Sejenis tetapi tidak sama. Berikut adalah tamsil jembatan perihal kisah seorang yang melakukan tugas yang diembannya dengan cara yang sangat khas. Saya bertutur tentang seorang yang penuh canda, meskipun cara ia melakukannya selalu bersungguh-sungguh, tanpa niat beroleh imbalan, apalagi pujian. Ia seorang yang lurus, tanpa dibuat-buat, cekatan. Dalam bahasa Inggris, No nonsense, atau padan bahasa Indonesianya secara bebas, jangan aneh-aneh. Dalam bahasa Jawa orang akan bilang, “Ora neka-neka”. Itulah Soetarjo Sigit yang meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya tanggal 25 Januari 2014 di usia 85 tahun. Ia-lah gambaran seorang yang waskita dalam menyikapi zaman yang terus bergulir dan setiap kali menuntut kita akan kesiapan dan tata-aturan serta tatanilai yang sesuai. Cara ia menulis namanya terpaksa diubah jadi Soetaryo Sigit, gara-gara berlakunya EYD, ejaan yang disempurnakan sejak 17 Agustus 1972. Jika tidak, ia dikelirukan dengan kakaknya Soetardjo Sigit.

Kita baru saja membicarakan komunikasi, termasuk yang berlangsung hanya satu arah. Andaikata saja dalam komunikasi yang kita pandang hanya yang tampak di permukaan, yang berlangsung itu memang hanya hubungan apa layak. Semestinya, komunikasi yang terjadi jangan sebatas itu. Oleh sebab itu, yang hendak saya gunakan adalah contoh yang melibatkan Soetaryo Sigit.

Kisah ini berpusat sekitar seorang yang lain daripada yang lain, seorang yang sangat cerdas dan dengan sendirinya ia juga sangat menonjol di tengah liyan. Di tengah suasana yang serba tidak menentu pun, ia tetap mampu bertindak tegas dan terus berharap akan yang terbaik. Inilah hasil pengamatan saya sejak saat awal saya berhubungan dengan pribadi yang amung ini. Dilihat dari kurun waktu, sejak Bung Karno masih berkuasa dan terus berlangsung hingga disingkirkan oleh Soeharto.

Hemat saya, yang 'menemukan' Soetaryo Sigit adalah Chairul Saleh, yang juga seorang yang luar biasa. Sifat luar biasa Chairul Saleh sudah dikemukakan di depan. Tepatnya, dalam hubungan dengan gagasan yang menjadikan negeri ini bagi kita bukan hanya sekedar tempat tumpah darah kita, juga tanah-air kita. Sifat Chairul Saleh yang luar biasa itu sudah dikemukan di awal Parwa Dua, termasuk hasil pencandraan Howard P. Jones, mantan Duta Besar Amerika Serikat di sini.

Soetaryo Sigit sejak awal berketetapan hati untuk mengajar. Begitu diketahui Chairul Saleh ia akan melanjutkan pendidikan doktor di Amerika Serikat, Chairul Saleh pun dengan tegas, berkata dalam bahasa Belanda “Nee, jij gaat niet. Jij blijft hier.” Itulah ucapan Chairul Saleh, atau Indonesianya: ”Tidak! Kau tidak pergi! Kau tetap di sini!”. Putusan tegas Chairul Saleh itu langsung dapat kita saksikan karena tercermin dalam kebijakan awal pemerintah berbentuk berbagai gagasan, dan itu semua sumbernya Soetaryo Sigit, sarjana pertama lulusan perguruan tinggi geologi pertama di negeri ini, dan usianya nyaris 30 tahun! Dengan kata lain, apakah itu bukan Chairul Saleh yang membuat Soetaryo Sigit kemudian jadi orang yang benar-benar memberikan arah sebagaimana yang bisa kita saksikan? Terpulang Anda.

Ketika itu, awal 1950. dan di Indonesia ketiadaan tenaga ahli terasa di mana-mana, dan terutama sebagai pimpinan di Departemen Pertambangan. Saat itulah R. Soerodjo Ranoekoesoemo, insinyur tambang lulusan Jepang ditetapkan untuk bertindak sebagai Kepala Direktorat Geologi. Di waktu itu, sebenarnya, yang tiba hampir bersamaan ada seorang lagi insinyur tambang, Lodewijk Gadjah Tampubolon.Yang ini diangkat jadi Kepala Pusat Djawatan Pertambangan.

Sebagai orang muda, Soerodjo Ranoekoesoemo usianya pasti tidak berselisih banyak dengan kami yang berasal dari 'Angkatan Revolusi'. Tetapi dalam jenjang kepegawaian tentu tidak, karena kami belum sarjana. Di saat itu, kami dari revolusi tetap melihat adanya kemungkinan untuk melanjutkan belajar. Rupanya, sebagai pimpinan Direktorat Geologi ia berpandangan lain.

Soal melanjutkan belajar rupanya memang sudah jadi pemikiran mereka di atas. Maka, itu jadi kenyataan, ketika di tahun akademi 1952, Sdr. Soenoe Soemosoesastro, yang mendirikan dan mengajar kami di Sekolah Pertambangan dan Geologi Tinggi di Magelang, Nopember 1946 kelak menandatangani ijazah sekolah yang kemudian telah berubah namanya jadi Akademi Pertambangan Geologi, Desember 1949. Ia tahu benar peringkat saya di nomor dua, dan Soemardi Oemarkatab, meskipun nomor satu, tetapi sejak awal memilih bidang teknik pertambangan sejak awal.

Agar kesarjanaannya absah, Soenoe Soemosoesastro dan berhak mengajar di perguruan tinggi, dua hal pokok perlu dipenuhi. Bahwa ia mahasiswa Universitas Indonesia merupakan upaya baginya untuk memenuhi ketentuan itu. Akan hal yang kedua, kercerdasan, itu suatu kenyataan, dibuktikan dari kinerjanya. Ada yang perlu ditambahkan di sini, yaitu ketekekunan. Karena sadar akan umur yang terus merayap dan takkan mungkin dihentikan, ia sangat tekun dan matang. Tak perlu heran kita bahwa dalam waktu dua tahun ia dapat menyelesaikan dengan baik semua tugas kandidatnya. Siapa pun membayangkan bahwa ia kelak kedudukannya kelak sudah terjamin, yaitu menyandang gelar gurubesar dan akan menggantikan Prof. Dr.Th.H.F. Klompe di Bagian Geologi, yang pertama di Indonesia. Ternyata, yang tahu segala rencana hanya satu, yaitu Sang Pencipta. Di usianya yang baru 43 tahun, ia dipanggil-Nya.

Saya salah seorang pengantar ke tempat peristirahatannya terakhir, TPU Sirnaraga. Dengan truk bak terbuka milik Direktorat Geologi, saya ikut iring-iringan yang bertolak dari rumah duka yang terletak di Jalan Gandapura menuju ke TPU di Jalan Padjadjaran. Ketika itu TPU masih 'kosong', sehingga makam Soenoe Soemosoesastro tersedia di sisi kanan jalan masuk. Bisa dibayangkan bahwa semua orang diliputi rasa sedih.

Saya yakin Prof. Dr. Th.H.F. Klompe adalah yang merasa sangat kehilangan mahasiswanya yang cemerlang, dan yang jadi harapan akan menggantikannya. Kenangan yang dinilainya sangat tinggi adalah laporan hasil pemetaan di Gunung Jiwo, Klaten yang kemudian ia persiapkan dan kemudian terbit sebagai artikel Majalah Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Saya adalah mantan murid Soenoe Soemosoesastro dan penyambung kisah. Bersama dua rekan seangkatan di SPGT-APG, R.Prajitno dan Harli Soemadirdja saya mendapat kesempatan masuk Bagian Geologi UI, atas biaya sendiri, tahun akademi 1954. Dengan kata lain, saya masuk di perguruan tinggi bukan karena alasan ada atau tanpa persetujuan KDG, dan uang kuliah kami sendiri yang membayar.

Saya sadar, kesempatan melanjutkan belajar di UI harus saya menfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pada hakikatnya semua pelajaran sudah tidak asing, sehingga sebagai akibatnya kurang dari lima tahun semua tugas sudah saya selesaikan. Di saat itu, saya bertemu Sdr. Soetaryo Sigit, dan ia pun berujar dengan lepas, “Cepat, Mas, bergabung. Saya segera menggantikan Mas Soerodjo”. Cakap singkat itu ibaratnya jadi pembuka dan pemecut. Karena persyaratan sudah terpenuhi untuk maju sidang, dan minggu berikutnya, Nopember 1959, saya sudah melapor kepada Sdr. Soetaryo Sigit bahwa saya siap membantunya.

Sikap saya memang sangat berbeda dengan sebelumnya, ketika saya ogah-ogahan bekerja, karena suasana yang tidak menarik, tiada Leitmotiv. Itulah awal benang hubungan kerjasama antarkami berdua yang terentang beberapa dasawarsa hingga menjelang ia dipanggil Sang Pencipta.

Benar juga, sederet tugas langsung menghadang, yang sudah nyata sebagai Kepala Bagian Geologi Teknik, yang sudah saya lakoni sejak Dr. F. Laufer pindah ke Pekerjaan Umum.

Secara umum, di saat itu memang sulit dan seolah-olah tak menentu. Bagi Soetaryo Sigit yang usianya 30-an tahun, ia adalah seorang dari jenis khas, yang selalu siap melakukan apa pun, dan ternyata mampu bisa keluar dengan tindakan tepat dan berguna.

Bagi kami berdua di saat itu ibaratnya berancang-ancang membangun jembatan bagi kami berdua yang dari semula sudah berniat bertemu. Seakan-akan terasa bahwa kami saling membutuhkan bagi format berbeda tetapi sama dalam arti saling melengkapi, karena saling mengisi. Yang merancang jembatan itu tak lain adalah Soetaryo Sigit, saya termasuk yang membagun, sering dalam bentuk tim.

Sebagai orang pertama yang lulus dari Bagian Geologi, Universitas Indonesia, Cabang Bandung, dan ditambah dengan sebutan 'dengan pujian', ia benar-benar selalu siap kerja. Tanpa perlu ancang-ancang, tugas yang dipercayakan padanya terus menggeliat dan jika perlu lalu tancap gas. Sebagai seorang yang ditunjuk sebagai Pejabat Pusat Jawatan Geologi, tak lama kemudian menyusul Johannas yang seangkatan. Di bulan Nopember 1959 saya menyusul, orang lama yang sempat mengikuti Sekolah Pertambangan dan Geologi Tinggi, dan dibuka ketika revolusi masih berkecamuk, 10 tahun sebelumnya, awal Nopember 1949 di Magelang.

Di bulan Nopember itu pula, saya langsung ditunjuk untuk berbagai tugas, entah apa alasannya. Saya ingat, yang pertama dibentuk adalah Komisi Istilah dan Dewan Redaksi. Komisi Istilah itu terdiri dari tiga orang, dengan jabatan Ketua dipercayakan kepada saya dengan dua orang anggota, Sartono yang seangkatan Soetaryo Sigit, pengajar di Bagian Geologi dan Sulaiman Zuhdi Pane, dan saat itu belum lulus. Komisi hanya sempat bertemu satu kali. Yang mengherankan, itulah sesuatu yang ternyata mengisyaratkan akan terjadinya sejarah. Khusus bagi saya, itu awal saya menerakan nama sendiri dalam pembinaan peristilahan, S.Z. Pane setelah malang-melintang di Pertamina kini mengelola majalah Petrominer, yang jadi media penanam modal usaha minyak-gasbumi dan pertambangan.

Di bulan Nopember 1959 itu pula, saya diangkat jadi Ketua Dewan Redaksi pada Pusat Direktorat Geologi. Anggotanya adalah Karmijuni Pratiknyo, geolowati pertama lulusan Bandung, dengan citarasa bahasa, baik Indonesia maupun Inggris. (Kelak jadi Karmijuni P. Nixon sejak menikah dengan John Nixon.) Berkat dorongan Soetaryo Sigit, ada sejumlah dokumen yang langsung naik cetak. Ada sederet dokumen yang ketika ia berdinas di Bandung terbit. Temasuk di dalamnya tesis doktor Sartono, yang merupakan yang dicetak, dan saya yang bertindak sebagai penyunting dan seingat saya, naskah Inggris pertama yang saya tangani. Tesis doktor kehormatan Soetaryo Sigit dari ITB, dan saya yang mendapat kepercayaan membuatkan versi Inggrisnya. Tesis baru beberapa puluh tahun kemudian terwujud, bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena rekan muda dekat dan sahabatnya yang selalu membantunya, Beni N,Wahju.

Soetaryo Sigit memang memiliki citarasa menjembattani antara dua perwujudan. Yang pertama kali dijadikan sasaran adalah dua laporan tahunan Djawatan Tambang dan Geologi dalam pengungsian. Berkat prakarsanya, dokumen susunan A.F. Lasut dapat dicetak. Dari segi isi, jelas orang dipertanyakan manfaat. Nilainya justru sebagai benda kesejarahan, yang terjawab berkat keperiadaan tatkala revolusi kelembagaan Tambang dan Geologi.

Ukuran atau format Soetaryo Sigit terlalu kecil bagi Direktorat Geologi. Entah selama berapa lama ia memiliki jabatan rangkap. Selain bertindak sebagai Kepala PDG, ia melakukan tugas sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan, dan itu tidak terpisahkan dengan arahan Chairul Saleh.

Entah tepatnya di saat awal menjabat Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan, gerak pertama yang ia lakukan adalah membenahi prasarana berupa perundang-undangan pertambangan. Itu titik pijak pertama, dan untuk keperluan itu kami—beberapa orang, saya lupa siapa—nyepi di Cisarua, Bogor. Hanya sangat pendek, jika tidak salah ingat dua hari, menginap di Mes Aneka Tambang. Bagi saya pribadi, sebagai seorang tanpa pengetahuan dasar tentang bidang hukum, kegiatan selanjutnya saya tidak lagi diikutsertakan. Tidak berarti upayanya menyiapkan prasarana selesai, tetapi yang selesai adalah saya, yang tidak cocok untuk tujuan yang tergambar di dalam benaknya.

Kegiatan berikut berbeda, tetapi sasarannya jelas. Setelah prasarana hukum, menyusul sarana informasi dan bentuknya buku bagi para calon penanam modal. Yang mendapat tugas untuk itu kami berempat, selain penggagas sendiri, Sdr. Soetarjo Sigit, juga Bambang Sulasmoro. insinyur tambang lulusan Kanada, Suharsono Wirjosudjono, geologiwan lulusan Amerika Serikat, dan saya.

Kami bekerja di Mess PT Timah Cilandak, dan ia juga menempati salah satu rumah di dekatnya, yang masuk Komplek PT Timah. Selama satu minggu, tugas dikebut siang dan malam. Hal itu mungkin, karena boleh dikatakan hanya ada satu acuan, yaitu buku R.W. van Bemmelen, The Geology of Indonesia, bagian “Economic Geology”.

Sebelum berangkat ke kantor, Sdr, Soetaryo Sigit menengok kami, menanyakan perkembangan kerja. Sore harinya, seusai kantor, ia singgah lagi di tempat kami mangkal dan menanyakan ihwal perkembangan. Demikianlah, dari hari ke hari, dari yang semula berupa hanya gagasan, akhirnya mewujud berupa konsep buku “Minerals and mining in Indonesia” mulai tertuang dalam bentuk tulisan. Lalu menyusul bab satu per satu, yang penulisannya dibagi antara kami bertiga, dan semua atas dasar kepercayaannya.

Pada waktu itu belum ada disebut projek, honor, dan komputer. Di setiap bab baru, selain judul ada hiasan, dan itu dibuat Sdr. Soetaryo Sigit, karena kesukaannya. Hobi itu sudah mulai disalurkan di waktu ia masih jadi mahasiswa, ketika ia mengisi salah satu kegiatan di lapagan dengan para rekan yang disebut terreinschetsen, menggambar lapangan. Penyalur hobi baginya yang lain berbentuk lembaran GEA, karena perekumpulannya sendiri bernama sama, GEA. Baru setelah tulisan yang telah kami buat selesai, konsep diketik kembali agar rapi oleh pegawai di Departemen Pertambangan.

Konsep buatan kami itu diperiksa di minggu berikutnya, entah native speaker, penutur berbahasa ibu Inggris, yang ia minta untuk membaca tulisan kami, yang ternyata okai-okai saja. Tanpa sadar, itu yang bernama 'arah' dan ternyata terus berlanjut berpuluh tahun ke depan. Khusus terhadap saya, ia rupanya menganggap saya memiliki citarasa untuk bahasa Inggris, dan itu ternyata ia pertahankan, juga berpuluh tahun ke depan.

Ada pencetak pelangganan Sdr. Soetaryo Sigit. Pencetak itu Direktorat Topografi Angkatan Darat, disingkat DittopAD, Jalan Percetakan Negara. Saya hanya bertanya-tanya pada diri sendiri. Jika melihat perlengkapan yang dimiliki, semua sudah kuno, dan caranya juga tertinggal. Mengapa semua cetak-mencetak masih terus dilakukan di sana? Kami yang terlibat sampai jadi terbiasa bekerja di sana hingga lewat jam kerja. Akhirnya, saya merasa tahu penyebabnya, DittopAD adalah perusahaan yang 'lurus'. Itulah kunci.

Zaman bergulir dan pemerintahan berganti, dari Bung Karno ke Suharto. Setelah zaman baru tiba, datang babak baru dalam kegiatan saya. Sejak 1969, pemerintah mulai dengan yang bernama Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama, lalu disusul yang kedua, dan seterusnya. Dengan mendengar bunyi 'Pelita', kita sudah dapat menafsirkan sesuatu. 'Pelita', itu sumber cahaya yang berguna untuk menerangi lingkungan yang gelap. Perkara ini sudah dibahas dengan panjang lebar.

Sebagai seorang yang gesit, utas benang uluran Sdr. Soetaryo Sigit itu menjulur lewat saya. Inilah yang terjadi sejak Pelita I, dan tampak berupa persiapan penerbitan Buku Tahunan Pertambangan. Indonesia, disingkat BTPI atau padan Inggrisnya Indonesian Mining Yearbook. Sejak awal sayalah yang jadi pelaksana dan bertugas di belakangnya. Itulah gagasan Sdr. Soetaryo Sigit dan mewujud berupa sederet buku yang terbit setiap tahun. Bagi saya pribadi, 'Pelita' membukakan kesempatan yang sebelumnya tidak terbayang samasekali, seperti diurakan berikut ini.

Di Pelita I, tepatnya, tahun 1973, saya mengundurkan diri dari Direktorat Geologi, ketika usia saya menginjak 50 tahun, dengan hak pensiun penuh. Yang digunakan sebagai dasar adalah ketetapan pemerintah yang memberikan kepada mereka yang bersangkutan 'bonus' berupa tahun kerja ekstra sebagai pengabdian di zaman revolusi. Terlintas sejenak, usia Ayah di saat beliau mundur di tahun 1933, setengah abad sebelumnya

Yang berbeda sama sekali dengan Ayah adalah suasana ekonomi-sosial, sekaligus tatatanan politik, dari negara jajahan jadi Indonesia Orba. Begitu Ayah pensiun, datanglah krisis ekonomi dunia. Sebaliknya saya yang mendapati kenyataan suasana kekurangan tenaga terampil. Sejak pensiun, yang sangat terasa adalah kekurangan tenaga terampil. Itulah zaman kemunculan yang disebut konsultan. Maka sejak itu saya secara resmi jadi konsultan bebas, tidak terikat untuk bekerja apa saja dan dengan siapa saja. Ketika itu saya anggota dua himpunan dan dua-duanya berpusat di Amerika Serikat, yaitu Association of Engineering Geologists dan American Association of Earth Science Editors.

Bergabung dengan himpunan kekirtaan, apalagi dari Amerika Serikat memang ada untung dan juga ruginya. Harus diakui, merekalah yang termaju di dunia.Tidak setiap orang dapat mendaftarkan diri sebagai anggota, karena untuk itu ada persyaratan. Karena terdaftar sebagai anggota dan memiliki nomor, nama saya tertera dalam daftar keanggotaan yang beredar di mana saja. Sebagai anggota resmi himpunan, saya tunduk pada code of ethics, sehingga saya tidak dibenarkan jika melanggar janji. Mungkin ada orang yang bertanya, Apakah hal seperti ada gunanya? Bagi saya sendiri, jawab saya, “Ya”. Memang, untuk itu setiap tahun saya harus membayar yang disebut annual due, secara umum iuran tahunan dan dengan ukuran umum cukup tinggi. Secara pribadi, itulah yang mengikat saya. Entah berapa puluh tahun saya bergabung dengan dua professional association, himpunan kekirtaan internasonal itu, dan setelah saya berhenti jadi anggota, nama saya dicoret. Yang saya peroleh bersifat pribadi dan yang dapat menilai perbuatan selama itu, semua memang sangat nisbi.

Selama kurun wakiu itu, saya bergiat di semua segi geologi, termasuk bidang pelaporan. Yang saya bantu pun sangat beragam, siapa saja, pihak dalam negeri maupun asing. Di dalamnya termasuk Departemen Pertambangan dengan kelembagaan yang ada di bawahnya, dan Departemen Pekerjaan Umum, dan bidang ketenagaan—dalam bingkai waktu lain—tercakup di dalamnya. Seperti sudah disinggung, ada departemen satu lagi, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rasanya, itulah departemen yang mempunyai ikatan khusus. Saya tidak hanya diarahkan untuk mengajar, meskipun tanpa sebutan guru, pengajar, atau dosen, kenyataannya sejak awal apa yang bernama Republik Indonesia ini, saya terbiasa berdiri di depan kelas, entah di tingkat, peringkat, dan di tempat mana, sekolah, kursus, seminar, atau entah entah apa.

Setelah lewat berpuluh-puluh tahun, saya baru tersadar bahwa itulah bagi saya cara yang paling cocok. Tanpa sengaja, niat terkandung di dalamnya.Tindakan bak-jembatan antarkepentingan, hanyalah tamsil yang dipegang, Akhirnya, saya pun yakin, itulah arahan dari Atas, sedangkan di ujung semua tugas yang saya emban itu yang saya peroleh kemampuan untuk mennyatakan dalam bentuk tulisan, bak-isyarat tanpa penyebutan, bahwa itulah uluran tangan dari siapa pun, tersebab keihlasan atau pandangan yang sejalan.

Babak yang menyusul ini tidak berbeda, selain bingkai atau kerangka waktunya. Ibaratnya, apakah itu pentas, suteradara, pelakon dan pelaku semua baru. Dalam hal ini, suteradara dalam bernama Soetaryo Sigit, pentasnya panitia di Departemen Pertambangan yang menggelar lakon membuat publikasi dengan nama Buku Tahunan Pertambangan Indonesia atau Inggrisnya, Indonesian Mining Yearbook yang sudah disinggung tadi, himpunan profesi, atau bahkan perorangan.

Bertukar tempat dalam pentas yang sama adalah hal yang lumrah. Dalam pentas ini, saya yang semula pelaku sama dengan yang lain, jadi pelakon. Liron tempat di pentas penyusunan BTPI berlangsung adalah kewenangan sutradara. Semula, tugas saya mengumpulkan data di tahapan paling awal. Saya ingat, betapa dengan cara itu yang dilakukan Sdr. Soetaryo Sigit jadi sangat efisien, dan ini saya saksikan setiap kali Panitia berapat yang biasanya hanya perlu waktu sekitar seperempat jam. Acaranya hanya satu, yaitu menelaah tahana pokok demi pokok, state of matters. Semua yang terlibat merasa, dengan cara itu sangat menguntungkan semua.

Ada seorang yang dalam kegiatan BPTI jadi perantara antara Panitia BTPI dengan saya, demikian pula, anggota yang lain. Orang itu adalah Sdr. Een Sukaenah SH. Kini sudah beberapa tiada. Saya masih ingat, terutama soalan yang berhubungan dengan masalah lingkungan perlu ada informasi tambahan. Pokok seperti itu dengan cepat dapat diselesesaikan oleh Sdr. Soetaryo Sigit, karena untuk keperluan itu tersedia Sdr. Sri Sediono, seorang sarjana ekonomi. Ia tepat untuk tugas itu, karena masalah lingkungan memiliki segi keekonomian. Di antara pokok yang kami tinjau ialah penggalian bauksit di Bintan dan intan di Kalimantan Selatan.

Keterlibatan saya dengan BTPI berlanjut terus, bahkan hingga 1986. Baru lama kemudian saya benar-benar tersadar bahwa kurun waktu itu pun dapat dianggap sebagai semacam persiapan bagi sesuatu yang lebih besar dan jauh lebih sulit. Dengan sendirinya, terjadi dalam bingkai waktu lain. Itulah saat saya terlibat dalam upaya yang besar, menyusun sejarah energi dan pertambangan di Indonesia.

Setelah menangani BTPI nyaris dua dasawarsa, saya merasa tiba saatnya ada tenaga yang lebih muda untuk meneruskan tugas yang sifatnya sangat khas itu. Baru kemudian saya ketahui, bahwa yang mendapat tugas adalah Sdr. Subadi yang perkaranya disebut di bawah. Ada dua pokok yang membuat ia dinilai sebagai seorang yang tidak asing dengan tulis-menulis laporan. Yang pertama, karena ia pernah menjabat Kepala Biro Hubungan Luar Negeri, yang juga memerlukan perkara sejenis. Kedua. mungkin orang bertanya-tanya, karena ia mantan perwira dan pernah dididik di Inggris. Sebagai perwira, ihwal pelaporan juga bukan hal asing. Kehadirannya dibahas di bawah.

Saya sudah mengatakan bahwa selama tiga dasawarsa lebih saya terlibat dalam kegiatan menatar dosen dari seluruh Indonesia. Penyelenggaranya DIKTI, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Saya masuk dalam kelompok itu ibaratnya lewat cara alamiah, berawal jadi Anggota Dewan Redaksi Penerbit ITB.

Saya mengajak Anda merunuti benang yang pada hakikatnya adalah awal perjalanan panjang di ranah tulis-menulis, Inilah awal mula saya bergabung dengan Kelompok Adjat Sakri'. Sejumlah lima orang itu berkumpul di salah satu ruang di bagian belakang Kantor Rektorat ITB. Di dalam kelompok itu terdapat Adjat Sakri dan saya, lalu Sofia Niksolihin (Sofi Mansoor), Sudjoko, dan isteri saya, Santi Purbo-Hadiwidjoyo, yang kehadirannya seperti kebetulan. Sebagai ahli bidang pertanian semula ia mengajar di Fakultas Pertanian, Universtas Padjadjaran, tetapi lebih cocok dengan pernaskahan, lalu bergabung. Kelompok bertambah jadi tujuh orang dan bahkan mencapai sepuluh. Cikal-bakal pun berkembang ke sebuah organisasi.

Setiap kali Dewan berkumpul, di antara anggotanya yang bidang keahliannya berbeda-beda itu, biasanya ada saja yang keluar dengan hal yang menarik. Keakraban mereka dengan tulis-menulis, membuat setiap pertemuan diharapkan menarik. Tak mengherankan muncul istilah 'umbar gagas'. Kelompok inti itu berangsur-angsur membesar hingga melibatkan dosen dari seluruh Indonesia. Betapa banyak sudah jumlah gagasan yang tercetus di dalam rapat. Tidak sedikit hasil pertemuan yang ditindaklanjuti, prosesnya berlanjut dan menyejarah, bahkan bisa melesat entah ke mana. Sebagai contoh Jerôme Samuel mahasiswa S3 dari Perancis yang begitu tertarik akan upaya Pemerintah memoderenkan bahasa. Ia menemukan bahwa kelompok ITB sejalan dengan yang diupayakan pemerintah. Ketika ia meneruskan penelitiannya ia menemukan ujungnya jadilah katalog kamus dan sejenis beranotasi, yang tertua 1741 dan yang terkini 1993. Di dalamnya ia masukkan beberapa nama dari saya sebagai acuan dan dari Sakri sebuah.

Tentu ada yang bertanya cara saya melakoni hidup saya ini yang bagi penanya mungkin penuh tanda tanya. Itu tentu wajar saja. Maka ada baiknya, saya jelaskan lagi di sini jejak saya setelah mengundurkan diri dari lingkungan Depertemen Pertambangan dan jadi tenaga ahli bebas. Saat itulah saya mengemban tugas sangat khas. Itulah kurun waktu saya terlibat dalam upaya DIKTI dalam mendampingi para dosen jadi calon penulis atau penerjemah buku ajar.

Sebelum melanjutkan, ada gunanya ditekankan bedanya antara menulis dan menerjemahkan. Yang pertama, menulis, yang artinya menuangkan semua yang semula ada di kepala di atas kertas. Itu jelas bukan tugas bagi setiap orang. Membaca-merenungi, merenungkan dan baru menulis, itulah daur yang berulang-kali harus dilewati seseorang, sebelum ia dapat melakukan tugasnya dengan baik dan cepat. Karena kurang padanya 'jam terbang', seperti yang sering saya jumpai, yaitu ada orang yang mencoba potong-kompas. Dalam hal diri saya, karena latar belakang pendidikan yang Belanda, yang membuat saya selalu ingat akan ungkapan Belanda haastig gespoed is zelden goed, langzaam gaat zeker. Jika diindonesiakan jadi cepat-cepat jarang yang baik, perlahan-lahan itu pasti. Sebenarnya, ungkapan sejenis ada di setiap bahasa dan agama. Oranglah yang cenderung mengabaikan sifat sabar.

Kita masih dalam dunia komuniikasi, dalam ranah bahasa. Marilah kita beralih ke terjemah atau alihbasa. Dalam hal ini, kita bertolak dari barang yang telah ada ke perwujudan dalam tahana sama. Yang harus dilalukan penerjemah adalah 'menjelmakan' tulisan yang asalnya berbahasa tertentu (sumber) ke bahasa yang lain (penerima). Cara mengalihbasakan nas atau dokumen apa pun tidak dengan jalan menyulih kata satu demi satu .

Saya telah berhadapan dengan perkara itu selama tiga dasawarsa. Kenyataannya, sebagian besar menyangkut alihbasa Inggris-Indonesia, beberapa Belanda-Indonesia dan ada Jerman-Indonesia. Pada suatu ketika, saya menghadapi seorang dosen bahasa Inggris lulusan Australia. Ia tahu saya tidak berijazah. Kemampuan saya berbasa Inggris berasal dari sekolah zaman Belanda. Ketika melihat hubungan antarkami terkendala, saya harus mencari akal. Akhirnya saya temukan cara. Inilah yang saya terapkan. Saya menggunakan kamus Inggris Collin's Cobuild hadiah dari The British Council. Bagi saya pribadi, itulah alaman yang tidak akan saya lupakan. Bagaimanapun, menguasai bahasa, apa pun bahasa itu pada hakikatnya perkara yang berdiri sendiri dan hanya bergantung pada orang-seorang yang bersangkutan. Itu akan disinggung di akhir tulisan.

Seperti telah saya katakan, dengan 'rombongan' Adjat Sakri saya telah berkeliling Indonesia, dan ujungnya selama beberapa kali di Hotel Graha Dinar (tadinya Hotel Gondangdia), Cisarua, Bogor.

Itu pula, tanpa diduga-duga saya terlibat dalam kegiatan lain. Kali ini, yang jadi pemberi tugas DESDM, Departeman Energi dan Sumber Daya Mineral yang berniat menyusun buku sejarah tentang energi dan pertambangan Indonesia.

Apakah hakikat yang saya hadapi ketika itu? Kurun waktu lain, peserta lain, suasana lain dan tujuannya sangat luas. Ditambah, para peserta dari peringkat (eselon) tertinggi negeri ini, pejabat tinggi mantan, mereka yang pernah memimpin, jadi dengan sendirinya sudah makan asam-garam, bekerja di bidang mereka. Lengkap sudah yang jadi acuan.

Di tahap awal, selama beberapa bulan pertemuan berlangsung di Kantor Pusat Departemen, Jakarta. Selama itu, Tim yang belum jelas tugas dan cakupan kerjanya berkali-kali bertemu, diketuai oleh Bp. Djoko Darmono dan wakilnya Sdr. Subadi. Jabatan ketua ibaratnya sudah semestinya dijabat Bp. Djoko Darmono, karena tidak ada calon lain yang masuk hitungan. Dua kali beliau menjabat Sekretaris Jenderal dan setelah itu jadi Inspektur Jenderal. Dalam perkembangannya, saya dapat menyaksikan sendiri, bahwa beliau adalah tokoh yang tepat dari sudut pandang yang mana pun. Dalam usia, beliau berselisih 23 tahun dengan saya. Beliau masih ingat, saya sekali-sekali ada di Departemen Pertambangan. Sebagai orang cerdas, pasti beliau bertanya-tanya mengapa saya lenyap dari pandangan. Waktu yang bergulir terus rupanya membuat semua tanda tanya terjawab. Akan halnya Sdr. Soebadi, wakilnya dalam Tim, tentu saja mafhum, karena usulnyalah yang membuat saya masuk dalam di dalamnya.

Pada pertemuan pertama, ia melihat sayalah satu-satunya yang datang dari Bandung. Entah apa yang dijadikan sasaran akhir, saya sadar bahwa informasi geologi pasti jadi landasan. Sejak awal saya ingat rekan geologiwan dan sahabat karib Sdr. Rab Sukamto. Ia seorang yang sudah biasa menulis, bahkan pernah memimpin Pusat Penelitian Geologi. Demikianlah, sejak kami berdua masuk jadi anggota Tim, setiap datang ke rapat di Jakarta kami menggunakan perangkutan umum X-Trans, dan pangkalannya dekat, di Jalan Blora. Sdr. Sukamtolah yang lebih akrab dengan Sdr. Subadi, sehingga ia yang berkomunikasi setiap kali datang ke Jakarta, dan kami dijemput di Jalan Blora. Yang terasa khusus bagi kami berdua, di mobil tersedia sekeranjang makanan-minuman.

Ada seorang yang tampak sangat berkenan di hati Subadi, yaitu Sdr. Limit Prayitno. Saya ketahui kemudian bahwa dalam perjalanan kepegawaian, Sdr. Limit Prayitno banyak berhubungan dengan Ketua Tim Bp. Djoko Darmono. Dari sana dapat kita ketahui, betapa hubungan yang berlangsung lama ternyata menerakan ikatan yang lestari.

Demikian latar awal kerjasama dalam Tim yang namanya pun belum ada. Agar mudahnya, sebut saja Tim Sejarah. Itu nama sekedar memberikan gambaran upaya yang segala-galanya tidak jelas. Bayangkan, tidak hanya nama yang tidak ada, juga anggaran yang dulu pernah kita beri nama nonbujeter, tentu agar mudah meminjam ungkapan Inggris non-budgettary.

Di suatu ketika, sebelum rapat dimulai, Sdr. Subadi menyerahkan kepada saya sejumlah dokumen terdiri dari berbagai jenis. Rupanya, hanya saya yang memperolehnya, dan itu juga saya ketahui baru kemudian. Di antaranya ada yang benar-benar penting dan bernilai kesejarahan, tetapi ada yang bersifat umum dan jika dibaca baik, tetapi jika disisihkan tidak merugikan, dan selain itu ada yang berisi canda. Berkali-kali Sdr. Subadi melontarkan himbauan agar saya menikah lagi, padahal saat itu usia saya sudah lewat 80 tahun. Terus terang, saya tidak dapat menangkap semua yang ia perbuat, bahkan sampai saat ini. Dokumen itu sebagian tertulis dalam bahasa Inggris. Seingat saya, berkali-kali ia berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan pilihan kata yang menunjukkan akan keakrabannya dengan bahasa itu, karena pernah mendengar sendiri dari mulut penutur asli Inggris. Ternyata, ia hanya dengan saya berkomunikasi secara itu.

Ada hal yang ternyata saya tindak-lanjuti. Langkah itu hanya dapat saya lakukan karena bantuan anak saya dengan suaminya. Berkat bantuan mereka, kami sempat berkunjung ke rumah Keluarga Subadi di komplek Pertambangan Duren Tiga, dua atau tiga kali, dan sempat dijamu makan. Bagi saya, itu semua memberi saya peluang menguak lebuh luas dunia Sdr. Subadi.

Dengan kenyataan seperti yang sudah dikatakan, ditopang kemudahan seadanya, kami berdua, Sdr. Rab Sukamto dan saya, mulai upaya kami mengumpulkan data dasar dari mana saja. Bermula dari Pusat Lembaga Statistik, kami meneruskan ke Pusat Perpustakaan Nasional, Pusat Arsip Nasional, dan juga perpustakaan di Kedutaan Belanda. Dari perpustakaan Belanda itulah kami memperoleh modal awal. Dari sana saya mendapat gambaran umum menyusun kerangka dasar kesejarahan.

Dalam upaya kami berdua—Sdr. Rab Sukanto dan saya—ada seorang sandaran. yaitu Sdr. Limit Prajitno yang sudah disebut, dan seorang lagi Sdr. Sukarno yang sempat membuat saya bertanya-tanya yang berakhir dengan senyum. Sebabnya, sebagai sopir DESDM yang sudah lama berdinas, ternyata ia bukan orang Jawa, melainkan Sumbawa. Bersenyum, karena itu tanda ayahnya adalah nasionalis, di awal kita merdeka. Kini, sebagai penduduk Jakarta, perkara itu bukan sesuatu yang aneh. Itu pun sekeping sejarah pembentukan bangsa kita.

Tim tanpa nama itu berapat beberapa kali, dan agar memudahkan akhirnya disebut Tim Sejarah, Karena keadaan itu tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut, saya mengusulkan agar dibuat yang disebut peta pikir atau Inggrisnya mind map. Itu istilah yang digunakan dalam Penataran DIKTI. Ternyata, usul itu mengakhir 'masa bisu', yaitu ketika yang ada hanya suasana diam. Kemunculan gagasan peta pikir mendorong usul-balik Sdr. Leirissa. Sebagai seorang pengajar, saya mengerti penyebabnya, karena tujuan saya memang mengarah ke sana. Justru dari peta pikir kita dapat menurunkan daftar isi, memilih yang mana yang terbaik di antara daftar isi yang dikenali. Itu menurut penalaran saya, awal yang sebenarnya bagi orang yang hendak menulis.

Rupanya, semua memang menunggu saat yang tepat, termasuk saat yang tepat penggagas menulis buku sejarah energi dan pertambangan, Sdr. Subadi untuk mundur karena dipanggal Sang Pencipta, dan itu terjadi pada tanggal 7 Sepember 2007. Kali ini, Sdr. Limit Prayitno lagi orangnya yang jadi pelaku. Berdasarkan amanat almarhum, jasadnya dimakamkan di tanah wakaf dan berjarak hanya 50-an m dari tempat kediamannya. Karena kubur penuh, ia benar-benar diselapkan, beristirahat di antara dua makam, agak miring, di antara kaki kaki tetangga barat dan kepala tetamgga timur. Saya yakin, di sana ia beristirahat dengan tenang. Bukan di tempat makam pahlawan yang ia kehendaki. Ia pasti beranggapan jauh lebih berarti bahwa mereka yang ditinggalkan menemukan kehidupan seperti layaknya. Seorang putera jadi penerbang, bukan pesawat tempur, melainkan pesawat jet Garuda, dan seorang lagi jadi ahli migas, bidang ia memperoleh kehidupan setelah ia terusir dari bidang pilihannya, yaitu di BPPT, kelembagaan penelitian bergengsi. Yang sangat penting adalah isterinya, yang mapan dengan usaha jasa boga. Dengan nama Gandem Marem, usaha itu terkenal karena cocok dengan lidah dan dapat diandalkan. Saya rasa, semua itu tidak dapat dipisahkan dengan imannya, dan tercermin dari yang tertulis di nisnnya, H. Subadi bin Mangoensoenjoto.

Dalam pada itu, tanpa terasa dan agar mudah tim akhirnya dikenal dengan nama Tim Sejarah DESDM. Itulah saat yang mengisyaratkan makin mendekatnya bagi Tim Sejarah agar bersiap-siap berpindah ke tempat yang lerletak kurang dari 200 meter dari Hotel Griya Dinar. Saya benar-benar tidak menyana, setelah terlibat dalam penataran DIKTI yang membawa saya ke seantero Indonesia, beberapa kali yang terakhir kami justru mengarahkan saya ke Wisma Bayu. Tidak bisa disangkal, keterlibatan saya dalam menangani BTPI sebelumnya selama 18 tahun, sebenarnya merupakan juga bagian dari persiapan yang sangat bermanfaat. Khususnya, untuk mengakrabkan saya ihwal pokok yang sebenarnya sama, perkara tahun kejadian sesuatu dan perangkaan. Itulah, sekali lagi tamsil bingkai atau kerangka waktu.

Selama kurun waktu sekitar lima tahun berikutnya kegiatam Tim Sejarah akan berlangsung di Wisma Bayu, milik Koperasi Pegawai DESDM. Sebagaimana dunia yang satu ini ternyata tidak satu, Wisma Bayu yang bisa juga diplesetkan jadi Bambang Yudoyono karena persiapan untuk pembangunannya sudah dimulai ketika SBY masih menjabat Menteri. Siapakah yang mendapat kepercayaan untuk pembangunannya? Di sini, kembali kita bersua dengan Sdr. Limit Prajitno.

Benang dapat saja lain, tetapi tak dapat disangkal simpul yang mempertautkan tidak dapat kita pungkiri, yaitu jalur yang muncul di sekitar awal 2005, dan sudah kita perbicangkan di atas. Itu yang kemunculannya begitu tiba-tiba, ibarat menyeruak. Tanpa basa-basi, langsung awal proses diibaratkan masuk ke dalam air yang tadinya tenang, dan tersebab proses itu langsung berputar dengan cepat, yang tak lain adalah penyusunan buku sejarah energi dan pertambangan Indonesia.

Kisah yang melatarbelakanginya baru kemudian saya ketahui. Juga bahwa gagasan itu berasal dari Sdr. Subadi. Yang bagi saya juga baru, ia adalah mantan anggota angkatan bersenjata. Ia tergolong dalam banyak warga Indonesia yang melanggar garis penalty Presiden Suharto, sehingga, mau-tidak-mau, ia mesti disingkirkan. Itu aturan main pada zaman itu.

Kisahnya berawal di waktu ia berdinas sebagai seorang perwira muda ALRI. Jelas, ia mengawali karir dengan penuh idealisme untuk membela negara. Sebagai penerbang pesawat jet ia dididik oleh Royal Air Force Inggris. Dengan kenangan yang penuh tantangan itu, ia tentu tidak ingin jika hanya lenyap begitu saja dari pentas laga tanpa isyarat. Dengan menggandeng ahli sejarah dari Universitas Indonesia, Prof. R.Z. Leirissa, akhirnya ia berhasil menerbitkan buku Elang Rajawali, itulah buku sejarah Penerbangan Angkatan Laut. Anggaplah, niatnya itu terpenuhi. Sebagai seorang pengumpul pustaka, saya tidak sempat memiliki eksemplar buku itu, dan alasannya sangat sederhana, pada saat itu saya tidak cukup uang di saku, karena harganya beberapa ratus ribu rupiah dan itu tak terjangkau anggaran.

Subadi rupanya merasa, ia dalam pada itu memiliki kehidupan yang telah berubah karena beroleh tempat berlindung, yaitu Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Sebagaimana sudah saya singgung dalam Parwa Dua, Ali Sadikin adalah perwira tinggi ALRI yang berhasil dengan baik berkat sikapnya yang tegas dan penuh pertimbangan, sehingga membuat masa peralihan dari Bung Karno ke Suharto berlangsung mulus. Ternyata ada matarantai satu lagi, dan itulah Soetaryo Sigit, yang meninggal 25 Januari 2014. Ia-lah orangnya yang memungkinkan proses selanjutnya mantan perwira dari seorang yang semula berperkara, mendapatkan tempat yang selain bermanfaat bagi banyak, juga bermartabat. Saya mengetahui duduk perkaranya tepat waktu, karena tak lama lalu terkena stroke.

Ketika itulah, tanpa disengaja Subadi melintas buku Dari Revolusi ke Globalisasi. Buku itu terbit tanpa modal, selain modal susah-payah para mantan pegawai Jawatan Geologi dan Pertambangan. Hasil omong-omong di waktu pertemuan rutin bulan April 2003, dari gagasan itu muncul rencana nyata. Ada dua puluh orang langsung tanggap dan menyanggupi menulis. Hasil penantian selama beberapa bulan akhirnya berbuah bahwa jumlah yang terkumpul tinggal 12 naskah. Karena saya tangani sendiri (Purbo-Hadiwidjoyo, 2005) saya juga yang harus menuntaskan. Enam bulan lewat, dari jumlah 12 artikel yang siap, saya nilai sudah bagus karena mewakili semua segi kegiatan kami. Saya merasakan, itu anak tangga untuk naik ke peringkat lebih lanjut, penyuntingan. Satu demi satu artikel dapat diselesaikan, dan Sdr. A Machali Muchsin orangnya yang dengan susah-payah dan penuh pengorbanan akhirnya dapat merampungkan kopi siap-cetak. Buku terbit tahun 2006, tiga tahun setelah dimulai, dicetak serta diedarkan oleh Penerbit Muria, Patehan, Jeron Beteng, Kota Yogyakarta, milik Keluarga Kusfandi, yang juga seorang kemenakan. Kini, Agustus 2014, atau delapan tahun setelah terbit, dari 12 orang, enam di antaranya telah tiada. Dari sana yang dapat kita saksikan adalah kesentaraan kehadiran orang dan setelah itu lalu lenyap, dan yang tertinggal arti sesuatu. Boleh jadi, bahkan itu pun mungkin tidak bagi semua, karena sifat nisbi. Bagi Subadi, konon, sebagi matarai, itulah, prawacananya. Oleh sebab itu, Tim Buku Sejarah DESDM yang kemudian jadi KESDM akhirnya mampu menggapai hasil.

Saya kira ada manfaatnya menyajikan kilas balik proses penyusunan buku yang baru dibicarakan, tercakup cara yang ditempuh. Bayangkan, mempertemukan suatu kelompok dalam majelis dengan latar belakang berbeda-beda, minat berbeda-beda dan berharap memperoleh hasil nyata berbentuk buku. Padahal apa isi buku itu awalnya baru samar-samar diketahui. Ada yang perlu ditambahkan, ketiadaan pengalaman dan tradisi. Ternyata buku hasil kerja banyak-penulis itu tanpa anggaran itu bahkan dalam dua edisi, edisi I, 584 halaman dan edisi II, 794 halaman. Yang tergolong tuntutan bagi buku moderen adalah penjurus dan takarir yang semua itu tersedia.

Alhamdulillah. Gagasan yang semula hanya menggantung di awang-awang, akhirnya menjelma berupa buku, tidak hanya satu, bahkan dua! Inilah ceritanya. Dengan modal awal data dan informasi seperti dikemukakan di atas, dan bertolak dari kerangka awal yang disinggung tadi, maka awal naskah yang tebalnya kurang dari 200 halaman dapat ditulis. Saya tidak hadir selama lima minggu karena pergi berhaji. Begitu saya kembali, ada perubahan besar yang terjadi. Naskah awal mulai 'diobrak-abrik'. Itulah awal kesadaran para anggota Tim bahwa mereka memiliki 'kekuatan' yang dapat mereka gunakan untuk mewujudkan tugas, yaitu menulis bersama.

Dari perkara bahasa, kita beralih ke lagu kebangsaan kita, “Indonesia Raya”. Lagu yang digubah oleh anak kolong tetapi nasionalis, W.R. Soepratman itu sudah dibahas dalam Parwa Dua. Lagunya sangat sederhanya tetapi langsung menyentuh rasa kemilikan kita akan negeri kita bersama.Tidak mengherankan, begitu diperdengarkan dalam pertemuan puncak yang disebut Konggres Bangsa Indonesia, 28 Oktober 1928, semua yang hadir bersetujui. Tidak langsung pada saat di lagu itu dianggap sempurna. Baru setelah suasana mengizinkan.

Saya tidak mengerti mengerti musik. Yang saya 'tangkap' sebagai seorang awam dan pada waktu masih kanak-kanak saya merasakan tatanadanya kejawaan. Dengan bahasa Belanda plesetan, saya muziek-kaal, tidak tahu tentang musik. Seperti telah disebut dalam Parwa Dua, lagu itu disempurnakan oleh Jos Cleber, orang Belanda, atas perintah Bung Karno.

Lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan tidak berdiri sendiri, melainkan dalam kumpulan lagu yang pada kita dapat menimbulkan suasana yang khusus. Anggaplah, dapat menimbul pada kita rasa rindu.