Pada hakikatnya, Perang Diponegoro adalah masa peralihan dari masa pemerintahan Raja Jawa ke pemerintahan penjajahan langsung.Tidak banyak orang yang paham akan sejarah, sejak kekuasaan Raja Jawa susut hingga berakhir. Sebaliknya, kekuasaan Belanda terus bertambah kuat hingga akhirnya seluruhnya beralih ke pemerintahan Hindia Belanda. Di balik perubahan itu tersembunyi dukacerita. Nasib 'bangsa' yang belum lagi lahir itu hanya dirasakan oleh beberapa gelintir orang, yaitu mereka yang bersukacita, karena mereka justru beroleh untung—karena menyalahgunakan kesempatan—dan kemudian bersukacita. Contohnya? Pejabat yang karena kedudukannya pada masa peralihan harus mencatat luas lahan. Pada hakikatnya, itulah sejarah, karena terjadi di mana saja dan kapan saja. De gelegenheid maakt de dief; kesempatan 'baik' seperi itu jarang terulang, yang membuat orang jadi pencuri atau setidaknya penipu.

Tidak banyak orang—termasuk Belanda—yang mengira bahwa perang yang meletus pada tahun 1825 berlarut-larut. Pendorong sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi hanya dapat ditangkap mereka yang peka dan merasa 'mendongkol' tanpa bisa berbuat apa-apa. Betapa tidak, Belanda bertindak perlahan-lahan, sedikit demi sedikit tetapi terus 'merangsek' dan kita selalu kalah siasat dan tidak mampu membalas. Perselisihan yang boleh dikatakan semula bersifat pribadi, dan terjadi di barat Yogyakarta kemudian merembet ke mana-mana di seantero Jawa Tengah dan bagian barat Jawa Timur, daerah yang dengan istilah Belanda disebut Vorstenlanden, daerah Para Raja Jawa.

Semula tulisan ini hanya bermaksud mengupas babak terakhir perjuangan orang Jawa dalam berhadapan dengan perubahan zaman. Yang tercakup di dalamnya adalah tahap awal pemerintahan Hindia Belanda, segera setelah Perang Diponegoro berrakhir dan setelah itu disusul oleh penataan keprajaan. Setelah saya perhatikan benar-benar, ternyata masalah yang kita hadapi jauh lebih luas dan rumit. Sebenarnya yang kita hadapi adalah sejarah pembentukan bangsa, bukan bangsa Jawa, melainkan bangsa Indonesia. Dari sudut pandang itu, Perang Diponegoro jelas merupakan peristiwa yang bagus, bak-jembatan menuju ke zaman baru.

Yang disebut Perang Diponegoro sebenarnya bukan perang yang menghadapkan dua pihak yang bermusuhan. Pada awalnya, yang terjadi lebih dekat diistilahkan (dalam bahasa Belanda) onlusten, atau rebellie, dan dengan istilah kita, pemberontakan. Dalam bahasa Jawa ada istilah ngraman. Dari sini saja kita dapat menafsirkan bahwa sebenarnya pada saat itu pihak Belanda sudah jadi penguasa dan kita rakyat terjajah.

Sebelum perang benar-benar meletus, berkali-kali pihak Belanda berupaya mengajak Pangeran 'bertukar pikiran', akan tetapi selalu gagal. Pada salah upaya itu terjadi yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Lengkong. Dua orang pangeran mewakili Residen Yogyakarta A.H. Smitssaert bertolak ke Tegalrejo, naik 'kereta kencana'—istilah Belandanya gouden koets—kendaraan resmi kraton, dikawal oleh 12 abdi dalem dan 60 huzaar, serdadu berkuda. Rombongan baru sampai di dusun Lengkong ketika diserang dan semua dihabisi, dan kedua pangeran itu serta para abdi dalem dimakamkan di tempat kejadian.

Pihak penyerang ternyata Sentot Alibasah Prawirodirdjo, salah seorang panglima dalam pasukan Pangeran Diponegoro. Orangnya masih muda dan dikenal pemberani. Semula kejadian itu dianggap kecelakaan, tetapi di antara keturunan Pangeran Moerdaningrat ada yang beranggapan lain. Apalagi Sentot kemudian memihak Belanda dan ditempatkan di daerah Bengkulu

Kita juga perlu mengetahui pribadi Residen Smitssaert yang sebelumnya adalah Residen Rembang (Hageman,1856, h. 32 dst.) Ia seorang pejabat pemerintah yang setia, tetapi orang yang memiliki sikap congkak dan sepak terjangnya sama sekali tidak cocok untuk menghadapi Sri Sultan. Sebagai seorang bukan-penyabar, ia lebih senang berada di rumah dengan keluarganya. Pada zaman itu, setiap Senin dan Kamis malam diadakan pertemuan dengan para pangeran dan pembesar kraton. Pada pertemuan seperti itu ia biasanya lebih sering melimpahkan tugas kepada Asisten Residen, Patih, dan seorang penerjemah. Jika hadir, ia duduk di tempat duduk khusus Sri Sultan, hal yang jelas dirasakan para pangeran dan pejabat merupakan penghinaan.

Pada suatu ketika, Residen memerintahkan kepada Patih agar pada pertemuan berikutnya semua pangeran diundang di Fort Vredenburg, dengan alasan akan ada acara khusus. Ia memerintahkan juga agar 50 rang serdadu disiagakan di gedung berdekatan dengan ruang pertemuan.Tujuannya, untuk segera menangkap Pangeran Diponegoro yang juga diundang. Yang diperkenankan masuk selain Pangeran Diponegoro hanya dua orang, pembawa kotak sirih dan perlengkapan yang lain. Ternyata pada waktu yang telah ditentukan, Pangeran tidak muncul, dan itu membuat Residen menjadi tak sabar. Baru sejam kemudian, pukul 21.00 Pangeran datang, tidak sendirian tetapi dikawal oleh 80 orang pengikutnya, pilihan dan bersenjata lengkap. Kepada penjaga Pangeran berkata, agar disampaikan kepada Residen bahwa ia datang bukan atas kemauan sendiri, tetapi karena Residen memintanya. Jika ia dan pengikutnya tidak diperkenankan masuk, lebih baik ia pulang saja. Setelah permintaan itu disampaikan kepada Residen, Residen langsung tahu bahwa rencana menangkap Pangeran telah bocor.

Akhirnya pertemuan dilakukan juga, dan Residen bersulang minum anggur dengan para pangeran, juga dengan Pangeran Diponegoro. Sebagai muslim, Pangeran tidak minum minuman keras, tetapi pada pertemuan ini ia melakukannya, rupanya untuk menenangkan hatinya. Juga dengan Sekretaris Pangeran bersulang, tetapi kemudian berhenti, seperti bermenung. Tiba-tiba saja ia bangkit, berdiri dan melangkah menuju ke tempat duduk Residen, dijambak rambut dan digojlok kepala wakil pemerintah itu sambil berkata (saya biarkan dalam bahasa Belanda): Smitssaert! Smittssaert! Gij doet mij veel hartzeer aan, wat is er al niet gebeurd dat gij mij verdriet hebt aangedaan; nu moet gij met mij de kans uitmaken, man tegen man, en als ik het verlies, kunt gij uwe begeerte doen in Djokjakarta' (Smitssaert! Smitssaert! Anda telah membuat aku benar-benar sedih. Apa yang telah terjadi, sehingga Anda membuat aku sedih? Sekarang ambillah putusan, satu lawan satu. Jika saya kalah, lakukan apa yang Anda ingini, di Yogyakarta ini.)

Residen geming, benar-benar diam tak bergerak sedikit pun, juga tidak pula mengeluarkan sepatah kata pun. Para saksi mata yang melihat sendiri peristiwa itu menyatakan hal itu kepada Hageman, padahal Residen adalah wakil resmi pemerintah. Para pangeran yang lain pun demikian, mereka tak mengerti apa yang terjadi. Setelah kepala Residen dilepas, Pangeran Diponegoro menuju ke kursi tempat duduk Patih Danoeredjo dan berkata—saya biarkan di sini nas tulisan Hageman dalam bahasa Belanda, yang aslinya tentu berbahasa Jawa, pada hemat saya dalam krama madya, karena saya tidak berani berandai-andai) Danoeredjo, Ook gij doet mij zeer veel hartzeer, en vereenigt U daartoe met den resident en het zoude U zeer aangenaam zijn, wanneer men mij verwijderde, opdat gij Uwe eigen wil zoudt kunnen volgen in Djokjakarta. Gij herinnert U niet meer Uw afkomst, gij herinnert U niet meer de goedheid mijns vaders, en zijt dusdanig geworden. (Diindonesiakan, kira-kira, Danoeredjo, Anda juga telah membuat aku benar-benar sangat sedih, karena Anda memihak residen, kukira akan sangat melegakan Anda jika aku diusir dari Yogyakarta, sehingga apa yang Anda ingini bisa terpenuhi, Anda tidak lagi ingat asal Anda, Anda tidak lagi ingat betapa baik ayahku, dan yang telah terjadi seperti ini.) Dalam suasana seperti itu, jelas komunikasi tidak lagi mungkin. Yang juga perlu diketahui adalah faktor penerjemah. Pilihan kata yang digunakan dalam surat residen kepada Pangeran ikut memanaskan suasana, karena dalam komunikasi kata pangeran tidak lagi digunakan.

Dalam suasana seperti itu, kejadian kecil sudah cukup untuk menjadi picu yang menyulut perang terbuka, dan peristiwa itu adalah pematokan jalur yang akan dijadikan jalan besar yang melewati lahan Pangeran di Tegalrejo. Karena hal ini sudah disebut-sebut oleh para penulis sejarah, saya kira tidak perlu saya ulangi lagi di sini

Ketika perang benar-bener meletus, cengkeraman Belanda sudah terasa. Mereka membangun jalan yang memperhubungkan tempat yang penting-penting di Jawa, termauk jalan yang melewati lahan Pangeran di Tegalrejo, demikian pula di daerah lain, termasuk Kedu Selatan yang kemudian jadi ajang terakhir perang gerilya. Cara Belanda membangun jalan baru atau meningkatkan jalan sering mengikuti jalur yang sudah ada atau yang semula hanya berupa jalan setapak.

Setelah pergolakan berlangsung terus, dari bulan menjadi tahun, maka yang terjadi—dengan istilah sekarang—'perang gerilya'. Di satu pihak adalah tentara Hindia Belanda, dan di pihak lain para perjurit Pangeran Diponegoro, atau dengan sebutan yang lazim kini, gerombolan bersenjata atau dari sudut pandang yang berbeda, pejuang kemerdekaan.Tak dapat dipungkiri, gerombolan liar itu sebenarya juga memiliki organisasi, karena selain ada pihak yang memimpin, terdapat masa yang bergerak atas perintah pihak pimpinan. Sebagian daripadanya tentu saja adalah mereka yang ada ikatan dengan keraton, tidak hanya Yogyakarta juga Surakarta. Ini baru dapat saya rasakan belum lama ini, ketika saya berkesempatan berziarah ke makam Sultan Agung di Imogiri. Sebagai seorang yang sebelumnya tidak memahami luasnya peperangan, ketika itu saya mendengar ada ikatan yang menghimpun keturunan HB III (dari Yogya) dan P.B. VI (dari Solo), yaitu mereka yang bersimpati kepada kelompok yang ngraman (berontak). Seperti kita ketahui, PB VI yang juga dikenal dengan nama Sunan Bangun Topo, akhirnya dibuang ke Ambon dan wafat di sana. Tidak banyak orang yang tahu apalagi menyadari bahwa di Kebayoran Baru ada jalan Paku Buwono 6, yang tempatnya berdekatan dengan jalan yang menyandang nama pahlawan nasional yang lain seperti Kyai Maja dan Sultan Iskandar yang ada di dekatnya.

Dari zaman itu ada seorang yang menonjol, yaitu Raden Ngabehi Ronggowasito (biasanya ditulis Ranggawasita) III (1802-1873), yang terkenal sebagai pujangga besar terakhir. Makamnya ada di Trucuk dekat Klaten. Daripadanya yang juga sangat terkenal adalah syair Kalatida, yang dianggap sebagai ramalan akan tibanya Jaman Edan (Zaman Gila). Pada hemat saya, dari sikap dan tinggalan tulisann yang bepuncak pada syair itu kita melihat pribadi seorang yang sangat risau menghadapi zaman yang berubah sangat cepat, dan dengan sendirinya juga tatanilainya.

Ranggawasita lahir dengan nama Bagus Burhan dan sempat jadi santri di pesantren Kyai Mohamad Besari, ulama besar di Ponorogo. Ketika itulah ia mendalami filsafat dan keyakinan orang Jawa dan pernah benar-benar berhadapan dengan patroli Belanda. Ia sempat pula terlibat dalam semacam kerjasama dengan sejumlah ahli Belanda, sebut saja J.F.C. Gericke , C.F. Winter, dan Palmer van den Broek, semua dari bidang sastra. Bagi Ranggawasita rupa-rupanya terlalu berat jika harus juga mengubah pandangan hidupnya sebagaimana 'ditawarkan' pihak Belanda kepadanya. Akhirnya, ia menilai lebih baik memilih jalan yang pada hematnya sesuai dengan martabatnya, dan meninggal pada hari, tanggal dan bahkan jam seperti yang dinyatakan sebelumnya.

Dari uraian di atas boleh kiranya kita membuat tafsir berikut: Perang Diponegoro adalah cara orang Jawa menyatakan rasa nasionalisme. Perang itu memunculkan cikal-bakal yang kemudian tumbuh- berkembang menjadi nasionalisme Indonesia. Di pihak orang Belanda juga tumbuh sesuatu yang meyakinkan mereka bahwa setiap perselisihan dapat diatasi dengan cara pendekatan lain yang bukan kekerasam, tetapi saling-pengertian.

Siasat baru Belanda itu diawali dengan menangkap satu demi satu pimpinan gerakan. Setelah itu mengasingkan mereka ke luar Jawa. Di daerah yang terus bergolak disebar 'benteng', atau istilah Belandanya, bentengstelsel. Pada mulanya, yang disebut benteng belum ada; yang ada apa yang dalam bahasa Belanda dinamai schans, yaitu semacam tempat jaga yang dikitari tanggulan tanah. Jadi, kalau mau, kita sebut saja bentengan tetapi bukan benteng. Itulah yang dibangun di sejumlah tempat. Kata Belanda stelsel maknanya aturan atau—yang sekarang umum—sistem. Jadi, yang dimaksud dengan bentengstelsel tidak lain adalah jejaring bentengan. Dengan 'alat' itu, ruang gerak para prajurit Pangeran, para gerilyawan—atau dari sudut pandang pemerintah, gerombolan liar atau pengacau—jadi sangat dibatasi. Bisa dibayangkan, semula mereka masih dapat leluasa bergerak, ke mana saja, bahkan bertempat tinggal untuk sementara di suatu tempat sambil bertani.

Setelah Purworejo jadi kota, Belanda menempatkan di sana pasukan dengan jumlah besar. Maka berdirilah di sana garnizoen—yang dalam kosakata Indonesia sekarang jadi garnisun—dengan serdadu (dari kata Belanda soldaat) yang berasal dari mana saja, perwiranya dari Eropa, terutama Eropa Barat dan bawahan selain dari seantero Nusantara, juga dari Afrika. Itu jadi penyebab di Purworejo ada Kampung Aprikanan yang semula dihuni keterunan orang Negro, tetapi sekarang tentu saja sudah berbaur.

Karena memang dibutuhkan, dari mana pun asal seorang, ia bisa jadi anggota KNIL, Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger, tentara Hindia Belanda, atau dengan istilah rakyat 'kumpeni'. Pada awalnya, bagian terbesar yang disebut benteng memang pos jaga yang Belandanya schans atau bentengan seperti disinggung tadi. Baru setelah Belanda 'mapan', benteng yang padan asingya fort dibangun untuk menghadapi keadaan darurat, bilamana mereka sampai terdesak dan harus bertahan.

Salah satu di antara benteng tinggalan dari zaman itu terdapat di pinggir utara Gombong yang diberi nama Fort Cochius. Frans David Cochius adalah perwira Belanda yang oleh pemerintahnya dinilai berjasa dalam Perang Jawa. Sewaktu Perang berlangsung, Cochius belum berpangkat jenderal, dan benteng Cochius dibangun berhadap-hadapan dengan (bekas) markas Pangeran di Brangkal. Yang lucu (ajaib, aneh, atau kata lain), sekarang benteng itu bernama 'Benteng Van der Wick', padahal yang bernama Van der Wijck, 1863—1914, adalah mantan Gubernur Jendral Hindia Belanda! Untuk menambah daya tarik bagi para wisatawan (!) —tempat ini sekarang dimaksudkan sebagai salah satu objek wisata di Gombong, dan dijadikan sumber pendapatan asli daerah, PAD—tempat itu juga dilengkapi dengan patung dinosaurus (!), dan tentu saja ayunan untuk bermain anak.

Saya mempunyai dugaan, jangan-jangan Benteng Cochius dibangun dengan tujuan—dalam bahasa Belanda—untuk beduvelen atau om de tuin leiden, mengelabui musuh. Dari sudut ukuran besarnya, bangunan itu kecil. Kalau Belanda memang berniat menghancur-leburkan Brangkal mereka tentu bisa, karena mereka memiliki meriam dan pada awal perang mereka bawa senjata itu ke mana-mana. Bahkan tidak sedikit kampung yang mereka hancurkan. Rupanya timbul pertimbangan lain, karena kampung yang hancur, akhirnya juga harus dibangun kembali dan biayanya tentu saja dari kas negara.Yang juga dipertimbangkan, merusak desa tidak membuat rakyat jadi berpihak pada Belanda.

Ada baiknya kita sedikit menyinggung istilah fort. Kata fort berasal dari bzhasa Perancis, dan pada gilirannya dari kata Latin Kuno, yang artinya kuat. Dalam perkembangannya, kata itu menunjuk ke tempat yang digunakan agar dapat bertahan bila sewaktu-waktu diserang musuh, sedangkan tembok atau parit di seputarnya dimaksudkan untuk menyulitkan gerakan maju musuh.

Seperti kita ketahui, benteng terdapat di depan Keraton Yogyaarta dan Keraton Surakarta.Tujuan dua benteng itu serupa, untuk menghadapi kalau-kalau raja Jawa berontak!.Mengitari keraton juga terdapat 'benteng' Di sudut dan di titik tertentu ada tempat yang memungkinkan orang memperoleh pemandangan keluar. Orang Belanda menyebutnya uitkijkpost, pos pengamatan tempat orang dapat mengikuti gerak-gerik orang klintar-klinter, kian-kemari tanpa tujuan jelas. Jika kita perhatikan nama benteng di Yogyakarta dan Solo, yaitu Vredenburg, Puri Perdamaian, maka boleh-boleh saja kita mengira, benteng dengan nama kembar 'puri perdamaian' itu merupakan bagian strategi Belanda dalam upaya mereka menghadapi para bangsawan yang mereka rasakan tidak mudah.

Benteng satu lagi adalah Fort Willem I—Raja Belanda pertama dari Wangsa Oranya Nassau—di dekat Kota Ambarawa. Rupanya, benteng ini untuk menghadapi gerilyawan yang pada waktu itu masih berkeliaran. Selanjutnya ada yang dikenal dengan sebutan benteng pendem (benteng bawah tanah) di dekat Ngawi, di tepi Bengawan Solo. Tujuannya jelas untuk memantau gerakan para pemberontak yang mencoba menyelinap lewat sungai. Mereka yang bergerak lewat sungai pasti membawa barang berat, apa lagi kalau bukan senjata dari luar negeri, tepatnya Turki.

Juga di Cilacap terdapat benteng pendem, karena Belanda yang semula hanya 'mencium' (curiga) akhirnya membuktikan memang ada senjata selundupan dari Turki.Turki sebagai negara adidaya zaman itu memang perlu diperhitungkan. Pengaruh Turki tidak hanya sebatas senjata, karena dalam pasukan Pangeran terdapat juga istilah kepangkatan. Dalam kalangan tertentu di Jawa, nama yang asalnya dari kepangkatan dalam angkatan besenjata Turki seperti alibasah dan bulkiyo masih kita jumpai hingga beberapa waktu yang lalu.

Bagaimana penyelundupan bisa terjadi lewat laut? Tentu saja tidak dengan menggunakan kapal kecil seperti yang dimiliki nelayan kita, tetapi kapal besar yang di zaman itu dikenal dengan istilah 'jong' atau Indonesianya, jung dan Belandanya jonk, kapal Cina tiga-tiang, yang baik haluan (depan) maupun buritammya (belakang) tinggi. Sampai hari ini kata 'jong' masih kita jumpai pada nama bukit Jongkemureb (jung terbalik) yang ada di selatan jalan raya di antara Gombong dan Karangnyar.

'Benteng pendem' sebenarnya bukan benteng, tetapi uitkijkpost, pos pengamatan. Apalagi yang ada di Cilacap itu sekarang masih dalam keadaan baik. Letaknya di tepi laut bebas, tetapi cukup tenang karena ada Pulau Nusakambangan. Tempatnya sangat ideal untuk penyelundupan dengan kapal Cina yang dikenal dengan nama 'jong', dengan haluan dan buritan tinggi. Dari kapal besar senjata selundupan kemudian dipindahkan ke perahu kecil-kecil milik para nelayan. Nama 'jong' masih tertinggal berupa nama bukit rendah, Jongkemureb (jong terbalik) yang ada di tepi selatan jalan besar antara Gombong dan Karanganyar.

Yang disebut schans atau bentengan jumlahnya jauh lebih banyak. Di daerah yang bergolak di bagian barat Kedu Selatan ada empat buah, semua di tepi jalan raya yang ketika itu ada, yaitu satu yang menjulur di bagian utara dataran yang kering dan satu lagi di dekat pantai. Mutu jalan itu ditingkatkan dengan rodi (tenaga kerja paksa). Dulu, di sepanjang dua jalan raya itu ditemukan tonggak pada setiap jarak 1 mijl (mil, 1,5km). Istilah Belanda untuk jalan itu postweg (jalan pos). Pada waktu kecil, penulis sempat menjumpai tugu mil itu di jalan yang ada di utara. Pada jalan yang selatan, tonggak itu ramping (boleh jadi untuk menghemat bahan) dan masih dapat ditemukan hingga beberapa waktu yang lalu, entah sekarang. Jika toh ada, mungkin yang tertinggal hanya beberapa buah saja.

Nama daerah yang dilalui jalan kedua itu Urutsewu, 'deretan seribu kampung', karena kampung yang satu dengan yang lain bersambung. Jalan yang lurus nyaris tanpa kelokan dengan panjang sekitar 65 km itu tanahnyai pasir hempasan gelombang samudera. Jalan diperkeras dengan kulit kerang yang diambil dari tepi laut, karena batu tidak ada. Dulu kulit keramg melimpah, tetapi karena diambil orang terus-menerus, kini jadi barang langka. Di tepi laut terdapat gumuk, bukitan-pasir-rendah, yang terbentuk dari pasir hempasan gelombang, yang kemudian tertiup angin dari arah laut terus-menerus. Sebagai anak di Karanganyar, saya sering bertamasya ke tepi laut; karena jarak yang hanya sekitar 15 km itu dengan mudah saya tempuh dengan sepeda. Yang disebut jukut lari-lari jadi mainan untuk 'ditangkap', karena angin yang terus bertiup membuatnya menggelinding jauh dan sulit dikejar.

Jalan yang sudah ada sejak pra-Perang Diponegoro itu merupakan penghubung antara daerah Yogya dan Banyumas, dan terus digunakan hingga para gerilyawan makin terdesak. Meskipun lurus, tetapi sejumlah sungai harus diseberangi, yang dilakukan orang pada masa lalu dengan rakit. Sejak ada 'Pelita' (setelah tahun 1970), semua sungai berjembatan. Kini, Jalan Urutsewu dapat dilalui semua jenis mobil—termasuk sedan—yang bertolak dari Yogya, melintasi Pegunungan Karangbolong dan terus melanjutkan perjalanan ke Cilacap.

Deretan gumuk di sepanjang Urutsewu mengandung cadangan airtanah untuk masa depan. Juga pegunungan gamping di antara Ijo dan Karangbolong berisi air. Berbeda dengan daerah Urutsewu, pegunungtan gamping sudah diincar banyak pihak, apa lagi jika bukan untuk keperluan industri semen. Jangan! Air untuk masa depan lebih penting.

Pada waktu daerah Kedu Selatan masih bergolak ada empat pos jaga. Sebuah pos ditempatkan di Margalunyu di jalan yang menjulur dari barat. Bila hujan jalan itu licin karena tanahnya napal, sejenis lempung. Orang yang hendak ke Gombong pasti melewatinya, karena menghindari daerah pegunungan yang pada awal abad ke-20—ini menurut Ayah—di sana masih banyak harimau. Satu lagi pos jaga terdapat di Kemit, yang dalam bahasa Jawa artinya tempat jaga. Kemit ada di tepi jalan besar di hilir K.Brangkal. Di Kemit juga ada pos jaga di garis demarkasi, sebelum Belanda menyerbu “Republik Yogya” pada tanggal 19 Desember 1948. Pos satu lagi ada di Sulastri, di tepi jalan penghubung antara Urutsewu dan jalan besar Kemit, dan yang terakhir, pos Petanahan pada jalan besar Urutsewu.

Semua jalan itu dilewati patroli 'kumpeni', yaitu kesatuan KNIL. Kata patrouille dipungut Belanda dari bahasa Perancis, yang kemudian kita pinjam. Selain pos jaga Belanda yang disebut 'benteng', juga ada pos jaga orang desa yang dalam bahasa rakyat disebut 'patrol', yang tentu saja berasal dari kata Belanda-asal-Perancis tadi.

Jalan umum berguna tidak hanya sebagai sarana perhubungan karena para gerilyawan juga dapat memanfaatkannya untuk berpindah-pindah. Bagi kumpeni gunanya untuk meronda pasukan. Kata meronda berasal dari kata Belanda ronde, putaran. Kata meronda masuk dalam kosakata kita pada zaman itu, yang ujungnya menyebabkan para gerilyawan makin terdesak. Petanahan di tepi barat dekat muara K. Lukulo digunakan untuk mendirikan benteng, karena daratan di sana cukup luas, sama halnya dengan di seberang timur sungai. Tanah yang luas itu disebabkan oleh pelonggokan bahan yang dibawa Kali Lukulo setiap musim kemarau, ketika muara sungai tersumbat oleh bahan pasir yang asalnya dari hempasan gelombang. Sebagai akibatnya muka air sungai pun naik.

Setelah trantib dapat terlaksana, para pejabat pemerintah mulai melakukan perjalanan dinas yang disebut tourné, karena itu merupakan bagian dari tugas mereka. Yang juga penting adalah surat-menyurat dinas. Kegiatan itu memanfaatkan kehadiran jalan besar antarkota yang diberi nama postweg (jalan pos) dan kendaraan penghubungnya disebut postkoets (kereta pos) yang jadi perkara keseharian dan melekat pada kehidupan masyarakat pada zaman itu. Jalan besar Urutsewu juga dijadikan jalan pos, dan setiap mil (mijl, 1,5km) ada tonggak petanda. Kereta pos ditarik kuda yang ditukar setiap lima mil. Dulu, saya melihat tugu mil lebih banyak, tetapi akhir-akhir ini jumlahnya makin susut. Di antara tugu itu ada yang berubah fungsi dan digunakan sebagai semacam titian. Dulu orang tidak membutuhkan titian, karena di sepanjang jalan tidak ada selokan; dan hujan yang tercurah akan segera meresap ke dalam tanah disebabkan oleh sifat tanah berpasir. Jalan pos yang kini masih tersisa adalah 'Jalan Pos' di Jakarta Utara dan Bogor. Di tempat lain, nama Jalan Pos diganti, biasanya dengan nama pahlawan. Sampai 1950-an di Bandung juga ada Grote Postweg West (Jalan-Besar Pos Barat) yang sekarang jadi Jalan Sudirman, dan Grote Postweg Oost, yang sekarang terpecah dalam sejumlah ruas dengan namanya sendiri.

Belanda menilai hubungan (berita, berkomunikasi) sangat penting. Setelah kawat telegrap pertama antara Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor) terpasang pada tahun 1855, tak lama kemudian jejaring telegrap terdapat di banyak daerah, termasuk di daerah Kedu Selatan sejak trantib sudah dapat diberlakukan. Setelah telegrap makin meluas, kawat telegrap juga direntangkan di sepanjang jalan raya, dan setelah jaringan kereta ada, selain itu juga di sepanjang rel keretapi. Keretapinya sendiri, khususnya yang dinamai Eendaagse Expresse (KA Espres Sehari Jakarta-Surabaya) pada tahun 1930-an, selain dilengkapi gerbong pos khusus, memiliki gawai yang dapat mempertukarkan kiriman pos antarsetasion. Dengan perlengkapan semacam itu, pengiriman dan penerimaan benda pos antara Jakarta dan Surabaya dapat terlaksana dalm waktu satu hari.