Apa itu yang disebut sebab, dan apa pula yang dinamai akibat? Sebagai pelajar sekolah menengah pertama ketika itu—tahun 1938-an—saya sudah mengenal yang disebut Hukum Sebab-Akibat, tentu saja dalam bahasa Belanda, Wet van oorzaak en gevolg. Juga lewat pelajaran natuurkende (Indonesia, dulu ilmu alam, sekarang fisika) saya tahu, Hukum Newton pada hakikatnya ya itu-itu juga, dan tetap saja saya belum 'mudeng', dan—terus terang—belum atau lebih baik tidak memiliki gambaran apa itu sebenarnya dan apa contohnya? Tidak hanya sebatas itu, kita harus menyadarkan diri adanya tautan yang lebih jauh, tidak hanya secara bendawi, melainkan juga melibatkan selain rasa, jiwa dan juga raga.

Jalan untuk memahami hingga saya akhirnya dapat memiliki gambaran jelas adalah terjadinya Perang Dunia II. Meletusnya perang besar itu tak dapat dipisahkan dengan ketidakadilan yang tersebab Perjanjian Versailles. Resminya, perjanjian itu, yang ditandatangani tepat pada tanggal 11 Nopember 1918 pukul 11 pagi oleh para para pemenang perang—Sekutu—dan Jerman yang kalah, memang mengakhiri PD I dan perdamaian tiba. Tetapi Jerman sebagai pihak yang kalah merasa sangat dirugikan dan terhina. Oleh sebab itu, tidak selang lama, rasa dendam mulai mengemuka. Perlakuan tidak adil mulai menggejala dan tokoh penggerak yang ada di belakangnya adalah Adolf Hitler.

Hitler bukan seorang terajar, bukan militer, bukan pula bangsawan, dan bukan orang Jerman. Ia seoranng Austria dari dusun Grunau di dekat perbatasan dengan Jerman, bujangan tukang labur tembok. Wahana yang ia gunakan bernama National-Sozialistische Partei, disingkat Nazi dengan lambang Hakenkreuz (palang-siku), yang asalnya dari India, swastika, tetapi dengan arah siku bertolak belakang. 'Injilnya' adalah buku karangannya berjudul “Mein Kampf “, “Perjuanganku”. Yang tak terpisahkan adalah tampilannya sebagai seorang berkumis khas, seukuran lebar hidung dengan rambut tersisir ke kiri.

Sejak di HIS, saya sudah membaca banyak tentang Jerman dan Hitler. Perkembangan Jerman di berbagai bidang terus saya ikuti, termasuk ketika Jerman membantu Jenderal Francisco Franco di Sepanyol yang mengangkat senjata terhadap pemerintah yang berhaluan kiri. Boleh jadi, karena Hitler mengejawantahkan seorang yang berani melawan kekuatan besar, yaitu Amerika-Inggris. Sebagai anak yang pandangannya masih terbatas, saya sangat kagum akan gerak-gerik Hitler, dan membandingkannya dengan lingkungan saya yang penuh diskriminasi.

Sejak di awal MULO, saya dekat dengan Soeharinto Mangoenkoesoemo, kemenakan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo. Itu dari pihak ayah, dan dari pihak ibu, ia kemenakan pelukis kondang Basoeki Abdoellah, saudara dokter Wahidin Soedirohoesodo yang makam keluarganya di Mlaten di utara Kota Yogyakarta. Keakraban saya selama tiga tahun itu berpengaruh besar besar pada diri saya. Yang terpenting, sifatnya rajin membaca dan memberi saya kesempatan ikut menikmati bacaannya. Di antara buku yang menarik adalah terjemahan bahasa Belanda karangan Erich Maria Remarque, “Geen nieuws van het westelijk front” (Judul aslinya “Im Westen nichts Neues”) dan buku karangan Sven Hedin tentang berakhirnya PD I. Betapa Jerman ketika itu dihina karena kalah dalam perang, dan martabat bangsa Jerman seperti diinjak-injak. Dalam waktu singkat Jerman bangkit kembali. Benar-benar mengagumkan.

Yang sangat nyata, Jerman berupaya keras tampil lagi di pentas dunia. Pada tahun 1936 di Berlin berlangsung pesta Olimpiade untuk menunjukkan keperkasaan di bidang olah raga kepada dunia. Peristiwa itu juga digunakan Hitler sebagai alat propaganda. Film Olimpiade itu yang disuteradarai Leny Riefenstahl beredar di sini dan saya sempat menontonnya di Bioskop Alhambra di Magelang dan menikmatinya.

Akhirnya Hitler tidak hanya berbicara, tetapi benar-benar melangkah maju untuk mewujudkan impiannya berupa Jerman Raya.Yang Hitler jadikan sebagai sasaran awal adalah negara tetangga yang juga berbahasa Jerman, Republik Austria yang di-anschluss, digabungkan [dengan Jerman]. Setelah itu menyusul negeri Sudeten yang berbahasa Jerman tetapi masuk negara Tsecho-Slovakia. Giliran selanjutnya adalah Polandia yang penduduknya campuran Jerman dan Polanda. Dalam pada itu, Hitler membuat perjanjian tidak saling-serang dengan Uni Soviet, negara tetangga di timurnya, negara komunis yang ideologinya bertolak belakang dengan Jerman. Karena melihat tindakan yang dilakukan Jerman, Uni Sovyet ikut-ikutan mencaplok negera kecil-kecil tetangganya di tepi Laut Baltik.

Dengan gerak yang disebut Blitzkrieg, perang kilat, Jerman menduduki negara Belanda dan Belgia dan masuk ke Perancis dengan menghindari rangkaian perbentengan pertahanan Perancis Maginot. Setelah Italia bergabung dengan Jerman, terbentuklah Poros Roma-Berlin yang merupakan kubu militer sangat kuat di Eropa. Akhirnya, Jerman mencoba 'menelan' Uni Soviet, langkah yang jelas tidak mungkin. Seperti pernah terjadi sebelumnya oleh Napoleon dan mengalami kegagalan, Hitler juga demikian. Maka sejarah pun berulang, tetapi yang terjadi selanjutnya sangat berbeda. Bagi saya itu semua memberikan gambaran tentang Hukum Sebab-Akibat. Tidak hanya sebatas itu, karena Hitler kebablasan, melewati batas.Yang tidak ada kelanjutannya ternyata adalah hubungan saya dengan Soeharinto Mangoenkoesoemo. Saya kehilangan jejaknya, seorang sahabat yang bagi saya besar artinya dalam pembentukan pribadi saya. Lewat perbincangan, saya mengenal tokoh pemikir seperti Kant dan Nietzsche dan selain itu dapat menangkap arti tinggalan budaya seperti keris.

Bagi banyak pihak—boleh dikatakan bahkan bagi dunia—bulan Agustus 1945 adalah saat yang sangat menentukan. Di Eropa, Jerman yang bergabung dengan Italia benar-benar terdesak dan tidak ada lagi jalan keluar, kecuali mundur. Dalam keadaan seperti itu, Uni Soviet yang telah bergabung dengan Sekutu, bersiap-siap untuk tampil sebagai negara adidaya. Negara itu tidak hanya berniat berbagi hasil perang, tetapi juga bersiap berebut pengaruh, tidak hanya di Eropa, bahkan di seluruh dunia. Dua negara adikuasa berbeda ideologi itu—satu kapitalis dan yang satu lagi komunis—yang tadinya dipersatukan karena menghadapi musuh bersama, tiba-tiba menemukan kenyataan baru.Tak lain adalah perlombaan di segala bidang pun segera dimulai. Pihak pemenang tak hanya berupaya menguasai daerah, juga mencoba menyebarkan pengaruh. Amerika yang teknologinya maju, segera menoba dengan caranya sendiri, tetapi Uni Soviet juga tidak mau kalah gesit. Maka akhir PD II pun jadi awal Perang Dingin,yang berlangsung selama lebih dari setengah abad. Jerman yang sebelum PD II adalah sebuah negara besar di daratan Eropa terpecah jadi dua, termasuk ibukotanya Berlin. Bersatunya Jerman diawali dengan runtuhnya batas bendawi yang disebut Tembok Berlin.

Akhirnya, terlaksana juga, Negara Jerman jadi satu lagi, tetapi Berlin tidak serta-merta jadi ibukota negara. Rupanya proses penyatuan kembali juga tidak mudah, karena ada banyak akibat sampingan yang timbul, dan itu terasa sampai sekarang. Seorang yang terlibat sejak awal dalam upaya untuk meruntuhkan tembok Berlin adalah Angela Merkel, yang saat itu masih mahasiswi. Kini ia adalah Perdana Menteri Jerman dan sudah jadi profesor fisika. Sikap tegasnya membuat Jerman mampu menyelesaikan banyak masalah yang menghadang negaranya sebagai anggota Uni Eropa. Krisis keuangan dunia yang menyeret Uni Eropa jadi berlarut-larut, karena asas yang ia yakini, yaitu bahwa semua pihak harus bekerja, tidak bersambut. Masih ada pihak yang hendak hidup berenak-enak seperti sebelumnya. Masalah yang tetap menghantui Jerman adalah masa lampaunya, zaman ketika Jerman dipimpin Adolf Hitler. Itu yang membuat orang trauma. Meskipun jelas Merkel yang nama aslinya Angela Kasner; Merkel adalah suami pertamanya, rekannya ketika ia mahasiswa, dan perkawinan itu hanya bertahan beberapa tahun. Angela Merkel bukan penganut Nazi. Ia seorang ilmuwan, profesor bidang fisika yang biasa bernalar rasional dan pekerja keras, seperti layaknya orang Jerman. Sebagai seorang pemimpin Jerman, ia juga tidak dapat terhindar dipandang oleh sementara penentangnya—tanpa bernalar panjang—bahwa ia pun 'Hitler'. Sikap teguhnya telah membuktikan ia dapat membawa Jerman yang warganya kini—sama dengan banyak negara yang lain—beragam, juga dalam hal iman agamanya, dalam perjalanan menuju ke jatidiri baru Jerman. Pangkalnya, selain berdemokrasi yang dalam sejarah Jerman tidak dikenal, juga krisis ekonomi-keuangan.

Perang Dingin itu ada juga yang bertautan dengan kita, wujudnya tokoh komunis tua Indonesia Muso. Ia tak terpisahkan dengan pemberontakan komunis tahun 1926. Muso menyingkir ke Uni Sovyet pasca-huru-hara komunis tahun 1926. Dalam hubungan dengan terjadinya perubahan tatanan dunia baru itu, ia tergerak untuk meramaikan pentas politik di tanah air. Seperti dilihat di sini, saat itu kita sedang ramai-ramainya menghadapi musuh bersama, yaitu Belanda, dan golongan kiri di tanah air juga mencoba ikut-ikut bisa memperoleh keuntungan. Seperti akan kita lihat, puncaknya dikenal sebagai peristiwa atau pemberontakan PKI Madiun 1948. Di Jawa daerah yang belum diduduki Belanda tinggal daerah pedalaman.

Pada saat itu saya adalah mahasiswa Sekolah Pertambangan-Geologi Tinggi, dan kebetulan sedang menuju Yogya, setelah praktek lapangan di Pohgajih di selatan Blitar, sekarang tempat Bendungan Karangkates. Ketika hendak pulang ke Yogya, kami tercegat huru-hara Madiun. Terpaksa kami lalu menenpuh jalan memutar lewat Lamongan dan membelok ke barat menuju ke Cepu. Keretapi dari sana tidak lagi berjalan, dan keesok-harinya kami berjalan kaki melewati rel menuju Randublatung, singgah bermalam di rumah Pak Lurah. Baru pagi hari berikutnya rombongan kami sebanyak 17 orang mahasiswa disertai para pendamping menuju ke Walikukun, berjalan kaki menembus hutan. Kami sangat beruntung, karena menjelang sore itu ada kereta yang akan kembali ke Solo, setelah membawa prajurit Siliwangi yang akan menghela kaum pemberontak. Setiba di Solo kami masih sempat mendengar seruan Bung Karno lewat Radio Yogya, yang intinya 'Pilih siapa Soekarno-Hatta atau Amir-Muso.' Maka petualangan Muso pun berakhirlah, tepat menjelang serbuan Belanda yang dikenal dengan sebutan Clash I.

Yang tertera selanjutnya adalah sekerat kisah di babak akhir Perang Dunia. Kita di Indonesia, pada

saat itu mengalami apa yang mungkin dapat kita sebut 'Masa Tidak Tahu'. Saya masih ingat, pada saat-saat itu. yang tampak di sekitar saya semua tenang-tenang saja. Siaran berita resmi lewat Hoso Kyoku, kantor penyiaran radio terus menyiarkan berita seolah-olah Nippon menang pada setiap pertempuran. Padahal Jepang sudah menyatakan kalah, setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom. Bom pertama meledak pada tanggal 6 Agustus 1945 di Hiroshima dan yang kedua pada 9 Agustus, tiga hari kemudian di Kota Nagasaki. Itulah untuk pertama kali dalam sejarah dijatuhkan bom yang memiliki daya perusak sangat hebat, tiada tandingannya.

Dalam keadaan gawat itu, Bung Karno, Bung Hatta dan dokter R.M. Radjiman Wedyodiningrat meninggalkan Indonesia. Dengan pesawat terbang, mereka menuju ke Dalat di Indocina—kini Viet Nam Selatan—untuk bertemu dengan Jenderal Terauchi, Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara. Bertiga, mereka adalah hasil awal pendidikan Belanda di bidangnya masing-masing. Dalam makna lain, itu pun semacam hasil awal pencerapan orang pribumi akan makna bangsa.

Pada minggu kedua bulan Agustus 1945 itu, mereka dari 'gerakan bawah tanah' sudah tahu Jepang telah terdesak, dan hanya soal waktu mereka akan takluk. Demikian pula pimpinan teras Jepang. Tetapi rakyat pada umumnya tidak tahu akan hal itu. Bahkan orang yang sangat terkemuka di Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta pun tidak tahu. Ini disebabkan karena gelombang rado tertentu 'tertutup', istilah ketika itu disegel, memang gelombang itu tidak dapat dijangkau karena dilak dan itu dilakukan dengan membawa pesawat radio yang dimiliki orang ke kantor kecamatan dan di sana kemudian ditutup. Barangsiapa berani membuka segel dan katahuan ihak penguasa, jangan bertanya apa akibatnya. Di sini kita lihat, betapa ada kekuatan yang juga dapat 'dimainkan', ancaman.

Akhirnya, berita bahwa bom atom telah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki diketahui umum, dan Jepang telah menyerah. Bagi banyak orang, itu adalah berita yang tidak masuk akal. Saya pribadi sebagai seorang lulusan sekolah menengah atas, hanya bertanya-tanya, apakah sebenarnya yang disebut bom atom? Saat itu, saya mencoba-coba mamahami reaksi kimia yang terjadi, tetapi yang terjadi bukan reaksi kimia, melainkan reaksi atom, yang belum diajarkan di sekolah.

Seperti sudah diuraikan di atas, yang disebut 'Republik Indonesia' tidak serta-merta jadi kenyataan, karena ada proses panjang dan baru pada 17 Agustus 1945 dengan disaksikan kerumunan orang, pada tanggal yang bersejarah itu, Repoeblik Indonesia diproklamasikan oleh Dwitunggal Soekarno-Hatta. Tidak dapat disangkal dan tidak pula dapat diingkari bahwa kedua tokoh itu adalah lambang itu mengejawantahkan isyarat akan perlunya ada keseimbangan: Bung Karno memang orang kuat, tetapi unsur khayalnya terlalu kuat padanya, sehingga perlu ada imbangan, dan bentuknya kehadiran pribadi Bung Hatta dengan pandangan hidup yang didasarkan pada semua yang nyata.

Masih banyak yang perlu diselesaikan, karena yang disebut Bangunan Republik Indonesia selain belum utuh, pondasinya bahkan belum ada. Pendudukan Jepang selama tiga-setengah tahun dapat diibaratkan peluang untuk mengokohkan landasan itu, sebelum secara resmi kita dapat menyebut diri Bangsa Indonesia—rakyat penghuni Nusantara—adalah berdaulat.

Setiap upaya memiliki tujuan, bahkan perkumpulan atau perhimpunan apa pun ada yang disebut anggaran dasar, apalagi suatu negara. Nama negara itu boleh saja sudah ada di kepala mereka yang sejak tahun 1928 berketetapan hati untuk mendirikannnya. Maka ketika Jepang datang di Indonesia, dengan sendirinya mereka melihat-lihat akan peluang untuk mewujudkan impian itu, mendirikan negara merdeka.

Keadaan kita berbeda samasekali dengan bangsa Jepang. Mereka juga penghuni kepulauan. Negeri Matahari Terbit, Nippon. Sebagai negara yang selamanya merdeka, mereka ada dalam keterbatasan sumber daya. Itulah yang mendorong mereka untuk meluaskan wilayah kekuasaannya. Maka dari itu, mereka mulai dengan menduduki pulau yang ada di selatan negerinya dan penduduk aslinya seketurunan dengan penduduk Nusantara. Cina lebih dulu datang di sana karena jarak yang lebih dekat, dan akhirnya mendesak penduduk asli yang jadi minoritas, bagian kecil dan ditemukan hanya di pedalaman.

Jepang tidak berhenti di sana, tetapi meluaskan wilayah ke daratan Asia, mula-mula menduduki Semenanjung Korea, dan setelah itu Mansyuria dan bahkan bagian dari wilayah Cina. Dengan demikian, wilayah kekuasaan Jepang jadi sangat luas. Di satu pihak ada keuntungan, tetapi di pihak lain mengurusi daerah yang luas menimbulkan banyak masalah. Ini terbukti ketika Jepang kalah perang, semuanya itu langsung ditinggalkan.

Dengan berakhirnya Perang Dunia II, dunia termasuk Jepang, memasuki zaman baru. yang mau-tidak-mau, harus mengubah dirinya sendiri. Pemicu untuk itu ternyata Sang Pemenang yang dalam ini diejawantahahkan oleh Panglima Pendudukan, Jenderal Douglas MacArthur (1880-1964), yang ayahnya juga jenderal. Berbeda dengan banyak panglima yang lain. Douglas MacAthur telah memperlakukan Jepang dengan penuh pengertian. Kaisar Hirohito yang tadinya dipuja-puja bagai keturunan dewa jadi orang biasa dan bangsa Jepang yang kalah perang tidak merasa dihina karena diperlakukan dengan baik. Berkat perlakuan itu, Jepang yang porak-poranda dalam waktu singkat dapat mengatasi semua kesulitan, dapat diibaratkan seperti lahir kembali, dan yang sangat penting artinya, mencoba menerapkan hidup berdemokrasi. Mereka jelas berterima kasih, sampai-sampai, konon, ada orang Jepang yang mau mengambil Jenderal MacArthur sebagai menantu. Itulah yang dirumuskan Sosrokartono dalam kalimat 'Menang tanpa ngasorake', Menang tanpa merendahkan musuh [yang telah menyerah kalah].