Dukacerita yang 'kita' alami selama sekian lama dan berpuncak pada Perang Diponegoro pada hakikatnya bersumber pada kenyataan bahwa kita dan Belanda memiliki sudut pandang yang berbeda pada apa pun yang kita hadapi. Sebagai akibatnya, pada waktu kita berhadap-hadapan langsung, sebenarnya kita tidak saling memahami. Bahasa sebagai sarana komunikasi menjadi penghalang besar. Demikian pula halnya dengan budaya masing-masing. Untuk itu harus tersedia jembatan, yang pada awalnya jelas jauh dari memadai.

Sebenarnya, yang bernama dukacerita tidak hanya dialami oleh kita, karena bangsa lain juga tidak terbebas. Kebetulan negeri ini subur tanahnya, apa pun yang ditanam akan tumbuh dengan baik. Keadaan Eropa, misalnya, berbeda sama sekali dengan negeri kita, tetapi Eropa pun tidak terbebas dari penindasan dan tindak gusur-menggusur, dan itu terjadi bila di suatu negeri muncul seorang penguasa yang kuat, dan dengan kekuatan yang dimilikinya kemudian berlaku sewenang-wenang, bahkan terhadap warga sendiri. Dan selanjutnya, bertindak sekehendaknya menggusur penduduk daerah negara tetangga. Maka tidak mengherankan, bagi rakyat penghuni daerah di sepanjang batas antarnegara mengalami penguasa yang berganti-ganti.

Rakyat Belanda pernah juga mengalami penjajahan dan pendudukan, pernah dijajah Sepanyol, pernah diduduki Perancis, dan selama PD II juga oleh Jerman. Ketika itu, Jerman dipimpun oleh Adolf Hitler, yang asalnya bukan politikus dan juga bukan orang militer. Untuk sampai di pucuk pimpinan ia memerlukan wahana dan ideologi, Nazionalsozialismus, disingkat Nazi, kebangsaan dan kerakyatan. Padahal, dalam lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus, orang Belanda menganggap keturunan Jerman, dan raja yang memerintah juga dari Jerman. Ketika dijajah Sepanyol mereka merasakan sedihnya orang dijajah.

Sampai menjelang Revolusi Perancis, 1789-1799, Raja Perancis masih keluar dengan pernyataan yang menyejarah, terkenal sampai sekarang, l'État c'est moi, Negara itulah saya. Ternyata berkobar Revolusi Perancis dengan semboyannya liberté, égalité, fraternité, kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Maka di Perancis dijungkirbalikkanlah semua kelembagaan. Revolusi itu ternyata memunculkan Napoleon (1769—1821)—bukan orang Perancis—yang mengangkat dirinya sebagai Kaisar (Maharaja) Perancis, kemudian menaklukkan hampir seluruh Eropa. Napoleon tidak hanya membalikkan sejarah, ia mengubah kehidupan orang bermasyarakat bertatatertib, dari keharusan semua orang di daerah pendudukan Perancis untuk memiliki selain nama diri juga nama keluarga, membakukan tataistilah dalam angkatan bersenjata, membakukan bobot dan ukuran, bahkan bobot dan ukuran kertas. Setelah Revolusi Perancis dan zaman Napoleon, Eropa mengalami perubahan besar. Yang kita saksikan di sini bukan imbasan yang mengubah perilaku kita; yang kita alami riak kecil saja.

Sebagai negara Eropa Barat, Negeri Belanda merasakan langsung perubahan dahsyat yang timbul setelah Revolusi Perancis dan disusul tampilnya Napoleon dengan segala akibatnya. Akibat itulah yang membekas di negeri kita ini. Yang tampak di sini adalah pengejawantahan Herman Willem Daendels (1762-1818), orang Belanda dalam pemerintahan Perancis. Meskipun hanya singkat (1807-1811), Daendels sempat membuat banyak perubahan, di antaranya membangun jalan raya dari Anyar—kini jadi Anyer, mengikuti ucapan Belanda—di ujung barat Jawa sampai Panarukan di Jawa Tmur. Sampai sekarang, orang masih menyebutnya Jalan Raya Daendels. Tidak seluruhnya betul, karena sebagian jalan sudah dimulai oleh perjurit Mataram ketika mencoba melawan VOC, hanya lebarnya belum selebar Jalan Daendels. Yang dilupakan banyak orang, berapa ribu orang yang jadi korban. Apalagi jika berani menentang perintah, hukumannya digantung di pohon di pinggir jalan. Disebut jalan raya, karena lebarnya, tidak hanya untuk ukuran dulu, juga sekarang, sekitar 24 meter dengan di kanan-kirinya berjajar pohon asam. Bahkan sampai menjelang PD II buah asam dari sepanjang Jalan Daendels masih bermanfaat bagi banyak orang, sebagai unsur penyedap sayur hingga obat-obatan. Semula jalan itu dibangun untuk keperluan strategi perang mengadapi Inggris.

Banyak bakuan Napoleon oleh Belanda diteruskan dan kini jadi bakuan internasional, di antaranya tentang bobot dan ukuran, termasuk untuk kertas. Meskipun sudah berlaku di Hindia Belanda sejak tahun 1930-an, akhir-akhir ini banyak di antara bakuan itu justru tersngkir, karena kalah dengan barang yang ada di perdagangan. Di atas sudah disinggung perkara penggunaan nama keluarga, yang menjelang tahun 1930 dianjurkan pemerintahan jajahan. Karena bukan undang-undang, gagasan membakukan nama terbengkalai.

Setelah Daendels datang Sir Stamford Raffles (1783-1826). Ia adalah kepala pemerintahan ketiika Jawa diduduki Inggris setelah Napoleon ditaklukkan. Dalam waktu singkat—1811-1816—Raffles berhasil berbuat banyak dan bersifat tetap. Ia meletakkan dasar bagi pajak tanah, menulis sejarah tentang Jawa, membuat cacah jiwa pertama penduduk Pulau Jawa, ia memerintahkan penggalian Candi Borobudur yang pada saat itu terbenam, dan bahkan aturan lalulintas kiri yang sekarang ada di sini berasal daripadanya.

Sebagai bangsa, Belanda mendasari setiap tindakan dengan pertimbangan rasional. Sikap itu tumbuh karena sejarah, selaku masyarakat kaum pedagang. Sebagai akibatnya, upaya apa pun ada yang 'diboncengkan' berupa keuntungan. Karena mereka memiliki daerah jajahan yang sangat luas, pada sementara pihak timbul semacam rasa takut, bagaimana jadinya jika Indie sampai terlepas. Kekuatiran itu dinyatakan dalam pemeo Indie verloren, rampspoed geboren, Jika Hindia Belanda sampai terlepas yang terjadi adalah malapetaka. Rupanya gara-gara hantu yang mereka ciptakan itu, ada golongan yang benar-benar jadi ketakutan. Inilah golongan yang terlanjur melihat hidup dari sudut pandang yang enak saja. Padahal, sebagai bangsa, orang Belanda terkenal gigih. Mereka telah berjuang berabad-abad untuk menghadapi bahaya yang mengancam dari laut. Ini bukan sekedar ancamean. Pada tahun 1950 bencana datang yang melanda terutama Propinsi Zeeland (artinya Tanah Laut), karena letaknya memang kebih rendah dari permukaan air laut,

Kita berbeda, karena dedasar yang kita gunakan memang lain. Setiap bangsa mengenal lambang, dan setiap lambang diberi arti. Terutama orang Jawa sebagai kelompok dengan jumlah jiwa yang terbesar di Nusantara. Orang Jawa sangat dekat dengan lambang sehingga dalam kosakatanya di samping lambang ada perlambang, seakan-akan meluaskan arti lambang yang sudah dikenal umum. Selain itu terdapat kata yang sebenarnya juga lambang, tetapi kita belum terbiasa memberi batasan. Ini berbeda dengan orang Barat, termasuk Belanda, yang budayanya terpengaruh budaya Yunani-Romawi Kuno. Tanpa batasan, yang tertinggal hanya 'bunyi'. Misalnya, ungkapan orang Jawa Timur, Ngono ya ngono, ning aja ngono adalah secercah latar budaya yang hanya dapat kita dekati lewat tafsir kenisbian.

Betapa kita dapat menarik kata ke sana-sini, kita jumpai pada budaya dan bahasa Jawa. Sekedar contoh, pada orang Jawa, selain kata roso, juga terdapat suroso, rumongso, angrumangsani, dan sederet kata jadian lain. Kata enak juga dapat dipanjang-panjangkan sehingga terjadi enak-enak, sakenake, keenakan, dst.dst. Bahkan bisa saja lalu muncul sakénake wudele dewe. Nah, apalagi yang hendak dimaksudkan? Jika pada semua itu ditambahkan faktor lingkungan yang berbudaya feodal, dalam bentuk kerajaan yang belum mengenal pranata seperti undang-undang dasar dan dewan perwakilan rakyat, maka akibatnya dapat dibayangkan. Itulah yang telah terjadi. Ternyata kecenderungan itu tidak berhenti, meskipun zaman telah berganti, dan ini dapat kita saksikan kini, seperti yang terjadi pada kata akal yang berasal dari bahasa Arab. Dulu yang lazim kita dengar adalah kata berakal dan akal sehat. Kini rimbakan dari kata benda akal meluas ke kata seperti akal-akalan dan mengakali, dan dijadikan barang sehari-hari. Asal kita tahu saja.

Belanda berkenalan dengan kita pada zaman ketika orang pribumi Nusantara masih terdiri dari sukubangsa yang jumlahnya sangat besar. Masing-masing kelompok menganggap dirinya 'bangsa', dan 'bangsa' Jawa adalah satu di antaranya. Ketika itu yang sering digunakan adalah sebutan wong Jawa, atau dalam bahasa tinggi, tiyang Jawi. Jangan heran, pada sementara orang Jawa, kata Jawa dan Indonesia dianggap berpadanan! Lalu apa yang dijadikan pembeda? Apakah seorang dianggap njawani atau tidak, hal itu terserah pada yang bersangkutan! Bahwa ada seorang Cina diangkat jadi bangsawan, misalnya pangeran, hal itu semata-mata karena—di mata Raja—orang bersangkutan sudah 'sama' dengan mereka. Jadi, bermula dari njawani, akhirnya benar-benar dianggap Jawa! Sikap ini tidak hanya kita temukan pada zaman dulu saja, bahkan sampai dewasa ini tidak berubah.

Jangan heran hal serupa juga terjadi di mana-mana, termasuk Eropa. Maka tidak sedikit orang Yahudi, misalnya, yang dengan bergulirnya waktu menjadi bangsawan di sana. Contoh yang sangat menonjol keluarga Rothschild yang di Jerman jadi Baron von Rothschild, De Rothschild, Perancis, Inggris Lord Rothschild. Disraeli orang Yahudi yang karena berjasa ketika jadi perdana menteri di Inggris diangkat jadi bangsawan dengan gelar Lord Beaconsfield. Anggap saja semua itu sebagai 'pengetahuan umum', dan barang siapa mengingini lebih banyak tentang perkara ini dipersilakan mengunduh dari Internet.

Orang Belanda memiliki kebiasaan yang khas. Sejak awal mereka ada di bumi Nusantara, mereka selalu berupaya menemukan titik kedudukan mereka pada suatu ketika. Saya menganggap ini semacam dalil. Dalam budaya mereka hal itu terwadahi dalam kata aardrijkskunde, secara harfiah tahuan tentang 'kerajaan di atas bumi'. Kata itu ada sebelum muncul kata geografi, yang berasal dari bahasa Yunani dan artinya 'perian tentang semua yang ada di bumi'. Padan dalam bahasa kita diturunkan dari sini, ilmu bumi atau lewat jalur yang satu lagi, geografi. Ada lagi yang membuat orang Belanda berbeda dengan kita, yaitu budaya membaca-menulis yang pada mereka sudah mentradisi.

Seperti kita ketahui, di negeri ini, tidak hanya orang Jawa yang memiliki huruf, ihwal yang ditulis, cara menulis serta gaya menulis, dan akhirnya juga cara menyimpan tulisan. Karena bergulirnya zaman, justru semua itu ditinggalkan oleh banyak orang muda kita. Sebaliknya, masa lalu kita yang telah terekam justru menarik perhatian 'satu-dua' orang asing, yaitu mereka dari golongan peneliti. Maka, masa lalu kita itu sekarang dijadikan objek penelitian. Oleh siapa? Terutama bekas penjajah kita, yaitu bangsa Belanda.

Orang Belanda datang dari negeri yang sangat jauh, dan mereka tidak mungkin dapat mencapai negeri ini, jika tidak memiliki 'ilmu'. Akhirnya, mereka dapat mencapai tempat mana saja yang mereka kehendaki. Tidak mungkin mereka melakukan perjalanan ribuan kilometer, andaikata mereka tidak memiliki sarananya. Salain kapal, yang sangat penting adalah perlengkapan berupa peta dan kompas, ungkapannya dalam bahasa Belanda, om wegwijs te worden, agar tahu jalan. Tanpa bantuan orang lain kecuali perlengkapan yang selalu mereka bawa ke mana-mana itu, titik kedudukannya di muka bumi dapat mereka temukan. Orientasi, itulah proses menemukan titik itu. Dalam bahasa Jawa ada kata yang hampir sepadan ngerti lor-kidul. Di zaman yang serba mesin ini terdapat sarana penggantinya yang menggunakan bantuan dari 'langit', artinya dengan pertolongan yang disebut Global Positioning System, GPS yang masuk ranah teknologi satelit.

Bangsa Belanda itu kecil. Mereka mendiami sudut barat Eropa, tetapi tampilan mereka di pentas antarbangsa benar-benar dapat dibanggakan. Tak sedikit di antara mereka pendatang, beruaya dari negara lain, seperti kentara dari sementara nama mereka, tetapi mereka telah lebur ke dalam 'bangsa Belanda', sudah terintegrasi, dan ini kita smpulkan dari bahasa mereka, Hollands atau Nederlands. Sebagai bangsa, jejak mereka dapat ditemukan di mana-mana. Dari ujung selatan Benua Afrika muncul Kaapstad yang sekarang jadi Capetown, karena diinggriskan, terdesak oleh kekuatan lain yang lebih besar, Inggris. Mereka yang terdesak berpindah ke daerah pedalaman dan membangun Transvaal dan Oranje Vrijstaat. Belanda pernah singgah di Sri Langka atau dikenal sebagai Ceylon, yang ditelinga kita jadi Selong, yang pernah dijadikan tempat membuang mereka yang tidak mau tunduk kepada Belanda. Di Amerika Utara ada Nieuw Amsterdam yang sekarang jadi New York, dan di Amerika Selatan, baik di daratan benua—yang dulu masih 'kosong'—yang sekarang jadi Surinam dan juga di sejumlah pulau di Lautan Karibia. Yang tidak ketinggalan, semua perjalanan orang Belanda menuju ke tempat baru itu terekam dalam dokumen dan tersimpan di sejumlah arsip terkenal.

Dalam bahasa Belanda ada kata padvinder—secara harfiah pencari jalan setapak—dan dulu kita beri padan pandu, organisasinya disebut padvinderij, dalam bahasa kita jadi kepanduan.

Orientasi dan upaya agar sintas—bertahan tetap hidup dalam keadaan darurat—dan bekerjasama antarsesama terus berkembang hingga terwujud dalam pranata. Sebelum PD II meletus, di Hindia Belanda ada perhimpunan yang bernama Nederlands-Indische Padvinders Vereniging, disingkat NIPV. Ini dapat saya lihat dari hasil pengamatan sendiri.

Pada awal tahun 30-an saya masih siswa sekolah dasar di Karanganyar. Setiap kali saya melihat di alun-alun kota kecil itu ada kelompok padvinders dari Gombong berlatih. Selain pembimbingnya, para padvinders itu semuanya anak usia siswa SD. Gombong memiliki penduduk Belanda cukup banyak tersebab ada tangsi, dan di sana tidak ada lapangan yang luas. Sebagai akibatnya, alun-alun Karanganyar merupakan tempat yang sangat cocok untuk kegiatan mereka.Yang menyebabkan tentu saja karena jarak antara Gombong-Karangnya hanya 7 km, dan itu dapat ditempuh dengan sepeda dalam beberapa menit.

Ketika itu, sebagai akibat imbasannya, di mana-mana di Hindia Belanda bermunculan organisasi kepanduan dengan berbagai haluan. Yang berhaluan nasional mewujud dalam Kepanduan Bangsa Indonesia, KBI dan satu lagi, Surja Wirawan yang berinduk pada Parindra, Partai Indonesia Raya pimpinan dokter Soetomo yang bersikap lebih lunak terhadap pemerintah. Betapa sikap itu lalu berbuah ketika Pak Tom—begitu panggilannya—meninggal pada tahun 1938—dan jasadnya diizinkan pemerintah untuk dimakamkan di halaman depan Gedung Nasional Indonesia, GNI di Jalan Blauran, Surabaya. Pak Tom termasuk perintis kemerdekaan dan rumah sakit umum di kota itu sekarang menyandang nama R.S. Dokter Soetomo. Sikap Pak Tom terhadap Belanda tampak juga dari segi lagi pribadinya, yaitu nasionalismenya tidak tertuju kepada Belanda sebagai orang-seorang, melainkan terhadap sistem pemerintahannya. Ini dapat kita lihat sikapnya dalam menikahi seorang jururawat Belanda, yang tetap menganut imannya (Kristen), dan setelah isternya meninggal tidak menikah lagi.

Pada sekitar tahun 1930-an, saya nderek (ikut) Nenek di Karanganyar yang halaman rumahnya berbatasan dengan alun-alun. Ketika berkali-kali saya melihat di rumah Nenek ada gambar tempel besar (plakat) tentang akan berlangsungnya suatu peristiwa—misalnya konggres—perkumpulan Jong Islamieten Bond. JIB adalah perkumpulan kaum muda Islam, yang tidak menginduk pada aliran tertentu. Sebagai anak, saya tidak mengerti mengapa ada 'gambar tempel besar nyasar' di rumah Nenek. Baru di kemudian hari saya tahu penyebabnya, yaitu adik bungsu Ayah Samsoeridjal adalah pegiat JIB, dan pelopor kepanduan Natipij, Nationaal Indonesische Padvinderij. Kita tahu, pada zaman itu kata Indonesia belum digunakan umum, karena orang biasanya menghindar dari berurusan dengan polisi. Boleh jadi, dalam nama Natipij, kata 'Indonesia' dibiarkan karena nama kepanduan Islam itu dalam bahasa Belanda. Itu hanya perkiraan saya. Kepanduan Islam yang satu lagi menginduk kepada Mohammadijah dan menggunakan bahasa Arab, Hizbul Wathan.

Begitu Indonesia merdeka, mula-mula orang tidak memperhatikan perkembangan selanjutnya organisasi kepanduan. Ternyata jumlahnya terus berkembang hingga mencapai berpuluh-puluh buah.. Maka pada 19 Mai 1961 atas gagasan Presiden Soekarno lalu dibentuk pramuka, yang merupakan kependekan dari praja muda karana. Langkah Bung Karno itu tidak dapat dipisahkan dengan pernyataan yang dilontarkan beliau berulang-kali, yaitu pembangunan bangsa dan akhlak, nation and character building. Untuk melaksanakan gagasan itu ditunjuk Sultan HB IX, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prijono, dan Azis Saleh, yang semuanya diketahui adalah tokoh yang memiliki wawasan luas dalam pembinaan para muda, dan yang tidak diragukan mereka adalah nasionalis. Sebagai hasilnya, di Indonesia ditentukan hanya ada Pramuka, organisasi nasional dengan dasar sejalan dengan gagasan pencetus Boy Scouts, Robert Stephenson Smyith Baden-Powel (1857-1941), jenderal dari Inggris dengan pengalaman luas dan dikenal sebagai pembina pemuda untuk menjadi tentara yang baik. Dari tangannya lahir tulisan Aids to Scouting yang diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Jadi, lewat pembinaan diharapkan dapat diperoleh calon tentara yang lebih baik, karena di samping pelajaran ketangkasan dan keberanian, ditanamkan rasa kebersamaan dan kewajiban menolong sesama orang. Dewasa ini di Indonesia kepramukaan merupakan bagian dari kegiatan anak sekolah di luar pelajaran yang resmi.

Orientasi tidak hanya diperlukan di bidang kepramukaan, tetapi merupakan langkah awal bagi setiap orang, apalagi sekarang. Orang Belanda sudah melakukannya sejak mereka mulai berupaya menemukan jalan ke Timur. Langkah awal mereka adalah memiliki peta, Karena mereka belum memilikinya, ada orang Belanda, Cornelis de Houtman, entah dengan alasan apa, menjadi awak kapal Portugis, mungkin dengan cara menyaru, dan ikut berlayar ke Timur. Dengan peta di tangan, orang Belanda ibaratnya telah memiliki kunci untuk menemukan jalan ke negeri rempah-rempah yang jadi tujuan mereka.

Peta pula adalah sarana orang dapat menggambarkan selain jarak, luasan daerah, dan ketinggian setiap titik terhadap permukaan laut rerata.Dengan senjata peta pula, orang Belanda akhirnya dapat mengambarkan yang disebut Nederlandsch-Oost Indie atau dalam bahasa Melayu, Hindia Belanda. Dari Belanda pula kita mendapat warisan berupa peta yang meliputi seluruh negeri ini.

Peta negeri ini tentu saja tidak langsung tersedia, dan sejarah sampai terwujudnya sangat panjang. Setiap kali ada kapal Belanda berlayar ke Timur, informasi baru bertambah, dan pengguna peta berikutnya sudah dapat memanfaatkan hasil yang berasal dari pengalaman mereka yang sudah menempuh perjalanan sangat panjang itu. Oleh sebab itu, pada waktu Belanda sudah memiliki pijakan kuat, proses pemetaan yang sebenarnya dimulai. Saat itu adalah perempatan terakhir abad ke-19.

Belanda sadar, untuk mengurus negeri seluas ini ada sejumlah langkah yang harus dilakukan, dan Pulau Jawa harus ditangani paling dulu. Alasannya sederhana: tanahnya subur, terutama daerah pengunungan, dan penduduknya dinilai cukup maju. Semua 'ilmu' itu kemudian dinyatakan dalam angka, karena itu berupa dasar. Data dasar, itulah yang dalam proses pemgambilan putusan tidak boleh diabaikan, karena yang satu dapat diperbandingkan dengan yang lain, menuju ke tujuan akhir yang mungkin masih jauh. Di sinilah pentingnya arti dokumen dan arsip. Pada masa lalu—dan bagi sementara di antara kita bahkan sampai sekarang—itu tampak dari sikapnya yang acuh-tak-acuh terhadap arsip, dan sekarang lebih dikenal dengan istilah Inggris file atau ditulis fail. .

Dulu salah satu yang merupakan 'barang luar' bagi kita dan dianggap asing adalah peta, dan kata yang digunakan untuk menunjukkan benda itu, kaart, terlalu sulit bagi kita, pada awalnya umum hanya mengenal kata Belanda itu dan diucapkan hasil sesuaia dengan lidah kita, 'kar', dan baru menjelang PD II, tahun 30-an, kata peta yang asalnya Sansekerta mulai jadi umum. Saya kira itu juga 'akal-akalan' Belanda.

Setiap peta mencantumkan perbandingan ukuran panjang di peta dan yang sesungguhnya di medan, yang dalam bahasa Belanda disebut schaal. Banyak orang yang menggunakan kata 'skala', yang sudah jelas pinjaman dari kata Belanda. Orang tidak sadar bahwa dalam bahasa Indonesia tidak ada huruf mati, dalam hal ini s, yang diikuti huruf mati yang lain lain, yaitu k. Agar kata itu dapat kita baca, perlu disisipkan huruf e di antara huruf s dan k, sehingga kata pinjaman itu ditulis dan juga diucapkan sekala. Pada umumnya—kecuali beberapa orang seperti Sutan Takdir Alisyahbana—kita tidak mau menggubris akan kenyataan itu. Sebenarnya, itu awal kekacuaan dalam ejaan kita, tidak mau mangakui kodrat, dalam hal ini kodrat bahasa. Yang akhirnya benar-benar tidak lagi tertolong adalah penutur bahasa Tagalog. Saya tidak perlu bepanjang-penjang mengenai perkara ini. Di akhir uraian ini masalah ini akan saya kaitkan dengan yang kita alami sendiri.

Tahun 1950-an adalah masa peralihan dari Belanda ke kita. Ketika itu saya yang sudah bekerja di Djawatan Pertambangan dan Geologi dan segera terlibat dalam kegiatan selain peta-memeta juga alih-istilah Belanda-Indonesia. Saya masih ingat, ketika itulah saya berjumpa dengan kata kedar, yang asalnya dari kata Arab kadar. Meskipun pendek, kedar tak pernah populer, 'tak laku dijual', meskipun tak berarti tersingkir, karena kata kadar bertahan, di antaranya di bidang kimia (Purbo-Hadiwidjoyo, 2006).

Tanpa peta, orang harus menggunakan perbandingan. Dulu—di daerah pelosok bahkan sampai saat ini masih terjadi—untuk jarak digunakan kata 'seperokokan'. Maknanya waktu yang setara dengan orang mengisap sebatang rokok lintingan (gulungan sendiri). Jika diubah jadi angka, kita temukan jarak sekitar 15-an menit, atau dijadikan ukuran panjang umum, sekitar dua kilometeran. Untuk meningkatkan kecermatan ditambah dengan ancar-ancar seperti sungai, pohon langka, dst.dst.

Kita kembali ke daerah Kedu Selatan, tempat berlangsungnya tahapan terakhir Perang Diponegoro. Di sana orang hanya perlu membedakan dua bagian, bagian timur dan barat.Yang timur adalah Bagelen dan yang barat daerah Banyumas. Karena bagian utara bergunung—baik di bagian timur maupun di barat—maka orang tidak perlu untuk memperhatikannya dulu, karena pada masa itu masih tertutup hutan lebat, dalam ungkapan Jawa, alas gung liwang-liwung. Menurut Ayah, pada awal abad ke-20 harimau masih terdapat di sana, banteng masih dijumpai di daerah berawa dan buaya di sungai tertentu. Nama yang masih tertinggal seperti Jatijajar, Bayan dan Rawakele semua merupakan tinggalan dari zaman sekitar peralihan ke abad ke-20. Nama Ijo menunjuk ke tempat yang oleh Belanda digunakan untuk nama terowongan keretapi (dibangun sekitar 1880), dengan batuannya napal, bukan batugamping seperti di daerah di selatannya. Di utara, batuan di atasnya berasal dari gunungapi. Gunungapi Tambak, nama yang tidak (belum) tercantum di peta geologi Jawa. Maklum, saya baru mengenalinya pada awal 1970-an ketika secara kebetulan terlibat dalam pencarian bahan untuk membangun bendungan Waduk Sempor. Itu sebabnya, mengapa tumbuhan penutup di Ijo berbeda, tampak lebih hijau daripada yang menutupi daerah batugamping di sebelah selatannya.

Bagian yang datar daerah Kedu Selatan penting karena berpenduduk cukup banyak. Di antara dua dataran itu dan dataran di baratnya terdapoat penyekat tidak seberapa lebar, yang terlebar kurang dari 25 km. Batuan Pegunungan Karangbolong sebagian besar berupa batugamping dengan lorong guanya tempat mengalir sungai bawah-tanah. Di daerah batugamping, tidak semua pohon tumbuh baik, kecuali di antaraya jati (Tectona grandis), yang sekarang dibudidayakan di daerah semacam Pegunungan Karangbolong. Semula, nama Karangbolong hanya menunjuk ke ujung selatan dengan relungnya yang penuh sarang burung, yang waletnya berharga sebagai mataniaga.

Saya kira, Raja Mataram tidak terlalu memikirkan tentang apa yang sekarang disebut 'sumber daya'. Jadi, dengan sendrinya juga cara mengubah gua bersarang burung itu jadi sumber uang. Apalagi pihak yang menyukai walet orang Cina. Maka sumber daya itu pun di-verpacht. Sebenarnya saya curiga, jangan-jangan kata upah berasal dari kata Belanda pacht yang berubah jadi 'pah' dan karena satu suku, di depannya dibubuhi u hingga jadi upah. Kepada siapa lagi kalau tidak kepada orang Cina untuk 'mengupahkan' barang sesuatu?

Pada zaman dulu, yang di-verpacht tidak hanya gua sarang burung, juga rumah gadai dan bahkan penyetoran pajak. Orang Cinalah yang memiliki keterampilan karena latar belakang sejarah, dan kemudian maju dan akhirnya jadi kaya. Itulah yang kemudian menimbulkan rasa iri-hati pada banyak orang. Baru setelah terjadi kawin-mawin antara pemuka pribumi dan wanita Cina timbul kelompok yang dapat bekerja sebagai jembatan peredam kecemburuan. Ini terjadi dalam sejarah sejak ratusan tahun lalu, selama Perang Diponegoro dan pascaperang, dan bahkan hingga dewasa ini.

Di Kedu Selatan nama sungai yang menarik dari segi kesejarahan adalah Kali Lukulo. Sungai ini bersumber di daerah berbatuan Pratersier yang berumur lebih 200 juta tahun, tertua di Jawa. Mula-mula sungai mengalir ke barat, lalu membelok kiri menembus bagian terakhir pegunungan, menuju ke daerah dataran, untuk akhirnya bermuara di Samudera India. Di dataran, orang Belanda sudah mengenali ada yang mereka sebut taalgrens, batas alamiah kependudukan, karena di sebelah timur sungai penduduk berlogat Jawa 'o' dan kecap k-nya lemah, dan menyebut sungai Kali Lu'ulo. Di barat sungai, penduduk berlogat Jawa 'a', dan kecap k-nya berat, sehingga sungai yang itu-itu jadi Lukula. Ini bukan kebetulan, tetapi hasil proses kesejarahan. Di timur sungai, pengaruh Mataram sudah lebih kuat. Pada waktu menjelang Perang Dunia II, atlas sekolah lanjutan umum atas berjudul Grote Bos Atlas, dan di dalamnya juga tercantum batas tersebut dan kelanjutannya sampai di pantai utara..

Setelah Belanda mendirikan sekolah rakyat yang berbahasa pengantar Jawa, diperkenalkan yang disebut bahasa Jawa baku. Ini tak lain adalah bahasa yang digunakan di daerah Yogya-Solo. Maka lambat-laun bahasa Jawa berlogat o menyebar ke barat Kali Lukulo. Ini terjadi setelah peralihan ke abad ke-20. Bahasa Jawa logat a masih bertahan, terutama pada masyarakat lapisan bawah, bahkan sampai sekarang pada percakapan akrab. Rakyat menganggap bahasa pėgo ini kasar, dan bahasa yang halus disebut bandek.