikan dan meminjam buku, saya jadi tahu bahwa para wanita guru saling menyapa dengan kata Sus (Belanda Zus; bandingkan dengan kata Mbak yang sekarang kita dengar di mana-mana, seperti telah disinggung). Gedung sekolah ditempatkan di sudut baratdaya halaman rumah bupati, boleh dikatakan 'hanya selangkah' dari rumah Nenek, hanya terpisah oleh jalan.

Menjelang tahun 1930 berdiri Ambachtleergang, sekolah pertukangan yang membekali siswanya keterampilan. Ketika itu Ayah sudah pensiun dan ada di antara pembantu yang masuk sekolah itu, sehingga saya tahu ia memiliki sekotak perlengkapan tukang kayu. Tempat sekolah di belakang pengulon, di seberang jalan, sehingga sore hari saya sering mengeluyur dan dari kaca jendela saya dapat melihat berbagai perlengkapan, termasuk mesin diesel dan berbagai roda dan ban penggerak, serta bangku kerja seperti untuk membubut. Dari sanalah saya menyimpulkan sekolah tidak hanya membuat siswa tidak hanya terampil dan jadi tukang kayu juga ada yang dididik jadi montir.

Sebelum PD II meletus, di Karanganyar masih sempat berdiri schakelschool, secara harfiah sekolah matarantai. Anak lulusan sekolah Ongko Loro dapat masuk sekolah ini, mendapat pelajaran bahasa Belanda dan meneruskan ke MULO. Kenyataan dibukanya pendidikan di Karanganyar pada awal abad ke-20—pasca-Bupati Djojodingrat—membuat saya berfikir bahwa kepala daerah memahami betapa besar manfaat pendidikan. RAA Tirtokoesoemo sebagai orang yang ditunjuk pemerintah untuk memimpin 'daerah kaum pemberontak' berasal dari pesisir utara tentu sadar akan hal itu. Ia termyata berpikiran maju, dan ini dapat ditafsirkan dari kenyataan bahwa pada Konggres Pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta di tahun 1908, ia dipilih sebagai ketuanya. Kita tahu, dalam sejarah kemucunlan BO dianggap sebagai awal kebangkitan bangsa. Tetapi yang tidak diketahui banyak orang, pada waktu konggres BO yang pertama itu selain orang muda penggiatnya yang umumnya dokter Jawa atau calon dokter, banyak juga pejabat negara seperi bupati dan patih, yang hadir.

Dari namanya, Boedi Oetomo, yang indonesianya lebih cocok 'perbuatan mulia', kita memang tidak dapat mengetahui ada hubungannya dengan gerakan politik. Di sini kita tidak membahas perkara BO, melainkan hanya menyinggung bahwa ternyata ada hubungan antara dibangunnya sejumlah sekolah di Karanganyar dan penguasa yang berwawasan maju. Sudah dapat diperkirakan Belanda mencium adanya seorang bupati yang duduk sebagai ketua gerakan orang muda, suatu hal yang tidak pada tempatnya. Maka kedudukan Bupati Tirtokoesoemo di Pengurus Pusat BO memang terbatas hanya untuk satu kali saja.Di antara tokoh mantan anggota Boedi Oetomo, yang muncul pada waktu Indonesia bersiap-siap untuk merdeka tercatat Radjiman Wedyodiningrat, yang dalam perjalanannya jadi dokter dan pada waktu itu sudah lanjut usia.

Pada waktu saya di Karanganyar, Bupati Karanganyar adalah RAA Iskandar Tirtokoesoemo, yaitu yang ketiga dari keluarga Tirtokoesoemo.