Dalam Parwa Satu telah dibicarakan cara Belanda menghadapi perkara agama. Juga disinggung siapa Christiaan Snouck Hurgronje. Sebagai penasihat Kantor Urusan Kepribumian, ia selain memberi arah, juga warna pada agama yang ada, khususnya agama Islam. Tak dapat dihindari, semenjak hadirnya Snouck Hurgronje, tatanan umat Islam dalam mengamalkan agama seperti mereka selama mereka anut mau-tidak-mau dapat dianggap seperti terkurung pagar.Yang jadi penyebab secara ringkas adalah rumusan Snouck Hurgronje bahwa Islam agama masjid. Jadi, karena ketiadaan organisasi yang memayungi mereka umat Islam pun jadi kerdil.

Adalah Ahmad Dahlan yang setelah melihat kebijakan Belanda yang mendasarkan cara seperti Snouck Hurgronye gagas, harus dihadapi dengan tepat. Ia penduduk Kauman, Yogyakarta dan melihat persitindakan atau hasil dari perjumpaan Kristen (Katolik-Protestan) dengan rakyat umumnya. Contoh soal ia temukan di Kota Yogyakarta, tempat ia lahir dan tumbuh.

Olahan dari contoh soal itu di benak Ahmad Dahlan berubah jadi gagasan mewujud. Maka dari itu, 1905 dikenang sebagai berdirinya organisasi Mohammadiyah di tempat ia lahir, Yogyakarta. Itulah baginya tahun untuk selalu diingat ketika kesadaran telah mengental bahwa rakyat umum yang masih serba kekurangan harus jadi pijak oganisasi baru itu. Contoh yang dijadikan pembanding terdapat di Kota Baru, di Yogya juga. Di sana pihak asing dengan organisasinya sejak beberapa waktu untuk tujuan menyantuni memerlukan membangun rumah sakit dan juga gereja. Sudah barang tentu ada penopang berupa modal keuangan dan asalnya dari luar. Karena terencana dengan baik, tindak-langkah berlangsung cepat. Pihak Katolik memunculkan R.S Onder de Bogen dan Kristen dengan R.S. Petronella. Sampai sekarang semua yang telah mewujud itu tidak hanya berdiri tegak, bahkan makin berjaya. Yang berubah ternyata nama rumah sakit mereka, yang Katolik kini bernama Panti Rapih dan yang Kristen jadi Bethesda. Jika kita mau memperhatikan, ada maksud masing-masing dengan nama barunya, yang Katolik hendak lebur dalam suasana kejawaan sedangkan yang Kristen berupaya agar jiwa kristennya tertangkap. Mungkin juga.

Di awal berdirinya, Mohammadiyah sebagai organisasi sosial keadaannya serba terbatas. Kiprah dimulainya di bidang kesehatan dengan PKO, Poliklinik Kesehatan Oemoem. Untuk pendidikan dimulai dengan sekolah dasar dengan masjidnya, karena disadari betapa terbatas anak pada umumnya pengetahuan tentang agama, termasuk bacaan dalam salat, hingga yang disebut peribadatan. Semua pedoman diberikan secara tercetak. Dengan kata lain. beribadah harus berpedoman sistem yang tertulis, sehingga perlu pembimbingan.

Kini yang dapat kita saksikan bahwa organisasi Mohammadiyah yang usianya telah melewati satu abad, juga bertumbuh dan menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Perkara ini sudah dibahas di Parwa Satu juga dalam tautan berbeda. Dalam kiprahnya kini sudah benar-benar sesuai dengan gambaran dan pusa pendirinya.

Seperti sudah dikatakan, agama Kristen, termasuk Katolik ditopang organisasi dan dikendalikan dari luar. Seusai Perang Diponegoro, kita dapat menyaksikan betapa upaya luar, yaitu dari Eropa, dalam menyebarkan pengaruh di Nusantara, khususnya Jawa dan Sumatera Utara, terus-menerus meningkat. Saya tidak berniat memerinci semua itu, karena dalam sejarah berbagai kejadian tidak lain ibaratnya hanya kilasan peristiwa. Yang menarik adalah kemunculan Sadrach di desa selatan Purworejo. Kejadian berlangsung di tahun 1851 dan menyangkut seorang yang sudah dibaptis. Ia sempat mendirikan gereja yang bentuknya mirip masjid bahkan menamakan diri kyai. Cara yang ditempuh dalam menyiarkan agama Kristen itu jelas ditentang kelompok sendiri..

Dalam penyiaran agama Kristen Protestan tercatat berbagai hasil. Kita sebut yang kita temukan di sejumlah tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Jawa Timur yang tampak maju tercatat di Mojowarno, tidak jauh dari Mojokerto. Lingkungan itu semula belum berpenduduk dan dibangun kelompok masyarakat Kristen dan terbukti maju.Yang jadi inti selain gereja, sekolah dan rumah sakit. Warga kelompok kecil itu berubah setelah memperoleh pendidikan. Mereka banyak yang pindah ke kota besar. Alasannya jelas, yaitu demi memperbesar peluang kerja dan itu tidak terpisahkan dengan kemajuan keluarga.

Sebagai seorang yang selama berpuluh tahun dalam tugasnya banyak bepergian, saya melihat di Jawa Tengah dan Jawa Barat ada kelompok masyarakat Kristen. Karena tak berkepentingn, saya hanya melihat sepintas, juga kegiatan yang tampak. Sebagai misal adalah yang tampak di dekat Salatiga. Teruka yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda itu, dulu dikenal dengan nama Witte Kruis Kolonie (Teruka Palang Putih) memiliki usaha di bidang pertenian. Setelah perang, yang kegiatannya tampak sangat maju ada di seputar Universitas Kristen Satya Wacana. Tempat yang pilih di pinggiran Kota Salatiga. Kelembagaan pendidikan tinngi itu tergolong salah satu yang terkemuka di Indonesia.

Seorang pakar fisika dan guru besar peringkat nasional yang juga warga univesitas itu adalah Dr. Liek Wielardjo. Saya mengenal beliau cukup dekat dalam rangka kegiatan pembinaaan tataistilah bidang ilmu dan teknologi. Sebagai seorang terajar dengan minat sangat luas di luar kepakarannya fisika, ia pun pendidik. Kepedulian akan tertib bermasyarakat ditambah kelincahan membuatnya terbawa dalam upaya olah pikir. Akibat dorongan dalam ungkap-mengungkap, akhirmya ia tiba di ranah budaya.

Saya beruntung dapat berkunung di UNK Satya Wacana yang terjadi dalam kaitan dengan upaya DIKTI. Tujuannya adalah menatar para pengajar perguruan tinggi perihal sarana menulis dalam bentuk sarana penopang, khususnya aneka kamus. Ketika itu, Rektor UKS adalah Dr.Toisuta.

Sebagai seorang yang daerah kerjanya meliputi seluruh Indonesia, kesempatan lain membawa saya melewati jalan mengelilingi Gn. Muria, berawal dari Jepara. Di tepi kanan jalan besar tidak jauh dari Juwana. Di sebuah kampung saya melihat ada gereja besar. Tidak seperti yang di dekat Salatiga, kelompok di Muria ini tidak berkembang sejak di zaman penjajahan Belanda, tidak tampak tanda yang mencolok.

Di JawaTengah ada yang saya ketahui seperti Gombong dan Karanganyar yang sejak kanak-kanak saya kenal. Pijakan yang digunakan dalam menyiarkan agama Kristen berupa sekolah dengan gereja, dua unsur yang sangat mendasar. Perkembangan tampak sebanding. Kampung Brangkal yang saya sebut-sebut dalam hubungan dengan markas Pangeran Diponegero, yang tampak adalah kegiatan sekolah dasar Mohamadiyah.

Di Karanganyar agama Katolik justru menyebar sampai di pedesaan dan saya saksikan sendiri sejak menjelang PD II. Hal itu dapat berlangsung karena yang bekerja sistem yang dipenopang dana besar. Pada awalnya yang saya saksikan adalah kedatangan seorang pastor Belanda yang menyewa rumah di seberang jalan rumah Ayah. Ketika baru tiba, ia menyempatkan diri berkunjung ke Ayah, layaknya tetangga baru. Sering ia terlihat keluar bersepeda, rupanya dengan kendaraan sepeda itu ia berkunjung ke pedesaan menjumpai para kenalan. Jelas penguasaan bahasa Jawa membantunya.

Ketika di tahun akhir di HIS Karangayar, saya tahu ada dua rekan sekelas yang Katolik. Ketika itu, yang namanya beragama lain langsung diketahui. Seorang adalah Eduard Winarta Harijadi putera Bpk F.S.Harijadi dan Warno anak dari desa yang boleh jadi biasa dikunjungi pastor tetangga.

Saya telah berkisah tentang Karaganyar pra-1930 ketika Kabupaten Karanganyar belum dihapus. Tatakota awal disesuaikan dengan kegunaan sehingga di jalan raya berdiri deretan barat-timur perumahan pejabat, berturut-turut bank perkreditan rakyat dan kantornya berukuran besar, rumah asisten residen dan kontrolir. Yang jelas, diperlukan dana besar untuk membeli rumah bergengsi, dan hanya Gereja Katolik yang mampu berbuatnya.

Masyarakat Katolik seperti yang ada di Purwokerto hidup dalam sistem besar. Kelembagaan yang umum seperti gereja dan sekolah, saya melihat di sana ada pula tempat untuk retret di Baturaden, utara Purwokerto. Secara kebetulan, karena salah satu kesempatan penataran DKTI juga terjadi di tempat retret itu. Mungkin hal itu terjadi, karena salah seorang anggota Panitia setempat tahu ada peluang menggukan tempat retret selama tidak digunakan. Dibanding dengan hotel yang dinilai atas kelas bintangnya, jelas retret tidak bisa menilainya dengan itu. Yang jelas, saya rasa selama berkali-kali menatar di Baturaden, penyelenggaraan berlangsung di hotel berbintang.

Kita lanjutkan dengan mengulas masyarakat Kristen yang tampak dari jalan, seperti yang terdapat di Klampok, di timur Purwokerto. Yang ini juga berdiri semenjak zaman penjajahan Belanda.

Yang terdapat di Gununghalu, Jawa Barat, serupa. Tempatnya tak terlalu dekat di utara jalan besar dari Bandung ke Cianjur. Yang menonjol justru papan pesantren yang datang belakangan. Setelah Justru yang menonjol adalah papan nama pesantren. Setelah masuki jalan desa, kita mula-mula melewati bagian yang kanan-kirinya berupa persawahan, dan tak lama kemudian kita melihat di depan kita bukit rendah penuh salib putih, pemandangan yang menarik di tanah Priangan. Baru setelah kita ada di tengah perkampung, tampak di depan mata gereja besar. Itulah jejak proses upaya penyiaran agama Kisten sejak sekitar 1930-an sekitar tiga generasi yang lalu. Ini bukan laporan, sehingga hanya inilah yang dapat saya sajikan.

Yang menyusul adalah sekerat informasi sejenis, bukan dari Jawa melainkan daerah Bengkulu Selatan. Sebagai orang yang biasa menangani soal airtanah, di kurun pemerintah berusaha untuk meluaskan kebun kelapa sawit saya terbawa pula sampai di berbagai pelosok, di antaranya daerah Bengkulu bagian selatan. Itu saat saya dapat mengunjungi berbagai pelosok yang sebelumnya tak pernah saya bayangkan. Saya rasa waktu itu sekitar tahun 1980-an, ketika saya datang di tempat yang semua pendatang dan jumlahnya cukup banyak. Dengan istilah umum, lingkungan yang cukup ramai itu adalah transmigrasi swakarsa. Sepintas saya lihat kehadiran penyiar agama dan yang saya perkirakan dari kelompok Katolik. Dalam keadaan darurat yang tampak selain gereja, sekolah dan juga tempat berobat, Karena kedatangan saya untuk keperluan air, perhatian tentang perkara lain tidak masuk acara.

Demikian, berbagai kilasan yang saya tangkap selama sekian tahun memperoleh lesemapatan untuk melanglang di seantero Nusantara. Seperti kita semua maklumi, sejak di awal abad ke-20, kita sebagai bangsa terus-menerus mengalami perubahan. Semenjak itu memang berangsur-angsur, tetapi terus-menerus. Demi perubahan tak terduga-duga, bagi mereka yang tidak mencermatinya, semua perubahan dan berlaju cepat, lagipula menyangkut apa pun. Yang juga tidak tanggung-tanggung, yang terlibat dari mulai pihak yang bertindak, pengamat dengan sikapnya—jika perlu—berbeda. Dengan sendirinya, yang tidak dikecualikan adalah pelaku, pelakon, dan pengatur, jika ada. Yang justru tidak kita miliki adalah karena kemampuan yang sangat terbatas, dimulai dari ihwal keterbasan wawasan, tingkat kependidikan yang tak memadai, dan kesejahteraan umum, semua yang tidak mungkin kita pisahkan dengan yang kita sebut 'faktor kesejarahan'.

Kemunculan Snouck Hurgronje termasuk faktor itu, yang di dalamnya terangkum pesan penjajah yang bernama iman. Di sana pula babak selanjutnya yang terjadi, yaitu perubahan pola iman.

Yang baru diceriterakan itu pada hakikatnya memang berawal di saat Snouck Hurgronje muncul, dan ia tidak sendiri. Ada ambtelijke smaaakmakers lain, begitu Steenbrink (1991) menyebut mereka. Mereka adalah pembuat selera para pejabat pemerintah Belanda. Steenbrink memang sangat jeli. Sebagai orang Belanda pasca-penjajahan ia memiliki sudut pandang yang bagi banyak di antara kita bisa membuat mata terbelalak. Dengan latar belakang pendidikan fisika, ia mempelajari Islam dari segi pandang 'dalam', rokhaniah. Ia bertolak dari dalam. Ia selain belajar Islam di Timur Tengah, juga pernah 'mondok' di Gontor, dan mendapat kepecayaan di kalangan perguruan tinggi Islam (IAIN), dan kalangan ilmiah (LIPI), dua matra yang hanya terjangkau oleh yang pinilih.

Itulah sebabnya, mereka yang sempat membaca bukunya pasti ilmunya bertambah. Ada baiknya juga saya mencoba menggunakan tahuan itu untuk menerakan semacam kilas balik dan mafhum akan proses yang terjadi sebelum kita merdeka. Sikap Belanda berbeda sejak waktu mereka untuk pertama kali berjumpa dengan kita, di awal kita dijajah, di kurun waktu sekolah mulai menyebar, pada awal kita jadi bangsa merdeka, dan akhirnya setelah kita jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai negara-bangsa yang harus mampu mengambil putusan manditr.

Dalam Parwa Satu disinyinggung peran Snouck Hurgronje yang membuat Ayah tersadar dan harus membanting setir. Itu saat ketika Ayah berhadapan dengan tatanan baru pemerintah dan menuntut setiap orang memiliki sikap dalam menghadapi keadaan umum yang berubah dengan cepat dalam segala segi, termasuk dalam beragama. Yang dituntut tidak hanya Ayah, anak lelaki tertua Penghulu Karanganyar, jabatan yang semula turun-menurun. Ketentuan sama berlaku bagi semua adiknya, khusus adik lelaki. Yang harus tetap dipegang, pada intinya, dalam keadaan apa pun orang dituntut bersikap tegas agar tidak terombang-ambing.

Menjelang tengahan abad ke-20 Indonesia jadi negara merdeka, dan dengan sendirinya perkara tata-hubungan antarnegara di dunia tunduk pada aturan main yang telah melembaga. Sebagai negara, semenjak awal semua urusan dengan agama dengan sendirinya juga perlu mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah. Akan hal ini gereja Katolik adalah satu-satunua yang memiliki organisasi menyerupai negara dengan pusat Vatikan dan kita kenal bernama Tahta Suci. Wakil di Indonesia duta besar, seorang kardinal, rokhaniwan Katolik. Kedutaan Besar Vatikan dengan sendirinya memiliki informasi mengenai warga Katolik di negeri ini.

Dunia dewasa ini berpangkalan angka, yang memang dapat berceritera. Termasuk di dalamnya juga jumlah warga Katolik. Tidak demikian dengan penganut agama lain. Ini berlaku juga bagi umat Islam di Indonesia yang tidak diketahui jumlahnya dengan tepat. Yang biasa kita katakan, bangsa Indonesia 'bagian terbesar' warganya pemeluk Islam, cara yang kita gunakan selama ini dan itu tentu sangat kasar. Sampai sekarang pun, itulah yang digunakan. Sebenarnya, cara yang berlaku memang hanya sesedarhana itu, hanya kesaksian diri dengan Tuhan, ditambah saksi di dunia, atau dengan kata lain, kesaksian. Kalau semua dinafikan oleh sikap yang dinafikan oleh pemerintah lewat Pancasila maka itu mengabaikan hak.

Berangsur-angsur, 'karena keadaan' mencatat angka sebagai hal 'umum', akan menuntut juga yang tercatat dengan resmi. Saya kira, upaya membuat KTP, kartu tanda penduduk secara nasional adalah jalannya. Bagaimanapun, seorang tanpa KTP sama artinya dengan orang yang tidak ada tempatnya di masyarakat (yang ber-KTP).

Indonesia dengan jumlah penduduk di saat ini mencapai delapan angka menghadapi masalah pelik. Sebagai langkah awal, di tahun 2013 pemerintah membuat KTP elektronik, upaya agar lewat satu keping kartu, informasi mengenai semua ikhwal diri setap orang dapat diperoleh lewat satu pintu pemasuk. Harus diakui bahwa di samping langkah besar itu sangat baik, kita juga harus memberi catatan, yaitu bahwa kecermatannya tidak mungkin dijamin. Sebut saja misalnya nama dan tanggal lahir. Maka dari itu, tidak perlu mengherankan, adanya kekeliruan selain wajar, juga data dasarnya diperoleh dengan tatacara yang belum dibakukan. Jadi, selain sangat manusiawi, juga nisbi, dan bahkan andai saja ditopang mekanisme yang bekerja sangat baik. Sebagai tambahan, saya kenal seorang yang di mana-mana mengaku 'beragama Pancasila', tetapi dalam KTP ia tetap Islam.

Upaya berdemokrasi sudah sudah berjalan jauh, yang berujung pada memilih tokoh yang akan diserahi tugas memimpin, dari berbagai peringkat kepemerintahan. Pemilihan Presiden secara langsung di tanggal 9 Juli 2014 membuktikan masih masih banyak onak dan durinya. Apa pun buatan manusia memiliki kekurangan, apalagi jika di dalamnya terpaut perkara kejujuran.

Rupanya, faktor itulah, mekanisme yang baik sudah sejak awal kita merdeka jadi salah satu pokok para pendiri republik ini. Yang perlu dimiliki negara kita adalah kelembagaan kementerian. Seperti kita alami ketika itu karena saat itu muncul Piagam Jakarta atau Inggrisnya Jakarta Charter, yang membuat orang terkesima. Sisipan kecil, yang mengharuskan penganut agama Islam melakukan syariat Islam, membuat setiap orang jadi berpikir-pikir berhati-hati.

Pada waktu kabinet pertama, yang ada adalah Menteri Negara Urusan Agama, dan jabatan itu lalu dipercayakan kepada Wahid Hasjim, selain dikenal sebagai seorang pemuka Islam, juga nasionalis. Baru Kabinet Sjahrir, yang kedua, 12 Maret 1946-2 September 1946, dibentuk Kementerian Agama. Sejak awal, yang ditunjuk jadi Menteri Agama beragama Islam, dan ketentuan itu diterima oleh umat semua agama sebagai sesuatu yang masuk akal.

Iman adalah perkara yang ada di luar ranah nalar. Sejak Bung Karno tersingkirkan, Pancasila yang juga 'digalinya', juga dikutak-katik. Ada lagi perkara yang sejalan dengan itu, dan asalnya dari luar. Ini adalah hak asasi manusia, yang diajukan ke PBB di tanggal 10 Desember 1948, dan kita pun juga menerimanya.

Orde Baru resminya menerima semua perkara yang telah dilembagakan oleh pemerintahan yang digantikannya. Pada kenyataannya, sejumlah pokok dianggap tidak ada. Sebagai misal, di zaman itu, tidak semua agama diakui, yang jelas bertentangan dengan apa yang baru disebut tentang hak asasi. Saya kira, yang dijadikan alasan Orba tak lain adalah ketakutan mereka akan unsur 'subversi'. Apakah itu sebenarnya, kita tidak perlu bertanya lebih lanjut.

Sikap pemerintah itu diterapkan di mana-mana. Hanya sangat kebetulan, ada sebutir berita yang terlintas dan kemudian menarik perhatian saya. Intinya, kejadian di Dusun Sasuru, Desa Kertajaya, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis (Kompas,13 Agustus 2012). Seperti diwartakan, di dusun itu orang dapat menyaksikan rakyat yang hidup guyub. Letak dusun itu tidak terpencil, sehingga perubahan tidak akan terlewat dari 'aliran berita'.

Inilah perkaranya. Seperti diketahui, sejak tahun 1960, masyarakat mengalami perubahan, hal yang pada hakikatnya adalah pengulangan proses pencarian keseimbangan baru, yaitu setelah digoyang keras, seperti pernah terjadi di masa lalu, entah di tempat mana dan oleh peristiwa dahsyat apa.

Kejadian di Sasuru itu dapat kita anggap sebagai contoh yang dapat kita lihat dari sudut pandang yang beracuan waktu. Anggaplah itu sebagai semacam jepretan sesaat, dengan saat rekaman bulan Agustus 2012, saat jurutulis desa menyampaikan informasi berupa data angka, dan terekam oleh wartawan yang kebetulan hadir.

Dalam wilayah seluas 150 hektar hidup masyarakat secara berdampingan dengan keimanan berbeda-beda, yaitu 1914 pemeluk agama Islam, 131 orang Katolik, dan 56 penghayat Agama Djawa Sunda (DS) atau Ajaran Karuhun Urang (Akur), nama yang menunjuk akan sesuatu.Yang menganut Agama Djawa-Sunda tentu saja hanya mereka yang merasa dirinya Jawa atau Sunda, mereka keturunan rakyat Kasultanan Cirebon, terutama di daerah pegunungan Kuningan. Jadi, moyang mereka sebenarnya sudah tersentuh agama Islam. Apalagi jika mereka menyebut kelompok Akur, kata yang berasal dari kata Belanda accoord, yang menunjukkan tidak ingin diganggu-gugat. Di zaman Orba, memang jelas kelompok seperti itu dapat 'mengganggu' keamanan dan ketertiban, meskipun pemuka mereka keturunan atau dekat dengan kesultanam Cirebon.

Data dan informasi yang diberikan jurutulis selanjutnya menyatakan ada tiga masjid, sebuah gereja, dan sebuah tempat sarasehan Akur. Sejak awal berdirinya masyarakat nekagama di tahun 1960-an, masyarakat hidup rukun dan tenggang-menenggang dan beriman sesuai dengan yang diyakini oleh masing-masing. Setiap kali ada upacara keagamaan, apa itu Idul Fitri, Idul Adha, Natal, penganut agama yang berbeda-beda saling mengundang. (Catat: Dalam hitungan waktu, tak hingga alih-generasi.)

Dalam perkembangan selanjutnya, di antara para penganut Katolik di sana, kini ada enam orang yang jadi biarawan dan biarawati. Cerita berikutnya sangat mungkin menyambung, dan bisa juga tidak. Saya mendapatkan kisah ini juga dengan cara yang sangat kebetulan, karena semua berputar di sekitar seorang rohaniwan muda yang bernama Laurentius Tarpin. Ia lahir di Kuningan di bulan Maret 1979. Yang jelas, ia selain cerdas juga tekun, karena di usianya 34 ia sudah jadi doktor lulusan Universitas Laterans di Roma Italia. (Lia Marlia, P.R. 22-12-2013).

Kini ia mengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahiyangan Bandung. Kalau benar, ia orang tuanya penduduk Dusun Sasuru yang baru saja kita bicarakan. Bagi saya, ini hanyalah bakti lagi bahwa semua itu memang ada 'keberarahan dari Atas'. Dengan niatnya ia hendak bertekad mempersiapkan manusia bermoral tinggi, ia menempatkam diri sebagai warga negara yang lebih siap menyongsong negaranya memasuki zaman baru. Itulah persiapan dirinya di ambang pintu perubahan besar dalam arti kesiapan dalam makna kejiwaan.

Dari sini kita dapat membuat analisis dan menyimpulkan apa pun. Hemat saya, kita tidak terlepas dari tingkat keberpendidikan rakyat kita yang belum merata. Maka setiap perkembangan tak dapat dipisahkan dengan keterdapatan orang yang berpikiran maju, bijak, dan kuat di segala arti.Yang juga tidak dapat dipisahkan adalah peran pihak luar, secara terselubung atau terang-terangan. Ini terjadi di mana saja dan kapan saja. Intinya, orang ingin tenang, khususnya bagi diri sendiri, dan di sini orang mengingini sesuatu yang bisa dijadikan kunci.

Kita sekarang meluaskan rentang waktu tinjauan dari sejak awal perjumpaan kita dengan bangsa Barat. Kita awali dengan 'rumusan' Snouck Hurgronje, dibuat menjelang abad ke-20, yang baru disinggung tadi. Intinya, agama yang dibawa masuk oleh orang Eropa memiliki landasan untuk meluaskan pengaruh. Alasan boleh saja dibuat, tetapi dari pihak pemerintah kolonial jelas ada niat bahwa mereka memiliki tujuan lain, menyebarkan pengaruh agar memudahkan mereka dalam memerintah mereka dalam menjajah kita. Bagi mereka, agama Islam rakyat yang mereka jajah sudah lebih dulu merata dengan penganutnya bagian besar rakyat Hindia Belanda. Agama Kristen masuk lewat kota, tempat orang Belanda bermukim. Selain itu, Kristen tidak satu. Bangsa Belanda yang mendiami sudut baratdaya Eropa, terpengaruh Kristen Protestan Luther, termasuk keluarga raja yang memerintah, Wangsa Oranje, yang di sana disebut Nederlandse Gereformeerde Kerk. Di negeri Belanda, penganut agama Katolik terdapat terutama di bagian selatan Nederland.

Dari segi agama, Nederland dapat kita lihat sebagai negara yang sangat bebas. Di sana terdapat banyak keturunan Yahudi yang sudah menetap sejak ratusan tahun. Sebagian mereka menganut agama lain. Agama Islam baru masuk di sana abad ke-20. Tafsir Quran berbahasa Belanda yang paling awal terjemahan dari bahasa Inggris, dibelandakan oleh Soedewo dengan sangat baik. Di sana, sejak belum lama terdapat masyarakat Islam di dekat Rotterdam, yang banyak di antaranya berasal dari Maroko, sampai ada walikota yang dijabat warga asal Maroko.