Pada awalnya, orang membangun karena itu bagian dari perkembangan. Ternyata orang akhirnya juga sadar, sejalan dengan upaya itu, ada hal lain yang juga berubah, yaitu alam lingkungan ikut berubah. Sebagai seorang yang mengajar geologi terapan di ITB sejak 1960, dan kebetulan juga anggota Association of Engineering Geologists (Himpunan Geologiwan Teknik) yang berpusat di Amerika Serikat, sudah lama saya risau betapa pembangunan apa pun—apalagi jika besar-besaran—juga memiliki dampak terhadap alam yang ada di sekitarnya. Bagi saya, majalah terbitan AEG besar artinya, karena jadi sarana beroleh informasi dari dunia luar, dan yang tak kalah pentingnya, menumbuhkan gagasan baru. Maka niat untuk memulai dengah mata kuliah baru pun timbul, dan itu saya beri nama Geologi Tata-Lingkumgan. Istilah itu lalu saya padankan dengan Inggrisnya environmental geology. Yang tercakup di dalamnya selain masalah kebencanaan (yang boleh kiranya dilambangi dengan - ) juga sumberdaya (yang lambangnya + ). Perkuliahan GTL dimulai pada tahun kuliah 1970. Dalam pengembangan wilayah, peran geologi terapan jadi jelas, karena harus aktip dalam mnunjukkan bahaya yang berpeluang terjadi, dan sebaliknya kekayaan alam di daerah yang sama. Dari sana dapat dikenali alternatip yang ada. Itu sebabnya, saya menambahkan kata 'tata'.Tak lama kemudian, Bagian Geologi Teknik dan Hidrogeologi pada Direktorat Geologi yang sudah ada semenjak kita merdeka, menukar namanya jadi GTL. Maka istilah geologi tata-lingkungan pun makin mapan.

P ada tanggal 15-18 28 Mai 1972, Prof. Otto Sumarwoto dari Universitas Padjadjaran membuat sebuah pertemuan yang bertema Seminar Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional yang Berwawasan Lingkungan. Karena saya mendapat undangan, saya hadir dengan pokok yang saya kuliahkan, geologi tata-lingkungan. Saya sebelumnya sudah cukup mengenal Prof Sumarwoto, karena beliau sealma mater dengan isteri saya, sama-sama dari Fakultas Pertanian, UGM, tetapi isteri dari angkatan lebih muda.

Seminar itu jelas merupakan tonggak dalam kepedulian kita sebagai bangsa dalam menghadapi soalan lingkngan, Seminar yang pesertanya berasal dari bidang sangat beraneka itu membuahkan hasil yang sangat berarti. Selain kata dampak yang pada saat itu sudah dikenal, istilah yang baru terdengar dan langsung terterima adalah pencemaran sebagai padan kata Inggris pollution.

Umumnya, orang hanya mengenal satu kata itu, bahkan sampai sekarang. Bagi kita pada umumnya, kata 'polusi' dirasakan lebih 'dekat', sehingga yang setiap kali terlontar hanya kata itu, dan dijadikan entah kata apa saja. Padahal, dari kata pokok 'cemar' dapat diturunkan sederet kata jadian. Kita mulai pencemar, lalu menyusul pencemaran yang sudah disebut, cemaran, dicemari, tercemar, kalau mau 'cememar, dst. Rupanya masyarakat kita secara umum—bukan orang-seorang yang dapat berfikir bebas—belum sanggup untuk itu.

Dalam Seminar itu juga hadir. Prof. Dr. Emil Salim, ahli ekonomi dan Penasihat Presiden. Seminar ternyata tepat waktu. Dalam Pelita, projek sudah mempersyaratkan perlunya AMDAL, analisis mengenai dampak lingkungan yang ditopang berbagai 'ilmu baru', dan saya kira tidak perlu saya rinci di sini.

Ada lagi dokumen yang disebut feasibility report. Sejak awal, bahkan sampai sekarang kata itu terasa asing. Tidak mengherankan, dalam bahasa Indonesia istilah untuk itu 'laporan kelayakan'. Padahal kata layak sebenarnya tidak tepat untuk digunakan di sini. Kita memang perlu kembali ke ranah bahasa. Dalam pembangunan, projek tidak hanya harus feasible, juga workable, intangible, dari segi keteknikan dan sesuai dengan tuntutan dari segi alam lingkungan.justifiable. Kata layak sudah dibebani makna lain, misalnya layak terbang dan uji kelayakan dan kepatutan.

Kita dapat memperdebatkan semua itu. Saya masih berupaya meyakinkan orang bahwa ada kata lain yang dapat kita gunakan, misalnya tanggar untuk feasible. Rupanya, upaya itu sia-sia belaka. Orang hanya perlu 'bunyi'.

Bagi saya, perkara penetapan Kurikulum 2013 tidak berbeda. Kurikulum yang penyusunannya seperti terburu-buru itu memang menghadapi banyak tentangan.Para guru yang harus mengajarkan bahasa sudah menyuarakan ketidaksanggupan mereka. Keluhan mereka dengan penataran selama lima hari, mereka merasa belum mampu menerapkan kurikulum baru itu. Yang sejak awal terang-terangan tidak akan mereapkan kurikulum baru adalah sekolah Katolik.Yang mengherankan, kita saksikan setelah begitu banyak pertemuan entah apa namanya, terbetik berita, Kurikulum 2013 akhirnya memang tidak jadi diterapkan

Selama Pelita, bertahun-tahun saya berkesmpatan berkeliling di banyak daerah. Selama itu, saya menyaksikan sendiri, betapa tidak sedikit projek yang gagal, bahkan sebelum diresmikan. Boleh saja kita beradu argumen, tetapi pada hemat saya, pembangunan projek belum dapat membuat upaya itu jadi tradisi kita. Secara pribadi saya—lebih-lebih sebagai pengajar—yang saya peroleh justru berupa aneka masukan, termasuk yang disebut feasibility report yang ternyata hanya akal-akalan.

Kita kembali ke upaya pemerintah memperlengkap Pembangunan dengan matra baru: lingkungan hidup. Dengan pertimbangan itu, sejak Kabinet Pembangunan III, 1979-1984 untuk pertama kalinya di dalamnya soalan lingkungan hidup diberi wadah berupa Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Emil Salim ditunjuk sebagai orang pertama yang menduduki jabatan menteri. Kantor Menteri KLH terletak di Jalan Mereka Barat. Sebagai seorang yang berumah di Bandung dan sehari-harinya entah dalam kaitan apa berhubungan dengan soalan lingkungan hidup, ada saatnya langkah saya—benar-benar menuju ke Merdeka Barat dari Stasion Gambir dan kembali setelah berapat—sebab itu cara yang paling 'pas' pada saat itu.

Soalan lingkungan hidup makin nendunia. Akhinya PBB pun melibatkan diri, dan terwujud untuk pertama kali dalam bentuk Rio summit, Pertemuan Puncak Rio di Jandiro di tahun 1992.Yang menyusul kemudian, 1997 yang disebut Kyoto Protocol, Semua itu merupakan awal keterlibatan PBB, dan setelah itu peretemuan berlangsung secara teratur dan setiap kali berganti-ganti tempat. Pada tahun 2007 pertemuan di Bali, Indonesia. Kini, masalah pelepasan gas rumah kaca, perubahan iklim dan sejenis mendapat perhatian semua pemerintah di dunia.