Di Parwa Satu dinyatakan bahwa manusia hidup bergelimang dengan lambang, apalagi kita, di negeri ini. Termasuk yang tentu perlu kita lambangi adalah negeri kita ini dengan persifatannya. Maka muncullah kataan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila yang kedua-duanya berasal dari bahasa Sansekerta yang sangat dekat dengan budaya kita. Dua kata itulah pengejawantahan bagi kita bagaimana sifat negeri kita ini dan landasan hidup kita dalam bernegara.

Dengan segera kita menduga bahwa hanya tokoh Bung Karno-lah orangnya yang mampu berbuat itu, yang mencetuskan gagasan dan mengubahnya berupa kata dan lambang,

Yang pertama, bahwa penghuni negeri yang seluas ini dapat dipersatukan dalam wadah bernama 'bangsa Indonesia'. Untuk keperluan itu, siapa pun tahu harus ada yang digunakan sebagai ‘perekat'. Rupanya 'model' ia ditemukan dalam ungkapan yang terdapat di Amerika Serikat dengan kataan yang berbunyi E Plurubus Unum. Seperti halnya Amrrika Serikat mengguuakan semboyan yang diambil dari bahasa kuno, Latin, kita juga demikian, berpaling ke Sansekerta. Bhinneka Tunggal Ika, dan itulah yang kita pakai. Jika Amerika Serikat menggunakan elang untuk melambangi negara, seperti banyak negara Barat lain, kita menemukan barang serupa, burung garuda, yang tak lain adalah tunggangan Wishnu dari mitologi kuno India.

Satu lagi yang juga melambanngi kita sebagai bangsa telah kita bicarakan, yaitu lagu kebangsaan kita “Indonesia Raya” beserta penciptanya dengan panjang lebar. Apalagi lagu itu, memang orang perlu tahu lingkungan sang pencipta sehingga mampu melahirkan karyanya. Harus kita akui lagu berguna untuk menggugah semangat yang menyanyikannya.

Saya bukan ahli musik, tetapi sejak kecil saya mempunyai perasaan yang tidak begitu saja dapat saya singkirkan. Yang saya maksudkan, mengapa pada lagu itu terdapat tatanada (Jawa cengkok) kejawaan? Untuk menjelaskan saya perlu menyisipkan di sini sekedar keterangan tambahan.

Pada waktu zaman pendudukan Jepang, lagu kebangsaan mereka “Kimigayo” dijadikan lagu wajib. Lagu itu, mau-tidak-mau, harus dinyanyikan oleh semua siswa sekolah, termasuk sekolah dasar di pelosok. Contohnya saya dengar sendiri.

Itulah tempatnya. Di Parwa Dua, karena Ayah-Ibu terusir dari tempat tinggalnya di Karanganyar, mereka pindah ke Kedungpuji di dekat Gombong. Rumah Bapak-Ibu bertetangga dengan sekolah desa. Jika kebetulan di rumah, setiap pagi sebelum jam pelajaran dimulai,“Kimigayo” terdengar yang dinyanyikan seluruh sekolah. Betapa membahana suara siswa seluruh sekolah itu, begitu khidmat, tetapi karena berbeda tatanada, yang terdengar memang “Kimigayo”, penuh khidmat, tetapi dengan cengkok Jawa yang benar-benar kental. Yaah, mau apa kita.

Inilah yang berbeda di tahun 1951 atau awal 1952 dan saya sudah jadi penduduk Bandung. Ketika itu ada pengumuman akan digelar konser musik di Bioskop Elita yang ada di timur alun-alun. Konser dipimpin oleh Jos Cleber, pemimpin orkes NIROM, Nederlands-Indische Radio Omroep. Yang disuguhkan adalah potpuri, menggambarkan sejarah sejak orang Porrugis datang, kemudian Belanda mendarat, hingga akhirnya dikumandangkan Indonesia Raya yang menggambarkan Indonesia telah memperoleh kemerdekaan. Itu yang dihasilkan Jos Cleber dan itu gelar-hidup rangkaian lagi yang sama, dan sebelumnya tersesiar bahwa Bung Karno meminta Jos Cleber untuk 'menyelaraskan' versi aslinya dengan tatanada yang umum (Barat), dan yang sekarang kita kenal sebagai versi resmi Indonesia Raya (dan berasal dari Jos Cleber).

Masyarakat negeri jajahan Hindia Belanda menjelang meletusnya PD II memiliki coraknya tersendiri dan sifatnya khas. Di satu pihak ada keterpisahan dan ada kebercampuran.Yang dimaksudkan, idealisme tidak mungkin ditutup-tutup. Salah seorang penggubah lagu zaman menjelang meletusnya PD II adalah Ismail Marzuki, seorang yang penuh romantik. Jelaslah, ia berpijak di dua dunia yang memungkinkannya menggubah dalam dunia versi, Indonesia dan Belanda. Kini namanya diabadikan dalam bentuk Taman Ismail Marzuki.

Contoh lain adalah Bapak dan Ibu Kasur (Surjono) yang suami-isteri guru, dan kedua-duanya menghirup pendidikan guru, hingga menyadarkan mereka betapa besar peranan mereka dalam ikut membina anak-didiknya lewat pendidikan. Cukup seorang lagi sebagai pelengkap, itulah Cornel Simanjuntak. Sebagai seorang yang pernah dididik di kweekschool Muntilan, modal dasarnya boleh dikatakan lengkap. Itulah yang mendorongnya jadi penggubah lagu perjuangan. Meskipun berumur pendek, nama Cornel Simanjuntuk diabadikan sebagai jalan besar yang menunju dari Yogya ke Kaliurang. Lagu ciptaan kelompok pencipta lagu ini dengan sendirinya tangganada kejawaan tidak lagi muncul. Ada lagi lingkungan besar yang juga berpengaruh terhadap pribadi seseorang, seperti saya lihat pada diri Ajun Komisaris Besar Polisi R.J. Sudjasmin. Suasana agama Katolik yang ia anut membuatnya selain jadi seorang pemimpin orkes Angkatan Kepolisian yang handal dan tahan banting. Bertahun-tahun sejak Bung Karno berkuasa, ia dipercaya merupakan bagian dari upacara tujuh-belas agustusan. Betapa ia menunaikan tugasnya itu dengan penuh perasaan.