Pada awal abad ke-20 terjadi kejutan besar dalam perpolitikan dunia. Tanpa dinyana, perselisihan antara Kekaisaran Jepang dengan Kekaisaran Rusia berakhir dengan pertempuran laut di Selat Tsushima dan armada Rusia.hancur, serta pangkalan Rusia di Port Arthur diduduki Jepang. Itu adalah kemenangan yang membuat Jepang sebagai negara Asia yang mampu bertanding dengan Rusia negara Eropa. Dampaknya ternyata sangat luas dan di mana-mana, termasuk di Hindia Belanda. Saya selalu teringat akan zaman kecil di SD, ketika Ayah dengan bersemangat memuji Admiral (Laksamana) Heihachiro Togo, pahlawan Jepang dengan kemenangannya atas armada Rusia.

Angkatan Perang Jepang tidak mungkin secara tiba-tiba jadi perkasa. Keperkasaan itu adalah hasil penggemblengan yang berawal dengan pembangunan bangsa Jepang oleh Kaisar Meiji yang lalu mendorong bangsa Jepang menyadari betapa harga diri sangat besar artinya. Dari sanalah semua berawal.

Sejak sebelum abad ke-19, sejumlah bangsa Barat tampil di cakrawala Asia. Mereka adalah bangsa yang datang dari negeri yang jauh dengan cara berlayar. Dengan upaya dan usahanya, hasil yang mereka peroleh berupa kekayaan dan tanah jajahan.

Di antara sejumlah negara Barat, Negeri Belanda kecil saja, Orang Belanda jadi pelayar karena mereka berdagang, bermula dengan menjajakan mataniaga hasil bumi dari negeri kepulauan ini, Nusantara. Karena berlayar dan berdagang itu jadi tradisi bangsa, Belanda tidak hanya memiliki hubung an kesejarahan yang sangat mendalam dengan Nusantara, dengan Jepang pun demikian, seraya mendatangkan kemanfaatan bagi kedua pihak. Penjajahan Belanda atas Nusantara berakhir dengan melepaskan negeri ini sebagai Bangsa dan Negara Indonesia, dan bahasa pemersatu bagi suku yang berjumlah lebih 200 itu, dipersiapkan oleh warga Belanda, bahasa yang kini dikenal dengan nama Bahasa Indonesia.

Tetangga Belanda adalah Jerman. Bangsa Jerman berbeda. Selama berabad-abad mereka tidak tampil dalam pentas dunia, karena bangsa dan negara Jerman belum ada. Yang mula-mula muncul adalah yang disebut Hochdeutsch, bahasa Jerman Tinggi, tiga abad sebelum ada Negara Jerman. Adalah Martin Luther (1483-1546) orangnya, pelaku dan sekaligus pelakonnya. Sebagai pemuda, ia semula memilih jadi rohaniwan Katolik. Dalam perjalanan hidup selanjutnya, ia berjumpa dalam agama itu dengan banyak perkara yang menurut pendapatnya tidak benar, sehingga keyakinannya berubah. Tindakannya berbuntut panjang karena ia kemudian membentuk gereja Kristen Protestan. Peristiwa itu memunculkan anggitan yang diberi baju bernama 'reformasi'. Pada gilirannya, ini ternyata tak dapat dipisahkan dengan apa yang kemudian ia lakukan, yaitu menerjemahkan kitab suci Injil ke dalam bahasa Jerman, bahasa yang ketika itu resminya belum ada.Yang ada adalah logat daerah dan itulah yang Luther gunakan sehingga muncul bahasa Jerman seperti sudah disinggung di atas.

Sampai akhirnya muncul Otto von Bismarck (1815-1895), seorang bangsawan Prusia yang tampil sebagai Kanzler, perdana menteri. Inilah orang yang mendapat julukan 'perdana menteri besi', der eiserne Kanzler, dan kemudian mampu meyatukan bangsa Jerman dalam satu negara. Tetapi jangan bertanya ada berapa puluh ribu orang gugur, jadi korban pada setiap kali Prusia berperang melawan negara lain. Maka, akhirnya berdirilah Negara Jerman, dengan Wilhelm I dari Prusia diangkat jadi Kaisar Wilhelm I dari Jerman.

Bahasa Jerman yang didapuk Luther akhirnya dijadikan sarana dalam upacara gereja, menggeser bahasa Latin yang semula tak terpisahkan dengan upacara gereja Katolik.Tidak hanya sebatas itu, karena bahasa Jerman lalu digunakan oleh kalangan yang lebih luas, termasuk mereka dari bidang ilmu. Dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Jerman digunakan secara meluas oleh sejumlah bangsa yang merasa berasal dari 'pohon yang sama', dan oleh bangsa yang bertetangga. Maka tiba masa jaya bagi bahasa dan budaya Jerman. Pada gilirannya, bahasa Jerman dijadikan acuan dunia, termasuk di dalamnya bangsa Jepang yang jadi murid Jerman dalam banyak hal, tidak hanya dalam ilmu gempa dan ilmu kegunungapian seperti yang bisa disaksikan sekarang; bahkan melodi lagu kebangsaan Jepang Kimigayo berasal dari orang Jerman, Franz Eckert (1893).

Sebelum PD II, barang yang bertuliskan Made in Germany dianggap orang sebagai jaminan mutu. Nama seperti Carl Schlieper, Krupp, Zeiss, Leica bergaung selama puluhan tahun. Saya masih ingat aneka pisau dari pisau dapur, pisau kantor hingga pisau cukur dan gunting buatan Schlieper sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari. Nama Krupp tampak sebagai merek berbagai mesin, dari yang kecil hingga lokomotip dan mesin pabrik. Nama Zeiss dikenal dari berbagai jenis lensa, besar dan kecil hingga ke lensa yang terpasang pada alat potret Leica dan teropong bintang di Lembang.

Pada akhir abad ke-19, kejayaan Jerman di wilayah Lautan Teduh berada di puncak. Ketika itu, Jerman diperintah Kaisar Wilhelm II, dan menguasai selain bagian timurlaut Pulau Papua juga Kepulauan Bismarck (sejak 1884, dan nama itu berasal dari Perdana Menteri Bisnarck) demikian juga sejumlah pulau kecil di Samudera Pasifik. Kaisar Wilhelm II orangnya sangat ambisius, dan tentu saja tidak membiarkan ada orang kuat seperi Von Bismarck di sampingnya.

Kaisar Wilhelm II-lah yang menceburkan Jerman ke dalam Perang Dunia I, 1914-1918, dan Jerman kalah. Sebagai akibatnya, yang jelas negara itu dipaksa melepaskan semua jajahannya, dan dengan sendirinya juga yang ada di wilayah Pasifik. Jepang yang tidak ikut berperang diuntungkan, dan mendapatkan 'titipan' kepulaua yang semula dikuasai Jerman. Itulah titik awal pijakan Jepang di luar wilayah negerinya.

Sejak Negeri Belanda diduduki Jerman pada 10 Mai 1938, umumnya orang di Hindia Belada sudah merasa, hanya soal waktu negeri ini akan terseret ke dalam peperangan. Berbagai persiapan sudah mengarah ke keadaan darurat seperti kemunculan badan yang disebut Luchtbeschermingsdienst, LBD, Dinas Perlindungan Bahaya Udara. Seperti yang saya alami di Jawa Tengah, bukan orang Jawa jika LBD tidak diplesetkan dan jadi Londo Bingung Dewe, Belanda Bingung Sendiri. Dan juga bukan Jawa pula, jika kritik itu kemudian tidak diplesetkan lebih lanjut jadi kritik-diri, Luwih Binggung Djawane, Orang Jawa bahkan lebih bingung.

Pada waktu itu saya ada di Magelang, dan di sana ada orang yang namaya Ibrahim. Pak Ibrahim yang setengah baya itu jadi sangat terkenal itu, karena setiap hari mengendarai sepeda Raleigh-nya berlenggang-lenggok sambil berdendang, 'Podho inthil-inthilan', (Berduyun-duyun.. .. ..') dan pada kesempatan lain yang ditembangkan berganti, 'Montor mabur, mabur duwur-duwur', Pesawat terbang, Terbang tinggi-tinggi). Agar diketahui, lorong di dalam kampung di Magelang ketika itu semua beraspal. Orang umumnya hanya tersenyum dan menganggap Pak Brahim sedikit 'miring'. Rupa-rupanya, itulah cara Pak Brahim mengingatkan orang akan tibanya peperangan dan orang berduyun-duyun mengungsi tanpa tahu arah-tujuan, dan di ketinggian menderu pesawat terbang. Baru pada kunjungan saya di Magelang di awal 2013 saya bertemu dengan seorang tua, Prihatin, kelahiran tahun 1934, jadi juga mengalami zaman Perang. Dengan saya, ia sembilan tahun lebih muda. Ketika menyiksikan Pak Brahim bersepeda berkeliling kota saya sudah di MULO, dan ia masih kanak-kanak, Nama Prihatin jelas tidak dapat dipisahkan dengan zaman serba-kekurangan, ketika dunia dilanda malaise, seperti diuraikan dalam Parwa Satu.

Pak Prijatin mengatakan bahwa Pak Ibrahim berakhir dengan bunuh diri. Baginya terlalu berat 'menangkap berbagai isyarat' dengan indera yang ia miliki, tetapi orang lain tidak.Rupanya, bagi Pak Brahim, semua yang 'ditangkapnya' dirasakannya sebagai sesuatu yang sangat berat dan tidak menghadapinya, karena dia sendiri tidak tahu artinya. Entahlah.

Menjelang Perang itulah orang menyaksikan menara sirene mulai didirikan di sejumlah tempat di setiap kota. Di kota tertentu bahkan sampai beberapa waktu yang lalu sirene masih ada. Rencana semula, sirene meraung-raung hanya pada saat ada bahaya serangan udara. Seusai perang, barang yang sama itu berguna pada saat imsak (menjelang orang mulai berpuasa), dan sebagai tanda untuk berbuka.

Ada hal lain dari zaman itu yang masih teringat. Ketika itu, keluarga yang mampu menhadapi perang yang sudah ambang pintu itu membangun ruang perlindungan bawah-tanah, ada bahkan yang melengkapinya dengan segala yang diperlukan untuk keadaan darurat, dari persediaan makanan dan minuman hingga kamar mandi dan WC.

Akhirnya, Perang Pasifik pecah pada 7 Desember 1941—atau 8 Desember di sini—ketika Angkatan Udara Jepang menghujani dengan bom Pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour, Pulau Hawaii. Itu adalah awal perubahan besar tatanan dunia, tidak hanya di Asia—termasuk Indonesia—bahkan di mana-mana. Yang pecah juga mitos yang mengatakan bahwa orang yang maju ke medan perang tidak selalu harus gugur, tetapi penerbang Jepang yang menerbangkan pesawat sudah tahu itu ber-jibaku, ia pasti mati. Yang juga mitos adalah penilaian Barat yang menganggap pilot Jepang secara jasmani berbeda sama sekali dengan orang Barat sehingga tidak layak untuk menerbangkan pesawat, ditambah lagi karena orang Jepang umumnya cadok, Dalam jangka waktu satu bulan Angkatan Perang Kekaisaran Jepang sudah di pintu Hindia Belanda. Untuk melakukan gerakan seperti itu, Jepang pasti telah lama mempersiapkan diri.

Saya masih ingat keadaan kita pada zaman sebelum perang. Ketika itu, tidak hanya di kota besar dapat ditemukan toko Jepang, di banyak kota keresidenan dan bahkan ada kota kabupaten yang memiliki toko Jepang. Namanya ada yang Jepang seperti Kaneko, Ono, dan Fuji,, ada yang menggunakan kata Belanda seperti De Zon, matahari, atau kata Indonesia itu yang langsung jadi nama toko. Matahari adalah lambang negara Jepang), dan Fuji yang juga ada hubungannya dengan segi budaya Jepang, gunungapi di dekat Tokyo, gunung tertinggi di sana dengan puncak bersalju dan juga dianggap suci. Zaman itu, Toko Fuji menjajakan es krim terkenal dan murah. Lalu Toko Saerah, singkatan kata 'sae' dan 'mirah' atau 'murah'. Toko Jepang terkenal karena barang yang mereka jual murah.

Ada lagi orang Jepang yang bekerjanya memotret. Mengapa harus dicurigai, 'kan orang dapat saja membuat kartupos bergambar seperti yang banyak dijual? Ternyata orang Jepang yang bekerja di sini pada waktu sebelum perang, tidak hanya yang suka memotret, adalah mata-mata. Ketika Jepang menyerbu Indonesia mereka kembali, menyertai pasukan Jepang dan berperan di antaranya sebagai penerjemah.

Perang merebut Hindia Belanda akhirnya juga berputar di sekitar Jawa. Dari segi strategi tampak bahwa Jawa adalah pusat negeri ini dan Batavia (sekarang Jakarta) adalah tempat yang Belanda gunakan untuk mengendalikannya. Upaya Jepang merebut Hindia Belanda tampak bahwa strategi mereka itu berupa gerakan menjepit lawan.

Kerena Belanda yang mempermaklumkan perang, sudah dapat diduga bahwa kekuatan perang Belanda akan bergabung dengan kekuatan Sekutu. Ini berarti, Belanda bergabung dengan Inggris yang berpangkalan di Singapura. Dalam gerakan ke Shonan, Daerah Selatan, pasukan Jepang ternyata tidak menyerang langsung Singapura, bahasa Jepangnya Shonanto, Pintu Daerah Selatan. Alih-alih menyerang Singapura, Jepang masuk lewat pintu belakang, Semenanjung Melayu.

Strategi Angkatan Perang Jepang dalam merebut Hindia Belanda sudah mereka pikirkan matang-matang. Pasukan pendarat dibagi dua, yang terbesar ditujukan ke bagian timur Jawa dengan Davao, Pilipina sebagai titik singgah, dan untuk daerah barat kekuatan menggunakan Teluk Camrah, Viet Nam untuk tujuan serupa. Bisa dibayangkan kecepatan gerak mereka: pada 7 Desember 1941 Pearl Harbour baru diserang, pada 8 Desember mereka sudah mendarat di pantai timur Semenanjung Melayu. Pasukan yang singgah di Davao mencapai Tarakan di Kalimantan Timur dan Manado di Sulawesi Utara pada 11 Januari 1942.

Dalam upaya merebut Jawa, Jepang terlebih dulu melumpuhkan armada Sekutu yang ada di Laut Jawa,yang merupakan kekuatan laut terbesar pada zaman itu, dengan hadirnya sejumlah besar kapal perang beraneka jenis, ukuran, dan kesanggupan. Di dalamnya ada kapal Amerika Serikat, Inggris. Belanda, dan Australia, Ternyata, ada yang perlu diperhitungkan dalam pertempuran besar di Laut Jawa ketika itu, pertanggungjawaban, dan ini tidak lain adalah harga diri sebagai perjurit. Ini baru diketahui, jika semua sudah jadi masa lampau. Itulah sebabnya, yang kemudian menyeruak adalah nama Schout-bij-nacht (Laksamana Madya) Karel W.F.M. Doorman, Panglima Armada Tempur Sekutu pada pertempuran di Laut Jawa. Ia-lah yang tetap memimpin, setelah armada gabungan yang semula dipimpin oleh Inggris komandannya satu demi satu memilih mengundurkan diri. Maka yang tertinggal akhirnya adalah Doorman di kapal H.M. De Ruyter. Baru kemudian saya tahu bahwa ia melakukannya itu sesuai dengan ajaran yang ia peroleh di alma maternya, Akademi Angkatan Laut Belanda di Den Helder yang berbunyi: Kennis is macht, karakter als eerste yang diindonesiakan jadi, lebih kurang, Ilmu [adalah][pokok] kekuatan, [tetapi yang] pertama-tama [adalah ber-] budi luhur.

Begitu halangan terbesar tersingkir, pasukan pendarat diarahkan ke Jawa dan Jawa Barat direbut oleh pasukan di daratkan di Banten dan Eretan, timur Batavia, ibukota Hindia Belanda.Untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur, pendaratan pasukan dipusatkan di Kragan di timur Rembang.

Dari semua titik pendaratan itu pasukan infanteri bergerak ke daerah pedalaman. Pasukan yang mendarat tidak bersenjata lengkap. Pasukan infanteri itu berkendaraan sepeda! Di belakangnya ada beberapa truk yang mengiringinya, yang membawa perbekalan. Ketika itu, sebagai seorang muda, saya di Karanganyar hanya menonton. Apa itu disebut perang? Jepang sudah tahu—lewat intelejen mereka—perlawanan tidak akan ada, dan orang pribumi pada umumnya bersikap seperti saya, jadi penonton. Jadi, sejumlah bungker yang dibangun Belanda, terutama di sepanjang pantai utara, dengan sendirinya tidak berguna sama sekali, seperti saya saksikan di Rembang—tempat saya banyak 'kluyuran', karena kakak ipar Soeroso menjabat Sekretaris Kabupaten sejak menjelang PD II hingga awal pendudukan Jepang—dan beberapa tempat lain.

Yang namanya pertempuran hanya terjadi di tempat tertentu. Sambil mengundurkan diri pasukan Belanda masih berusaha untuk melakukan perlawanan, tetapi tanpa semangat. Yang juga jadi tujuan kemudian hanya satu, jika mungkin, menuju ke Cilacap untuk selanjutnya menyeberang ke benua Australia.

Antara Jerman-Jepang-Perang Pasifik dan Indonesia ternyata ada hubungan yang memiliki sifat sangat khusus. Negara Jerman yang terletak di daratan Eropa harus selalu memelihara jalan untuk menuju ke laut bebas. Sebagaimana terjadi pada waktu PD I, dengan menutup jalan keluarnya lewat Nordsee (Laut Utara) yang terletak di antara daratan Eropa, Skandinavia dan Inggris, jalan Jerman ke laut bebas jadi terhalang. Ketika itu Jerman memiliki senjata untuk menembus blokade berupa U-Boot, kapal selam. Pada PD II keadaan berubah, tetapi perkara blokade tetap merupakakan hal yang sangat mengurangi gerak kekuatan perang Jerman. Dalam waktu singkat musuh sudah tahu kapal perang Jerman Graf Von Spee ada di laut bebas. Dengan sendirnya kapal itu dikejar, dan oleh karena itu akhirnya masuk ke Teluk La Plata, di lepas pantai Kota Montevideo. Maka sejarahnya pun berakhir, ditenggelamkan lawan yang jumlahnya tidak sebanding.

Jerman yang dalam keadaan terkurung, ternyata dengan senjata U-Boot masih dapat berbuat banyak yang sangat merepotkan musuh. Kapal demi kapal pihak Sekutu ditenggelamkan di laut bebas, tidak hanya di Samudera Atlantik, boleh dikata di lautan bebas mana pun. Pihak Sekutu sejak awal sudah berupaya mencoba selain menentukan titik tempat kapal ditenggelamkan, juga melacak hubungan antara kejadian yang satu dengan yang lain. Dari sanalah muncul ilmu baru yang kemudian dikenal dengan nama operations research atau operanional research, disingkat OR (1945). Kini yang disebut OR adalah penerapan cara ilmiah, terutama matematika, untuk meneliti dan menganalisis hubungan perihal soalan yang rumit. Ternyata, mata rantai dalam 'permainan petak umpet' yang timbul sebagai akibat penggunaan U-Boot dalam PD II itu terdapat di Indonesia, atau tepatnya di Palabuhanratu di pantai selatan Jawa Barat, tempat yang sangat ideal meskipun berbahaya karena tidak mudah bagi kapal—termasuk U-Boot—untuk mendekati darat maupun pada waktu berlayar menuju ke laut bebas, karena dasar laut yang rumpil dan hempasan gelombang yang kuat. Entah berapa kapal yang sudah tenggelam selama ini, karena tidak mampu mengatasi kendala itu.

Selama perang, Palabuhanratu yang terletak di Pulau Jawa, dikuasai Jepang dan dijadikan oleh Angkatan Laut Jerman pangkalan yang ideal bagi U-Boot. Lewat Palabuhanratu U-Boot beroleh perbekalan yang dibutuhkan dan selain itu jenazah mereka yang gugur dapat diturunkan untuk dimakamkan di darat. Itu sebabnya, ada TMP Jerman yang terletak di Tanah Parahyangan. TMP berisi 10 jasad itu terletak di lereng barat Gunung Pangrango dan dapat dicapai dari Ciawi. Sampai sekarang tinggalan PD II tetap dipelihara Kedutaan Besar Jerman di Jakarta.

Kehadiran Jepang di Indonesia berawal secara resmi setelah dokumen penyerahan sepenuhnya pihak Belanda yang ditandatangani di Kalijati, seperti sudah disinggung di atas. Kalijati adalah nama pangkalan udara Belanda di barat Kota Subang, di kaki utara G. Tangkubanparahu, Jawa Barat. Sejak saat itu pulalah zaman berubah, dan di negeri ini peristiwa yang satu dengan cepat disusul oleh peristiwa yang lain. Meskipun tatanan umum berubah dalam waktu sangat singkat, kehidupan umum berjalan terus. Sebenarnya, hari sebelumnya, 8 Maret 1942, Panglima Jepang Jenderal Imamura mengancam, Bandung yang sudah dipenuhi pengungsi Belanda—termasuk Jonkheer A.W.L Tjarda van Starkenborgh Stackhouwer, Gubernur Jenderal Hindia Belanda—akan diluluhlantakkan, jika Belanda tidak segera menyerah asrah bongkokan, menyerah tanpa syarat. Itu sebabnya, pada saat penandatanganan dokumen penyerahan keesokan harinya, Gubernor Jenderal tidak ikut hadir. Semua cerita mengenai gerakan kekuatan Perang Jepang hingga penandatanganan dokumen Kalijati dapat dibaca, dalam Nater (1980).

Dalam konsep kepemerintahan perlu ada pihak yang memimpin dan yang dipimpin. Belanda telah dikalahkan dan pihak Jepang dengan sendirinya menduduki tempat yang memimpin, dimulai dari pimpinan yang tertinggi, tetapi di pihak Indonesia juga ada orangnya.

Dengan istilah mereka, pihak Jepang adalah Saudara Tua dan kita Saudara Muda. Jika ada sesuatu yang tidak berjalan lancar, bentakan yang terlontar bukan 'Indonesia' melainkan genjumin, kata yang setara dengan istilah Belanda inlanders.

Jepang sebagai penguasa baru tidak mungkin bertindak sendiri. Yang juga harus tersedia adalah faktor penggerak. Pemerintahan dalam negeri merupakan perlengkapan yang harus segera bekerja. Kepegawaian yang sebelum perang ada, itulah yang harus digunakan. Untuk itu, harus ada sarana penggeraknya yang bernama uang, dan itu mereka bawa dari Jepang berupa 'uang' kertas, tertulis dalam bahasa Belanda pihak yang mengeluarkannya De Japanse Regering (Pemerintah Jepang), dan nilai yang diberikan kepada setiap lembarnya, termasuk pecahan setengah gulden dengan nilai yang dinyatakn dalam bahasa Belanda, Half Gulden, yang bukan bahasa yang baik.

Kedatangan Jepang menuntut adanya tindak-langkah pemerintahan pendudukan yang sesuai dengan keperluan sesaat. Seperti di mana saja, pada waktu ada kekosongan dalam pemerintahan, sementara orang mencoba untuk memanfaatkan keadaan, dengan cara menjarah. Tentara Jepang sebagai penguasa langsung bertindak cepat dan tegas agar orang menjadi jera. Yang menarik, ketika saya kebetulan di Rembang di awal pendudukan. Orang yang dianggap pelaku utama dalam penjarahan langsung ditindak tegas, apa lagi jika tidak dengan cara dipenggal kepala, untuk membuat orang jera. Pelaksanaan hukuman dilakukan di pekuburan umum di bagian tenggara kota, di dekat liang lahat yang digali sendiri sebelumnya oleh terhukum. Cara itu juga terjadi di Karanganyar, tetapi di sana terhadap seorang tawanan serdadu Belanda. Entah apa kesalahannya, serdadu Belanda itu sebelumnya harus membuat liang lahatnya yang terletak sekitar 100-an meter dari rumah nenek, di bawah pohon keluwih, berdekatan dengan Sekolah Pertukangan. Dua peristiwa itu jelas menarik perhatian penduduk dan sebagai anak muda saya termasuk dalam duyunan orang banyak. Seusai perang, jasad serdadu yang malang itu dipindahkan, mungkin disatukan dengan mereka yang tewas, di TMP Belanda di Semarang, Ibukota Propinsi Jawa Tengah. Sebelum masuk kota dari arah Barat, di sisi kiri jalan orang dapat menyaksikannya. Dari jalan dapat dilihat eereveld (TMP) itu terawat baik. Eereveld terdapat di banyak tempat, biasanya di ibukota propinsi. Selain Belanda, juga ada yang dari Sekutu, seperti yang saya lihat di Ambon.

Selama pendudukan Jepang, pegawai sipil yang menjalankan roda pemerintahan dilakukan oleh orang pribumi; tenaga Belanda di semua bidang kegiatan ditahan di suatu tempat, atau dengan kata Belanda geinterneerd. Sejak awal perang, kata itu kita serap, dan 'internir' dijadikan kata pokok kata kerja.

Berbagai bidang kegiatan dipercayakan kepada pribumi. Pihak Jepang tidak bersikap asal-tunjuk, melainkan melihat-lihat siapakah yang muncul. Sebagai misal adalah bidang perkeratapian dan perlistrikan, yang diserahkan begitu saja kepada orang pribumi. Meskipun sangat terbatas, pada waktu itu sudah ada tenaga ahli Indonesia. Bidang perminyakan yang jelas tidak sederhana juga mereka serahkan kepada orang pribumi yang dinilai mampu. Itu disebabkan karena semua sangat diperlukan bagi masyarakat, apalagi minyak untuk menggerakkan mesin perang. Jika direnungi, semua itu juga semacam persiapan bagi kita, yaitu bahwa tak lama lagi kita sendiri memang harus sanggup mengelola semua sektor kegiatan itu.

Sejak awal, orang Jepang sudah menggunakan istilah Indonesia. Jadi, orang Indonesia bahasa jika dijepangkan adalah Indonesia jin. Dalam keadaan terpaksa, orang Indonesia digunakan, layak atau tidak layak. Dalam keadaan tertentu—ini terjadi di Kantor Geologi Pusat di Bandung—ada satu-dua tenaga ahli Belanda yang setiap kali diambil untuk bekerja di luar, dan setelah itu dikembalikan ke tempat interniran. Tetapi jika Jepang berhadapan dengan seorang yang dinilainya dapat melakukan yang diinginya, tetapi si Indonesia ternyata tidak dapat berbuat apa-apa—orang Jawa akan berkata hanya plonga-plongo, mulutnya saja yang ternganga—muncullah makian Genjumin, bakkero!.

Sebagaimana yang diingini pihak penguasa daerah yang baru saja direbut dari musuh, yang penting pemerintahan harus berjalan. Untuk itu diperlukan prasarana sebagai alat untuk jual-beli, termasuk jual-beli jasa. Tidak lain ini adalah uang yang mereka bawa dari pecahan mulai terkecil satu sen. Namanya saja uang dan digunakaan hanya sebagai alat, meski tak ada nilainya, jual-beli berjalan, termasuk jual-beli jasa. Sudah dapat diduga, dalam waktu singkat semua harga naik, atau dengan istilah kita sekarang, inflasi.

Harga-jadi ditentukan hanya oleh pihak yang kuat, pembeli atau penjual. Dalam hubungan ini, saya teringat akan saat ketika Ayah harus menyingkir dari rumah di Tanjunganom, Karanganyar karena lahan tempat rumah Ayah berdiri diperlukan oleh pemerintahan pendudukan. Sebagai pengganti, di tahun 1944 Ayah dibelikan kakak ipar Soemantri Kariotaroeno sebidang lahan dengan gedung yang ada di atasnya di Pucang, di timur Gombong. Gedung itu dibangun oleh Patih Soerjaatmadja, pada waktu beliau sudah pensiun, setelah berdinas di Karangayar. Beliau yang berasal dari Majalengka tidak kembali di Jawa Barat, tetapi memilih menetap di Pucang. Begitu juga kerabat yang menyertai semua jadi 'orang Jawa', di antaranya meneer Abdoellah yang jadi guru saya di HIS Karanganyar. Makam Patih pensiun dan isterinya ada di Pekuncen, utara Gombong.

Ketika itu, harga lahan beserta bangunan di atasnya setara dengan dua lembar sinjang batik halus. Betapa semua itu bersifat nisbi. Di sana Ayah dan Ibu menghabiskan sisa hidup mereka selama sekitar tiga dasawarsa. Ternyata, pindah dari Karanganyar ke Pucang mengisyaratkan hal lain, hikmah berupa kedekatan dengan tempat peristirahatan terakhir mereka, makam Brangkal, yang sudah ada sejak pra-Perang Diponegoro, hanya berjarak sekitar lima kilometer. Pengulon tempat kelahiran Ayah hancur bersama seluruh kota, dihujani tembakan meriam pasukan Jenderal Spoor sebelum mereka menyerbu ke Yogyakarta,19 Desember 1948, dari Kemit, 3 km di timur rumah Ayah. Semua seperti diatur.

Tidak hanya keluarga pensiunan Patih Karanganyar Soerjaatmadja jadi orang Jawa. Ayah memiliki seorang sepupu (putri) dari Keluarga Kalapaking di Banjarnegara yang menikah dengan Raden Oto Iskandardinata, gara-gara bertugas mengajar di HIS Banjarnegara. Sebagaimana kemudian terjadi dengan banyak orang, nama Oto Iskandardinata yang dirasakan terlalu panjang lalu disingkat jadi Otista. Kuburnya tidak diketahui di mana, tetapi namanya diabadikan sebagai nama jalan, karena yang bersangkutan termasuk pahlawan kemerdekaan.

Sedikit tambahan mengenai pendudukan Jepang. Antara Saudara Tua dan Saudara Muda harus ada yang dijadikan perantara, baik berupa orang yang ditokohkan, maupun berupa kelembagaan. Pada saat itu, nasib Soekarno sudah langsung dapat ditentukan, demikian pula dengan Mohammad Hatta. Dua orang itulah yang mau-tidak-mau harus jadi perantara. Berdua mereka kemudian merupakan yang kelak dalam sejarah Indonesia dikenal dengan sebutam Dwitunggal, dua pribadi berbeda di segala-galanya tetapi dipertemukan karena takdir. Mereka saling-mengisi, sampai tiba saatnya, Hatta menilai Bung Karno telah melangkah terlalu jauh hingga ia memutuskan mundur sebagai Wakil Presiden. Meskipun demikian, secara pribadi mereka tetap bersahabat dan ini tampak ketika Bung Karno sakit setelah ia tersingkir, Bung Hatta masih menyempatkan untuk menengok dan berbincang-bincang. Dalam hal tertentu, Bung Hatta memang seorang yang tidak dapat mengambil putusan cepat, termasuk ketika ia akan menikah. Bung Karnolah yang kemudian bertindak, maka jadilah Bung Hatta 'dijodohkan' dengan Rahmi yang ayahnya orang Purworejo dan ibunya Aceh.

Kita kembali lagi ke saat perang meletus. Pada saat itu Bung Karno diasingkan di Bengkulu. Ia langsung diboyong ke Batavia, yang untuk keperluan politik sudah jadi Jakarta. Menjelang perang meletus, Hatta yang tadinya dibuang di Bandanaira di ujung tenggara Nusantara dikembalikan dan ditahan di Sukabumi, sehingga tidak pmemerlukann banyak upaya. Maka Jepang pun menjadikan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai 'barang berharga' dan 'dimainkan' dalam siasat mereka menghadapi perkembangan perpolitikan, tidak hanya di dalam negeri, juga dengan dunia luar. Itu Bung Karno dan Bung Hatta, dua orang yang berbeda dalam banyak hal, tetapi yang dalam sejarah masional kita mengalami saat harus menerima peran yang disodorkan kepada mereka.