Apa pun ditentukan oleh pilihan, dan setiap pilihan pada hakikatnya juga dilatarbekangi kenyataan yang ada pada suatu saat di tempat tertentu. Hal ini juga terjadi pada saat 'pernyataan' harus dibuat, saat pengumuman Indonesia merdeka, tempat mengumumkan, dan siapa yang mengumumkan, dan dengan cara apa. Sampai saat mengumumkan diri sebagai bangsa yang merdeka, istilah yang akan digunakan juga belum diketahui. Akhirnya, kata 'proklamasi' yang muncul, bukan kata sehari-hari dan juga bukan kata Melayu, tetapi kata yang bahkan untuk waktu sekarang juga bukan kata sehari-hari, tetapi diimpor dari Barat lewat Belanda.

Sebenarnya, yang sedang berlangsung pada saat itu adalah pergumulan di antara para pemain. Kita dapat membedakan pemain ke dalam berbagai peringkat. Ada pemain yang berperingkat dunia, ada yang berperingat nasional, dan tentu saja ada yang berperingkat paling bawah. Kita sendiri juga memiliki pentas, dengan pemain nasional kita. Mereka itulah yang sudah sejak awal bersiap-siap untuk masuk ke medan laga.

Yang juga tidak dapat dipungkiri ada pemain yang 'terdaftar' dan ada yang 'tidak terdaftar', yang dalam perkembangan di kemudian hari mendapat julukan penggembira.Tidak sedikit di antara para penggembira bermain kebetulan, yang secara dadakan merasa ada panggilan agar berbuat sesuatu dan ternyata dapat memimpin, Tidak sedikit yang sejak itu menjalin semacam perkawanan yang terus bertahan, atau dengan istilah yang mulai populer 'petahana'. Pengguna kata itu tentu saja tidak selalu tahu bahwa kata itu diturunkan dari tahana yang Inggisnya state, dan petahana dijadikan padan kata Inggris incumbent. Hubungan perkawanan semacam itu ada yang singkat saja, karena ada pihak yang kemudian tersingkir atau mungkin sengaja menyingkir. Yang jelas, kosakata kita diperkaya.

Seperi dalam sandiwara, kalau mau, kita dapat membedakan ada yang disebut pelakon, pelaku dan pemain serta pemeran. Pelakon ialah orang yang 'berbuat' dan pakemnya ia buat. Pelaku berbuat karena ada pihak yang menyodorkan scenario (Inggris) atau Drehbuch (Jerman), atau yang baru saja disebut, pakem . Pelakon bermain hingga kisahnya cunthel, habis—begitu istilah Jawanya—atau dengan istilah pewayangan, tanceb kayon, karena Ki Dalang sudah menancebkan (mencacak) gunungan pada debog (batang pohon pisang). Kerja pemain bermain selama ia diperlukan, dan pemeran memiliki tugas yang bersifat khusus. Setelah pertujukan usai, semua wayang pun masuk kotak.

Dalam hubungan ini saya teringat akan sajak pengarang Belanda Jacob Katz yang berbunyi sbb.: De wereld is een schouwtoneel, Ieder speelt zijn rol en krijgt zijn deel, yang diindonesiakan jadi Dunia adalah pentas sandiwara, Setiap orang memainkan peran dan mendapatkan bagiannya. Itulah yang terjadi, dan dari nadanya boleh jadi sajak itu terilhami oleh Kitab Suci Taurat.

Di atas sudah disinggung keberangkatan Bung Karno. Bung Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat ke Dalath untuk bertemu dengan Jenderal Terauchi. De facto Jepang masih berkuasa di sebagian besar Asia Tenggara dan de facto pula tiga orang Indonesia itu—kemudian di Singapira bergabung satu orang lagi, Teuku Mohammad Hassan—adalah yang dianggap mewakili Indonesia. Boleh juga kita menganggapnya begitu, karena kenyataannya mereka mewakili kelompok yang menyandang tugas, mewakili badan persiapan kemerdekaan yang namanya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Siapakah yang dipercaya untuk menduduki jabatan ketua? Tentu orang yang selain tertua, juga dipercaya dapat mengemban tugasnya dengan sebaik-baiknya. Pilihan jatuh pada dokter G.R.M. Radjiman Wedyodiningrat dari Solo. Ketika negeri ini diduduki Jepang, beliau sudah menempati kedudukan dalam badan yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, padan nama dalam bahasa Jepang—dalam ejaan yang berlaku ketika itu—Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai. Itu permainan politik. Akan halnya kapan kemerdekaan itu terwujud, pihak Jepang selalu memberikan janji, 'di kelak kemudian hari'. Pihak Jepang dengan memainkan 'kartu janji' itu memiliki saham dalam tawar-menawar untuk kepetingan mereka sendiri.

Jika kita sekarang menengok pentas nasional sebelum lakon dimulai, para pelaku yang akan tampil diibaratkan sudah bersiap-siap untuk memainkan adegan pembukaan, dan masing-masing sudah siap menghadapi lakon yang segera akan digelar.

Dalam hal sejarah nasional kita, para pelakon itu meniti perjalanannya lewat sekolah yang ada, menuntut pendidikan yang sejak tengahan abad ke-19 diselenggarakan oleh pemerintah penjajahan. Pada waktu itu, mula-mula pemerintah mengutamakan kesehatan rakyat, dan sebagai sarananya, yang mula-mula dididik selama dua tahun tenaga tamatan sekolah dasar. Yang menangan tugas kesehatan rakyat itu diberi nama 'dokter Jawa'. Penjelas 'Jawa' mengisyaratkan bahwa mereka tidaklah sederajat dengan dokter yang lain, misalnya tamatan Negeri Belanda. Sejak 1864, yaitu setelah pemerintahan kolonial mantap, lama pendidikan dijadikan tiga tahun. Sejak tahun 1904, mutu calon anak didik juga ditngkatkan, dan mutu tamatan sekolah dengan sendirinya meningkat. dan itu berkat pelajaran bahasa Belanda yang mampu meluaskan wawasan.

Orang Belanda akan berkata: Het mes snijdt aan beide kanten, Pisaunya tajam di dua sisi, atau pisau itu bermata dua. Para tamatan Sekolah Dokter Jawa yang berhadapan langsung dengan rakyat jelata merasakan sendiri, betapa miskin mereka dan betapa jauh mereka dari apa yang bernama kesehatan. Bisa kita pahami, mengapa para dokter Jawa itu sejak dini jadi pelopor pergerakan nasionalis dan ujungnya mereka mendirikan organisasi bernama Boedi Oetomo. Itu hasil pisau bermata dua.

Sejalan dengan perputaran roda sejarah, pada awal abad ke-20 di Hindia Belanda berdiri perguruan tinggi. Yang pertama adalah Rechtshoogeschool, disingkat RH, sekolah tinggi hukum di Batavia atau sekarang Jakarta. Kemudian menyusul Geneeskundige Hoogeschool, GHS, juga di tempat yang sama, dan yang terakhir, Technische Hoogeschool te Bandoeng, disingkat THS pada tahun 1922.

Seperti disinggung di atas bisa saja—kalau kita mau menghubung-hubungkan—pada pergantian ke abad ke-20, tepatnya tahun 1901, tanggal 6 Juni, lahir Soekarno, Si Putera Fajar adalah bayi lintas-budaya dan lintas-agama, karena ayahnya Jawa, seorang dengan gelar raden dan beragama Islam, dan ibu orang Hindu Bali berkasta, Ida Ayu Nyoman Rai. Soekarnolah orangnya yang kelak akan jadi Presiden Pertama Republik Indonesia.

Sang Putera Fajar termasuk anak muda yang mengenyam pendidikan Barat. Lewat ELS, sekolah dasar berbahsa Belanda ia melanjutkan ke HBS, sekolah menengah, dengan sendirinya juga untuk anak Belanda, karena pada zaman itu tidak ada sekolah menengah yang lain, dan akhirnya masuk THS Bandung, angkatan yang pertama. Meskipun dididik sebagai insinyur sipil—hanya itu yang tersedia—ia cenderung jadi arsitek dengan karya agung bernama 'Membangun Bangsa Indonesia'. Sebagai anak cerdas dengan pendidikan dasar berbahasa Belanda, ditambah pendidikan menengah yang membuatnya mahir dalam menggunakan bahasa moderen Jerman, Perancis dan Inggris, membuat ia juga mampu menemukan pintu untuk menguak dunia Barat. Sebagai tambahan informasi, perpustakaan di TH Bandoeng tidak hanya berisi buku dan bacaan di bidang teknik, juga tersedia buku bidang lain, termasuk budaya dan kemasyarakatan. Itu yang menjadikan Soekarno setara dengan para sarjana Barat, meskipun ia memperoleh pendidikan di negeri ini. Ia juga terpengaruh kebiasaan orang Belanda, suka membaca, dan kebiasaan itu dibawanya terus sampai jadi Presiden RI, yang pada tempat tidurnya terdapat rak untuk buku. Itu semua memungkinkan Soekarno meluaskan cakrawalanya. Saya ingat ucapan (alm) Prof. ir. Soemono, profesor di Bagian Sipil ITB—sebaya Bung Karno—yang pada kesempatan beromong-omong santai berujar, betapa para dosen Belanda pada waktu dia di TH tampak kalah wibawa. Wibawa adalah sifat menyeluruh yang dimiliki seseorang dan itu timbuh dengan sendirinya. Tanpa dibuat-buat.

Kepribadian Bung Karno sangat menonjol. Rasa kenasionalan (kebangsaan, keindonesiaan) terasa dan bisa segera dilihat. Selain itu, Bung Karno memiliki citarasa tinggi, apakah itu seni rupa, seni bentuk, seni lukis, seni musik, seni bangunan, seni memilih kata, bahkan seni merayu lawan jenisnya. Ia pengagum keindahan, termasuk kecantikan wanita, dipadu rasa keserasian, termasuk keserasian antara kecerdasan seorang dan tampilannya. Semua kelebihan itu dimiliki Bung Karno dan membuatnya mampu 'menggaet' orang masuk ke dalam kalangannya. Itu yang mrmbuatnya jadi pemersatu bangsa. Sebaliknya, kelebihan itu pula yang kemudian membuatnya tanpa disadari ia terjerumus 'dalam perangkap'. Semua bentuk rasa hormat, pujian, dan sanjungan itu kemudian yang mencelakakannya.

Soekarno menganggap banteng mengejawantahkan keperkasaan, sehingga ia mengangkatnya sebagai lambang wahana yang dapat membawakan cita-citanya menuju ke dunia nyata. Ini kiranya ilham yang dia peroleh dari sajak [yang diakukan kepada] Sentot Alibasah yang termuat dalam buku Max Havelaar disinggung di atas. Pengarangya Eduard Douwes Dekker yang nama samarannya Multatuli, bahasa Latin yang artinya 'Saya telah banyak menderita', yang berjudul De laatste dag der Hollanders op Java. (Hari terakhir orang Belanda di Pulau Jawa). Sebagai siswa sekolah dasar, sajak itu sangat menarik perhatian saya, hingga hafal di luar kepala sampai sekarang.

Zult gij ons nog langer vertrappen,
Uw hart vereelten door het geld,
En, doof voor de eisch van recht en rede,
De zachtheid tergen tot geweld?
Dan zij de buffel ons ten voorbeeld,
Die sarrens moe de hoornen wet,
Den wreeden drijver in de lucht werpt,
En met zijn lompe poot verplet.

(Masihkah Anda akan terus menindas kami,
Hati Anda sampai kapalan karena uang,
Tuli akan rasa adil dan nalar,
Kekejamanmu dipecut hingga kekerasan?
Maka lihatlah kerbau seba gai contoh,
Yang sudah jemu karena terus diledek,
Melemparkan si anak gembala ke udara,
Dan menginjak dengan kakinya yang besar,)

Sebagai orang Indonesia, Bung Karno pasti tahu tidak ada anak gembala yang biadab, ia menyatu dengan binatang yang digembalakannya. Maka Bung Karno mengubah kerbau jadi banteng, sapi liar yang sekarang sudah sangat langka, kecuali di Bali yang diternak. Apalagi jika banteng sampai terluka, ketaton–istilah Soekarno—seperti yang terjadi pada pertunjukan matador di Sepanyol yang selalu menyerang semua yang berwarna merah. Warna merah itu pula yang kemudian dilekatkan pada pergerakab yang ia pimpin.

Sejak mulai tampil menjelang tahun 30-an, Bung Karno diibaratkan sebagai magnet bagi orang Indonesia tua dan muda, bahkan anak. Saya melihat Bung Karno in levende lijve, hidup-hidup pada tahun 1936 di Karangnyar pada waktu saya masih di sekolah dasar. Ketika itu ada 'heboh besar', dan anak-anak berlari-larian mengejar mobil yang membawanya ke gedung Taman Siswa, 100-man dari rumah kami. Ayah berujar, Tuuh, itu dia orangnya, Presiden pertama Indonesia. Begitu yakin beliau sehingga membuat saya pun ikut-ikutan dengan duyunan anak-anak berdesakan di kebun kosong bertetangga dengan Taman Siswa, ada yang manjat pohon mangga, pohon kedondong, atau hanya bergelayutan di pagar. Pokoknya, asal bisa menangkap, meskipun sekilas, sosok yang namanya Soekarno.Taman Siswa Karanganyar ketika itu adalah sekolah yang dengan tataistilah Belanda tergolong wilde scholen, sekolah liar. Sekolah menampung siswa yang ingin maju—karena di sana diajarkan bahasa Belanda, berbeda dengan sekolah desa—dan tentu berhaluan nasionalis. Kepala sekolah Taman Siswa Karanganyar ketika itu adalah Pak Hirlan dan isterinya Bu Sri Indiah, sepupu Ayah, yang juga jadi pengajar di sana.

Saya tidak tahu, bagaimana Soekarno bisa nyasar (orang Belanda akan bilang verzeild geraakt) di Karanganyar, karena sebelumnya dibuang ke Ende. pantai selatan Pulau Flores. Sekitar seperempat abad kemudian tak terduga-duga saya berkunjung ke sana, dan anggaplah saya ini melenceng dari benang cerita, meskipun sejenak. Yah, begitulah. Ketika itu, Flores Timur digoyang gempabumi. Pemerintah Pusat bertindak cepat dengan mengirimkan tim yang dipimpin oleh drs Frans Seda, anggota parlemen asal daerah itu.

Sebagai geologiwan—saat itu masih langka—tiba-tiba saya mendapat tugas menyertai rombongan Pemerintah. Sesuai dengan sasaran, tujuan pertamanya adalah Ende. daerah yang dilanda gempa. Karena Ende tidak memiliki lapangan terbang, maka Tim menggunakan pesawal amfiki Catalina milik AURI. Karena itu, pesawat turun di Teluk Ende. Setelah tim diturunkan, pesawat langsung terbang karena di Ende tidak terdapat kemudahan penunjang. Tim dijemput di hari ketiga, setelah Tim bertemu pemerintah setempat dan acara berlanjut dengan pemeriksaan kerusakan yang terjadi, termasuk di bekas rumah kediaman Bung Karno dan isteri pertamanya, Ibu Inggit. Secara pribadi, bagi saya, itu adalah kesempatan melihat tinggalan Bung Karno dan memperoleh gambaran tentang gerak-gerak dan sikap Presiden pertama kita selama diasingkan dalam lingkungan dengan bagian terbesar anggotanya beragama Katolik. Rupanya, bagi Bung Karno hal itu bukan masalah, berkat pembawaanya untuk mudah bergaul. Baru sekarang saya merasakan bahwa kunjungan ke Ende itu sebenanya pelengkap dalam upaya saya menyusun nas ini.

Pada hari kedua, dengan berkuda, pinjaman dari pasturan, saya berkunjun g ke G. Lewitobi yang memiliki tiga danau kawah dengan warna berbeda. Gempa tidak menimbulkan sesuatu pada ketiga kawah. Bukti yang meyakinkan daerah itu baru dilanda gempa terdapat dalam bentuk runtuhan di sepanjang jalan raya dari Ende menuju ke Maumere,. Runtuhan itulah bukti nyata, tanpa kata, karena jalan itu dibangun di sepanjang lereng curam. Pada hari berikutnya, pengamatan di daerah Maumere dan sekitarnya, setelah Tim dijemput pesawat. Peninjauan baik dari udara terhadap G. Rokatenda di lepaspatai Mumere, juga tidak menghasilkan informasi tambahan. Oleh sebab itu disimpulkan, bahwa gempa Ende pada waktu itu hanya terjadi di daerah yang terbatas.

Bagi saya pribadi—dan mungkin juga bagi anggota lain tim—dari perjalanan itu yang selalu masih teringat justru celetuk pilot bahwa perjalanan ke Ende itu adalah yang pertama kali baginya, turun dan mengudara di laut. Apalagi, upayanya agar dapat 'lepas air' dilakukannya sampai tiga kali, dan pukulan ombak mulai terasa, karena pesawat sudah di luar Teluk Ende. Baru setelah pesawat benar-benar mengudara. Plong! Satu-satunya kata yang dapat menyatakan rasa bersyukur kami.

Kita kembali ke tokoh Soekarno yang bagi Belanda terlalu 'mengganggu' untuk dibiarkan bergerak bebas ke mana-mana. Tidak lama kembali dari Ende, Soekarno diciduk lagi—istilah Orde Baru—dan kali ini ia dibuang ke Bengkulu. Meskipun di Pulau Sumatera, kota itu letaknya terpencil, di satu sisi dibatasi Samudera Hindia yang ombaknya terkenal ganas, dan di sisi lain terbentang Bukit Barisan yang pada zaman itu masih tertutup hutan lebat dengan binatang buasnya, sedangkan jalan penghubung hanya ada satu, yang terentang lewat Curup. Di tempat itulah Soekarno 'disimpan' dan di sanalah ia menemukan isteri kedua, Fatimah yang bagi telinga Soekarno tentu terdengar kurang mengindonesia. Maka nama itu diubahlah jadi Fatmawati. Nama itu ternyata mendorong banyak orang untuk ikut-ikutan memberi nama itu juga kepada anak perempuan mereka. Salah satu rumah sakit besar di Ibukota Jakarta kini menyandang nama populer itu.

Sebagai geologiwan saya beruntung karena dapat berkunjung lebih dari sekali ke Kota Bengkulu sehingga mengenalnya, berkunjug ke rumah yang pernah ditinggali Bung Karno yang tak terawat dan tahu masjid yang kabarnya dirancang olehnya. Akhirnya saya juga tahu daerah Bengkulu pernah jadi daerah Inggris, karena di sana ada tinggalan Benteng Marlborough dan sempat saya kunjungi. Benteng Marlborough adalah bukti pernah adanya pergumulan Inggris dan Belanda dan berakhir dengan dipertukarkannya Bengkulu dengan Singapura. Nama Marlborough kini tertinggal dalam bentuk Jalan Malioboro, jalan utama di Yogyakarta yang menuju ke kraton.

Sejarah pengejawantahan Bangsa Indonesia bermula dengan kelahiran Wage Rudolf Soepratman. Ia-lah yang ditakdirkan untuk meniupkan ruh kebangsaan, karena kelahirannya di dunia ini hanya berselisih dua tahun kurang setelah Sang Putera Fajar, pada 9 Maret 1903 (Catat: Sama dengan tanggal tamatnya riwayat Hindia Belanda ketika Panglima tentara Belanda Letnan Jenderal H. Ter Pooorten di Kalijati menandatangani dokumen penyerahan seluruh kekuasaan kepada Balatentara Jepang pada 9 Maret 1942), dan meninggal pada tanggal 17 Agustus 1937 di Surabaya (Catat: hari proklamasi Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, tepat satu windu setelah ia wafat. Selanjutnya, baca di bawah.).

Nama Wage diperoleh dari ayahnya, seorang instruktur KNIL, tentara Hindia Belanda. Riwayatnya memang menarik untuk disimak. Ia lahir dan tumbuh dalam lingkungan tangsi militer. Rupanya ia disayang oleh kakak iparnya—kakak perempuannya menikah dengan sersan W.M. van Eldik—yang memberinya nama Rudolf. Berkat lingkungannya, tangsi, ia mengenal yang disebut sociteit atau Melayunya kamar bola, tempat hiburan bagi warga tangsi, termasuk bermusik Maka Soepratman tidak hanya dapat memainkan berbagai jenis alat musik, ia pun mampu menggubah lagu.Ternyata ia sangat akrab dengan kalangan pergerakan nasional, dan berhasil membuahkan sejumlah lagu, dan lewat lagulah Soepratman mengabadikan peristiwa dan tokoh yang ia kagumi.

Bangsa Indonesia secara resmi lahir pada tanggal 28 Oktober 1928, peristiwa yang benar-benar bersejarah. Pada saat itulah di Jalan Kramat Raya 106, Batavia—nama Jakarta belum digunakan lagi—berlangsung Konggres Pemuda Indonesia ke-2. Pada saat itu ada sekelompok pemuda yang mencanangkan Sumpah Pemuda, ikrar tiga butir dalam bahasa Melayu baku dengan ejaan yang berasal dari Van Ophuysen.

Pertama, Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia;

Kedoea, Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia;

Ketiga, Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia,.

Pada pertemuan itu untuk pertama kali lagu Indonesia Raya diperdengarkan oleh penciptanya sendiri, Wage Rudolf Soepratman lewat gesekan biola. Yang kemudian terjadi, pada saat itu pula lagu Indonesia Raya diterima Konggres dengan suara bulat, dan sesuatu yang mentakjubkan pun terjadilah, dan lagu itu langsung 'dinobatkan' sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia!

W.R. Soepratman jelas seorang nasionalis dan selain itu juga idealis. Ia mencari kehidupan lewat penggubahan lagu, bermusik, dan selain itu menulis, semua cara yang tidak lazim, apalagi pada zaman itu. Semua itulah yang akhirnya membawanya ke Surabaya. Lewat musik—selain biola ia juga memainkan alat musik tiup—maka ia tertular penyakit TBC, dan ia pun meninggal pada usia muda, dan dimakamkan di tempat pemakaman umum di Jalan Kapasan, Surabaya.

W,R.Soepratman lahir sewaktu suasana perpolitikan dunia berubah. Selain semangat kebangsaan di menggelora, kemenangan Angkatan Laut Jepang atas Angkatan Laut Rusia ternyata bergema luas, Kemenangan itu tidak hanya membanggakan bangsa Jepang, gaungnya dirasakan oleh bangsa Asia pada umumnya, juga dalam jiwa pemuda W.R. Soepratman, dan ini tercermin pada sejumlah lagu ciptaannya, termasuk lagu “Di timur matahari mulai bercahaya”; jelas itu merujuk ke kemenangan Jepang atas Rusia, kekuatan Barat. Kemudian dilanjutkan ajakan yang tertuju kepada para muda yang sehaluan, karena merekalah yang peka terhadap perubahan, untuk bertindak dengan cepat. Semua itu tertera dalam baris-baris yang kemudian menyusul. Maka secara lengkap bunyi lagu itu, “Bangun dan berdiri, Kawan semua, Marilah mengatur Barisan Kita,”. Betapa sederhana kata-kata yang Soepratman pilih, tetapi di belakangnya tersimpan kekuatan yang mampu jadi penggerak bagi yang menyanyikannya.

Sebagai anak muda di zaman itu, saya merasa senasib dan seakan-seakan juga 'kena setrum', ikut -ikut tersengat aliran listrik.Betapa tidak, mengucapkan kata 'Indonesia' di depan umum dilarang, mengenakan pici hitam juga demikian—saya utarakan di tempat lain—apalagi berpolitik. Maka bunyi lagu itu selanjutnya adalah, “Sekarang pemuda Indonesia.”

Sungguh mengherankan, seorang pemuda yang tumbuh dalam lingkungan tangsi Belanda, justru memiliki semangat yang menggelora. Kata-kata yang digunakan sangat sedrhana, dan langsung menuju yang dimaksud. Apakah itu bukan terjadi, karena kebutuhan yang pokok hidup baginya sudah terpenuhi? Jadi, ia dapat 'menggunakan' energinya dan berhasil menciptakan sejumlah lagu perjuangan? Entahlah.