Sebagai negara Barat, sudah lama Negeri Belanda mengenal sistem persekolahan. Tidak hanya pendidikan dasar, juga menengah hingga yang tinggi dan menghasilkan tenaga dengan berbagai keahlian, termasuk bidang rekayasa atau teknik. Bangsa Belanda yang negerinya rendah dan di dekat laut, sepanjang masa harus bergumul agar dapat bertahan menghadapi gempuran gelombang. Mereka juga bangsa pedagang yang biasa berlayar jauh. Hikmah semua itu dapat kita lihat berupa tratisi mereka dalam teknik, terutama teknik sipil dan teknik mesin. Mereka juga memiliki tradisi merekam semua yang mereka hadapi. Puncaknya berupa penelitian dan hasilnya adalah kepahaman akan ilmu yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi bangsa Belanda, sehingga setiap kali ada masalah baru, dapat ditemukan cara mengatasinya.

Dalam mengelola daerah setelah diberlakukan trantib, Belanda menggunakan asas tertentu. Asas itu sekarang dikenal dengan istilah systems approach, pendekatan sistem, tetapi yang pada zaman kisah ini berlangsung tentu saja belum dikenal. Bahwa asas itu diterapkan dapat kita simak pada setiap langkah yang mereka lakukan. Di atas disinggung pembangunan Karanganyar yang menggunakan pendekatan sistem. Meskipun Belanda pada kurun waktu itu sudah menerapkan cara serupa, tanpa menyebut pendekatan sistem, dan kemudian menyusul pembangunan wilayah—istilah yang kini lazim, tetapi dulu belum ada—ujungnya tentu saja bukan untuk kepentingan umum, melainkan pemodal. Pemodal.

Sistem menyangkut perwujudan, ada yang tampak, maujud, dapat diraba dan dengan sendiri dapat diukur sehingga dapat dinyatakan dengan angka. Ada pula sistem yang tak tampak, nirmaud, jadi juga tidak dapat diukur dan dinyatakan dalam satuan. Alam sekitar kita adalah sistem maujud, dan dapat ditangani dengan cepat. Sistem kealaman ini ada yang pegun—tetap, tidak berubah-ubah, atau kita anggap atau perlakukan demikian, dan ada yang cergas, karena berubah terus-menerus. Sistem yang tak maujud kita bicarakan pada akhir pokok ini.

Marilah kita perhatikan daerah Kedu Selatan yang pada zaman Mataram diberi nama Mancanegara, walaupun masih 'dekat' dengan kerajaan Jawa. Bagi orang Belanda, dari dataran itu terpancar daya tarik Mereka tentu merasa ada kemiripan dengan negeri asal mereka yang memiliki duinen, deretan inilah gumuk atau bukit pasir di sepanjang tepi laut, dengan di belakangnya tanah datar yang tersayat sejumlah alur sungai.

Kita perlu mengetahui sejarah terbentuknya dataran itu. Pada abad ke-17, sebagian daerah Kedu Selatan masih berupa laut pedalaman atau seperti yang ada di negeri Belanda dan Jerman Utara disebut haf. Laut pedalaman itu terus-menerus terisi waled, bahan rombakan yang dibawa sungai dari daerah hulunya. Luas permukaan laut pedalaman itu terus menyusut, hingga akhirnya sebagian besar berubah jadi daratan. Proses itu berlangsung sangat cepat. Di daerah Kedu Selatan, pasokan bahan rombakan itu datang terus-menerus dari Pegunungan Serayu Selatan dari terangkut lewat batang air yang berjumlah sangat besar.

Penyaliran (pembuangan air) merupakan masalah. Untuk mengatasi masalah itu, pada tahun 1834 ada residen yang menggagas menggali terusan atau kenal dan air yang banyak itu dapat disalurkan ke laut. Dapat kita pastikan, residen adalah seorang lulusan perguruan tinggi, boleh jadi Universias Leiden, yang tertua di Negari Belanda. Ia memiliki pengetahuan umum yang memadai, sehingga ia dapat memahami—meskipun secara umum—apa yang mendasari persoalan yang ada di daerah tempat ia bertugas. (Catat: Perang baru usai empat tahun!). Anggaran disediakan—sekarang kita mengenal istilah anggaran belanja pembangunan—tetapi rodi atau kerja paksa tentu saja ada. Hal ini mungkin ada yang membenarkan, karena untuk kepentingan umum. Hasilnya? Tidak ada, alias gagal. Residen berikutnya mulai dengan rencana baru, juga gagal. Residen yang ketiga pun gagal. Rencana menggali saluran atau kanal Wawar atau Ketawang itu untuk menembus deretan bukit pasir di selatan ternyata tidak tepat. Penyebabnya, karena setiap kali kanal itu selesai digali, di mulut lagi-lagi tertimbun pasir karena kuatnya hembusan angin pasat yang mendorong-dorong terus-menerus pasir dari laut, yang kemudian mengendap di mulut kanal.

Ada sejumlah sungai yang bermuara di Samudera India. Hanya sungai yang luahnya (aliran airnya) sangat besar di sepanjang tahun yang mampu menembus deretan gumuk, yaitu di bagian timur Kali Bogowonto dan yang di barat, di daerah Banyumas, Kali Serayu. Kali Lukulo yang ada di tengah, tidak sepenuhnya mampu, sehingga di muara sebagian airnya tertahan oleh 'bendung' sementara setiap musim kemarau, yang membuat sebagian muatannya mengendap dan jadi daratan.

Maka datanglah bencana yang menimpa daerah Kedu Selatan pada tahun 1861. Saat itu, Bupati Karangnyar pertama, KRMAA Djojodiningrat, belum lagi mundur dan Bupati Ambal pertama dan terakhir, KRMAA Poerbonegoro juga masih jumeneng (bertugas). Petaka itu timbul akibat hujan yang mengguyur seluruh daerah selama berjam-jam atau di tempat tertentu bahkan beberapa hari. Peristiwa langka itu terekam oleh G.A. Pet, insinyur sipil muda usia (26 tahun) dan baru lulus dari Sekolah Tinggi Teknik Delft (sekarang Universitas Teknologi Delft) di Negeri Belanda.

Ini sekedar gambar sampingan budaya dan tradisi bangsa Belanda. Dengan tenaga muda seperti G.A. Pet pembangunan Kedu Selatan dalam waktu singkat dapat dimulai. Kisah insinyur muda penuh karsa itu dapat dibaca dalam buku kecil tulisan insinyur sipil wanita C. Swaan-Koopman. Bukunya berjudul Water over de sawah, harfiahnya, 'Air mengalir di sawah' (Swaan-Koopman, 1949), yang dalam bahasa Belanda terasa lyrisch, penuh perasaan. Bahasa yang digunakan dalam buku tipis itu untuk selanjutnya senada. Andaikata saja nas ini dialihbahasakan asal-asalan, tanpa hirau, maka hilanglah rasa yang akan disampaikan. Jadi, agar judul itu lebih menyentuh rasa, kita buat, misalnnya, 'Air bagi sawah yang dahaga', atau sejenis. Alih bahasa memang bersyarat dan dalam tulisan ini berkali-kali menghadapi dua dunia, kita dan Belanda, yang perlu dijembatani.

Inilah yang dikisahkan G.A. Pet:

'. . . Gumpalan awan kelabu yang agaknya berasal dari badai yang terjadi di selatan Jawa, menyelimuti darat, tetap saja menggantung di sela pegunungan dan selama tiga hari mencurahkan masa hujan yang menurut taksiran setebal semeteran, kalau toh kurang hanya sedikit.

Di beberapa sungai, air naik setnggi 12—18m di atas muka air reratanya. Derasnya sungai di pegunungan menimbulkan suara seperti dentuman meriam akibat batu yang saling berbenturan. Di beberapa tempat, sungai tidak lagi mengikuti alurnya, tetapi memotongnya. Pada tikungan tertentu air banjir bahkan menerjang tebing yang tinggi.

Di Bagelen hanya ada satu tempat yang aman. Di bagian yang tinggi, tanahnya melesak, dan bagian yang rendah, terlanda banjir dan tertimbun lumpur. Sejumlah sungai baru pun terjadi: di Kaliwiro, di sebidang tanah yang sebelumnya tak pernah terkena air, ditemukan bongkahan batu dengan keliling 30 meter. Sebidang tanah di hilir Kretek yang sebelumnya ditumbuhi rumput, usai banjir seluruhnya tertutup gelundungan batu besar-besar. Di Kutoarjo air naik sampai lebih tinggi dari tiang telegrap. Sejauh mata memandang, semua yang hijau telah lenyap, tersapu banjir. Yang jadi penggantinya adalah warna merah pucat mengerikan. Di beberapa bagian yang tinggi, tanah yang semula menutup batuan di bawahnya, telah hanyut bersama semua yang tumbuh. Kebun rakyat dan kebun kopi dan kekayuan yang lain. Dan bagian yang rendah tertutup lumpur tak terperikan banyaknya, yang semua berasal dari pegunungan. Rawa Wawar, di beberapa tempat tertimbun lumpur setebal 3 meter. Hampir semua jembatan dan saluran pengairan hancur. Banyak kampung lenyap tanpa bekas beserta semua rumah, pepohonan, ternak dan penghuninya. Korban ribuan jiwa dan binatang.

G.A. Pet akhirnya jadi semacam matarantai dalam sejarah, karena ia menemukan cara mengatasi masalah yang dihadapi Kedu Selatan sehingga terhindar dari banjir dan penduduknya yang terus bertambah mendapat lahan. Pet menggagas membangun dua kanal, satu berarah ke tenggara dan satu lagi ke arah baratdaya. Gagasan ini berlawanan dengan yang diingini tiga residen sehingga ia kalah. Kita bisa mengerti, karena umum tentu takkan percaya pada 'anak ingusan'. Sebagai akibat kegagalan itu, akhinya orang mau mendengarkan Pet. Uang yang sudah dikeluarkan ternyta tidak sedikit fl167.000,- atau dalam nilai uang sekarang sudah di atas Rp350 milyar. Pada tahun 1873. Kanal Ketawang yang menuju ke muara Kali Bogowonto di tenggara selesai, tetapi baru tuntas enam tahun kemudian, pada April 1876, Pet sempat berkunjung ke lapangan tetapi ia tidak dapat menyaksikan seluruh karyanya tuntas, karena ia keburu meninggal tiga bulan kemudian, tahun itu juga. Usianya baru 42 tahun, dan kita dapat menerka, disebabkan oleh malaria.

Itulah kisah yang disusun oleh insinyur sipil wanita pasca-PD II, dan bersumber dari bahan dari arsip yang tersimpan di Jakarta. Sekarang pun kita masih dapat menelusuri kisah masa lampau, hanya kita tidak lagi memiliki jaminan akan kelengkapannya. Di Jakarta badan yang menyimpan dokumen masa lampau adalah Arsip Negara Republik Indonesia dan Perpustakaan Nasional, dan gedung beserta sarananya sangat memadai. Kendala terbesar berupa sikap dan kemampuan kita. Kita harus memiliki sikap selain mau juga mampu meniliti, dan mengenai yang terakhir, itu berarti kemampuan berbahasa asing dengan baik, khususnya Belanda,

Perjalanan hidup G.A.Pet yang singkat itu meninggalkan bekas lain. Kita dapat menyaksikan yang ditinggalkannya berupa sejumlah jembatan yang terbentang di atas sungai di Kedu Selatan, yang terpanjang di atas Kali Lukula di barat Kebumen. Jembatan itu dikenal sebagai Jembatan Tembana (=tembe ana, baru ada). Dengan terjadinya pergeseran bunyi dari a ke o, sekarang orang cenderung mengucapkannyaTembono.Tidak mengherankan, jika sampai sekitar tahun 1920-an nama 'insinyur Gapet', begitu nama G.A. Pet di mulut penduduk, masih jadi buah bibir di seantero daerah Kedu Selatan.Tidak mengherankan, jika sampai sekitar tahun 1920-an nama 'insinyur Gapet', begitulah nama G.A. Pet di mulut penduduk, masih jadi buah bibir di seantero daerah Kedu Selatan. Kisah 'insinyur gapet' juga saya peroleh dari Ayah.

Sebagian di antara jembatan rancangan Pet itu mungkin sudah dibongkar, harus menyingkir untuk jembatan baru, tetapi ada juga yang dibiarkan dan hanya digunakan bagi lalulintas satu arah, dan untuk arah yang lain dibangun jembatan baru. Jika kita peka akan sejarah, peliharalah jembatan lama yang asli, perhatikan bahan yang digunakan, karena semua itu merupakan warisan masa lampau.

Demikialah kisah nyata banjir besar satu setengah abad yang lalu. Masyarakat kita telah berubah, juga sikapnya. Saya yakin, hujan luar biasa tidak hanya terjadi pada zamannya G.A. Pet, juga sebelumnya dan tentu saja sesudahnya. Semua itu berawal dari kejadian acak, rambang atau rawu, atau dalam bahasa Inggris random event yang terekam. Peristiwa seperti itu tidak terjadi sekali saja, sebelumnya pasti juga pernah, dan di masa depan juga ada peluang untuk berulang lagi. Yang perlu diketahui adalah tingkat 'keluarbisaannya', dan ini hanya dapat dinyatakan lewat jumlah banyaknya hujan yang tercurah di banyak titik dan luas daerah curahan.

Menurut dugaan saya, peristiwa sejenis pernah melanda tapak Kota Karanganyar dalam zaman prasejarah, demikian pula banyak tempat lainnya di Kedu Selatan. Banjir lumpur yang melokoskan daerah pegunungan di utara tercermin pada bentuk medan pada peralihan dari bagian pegunungan ke daerah yang datar.

Banjir besar juga dialami Ayah pada waktu beliau menjabat Asisten Wedana Kalikotes di daerah Kutoardjo, setelah beliau dipindah dari Secang di utara Magelang, dan menjelang naik pangkat jadi Wedana Salam. Ketika itulah di Kalikotes terjadi guyuran luar biasa. Beliau tidak mengungsi, tetapi berusaha menyelamatkan diri dengan bediri di atas meja tinggi dan, Alhamdulillah, selamat. Banjir besar itu tentu saja juga disebabkan oleh curah hujan yang sangat tinggi. Berbeda dengan peristiwa tahun 1861, hujan yang menyebabkan banjir di Kalikotes tidak merata. Menurut rekaman Lembaga Meteorologi-Geofisika, hujan yang tercurah pada bulan April 1920 mencapai 309 mm, hampir tiga kali angka rerata tahunan (Berlage, 1941).

Saya sendiri pernah berhubungan dengan banjir besar yang menghancurkan bendungan Waduk Sempor yang sedang dalam pembangunan. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1969. Walau di tengah musim kemarau, curahan hujan yang terjadi hanya dalam sehari-semalam sangat tinggi. Di waktu itu, sukat atau penakar hujan di daerah projek dan sekitarnya masih cukup banyak. Secara merata, angka yang terekam sekitar 250 mm. Sukat di Kedungwringin sangat mencurigakan, dan angka curahan hujan yang terekam, konon. 'hanya' 45mm. Karena curiga, saya periksa sendiri apa yang terjadi di tempat, Subkhannallah!. Sukat bocor dan tempatnya di bawah tritisan! Jadi, angka 45mm adalah 'karangan' alias isapan jempol! Ini catatan tambahan, gagasan membagun Waduk Sempor berasal dari Hengeveld, geologiwan Belanda didikan Swis (Hengeveld, 1917).

Pembangunan kembali Waduk Sempor dan bendungannya yang hanur pada tenganan Agustus 1969 merupakan kisah yang juga menarik. Hal itu jika kita perhatikan dari berbagai segi, tetapi bagi saya pribadi yang paling manrik adalah segi tradisi keteknikan: Bahwa kita sebagai bangsa belum lagi memilikinya, dan harus belajar dari dedasarnya, grass roots, kata orang Inggris, terlalu panjan untuk diuraikan di sini.

Lalu ada peristiwa 'longsoran dan banjir' yang terjadi di daerah Purworejo dan Kulon Progo pada akhir Oktober hingga awal Nopember 2001. Pada waktu itu saya sudah di 'luar jalur', sehingga saya tidak memiliki informasi, baik mengenai tempat mana saja yang terlanda, apalagi lamanya hujan dan kelebatannya. Kita tidak mungkin mengetahui besarnya angka curahan, karena yang namanya sukat sudah jadi cerita masa lampau. Mungkin, ada rekaman dari sukat di bandara Maguwo, karena boleh jadi mereka masih memiliki benda itu. Saya kira koran—yang penting-penting—memiliki arsip, demikian pula stasion TV yang menayangkan rekaman. Saya masih ingat, betapa para pejabat dan peniliti silih-berganti berdatangan meninjau tempat kejadian. Mudah-mudahan mereka sempat menghasilkan laporan yang bermanfaat untuk masa depan. Yang disangsikan adalah angka curahan hujan, karena itu tidak mungkin lagi kita peroleh. Yang juga menyedihkan, lewat Internet dapat kita peroleh informasi bahwa sejak 2011 tidak terdapat lagi angka curahan hujan untuk Indonesia.