Untuk itu, gambaran latar Ibu yang saya buat ini mudah-mudah memberi nilai tambah dalam menampilkan kejelasan sosok yang saya perikan ini.

Ibu lahir 14 Maret 1877 atau dalam tarikh lain 21 Ramadan 1304 H atau 1866, Jawa. Dengan tanggal itu yang terbayang juga suasana zaman. Kita mengibaratkan terlukis juga bingkai atau kerangka waktu yang kita geser mundur sehingga diperoleh sifat kenisbian sejarah.

Khusus perkara kemampuan saya dalam menulis, hal itu tidak semata-mata cerminan Ayah yang tampil ibaratnya suri teladan. Ada sumber kekuatan lain yang berasal dari Ibu. Sumbernya ada di 'dalam' yang sifatnya lembut-halus dan memancarkan bak-sinar ke jalan dan pada saya ada niat menempuhnya. Sifatnya berbeda, karena mengisyaratkan ketegaran dan sekaligus kehalusan, sehingga yang tampil justru sesuatu yang luar biasa. Tak lain, itulah sifat kelurusan dan disertai kelembutan yang hanya tampil di saat diperlukan. Benar-benar suatu keniscayaan. Oleh sebab itu, saya baru dapat memahami betapa Ayah yang bisanya penuh akal dan nalar, di suatu saat Ibu memerlukan tindak segera dibela, membuat Ayah nirkendala. Semoga Allah melimpahkan ampunan-Nya.

Di saat menulis baris ini, tak disengaja di benak tebersit judul kumpulan syair Notosoeroto yang berjudul “In de geur van moeder's haarwrong”, gubahan orang Jawa tetapi yang tertuang dalam bahasa Belanda. Jadi sudah jelas, sumber ilham penyair adalah Sang Ibu, dan dengan kata lain itu juga sekerat sejarah Nusantara, tersisa dari bacaan para muda zaman lampau, termasuk saya, yang namanya perpustakaan umum di Sekolah Dasar yang dibahas di Parwa Satu.

Pandangan umum saya tentang Ibu saya peroleh lewat jalan mereka-reka, tetapi berdasarkan semua pokok kejadian yang saya alami sendiri. Ibu adalah putri tertua keluarga besar, seperti layaknya di zaman itu, sekitar 10 putera-puteri. Semenjak kecil, Ibu nderek, ikut Keluarga Patih Kendal yang tak berputera dan taat beribadat. Baru menjelang menikah di tempat Ayahnya tinggal. Ayah Ibu menjabat Wedana Kota Karanganyar yang di zaman itu masuk Keresidenan Banyumas, sekota dengan kakek dari Ayah, yang sudah saya kisahkan di Parwa Satu.

Saya tidak habis pikir dengan nama kami, baik Ibu maupun putera-puterinya, karena memiliki yang disebut nama pralahir dan itu berian Eyang Saeoen Tjokrosendjojo, Uwa Ibu. Menurut Wan Hasan, nasab dan keturunan Arab, konon, dengan ejaan sekarang, ditulis Syaikhun. Eyang Saeoen pernah menjabat Asisten Wedana Sugihwaras dan kakak Alwi Tjokrosendjojo, dan selama hidup melajang.

Ibu bernama Sri Warwarinsih, nama yang belum pernah saya dengar duanya. Baru setelah dicari-cari dalam kamus Arab, saya temukan kata wawarin artinya pemakan lebah. Baik sri maupun sih dua-duanya kata Jawa, dan semua teka-teki, seperti banyak dalam hidup ini teki-teki bagi saya, yang masih menunggu jawab, kalau toh kiranya masih ada.

Sekali-sekali, Ibu berceritera tentang Uwa Saeoen yang telah memberi nama kami sekeluarga, pada saat kami belum lahir, seperti saya sebut, nama pralahir. Setelah memberikan nama. Uwa Saeoen tak lupa menampel mulutnya sambil berujar, 'Ah, mulut ini lancang.' Rupanya, Eyang Saeoen memang waskita, atau seperti orang Jawa berkata, weruh sak durunging winarah, tahu sebelum diberi tahu. Rupanya, kesukaan Eyang Saeoen itu tidak terbatas pada contoh tadi, tetapi perkara keberterimaan Ibu dalam menjalankan peranan mengasuh keluarga besar dapat dibayangkan.

Sekarang kesiapan Ibu perihal sarana keseharian yang kini kita kenal 'komunikasi'. Tidak perlu diterangkan, Ibu tidak bersekolah, layaknya wanita dari zamannya. Kenyataan, Ibu bisa membaca dan menulis, huruf Latin, Jawa dan Arab. Semestinya, urutannya terbalik, Arab yang dikenalnya paling dulu, menyusul Jawa, dan terakhir Latin. Meskipun 'jendela' tidak sempat terbuka penuh, bukaannya sudah cukup untuk memungkinkan Ibu dapat menguak dunia luas, mempersiapkan keturunannya menghadapi perubahan suasana dunia yang sangat cepat.

Bagi putera-puterinya, dan mungkin juga umum, yang boleh dicontoh adalah keteladanannya, dan itu berupa kasih-sayang, karena Ibu memiliki semua itu. Ibu tidak pernah menyatakannya, kecuali lewat senyum di bibir. Bagi kami, Ibu sama artinya dengan memberi, apa pun akan diberikanya tanpa pikir-panjang dan tanpa pikir-akibat. Baru di kemudian hari sebagai orang Islam saya dapat memahami bahwa Surga itu tempatnya ada di telapak kaki Ibu. Yang juga sempat saya amati bahwa sifat dan kebiasaan Ibu menurun ke dua puterinya sampai kedua-duanya kembali ke alam baka.

Baru setelah dewasa. saya mafhum makna semua itu. Saya yakin, semua perbuatan Ibu dan doa berpanjang-panjang berbuah, dan kami yang memanennya, kami satu demi satu dan dengan cara yang hemat saya khas bagi kami masing-masing. Kiranya, tidak perlu semua itu saya rinci.

Ibu memiliki cara khas untuk berbagai permintaan kami yang pada waktu pasti terdengar dan juga terasa kekanak-kanakan, seperti yang jadi cita-cita masing-masing kami. Jawab Ibu selalu hanya, “Mbesuk-mbesuk. . .”, kelak-kelak, tanpa cerita panjang. Saya yakin, selebihnya yang Ibu lakukan hanya berdoa berpanjang-panjang, sehabis salat. Ini saya yakini, karena setiap putera-puteri yang semula sembilan orang dan masing-masing sesuai dengan permintaanya, dan itu pasti ada.

Jawab Ibu bagi kami hanya berdoa berlama-lama seperti yang baru saya nyatakan. Kamilah yang harus tahu makna bersabar. Kepada dua kakak perempuan—kedudukannya setelah seorang yang meninggal sebelum dewasa—pesannya hanya manut-miturut. Berbeda dengan kami yang lelaki, mereka yang perempuan memang terarah untuk berbakti kepada suaminya kelak.

Singgihrahajoe Ali Sahido atau singkatnya Singgih saja baru disebut. Ia meninggal ketika Ayah berdinas di Prembun. Sebagai pelajar MULO Purworejo, ia anak yang berbadan bongsor dengan warna kulit cerah.

Kulit kami sekeluarga selain warnanya berbda-beda, berkisar dari cukup gelap hingga kuning langsat, dan rambut ada yang keriting hingga kejur. Juga sosok badan ada yang panjang, tetapi ada yang pendek. Bagi banyak orang, itu pasti menarik. Itu pula yang menyebabkan Kakak Slamet yamg berambut keriting dengan badan yang tinggi dan warna kulit ke arah gelap, selalu meledek adiknya, Kakak Siti. Dengan tawanya, ia selalu berkata: “Kau anak Bah Ada”, pedagang di Salam tempat Ibu sebagai pelanggannya selalu ngebon barang kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula dan teh. Kelak, setelah menikah dengan Ipar Soeroso, rupanya pandangan orang pun serupa. Yang merasa adanya kemiripan juga banyak orang lain, termasuk mereka yang memang Cina. Termasuk yang juga memiliki kemiripam serupa adalah saya. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali ada yang bertanya tentang hal itu, dan menyebabkan saya menyimpulkan bahwa moyang kami selain berasal dari India dan Cina, juga Timur Tengah.

Bisa dibayangkan betapa kepergian Kakak Singgih yang begitu tiba-tiba sangat mengguncang jiwa Ibu yang usianya baru mendekati 44 tahun. Saya masih ingat sangat jelas betapa Ibu terus-menerus menangis. Oleh sebab itu, demi kelancaran dan memudahkan semua, Kakak Singgih yang meninggal malam harinya, di pagi harinya dimakamkan di TPU Prembun Kulon. Masih terbayang jelas dalam pingat, saya yang saat itu nyaris berusia delapan tahun, karena dibiarkan ikut mengiring ke makam, bahwa kubur Kakak Singgih berdekatan di cungkup di sudut timurlaut TPU, yang menunjukkan umurnya yang belum begitu lama. Di kemudian hari, jasad Kak Singgih dipindah ke Brangkal dan terapit kaki pusara Ayah dan Ibu, dan itu dapat terlaksana berkat Kusfandi, menantu Kakak Siti.

Sekarang saya mencoba mereka-reka keluarga Ibu. Ibu puteri tertua Kakek Alwi Tjokrosendjojo, dengan 10 orang putra-putrinya, dan Ibu yang tertua. Ibu memiliki uwa, kakak Kakek, bernama Saeoen Tjokrosendjojo, yang hidup melajang. Lewat Ibu, saya tahu banyak mengenai beliau dan juga nama pralahir yang diberikan kepada kami semua. Dalam Parwa Satu dan Parwa Dua, saya sudah berbicara mengenai perkara itu. Saya merasakan ada bayang-bayang nama pralahir berian Eyang Saeoen dan arah perjalanan hidup masing-masing, termasuk yang baru saja dibicarakan. Saya mengira, nama Kakak Singgih adalah adalah Ali Sahido.

Ibu mewakili selain kasih-sayang, juga seni dalam semua seginya, termasuk seni hidup. Ini yang saya rasakan pada tahapan hidup sejak kami masih kecil ketika di Prembun. Itulah babak di awal hidup kami, lalu menyusul ketika kami bertumbuh di Karanganyar, meningkat ke tahap dewasa dan selanjutnya yang membuat kami terpisah. Husein yang masuk ke Petroleumschool BPM, yang di kemudian hari dijadikan AKAMIGAS, Akademi Minyak dan Gasbumi tak lama kemudian berumah tangga.

Kisah berikutnya membawa kami ke pendidikan tinggi di Bandung. Itulah jalan hidup kami berdua, sehingga membuat saya dan Hasan lama membujang. Ibu tidak sempat menyaksikan dua puteranya berkeluarga. Rupanya, Ibu hanya berpikir, dan pasti tidak sekali, melainkan berkali-kali. Pada saya ada keyakinan bahwa yang semula hanya tersimpan dalam pikiran itu, akhirnya terucapkan juga. Maka pada suatu ketika. Ibu pun berkata bahwa dalam mimpinya beliau berjumpa dengan 'priyayi sepuh dari Jawa Timur' (orang tua penuh hormat) yang 'menggandeng dua gadis remaja, seorang panjang dan seorang pendek'. Ketika itu saya langsung berpikir, 'yang panjang tentu calon untuk saya, dan yang pendek calon Hasan'. Ibu sempat menambahkan, 'Andaikata saya bertemu dalam kehidupan, saya pasti akan mengenalinya'. Begitu yakin Ibu, tetapi tidak diperkenankan Allah berjumpa dengan dua calon menantu perempuan itu. Kami menikah di bulan Nopember 1961, berselisih dua minggu, lebih dulu saya.

Peduli akan kemanfaatan dan keindahan, semua itu yang Ibu padukan dan persatukan dengan berneka keterampilan, dan semua hadir dalam diri Ibu. Berbagai sifat Ibu itu tampak dan saya rasakan sejak saya umur balita di Prembun, ketika itu keluarga kami menempati rumah dinas kewedanaan. Agar lengkap, dalam sejumlah baris di bawah ini semua itu akan saya uraikan.

Dalam menerakan kehidupan keluarga kami di babak ini, setengahnya pada saya terpaut kenangan bahwa kurun Prembun ibaratnya memberi semacam dorongan. Di satu pihak terasa ada dorongan dan di pihak lain mengisyaratkan babak ini agar dijadikan pelengkap. Bagi saya pribadi, di babak ini daya pikir saya mulai tumbuh dan itu kemudian saya coba terakan di bawah. Tergabung dengan daya nalar yang menggelayut di pingat selama berpuluh-puluh tahun akhirnya berbuah kisah yang Anda baca ini.

Bagi keluarga kami, babak tugas Ayah di Prembun tidak lain adalah bagian terakhir karir nya jadi pegawai pemerintahan jajahan. Kami tahu Ayah memperoleh bintang sebagai tanda penghargaan, tetapi saya mendapat kesan, seakan-akan serupa benda sehari-hari. Pendirian Ayah, orang bekerja harus didasari niat yang ikhlas. Ayah sempat bertutur tentang Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang mengalungkan bintang yang diperolehnya di leher anjing kesayangan dan lalu memotretnya. Dengan kata lain, bintang adalah sesuatu yang perlu dibanggakan. Itu sebabnya, barang itu tidak pernuh ditunjukkan kepada putera-puterinya.

Ada di sini yang akan saya coba gunakan sebagai alasan untuk menajamkan isyarat berakhirnya suatu kurun dan sekaligus tibanya kurun baru. Khusus bagi Ayah, Prembun adalah babak akhir tugas beliau di pemerintahan penjajahan setelah mencapai usia 50 tahun. Sebagai seorang anggota dinas pemerintahan dalam negeri, Ayah melakoni tugas itu sebagai pilihan yang ia buat pada saat pilihan yang semula dikiranya memang yang wajar, ternata tertutup oleh politik pemerintahan yang sedang berkuasa. Ayah mengakhiri tugas di pemerintahan dalam keadaan yang serba sulit, selain bagi dirinya, juga bagi seluruh keluarga yang dalam pada itu sudah jadi keluarga besar. Bagi kami, khususnya saya, inilah babak di perjalanan hidup, saat saya mulai berpikir dan mampu memyimpan pingat.

Agar latar kejadian yang saya kisahkan lebih jelas, saya mulai dari rumah dinas Wedana Prembun. Itu adalah rumah tua yang saya kira dibangun sekitar tahun 1865. Rumah dan halamannya mulai disiapkan ketika P.G. Prembun ada di awal pembangunan. Dalam sejarah perkembangan Jawa, itu lebih kurang bersesuaian dengan zaman kemunculan industri gula yang sempat membuat Jawa jadi pengekspor utama gula di dunia. Perhatikan, betapa gula pasir Jawa bermutu tinggi, SHS, begitu namanya, superieur hoofdsuiker, butirannya yang mendorong orang menyebutnya 'gula pasir' dan itulah jenis yang jadi kebanggaan. P.G. Prembun jadi yang terbesar kedua di negeri ini, setelah P.G. Jatiroto di Jawa Timur.

Membangun industri gula sama artinya dengan membangun seluruh daerah, dan itu berlangsung sejak awal. Pada waktu itu lahan masih banyak dan kosong, dan banjir setiap tahun mengancam, menyebutnya banjir bandang, kejadian yang tidak hanya dialami daerah Prembun, tetapi boleh dikatakan seluruh dataran Kedu Selatan, termasuk di bagian barat, yaitu Kota Karanganyar.

Seperti dibahas di Parwa Satu, dari karya G.A. Pet insinyur muda usia likuran (25-an tahun) kita sekarang mengetahui peristiwa banjir besar yang menimpa daerah itu di tahun 1862. Kisah banjir besar itu sampai di kita berkat tulisannya. Yang sedang saya tulis ini berlatar daerah yang sama.

Banjir bandang tahunan hanya ada satu cara menangkalnya, yaitu membuat tanggul cukup tinggi sehingga sungai tidak meluap. Sebagai langkah awal di sejumlah titik dibangun papan duga. Nama sungai di daerah Prembun yang dijadikan sasaran adalah Kali Pedegolan. Seingat saya adalah nama Kali Gentan. Saya kira, nama Kali Gentan berasal dari masa ketika banjir masih sering terjadi dan upaya penanggulangan belum tuntas. Setiap kali terdengar deru air, maka itu isyarat bahwa banjir segera datang, maka genta pun ditabuh. Itulah lonceng di tempat orang jaga dan berdentang tiada hentinya. Itulah rekaan saya, sehingga nama Kali Gentan kiranya juga berasal dari masa itu.

Bendung yang dibangun di Kali Gentan adalah titik sangat penting. Dari titik itu air sungai yang semula sumber petaka setelah dikendalikan berubah jadi manfaat bagi orang banyak. Bendung itu yang menyebabkan air masuk ke dalam solokan dan menyalurkannya baik ke arah timur maupun barat. Saluran induk timur mula-mula mengalir melewati pabrik dan jadi urat nadi kehidupan pabrik dan semua pihak padanya. Pada waktu pabrik giling—itu istilahnya—air digunakan sebagai air produksi dalam berbagai tugasnya. Di waktu lain, sebagian besar air langsung menuju ke ladang tebu. Sambil mengalir lewat perkampungan, air memenuhi gunanya, termasuk sebagai sarana bagi pembuang kotoran, dan itu telah disinggung untuk keperluan rumah dinas wedana.

Betapa tinggi air banjir dapat mencapai di Prembun sebelum sungai dikendalikan. Saya taksir, angka ketinggian muka banjir mencapai 7-an meter, dan angka setinggi itu diperoleh atas dasar ketinggian lantai rumah wedana, dan angka itulah yang lalu dijadikan acuan membangun rumah dinas yang menghadap ke selatan, tempat menjulurnya jalan antarkota.

Rumah dibangun berdasarkan ukuran yang dikehendaki. Termasuk yang perlu ukurannya adalah bagian tengah dalem. Bagian ini terdiri dari empat ruang tidur masing 6x6 m2, ruang-antara dua kamar tidur depan dan kamar tidur belakang 8 m, sedang ruang-antara kurang. Semua ukuran itu saya peroleh sekarang lewat taksiran, dan itu saya coba mengingat-ingat setelah semua lebih dari 80 tahun.

Pada waktu jadi penghuni rumah dinas di Prembun, kamar tidur kami bertiga yang masih kecil-kecil juga kamar tidur Ayah-Ibu, yaitu kamar tidur depan-barat. Kamar tidur berikutnya, belakang-barat diperuntukkan bagi dua kakak perempuan dengan dua orang pembantu perempuan. Itu sebelum mereka ikut Nenek di Karanganyar setelah mereka masuk HIS, dan hanya mengisi kamar itu pada waktu liburan. Saya menyusul di tahun 1929, meskipun belum di HIS, tetapi di sekolah swasta. Setiap pagi, saya diantar Mbok Mito, begitulah setiap hari. Mbok Mito ikut Ibu sudah berapa lamanya tidak saya ketahui, sehingga dalam bahasa Jawa ada kata khususnya, wulu cumbu, pembantu setia.

Tak lama kamar tidur depan-timur hanya digunakan kakak sedang libur, mungkin juga dengan teman, mungkin lebih dari seorang. Kamar terakhir, kamar tidur timur-belakang berisi bermacam-macam barang, setengahnya seperti gudang. Di kamar itu Ibu biasanya melakukan salat dan wirid.

Semua ukuran di kediaman di Prembun berbeda dengan ketika di Salam, yamg menandakan bahwa kewedanaan dari zaman lebih baru. Di Prembun, halaman dan kebun jauh dan dipenuhi aneka buah-buahan, dan bahkan ada yang sampai tak tergarap. Di halaman belakang ada lima pohon sawo menila yang sudah besar-benar, kepel, kedondong yang selain di halaman belakang juga di berbagai tempat lain, Pohon mangga ada banyak, itu pun tidak semua manis buahnya, beraneka jeruk, tidak terlalu manis, berderet di kanan-kiri jalan-masuk panjang 50-m meter. Juga jenis tersebar, batang pohon beraneka, termasuk pisang biji, yang oleh Ibu diperah dan airnya diminum.

Serambi barat cukup luas, menurut taksiran 5mx8m. Tempat seluas itu digunakan Ibu untuk membatik, bukan bagi keperluan sendiri, melainkan untuk mengajar banyak orang membatik. Mereka pembantu yang setelah tugas pokoknya selesai, menambah keterampilan dalam membatik.

Beberapa duduknya berdekatan dan menghadapi kain mori yang tersampir di gawang. Ada wajan kecil di dekatnya yang di taruh di atas anglo berbara. Ibu ada di antara mereka. Itulah suasana di siang hari, sekitar tahun 1930-an di bagian belakang rumah dinas Wedana Prembun, dan itu pula gambaran kegiatan yang biasa Ibu lakukan ketika mengajar para pembantu membatik, dan tugas pokok mereka telah selesai.

Tidak jarang, bila saya dengan dua adik kembar sudah bosan dengan sesuatu ikut-ikut bergabung. Yang kami lakukan ada banyak dalam halaman yang begitu luas, apalagi sepeda tiga-roda, mana lagi yang jadi sasaran, jika tidak menonton Ibu?

Betapa Ibu dengan hati-hati mencelupkan canting ke dalam malam cair di wajan, mengangkatnya, dan lalu ujung mulut canting berisi malam panas yang cair itu setelah ditiup sebentar diterakan ke mori. Sedikit demi sedikit, dari hari yang satu ke hari berikutnya, mori yang semula putih bersih akhirnya jadi tergambar, jadi batikan. Masih ada proses berikutnya, termasuk membuang malam yang melekat dan nenyoga untuk menempelkan warna yang gelap, yang semua penting, tetapi sebagai anak tidak menarik.

Saya percaya pengaruh melihat Ibu membatik sangat besar pada kami bertiga. Hasan tidak akan berkata sesuatu, karena berpembawaan pendiam. Hemat saya, bahwa di kemudian hari ia jadi arsitek, itu tak terpisahkan dengan menggambar, rasanya itu tak berbeda dengan melihat Ibu yang begitu tekun dalam membatik.

Membatik berakhir menjelang asar. Sebelum saat itu tiba, matahari bergeser ke barat dan serambi tempat kerja pembatik hingga terpajan langsung sinarnya. Ibu tidak kehabisan akal sehingga ruang yang tak berdinding itu diberi kerai. Saya percaya kerai itu yang membuat para pembantu lelaki dan juga yang memasangnya. Barang itu dibuat dari bilah tipis-tipis kulit batang bambu berikatan.

Saya sekarang beralih ke tananan sirih yang terdapat di berbagai tempat, selain diberi pohon untuk merambat, juga dibuat para-para. Gunanya tidak hanya sebagai obat. Dari banyaknya tanaman sirih bisa kita terka bahwa penghuni sebelumya, yaitu isteri wedana yang berdinas, jelas seorang pengguna sirih. Bagi Ibu kenyataan itu jelas sesuatu yang sangat berguna. Bagi Ibu sirih untuk dikunyah.

Saya ingat, di timur rumah ada petak sekitar 40m x40 m, dengan beraneka tanaman, di antaranya bunga melati. Setiap pagi yang dilakukan Ibu adalah memetik bunga melati untuk diturkan di bantal sehingga bau harumnya tertinggal.

Seingat saya, Ibu di sana kemudian juga menanam kapas yang jadi sumber kegiatan, memintal benang. Pada waktu di Prembun, kegiatan menangani kapas sangat terbatas. Kelak, setelah Ayah jadi orang pensiunan dan menetap di Karanganyar, sederet karya hasil Ibu selalu membuat kami kami selalu teringat akan Ibu. Keterampilannya yang kami saksikan ketika di Prembun adalah cara yang dimiliki Ibu. Lewat jari-jemari yang lentik, Ibu memintal dari kapas tanamannya jadi benang. Sebagai anak kecil ketika di Prembun, kami dibuat takjub betapa Ibu dengan jentera dari segumpal kecil kapas di tangan kiri, Ibu menyulapnya jadi seutas benang. Alat sederhana pemintal benang yang bernama jentera itu adalah barang warisan dari moyang ke-7 dari kel. Tjakraningat di Madura, dan entah bagaimana jalur yang ditempuh, hingga barang itu akhirnya sampai di tangan Ibu. Entah dari mana pula Ibu memiliki keterampilan memintal kapas hingga jadi benang, itu pun kami tidak tahu. Yang jelas semua tidak ada yang tiba-tiba, tetapi bagian yang disebut tradisi.

Dari benang Ibu lalu melangkah ke tahap berikutnya, menata benang, seutas demi seutas. Akhirnya terbentuk selembar kain tenunan, bukti nyata hasil karya Ibu. Kami bertiga, saya dan adik kembar saya, yang menggunakan karya ibu dan menceritakannya kepada siapa yang bertanya, karena jenis tenunan yang kami pakai tidak lazim, sangat khas, dan kami menggunakannya karena Ayah pensiunan, padahal biaya hidup keluarga terus bertambah. Dengan bangga kami tunjukkan kepada orang betapa semua itu adalah produksi Ibu. Ayah sering merujuk buatan Ibu sebagai swadesi, kata yang jadi semboyan Mahatma Gandhi agar sintas. Dalam Parwa Satu, sebagian perkara ini sudah disinggung, di sini yang saya tambahkan adalah segi yang ada hubungan langsung dengan Ibu, dan itu termasuk keterampilan Ibu memotong rambut kami, setiap kali jadi terlalu panjang. Ibulah yang jadi ahli potong rambut. Sebagai kelakar, kami menggunakan istilah ABC, yang lengkapnya Anti Barbier Club, Himpunan Penolak Pemangkas Rambut. Pada waktu pendudukan, dan kami sudah bermukim di Yogya (dieja Djokdja), singkatan ditambah satu huruf D sebagai huruf terakhir itu.

Bingkai waktu sekarang kita geserkan kembali dan benang menyambung lagi ke babak kehidupan kami ketika di Prembun. Yang ini khusus menyangkut seluruh kapling bagi halaman peruntukan rumah dinas beserta kemudahan umum yang tak terpisahkan dengan kehadiran seorang wedana. Menurut taksiran mendekati tiga hektaran. Jadi, dengan ukuran biasa lumayan luas. Maklum saya kira Wedana Prembun adalah pejabat daerah yang paling dulu ditentukan, dan itu pasti tidak terpisahkan dengan pembangunan pabrik gula yang terjadi sekitar 1880.

Seluruh kapling yang kita bahas itu mencakup halaman kediaman Wedana Prembun itu taksiran saya sekitar tiga hektaran. Batas selatan kapling adalah jalan yang direncanakan di kemudian hari tetapi dengan istilah sekarang, disebut poros atau jalan raya lintas selatam Jawa. Itulah urat nadi lalulintas jalan besar, seperti Jalan Daendels di sepanjang pantai utara Jawa. Sekitar 1882 menyusul jalur jalan keretapi lintas selatan, yang selesai bertepatan dengan mulai bekerjanya P.G. Prembun, yang lidah Belanda cenderung menyebutnya Rembun. Semua seperti terjadwal. Secara kebetulan, dan sebagai ihwal tambahan, Ayah lahir di bulan Sepember 1882. Seperti juga terjadwal, di 1932 datang krisis keuangan dunia yang sudah saya sebut berulang-kali. Krisis itu pula memberikan pukulan telak kepada industri gula, termasuk P.G. Prembun. Setelah berproduksi setengah abad, pabrik dengan segala kemudahannya pun dibongkar, tetapi sekarang perlahan-lahan oleh orang sekelilingnya, kecuali bendung dan jaringan pengairan yang tetap bermanfaat hingga kini.

Yang ada di tangan Belanda, yaitu setiap langkah yang mereka lakukan dibimbing rencana, dan rincian selanjutnya juga tergambar. Yang melatarbelakangi semua itu adalah cara yang sekarang dinamai pendekatan sistem. Seperti dikatakan di Parwa Satu dan Parwa Dua, di zaman itu istilah untuk rencana seperti itu belum dikenal. Apalagi untuk lingkungan secara menyeluruh.

Saya percaya, Belanda dapat menangkap yang akan diperlukan di waktu datang berkat kemilikan citarasa dan itu tidak timbul tiba-tiba. Itu juga perkara yang bertalian dengan daerah Prembun secara keseluruhan. Belum ada yang tertuang berupa dokumen resmi seperti di waktu ini. Tidak semua orang mengetahui, apalagi orang pribumi. Semua tindak langkah yang Belanda buat tidak dapat dipisahkan dengan kenyataan bahwa mereka memiliki yang disebut tradisi. Kekuatan lain yang ada pada mereka, yaitu BTM, alat ukur lahan yang jika digunakan dengan tepat memberi manfaat besar, tetapi jika tidak, justru menimbulkan kerugian. Perkara ini sudah saya bahas. Dengan mewujudnya Prembun juga mulai dibangun jalan desa.

Berangsur-angsur di kapling itu mulai dibangun satu-demi-satu kemudahan umum. Yang rupanya langsung di tepi jalan raya, klinik yang menyatu dengan rumah mantri kesehatan. Itulah yang jauh di kemudian hari jadi kelembagaan yang kini kita kenal sebagai puskesmas, pusat kesehatan masyakat. Jalan masuk ke rumah wedana menjulur dari jalan raya, sekitar 100-an meter, dan baru ada regol, yang berdiri di kanan-kiri jalan masuk. Di sebelah kanan, atau juga timur jalan masuk dibangun sekolah dasar. Dari semua itu kita menyaksikan cara bagaimana pemerintahan penjajahan Belanda bekerja, selain dengan rencana, juga dengan jadwal. Semua dibimbing oleh faktor yang bernama tradisi dan berinduk pada tradisi membaca.

Saya telah mencoba melukiskan berbagai sifat yang dimiliki Ibu. Ada baiknya saya sudahi kisah seorang yang bagi mereka yang dekat beliau kiranya juga agar diketahui sehingga meneladaninya. Jangan-jangan, kata Arab Warwarin, yang artinya pemakan lebah itu mengarah ke semua persifatan baik yang dimiliki Ibu itu.

Sebagai pelengkap rasanya perlu disertakan bagian terakhir kehadiran Ibu di dunia yang fana ini, seperti berikut. Ibu wafat di hari Ahad Wage, 8 Juni 1958. 21 Dzulkaidah 1889, Jawa, 1377 H, pukul 06.00 pagi. Seingat saya, Ibu menghembuskan nafas terakhir setelah sakit dan beberapa lamanya dirawat di R.S. Daerah di Kebumen yang memiliki dokter. Seingat saya, waktu itu saya sedang bekerja lapangan memetakan secara geologi daerah di utara Gombong. Itu adalah sebagai bagian tugas persyaratan ujian sarjana geologi. Daerah yang saya petakan selain yang akan jadi genangan Waduk Sempor, juga daerah luas di luarnya. Selama saya bertugas, di Sempor, rumah Kedungpuji jadi pangkalan saya. Sempor ternyata jadi salah satu mata rantai dalam perjalanan hidup saya. Nama Sempor berkali-kali terbaca di seluruh nas tiga parwa ini.

Kita kembali ke waktu menjelang Ibu wafat. Saat itu, Saptu malam mengingat keadaan Ibu sudah gawat saya menunggu Ibu di rumah sakit dengan Mbakyu Bambang, menantu perempuan tertua. Saya ada kendaraan pinjaman dari Projek Sempor berupa truk, jika tak salah ingat, warna merah. Begitu Ibu meninggal, tak selang lama truk bertolak ke Kedungpuji, Gombong, sejauh 20 km dan memakan waktu tempuh setengah jam. Saya ada di bak dengan Ibu tergolek di atas tandu, berdiri sambil berpegangan pagar truk, memandang ke arah depan. Di perjalanan pikiran menerawang, dan dalam kesejukan hari pagi inilah saya membayangkan bagian akhir Ibu untuk pulang ke rumah di Kedungpuji berkat berkendaraan truk bantuan, dengan Mbakyu Bambang dan sopir yang duduk di depan besama pengemudi.

Betapa semua berjalan begitu lancar. Yang teringat, betapa keluarga Mo Gian tanggap sangat cepat. Sebetulnya yang banyak bergaul adalah Adik Husein dengan Mo Hien, puteranya, tetapi akhirnya semua jadi sangat akrab. Di pagi, segala kebutuhan bagi orang yang sedang mengalami musibah kematian sudah disediakan. Betapa keakraban yang didasari ketulusan memang besar nilainya.

Sampai akhirnya tiba saat jenazah diangkat ke Brangkal, tempat pemakaman keluarga yang sejak dari pra-Perang Diponegoro sudah mulai digunakan. Nama Brangkal sudah beberapa kali disebut-sebut. Ayah yang tertinggal dan harus menjalani hidup seorang diri, sampai datang panggilan dari Sang Pencipta untuk menghadap dan saat itu tiba lima tahun kemudian, karena Ayah menunggu hingga lahir dua cucu baru dari kami berdua, Hasan dan saya, yang paling akhir berumah tangga. Itulah kenyataan.

Benang yang mengisahkan pribadi Ibu saya lanjutkan ke perkara yang berbeda, dan itu sama sekali berlainan, tetapi alurnya tetap, yaitu tradisi. Untuk keperluan itu sesuatu perlu disisipkan, yang tak lain adalah ihwal yang dalam judul Parwa Tiga ini sudah disinggung, khusus di bagian keduanya, dan sekarang kita tampilkan dengan langsung di bawah ini.