Yang dinamai bangsa tampil dalam berbagai bentuk, dan untuk setiap bentuk ada yang dijadikan lambang. Pertama adalah bahasa, dan kita mulai dengan negeri kecil yang letaknya begitu jauh, ribuan kilometer dari sini, Sudah sejak beratus-ratus tahun mereka memiliki bahasa sendiri, dan sejak itu pula sedikit demi sedikit bersentuhan dengan kita, hingga akhirnya berpengaruh sangat besar pada hidup dan kehidupan kita. Itulah negeri Belanda.Yang satu lagi, tetangganya. Walaupun pengaruhnya terhadap kita berbeda, kadarnya sangat besar, lewat orang per orang, khusus dalam nama negara kita. Itulah nama yang diciptakan seorang dari mereka. Yang saya maksud Jerman, yang jauh lebih besar, tetapi bahasa mereka justru baru muncul, dan itu gara-gara ada orang bernama Martin Luther. Rasa tidak puas dengan agama Katolik Roma yang dianutnya itulah yang jadi penyebabnya. Nalar, itulah sumber Luther yang malah berujung dapat mendapuk bahasa nasionalnya, seperti sudah kita bicarakan. Wahyu yang turun tidak dengan sarana bahasa Romawi, melainkan bahasa Ibrani. Sebagai bahasa yang lebih baru, bahasa Jerman berimbas jauh pada bangsa Jerman lewat ilmu dan teknologi, seperti telah dikupas.

Berbagai segi pada dua negara itu telah kita bahas, bahkan sampai di zaman ini. Marilah kita beralih ke bahasa kita, bahasa Indonesia yang tak lain adalah Melayu. C.A. van Ophuysen-lah, anak muda Belanda, karena terdorong minatnya berhasil menata bahasa Melayu dan dijadikan standaard Maleis, bahasa Melayu baku. Semasa penjajahan Belanda, bahasa itulah yang diajarkan dalam pendidikan dan untuk keperluan komunikasi serta dokumen resmi kepemerintahan.

Harus kita sadari, Sumpah Pemuda, ikrar para muda yang dikumandangkan 28 Oktober 1928, dan ketika itu disebut Bahasa Indonesia. Bahasa itu pula yang digunakan dalam pengkalimatan ikrar. Jangan lupa, nas proklamasi kemerdekaan Indonesia juga disusun dalam bahasa yang sama. Nas itulah yang dibicarakan pagi hari 17 Agustus 1945 atas nama Bangsa Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta ada di dekatnya.

Itu tidak berarti dewasa ini semua di antara kita menguasai Bahasa Nasional kita, apalagi dengan baik. Bukti dapat kita jumpai di mana saja. Kita mulai dari contoh dari di sisi jalan hingga mereka kaum terajar. Ambillah contoh yang sederhana, 'Terima jual emas', yang semestinya saja 'Perantara membeli emas Anda untuk kami jualkan'. Yang jelas, tidak ada seorang pun yang akan berbuat itu. Mungkin lebih bernas—ungkapan Jawa cekak-aos—'beli-jual emas'. Masyarakat golongan atas juga masih perlu diperingatkan. Baca saja kain rentang yang kita lihat tergantung melintang di jalan tol bebas hambatan: “Jalan tol tidak ada pungli, yang masih perlu 'di' di depan.

Tidak hanya yang tertera itu saja mengingatkan kita betapa banyak kenyataan yang kita jumpai di sekitar kita. Tulisan berikut ini dari kelompok barang dibuang sayang, seperempat abad yang lalu, tetapi jika ditengok besar gunanya. Memang, sumbernya agak tua, dan tempatnya tidak banyak yang menjangkau, tetapi kekinian tidak susut. Kutipan itu dari Berita Kagama, Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada, Nopember 1988, dasarnya koran dalam mereka berbahasa. Semua dari awal Nopember, tahun peringatam ke-60, 1988, Hari Sumpah Pemuda.Yang dihitung jumlah kata Barat yang digunakan. Hasilnya sbb.: Berita Nasional, 45 bh., 12 hlm; Kompas, 46 bh.,12 hlm; Kedaulatan Rakyat, 87 bh.,12 hlm; Suara Merdeka, 146 bh; 12 hlm, dan Wawasan, 446 bh., 8 hlm. GBHN-TAP MPR -1988, lebih dari 200 buah. Sebagai perbandingan, Undang-Undang Dasar 1945, boleh dikatakan bersih.

Sebagai seorang yang mengacu tulisan itu, saya mengenal sangat baik pengelola Warta Kagama, M.E.P. Edy Muljono, seorang guru besar Fakultas Kedokteram Hewan, UGM. Sebagai seorang yang termasuk mereka yang sering mendampingi Tim Adjat Sakri, ia temasuk orang yang galau tentang perkembangan penggunaan bahasa Indonesia. Kini beliau sudah tiada.

Yang jelas perlu ditangani adalah media masa nasional yang kini makin beragam, apalagi yang di daerah. Kenyataan dewasa ini sangat berbeda dengan di tahun 1988. Data sejenis tadi yang tersedia pada saya tidak ada, hanya gambaran suram, termasuk ada makalah di Kongres Bahasa Indonesia terakhir (Oktober 2013); betapa di tempat yang berhormat sekalipun terdapat makalah yang tidak mampu menyatakan mana yang ujung dan mana yang pangkal.

Kita telah melewati zaman penuh pertentangan, dalam sikap, dan tindak-tanduk, dan itu sudah banyak yang kita bahas dalam Parwa Dua.

Itulah zaman Orde Baru, ketika negeri ini diperintah secara otokrat yang membuat orang makin abai akan berbahasa baik. Kerusakan pun menjadi-jadi karena berbahasa dianggap serupa orang sedang menyelenggarakan pemerintahan. Oleh sebab itu, cara orang berbahasa juga hanya menuruti selera. Ujungnya, ketentuan yang dianut hanya apakah sesuatu itu baku atau tidak baku. Semua itu harus dikembalikan ke dasarnya, pengajaran dan pendidikan bahasa Indonesia jangan sampai berdiri sendiri, melainkan dijaga, karena hubungan erat itu merupakan sistem.

Saya berpikir-pikir, di mana sebenarnya mulai timbul masalah? Ada beberapa titik awal pengajaran bahasa Indonesia yang menyimpang. Munculnya gejala itu tidak dapat dipisahkan dengan adanya ketentuan perlunya ada aturan. Dengan kata lain, berbahasa dianggap serupa dengan dokter ketika menulis resep. Sama dengan dokter yang menghadapi pasien, ia sebelumnya harus tahu yang dikeluhkan pasien. Meskipun kita bukan dokter, ada baiknya kita membuat sekedar perumpamaan . Dokter mengawali langkah kerjanya dengan membuat diagnosis, lewat indera, dengan stetoskop, dan mungkin dengan bantuan hasil pemeriksaan laboratorium. Setelah semua diketahui, dokter menulis resep. Selanjutnya adalah tugas peracik obat yang setelah membaca resep, menyiapkan semua bahan yang diperlukan. Sekarang tinggal ditunggu yang terjadi dengan kesehatan si-pasien. Jika menulis mau dianggap ada kesamaan dengan proses dari sejak dokter membuat diagnosis, menulis resep hingga obat digunakan dan pasien sembuh (atau sebaliknya), kita akan melihat, apa cara itu bisa diterapkan dalam dunia tulis-menulis atau tidak.

Sekarang kita menengok yang dialami Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang buku tatabasanya telah terbit 38 kali, dan entah sudah berapa generasi yang belajar dengan caranya, atau berapa ribu orang yang menggunakannya. Mengenai perkara ini pun saya sudah tulis dalam Parwa Satu. Setengahnya memang saya sengaja, sesuai dengan rentangan benang, juga karena tautan alur, di sana-sini boleh jadi melebar-mendalam.

Yang nyata, dalam bahasa Indonesia ada Hukum D-M, Diterangkan-Menerangkan, sederhana dan itu aturan, cara, atau sistem. STA tidak hanya berteori, ia menulis novel dan berbagai macam buku. Ia selain lancar berbahasa Melayu (Indonesia), juga mahir berbahasa Belanda, Inggris, Jerman—isteri keduanya Jerman—Perancis, dan hasil perbuatannya menyejarah. Pendidikannya AMS-B, Wis-en Natuurkunde,Yogyakarta dan kalau sekarang SMA Ilmu Pasti dan Ilmu Kealaman. Ia tidak pernah menempuh pendidikan untuk doktor, dan jadi profesor, mendapat gelar doktor kehormatan. Semua jadi bersifat nisbi. Saya sendiri masih sempat beroleh sejumlah bukunya sebagai hadiah sebelum beliau meninggal.

Zaman berganti dan yang sudah berlalu jadi sejarah. Karena ada anggapan sesuatu tidak sesuai dengan ketentuan, maka dengan sendirinya harus disingkirkan. Jika ada tambahan pernyataan bahwa STA itu bukan ahli bahasa, maka habislah riwayatnya. Jika ditambah lagi, tataistilah juga harus Inggris atau menginggris yang 'internasional', maka apa yang dapat diperbuat umum. Ya, kita tunggu saja hasilnya. Padahal, itu yang sudah berulang-ulang dinyatakan di atas.

Saya berpikir, ada yang keliru. Jika kita mau menengok ke sejarah, goyangan kuat-kuat tidak hanya terjadi sekarang, dulu juga serupa. Zaman memang terus berubah. Kita perbandingkan saja dengan keadaan ketika para wali muncul. Sejarah para wali akan kita bicarakan di bawah. Yang perlu kita sadari, kita harus menerimanya. Hanya cara yang digunakan harus bijaksana. Yang juga harus kita sadari pula, bahwa bahasa kita sedang ada di ambang perubahan, padahal dasar tiap bahasa ternyata kodratnya.

Ada baiknya, kita menengok bahasa Tagalog yang sesaudara di Pilipinas. Nasib membuat mereka mengalami perjalanan yang berbeda sama sekali dengan kita, Mula-mula yang muncul Sepanyol dengan raja ketika itu Filippe 2. Sejarah penjajahan menyisakan nama negeri itu jadi bernama Pilipinas, juga agama Katolik yang kini dianut bagian terbesar penduduk di bagian utara negeri. (Catat: Itu penyebab nama negara dan juga bangsa Pilipinas. Seperti bahasa Melayu, Tagalog tak kenal huruf f, melainkan p.) Setelah itu datang Amerika Serikat. Meskipun tidak menjajah, akibat yang kita saksikan sangat jauh. Saya tidak berniat menulis sejarah bangsa Pilipinas, maka perkara itu saya cukupi sekian saja.

Kekuatan asing yang pernah hadir di sana meninggalkan tak lain adalah yang disebut jatidiri yang terbelah. Tulisan ini dasarnya majalah Amerika Time, 11 Juli 1988, dan saya menilai sangat penting dan kemudian saya acu di artikel saya di Kompas, 19-8-1988. Time menulis tentang akibat pengajaran bahasa Inggris yang merasuk Nas itu sbb. (diindonesiakan) Berpikir dalam bahasa ibu kita (= Tagalog), tetapi menyatakan pikiran kita dalam bahasa Inggris mengakibatkan tidak hanya hilangnya rasa percaya diri, juga ketiadaan daya-ungkap, ketidakcermatan dan orang terkendala untuk berkembang,

Sekarang kita lanjutkan perbincangan dengan masalah perbahasaan dan setelah itu juga dengan yang tak terpisah, yaitu ungkap-mengungkap. Akan kita lihat bahwa benang kesejarahan terlibat menyatu. Itu sebabnya. kejadian yang semula tak pernah saya pikir dan saya hubung-hubungkan dengan perkara keterpurukan pelajaran bahasa Indonesia, ternyata juga berkaitan. Maka akhirnya saya membawa-bawa Prof. Anton M. Moeliono. Selama bertahun-tahun beliau dengan setia hadir pada penataran yang diselenggarakan DIKTI. Beliau dengan senang memanfaatkan kebersamaan dengan kami. Di setiap kesempatan beliau bertindak bak-jembatan antara kami pengguna bahasa di satu pihak dan pihak yang menekuni bahasa seperti beliau. Itulah kisah yang berlangsung sekitar tiga dasawarsa, kurun waktu kami menangani bengkel bahasa, itulah istilah tempaan Adjat Sakri. Beliau melihat kami bertiga mungkin saja sebagai 'makhluk ajaib.’ Kami bertiga itu adalah Adjat Sakri, Sudjoko dan saya sendiri, yang tidak memperoleh pendidikan bahasa.

Sejarah memang selalu jadi acuan, meskipun yang tersaji berikut ini bukan arus utama. Khusus bagian ini pada dasarnya membahas upaya membina tulis-menulis, cara menuangkan yang ada di benak ke dalam bentuk rekaman, dari yang nirmaujud ke dalam yang maujud.

Adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, disingkat DIKTI, dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menjelang 1980-an berniat menyelenggarakan penataran bagi para dosen dalam menulis dan menerjemahkan buku ajar perguruan tinggi. Ketika itu untuk pertama kalinya muncul istilah buku ajar, yang diciptakan Adjat Sakri, sebagai penulih textbook.

Saya ingat benar, DIKTI saat itu berharap karya tulis para pengajar adalah buku ajar, dan yang dijadikan tolok adalah guru besar terpandang. Terbukti, seorang dengan jabatan guru besar tidak dengan sendirinya memiliki kemampuan menulis dan memeriksa karya tulis. Seperti terbukti, naskah yang sudah 'disunting', ternyata 'disentuh' pun tidak.Yang disebut honorarium soal lain, sehingga apa pun yang terjadi, honorarium tetap dibayarkan. Itu mendorong ditempuh cara lain, sehingga akhirnya DIKTI keluar dengan cara diutarakan ini. Kegiatan itu terus berlangsung dari tahun ke tahun, dan baru terhenti tahun 2006, ketika suasana umum berubah sama sekali, karena bingkai waktu baru tiba.

Pada awalnya, tidaklah mudah menemukan orang yang dapat melaksanakan tugas itu, apalagi bagi pihak yang merumuskan anggitan atau konsep. Akhirnya, yang ditunjuk sebagai pimpinan adalah Sdr. Adjat Sakri, designer dari Jurusan Seni Rupa dan Design, ITB. Hemat saya, seakan-akan ada semacam 'arah', yang tertuju kepadanya, dan itu makin nyata setelah saya dipertemukan dengan beliau.

Kegiatan menatar melibatkan pengajar dari perguruan tinggi seluruh Indonesia, dan yang ditatar pun pengajar, dan juga dari seluruh negeri, baik universitas negeri maupun swasta. Saya merasa sangat beruntung karena terlibat di dalamnya dari sejak awal. Akhirnya, saya dapat melihat bahwa semua tugas berlangsung by design, terhaja. Yang jadi tujuan sejak awal dapat dengan jelas diikuti, bahwa semua terakit, berupa upaya bersama yang membuahkan hasil keterampilan meningkatkan semua yang terlibat, dan dinikmati entah seluas mana dan siapa. Ada pula perolehan tak terhaja, antarpenatar dan juga antarpenatar dengan peserta. Proses itu berlangsung pada kesempatan yang saya beri istilah 'jalan kenangan'. Itulah kesempatan berjalan-jalan di pagi bagi kami yang berminat. Waktunya, di subuh hingga menjelang sarapan. Di kesempatan itu, entah sedang di kota mana pun, apakah Bandung,Yogyakarta, Denpasar, Ujungpandang, Mataram, Medan, Padang, dan Cisarua, itulah yang paling sering. Lalu apakah yang kami dapatkan? Secara umum kami memperoleh sesuatu yang tak mudah dinyatakan dengan kata, wawasan hidup yang meluas dan mungkin juga mendalam. Kebersamaan paling banyak saya alami dengan I Gusti Made Sutjaja, seorang pengajar Fakultas Sastra Universitas Udayana, penyandang PhD bahasa Inggris dari Australia. Dia mulai bergabung 'rombongan' dari sejak ia masih seorang dosen muda hingga bergelar profesor, hingga penataran menjelang habis, ketika ia bersiap pensiun. Itu kenangan yang sungguh indah.

Mantan tinatar—yang pernah berbagi dalam suka dan duka dalam upaya peningkatan ilmu segala rupa—meneruskan hidupnya di jalur pendidikan tinggi atau mungkin di luarnya. Di antaranya ada yang jadi rektor, ada juga yang bersambung ke tugas di luar, menulis atau menerjemahkan, atau menyelesaikan kewajiban di dunia layaknya setiap makhluk. Tidak ada orang yang merasa perlu mencatat.

Saya pernah bertemu dengan entah berapa banyak mantan tinatar. Semua benar-benar kebetulan. Ada yang bertemu di Setasion Gambir, dan langsung membantu membawakan barang yang saya bawa, ada yang berjumpa di ruang tunggu Bandara Cengkareng, dan ada yang bahkan di pesawat. Memang aneh, di pesawat atau bis malam, di hotel suatu kota besar, atau dalam suatu antrian. Kebetulan tidak bisa kita buat. Sebagai pekerja di bidang ilmu kebumian (kealaman), memang semacam prasyarat, agar orang mencoba, tetapi yang namanya hasil tentu saja tidak dijamin. Akhirnya, semua alaman hanya wajib disyukuri.

Setelah terlewat sekian lama, termasuk Sdr. Adjat Sakri sudah tiada, dan saya renungkan kembali, saya merasa bahwa semua ternyata bermakna. Saya menangkap seakan-akan dalam setiap olah-gerak memang ada 'arahan dari Atas'. Sdr. Adjat Sakri yang sebelumnya mengelola Perpustakaan Pusat ITB, di saat ia ditunjuk memimpin kegiatan DIKTI sudah jadi Kepala Penerbit ITB. Yang tidak banyak diketahui, ia juga pernah bergiat di bidang kewartawanan, yang membuat ia bisa memiliki rumah tinggal di Jalan Wartawan, di bilangan Buahbatu, Bandung Selatan.

Dalam kedudukan sebagai Kepala Penerbit ITB, semua barang cetakan untuk perlatihan dapat siap-jadwal. Sebagai seorang yang faham bidang tulis-menulis umum, perbukuan-perpustakaan, cetak-mencetak, tindak-langkah upayanya terukur, dan hasilnya dinyatakan dengan angka.

Berkat kedekatan saya dengan Sdr. Adjat Sakri, akhirnya saya tahu banyak mengenai pribadi yang saya tulis ini. Dengan rekam jejak kesehatan yang selalu dipantau penuh kewaspadaan, saya segera sadar ketika di suatu pagi hari dengan perantaraan orang, saya diminta agar segera ke rumah sakit St. Borromeus, Bandung. Padahal dua hari kemudian jadwal penataran di Yogyakarta akan dimulai. Benar juga yang saya kira, karena telepon itu berisi pesan agar saya datang untuk 'serah-terima' mandat. Selaku penggantinya saya harus jadi pimpinan kegiatan penataran. Benar-benar amanat, selama sekitar dua tahun. Saya sadar, saya harus bertanggungjawab atas kegiatan yang tengah berjalan, dan tugas itu segera berpindah di pundak saya.

Selama menggantikan Sdr. Sakri, saya beroleh banyak hikmah. Di antaranya yang menyentuh hati adalah ketika di malam penutupan ada seorang yang maju, mewakili para peserta menyerahkan sebuah bungkusan tipis ukuran 40x60 cm. Ketika saya buka di depan khalayak, berisi lukisan gambar karikatur saya yang berbingkai, buatan seorang peserta. Saya sedang berdiri menatar, di tangan kanan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Di sebaliknya tandatangan memenuhi seluruh muka. Itulah pertama kali selama sejarah penataran DIKTI ada barang orisinil. Sampai sekarang lukisan itu tergantung di dekat pintu.

Ups and downs, itu bahasa Ingggris, tetapi kita tidak perlu jauh-jauh, ada pasang dan ada surut. Sebagai seorang yang merasa beragama, saya sadar setiap kali saya pasti diuji, dan ujian ternyata langsung datang pada penataran berikutnya di Ujungpandang. Kali ini, dari sejak awal hotel yang kami tempati benar-benar di bawah syarat, dari sejak kamar tidur, ruang sidang, hingga makanan, yang membuat saya jatuh sakit, meskipun tidak sampai perlu dirawat. Tidak ada pilihan lain, kita pindah ke hotel yang sudah biasa digunakan setiap ada penataran di Ujungpandang. Nama hotel mungkin aneh, Anggrek Delia, dan nama itu dipilih karena pemilik sebelum berbisnis hotel, lebih dulu berusaha dalam perdagangan anggrek. Apa pun nama yang yang digunakan, kami di sana merasa at home, seperti di rumah sendiri. Pasal hubungan DIKTI dan hotel juga perlu dicatat, karena antara kedua-duanya ada hubungan kesejarahan, yaitu penyedia dan pengguna jasa. Di sini dua perkara kesejarahan, satu menyangkut nama hotel yang menggunakan nama anggrek dan yang lain lagi antara DIKTI dan hotel yang menyangkut kecocokan hubungan. Perkara kesejarahan sering kita jumpai.

Kita telah membicarakan pelaksanaan penataran yang diselenggrakan oleh DIKTI. Sekarang Anda saya ajak membicarakan dasar yang digunakan Sdr. Adjat Sakri dalam penataran tulis-menulis, dan itu adalah usulan Noam Chomsky. Dari sudut pandang bingkai waktu kita mundur selangkah.

Chomsky adalah ahli komputer dari MIT. Sebagai orang cerdas, ia tahu tentang banyak perkara, termasuk tentang yang ia tulis, tatabasa yang ia ciptakan dan dinamai transformational grammar. Sakri mengindonesiakannya jadi tatabasa alih-bangun. Dengan cara mewargakan semua seginya, membuat barang yang kami tangani itu jadi berbeda dengan umumnya, yang selalu terikat pada yang asing, dan beralih ke bahasa aslinya, termasuk tataistilah.

Dalam tatabasa alihbangun, kalimat dipecah ke dalam puak yang Inggrisnya disebut phrase. Jadi ada phrase yang Indonesianya kataan dan ada yang puak. dan yang kemudian harus diketahui adalah golongan kata. Pada penataran, semua tataistilah dibuat mengindonesia. Lewat cara itu, tiap kata harus diketahui golongannya. Itulah sepotong gambaran masa depan, tetapi di saat ini yang disebut masa depan itu pada hakikatnya sudah hadir di tengah kita. Dengan jalan itu, dalam hal penerjemahan yang berbantuan mesin (komputer) hasilannya bisa langsung diperoleh dan dapat segera disunting. Jadi, penyunting hanya melakuan hanya langkah terakhir, yaitu meluruskan naskah. Saya benar-benar kagum pada gagasan Sakri.

Apa di sini yang berubah? Arah sejarah; karena kita menyongsong zaman baru dan disebut zaman kenyataan maya. Yang akan terjadi selanjutnya pun bukan kebiasaan umum lama, mempercayai orang atas dasar ijazah yang dimiliki, seperti yang selama ini terjadi. Yang akan dijadikan patokan adalah kemampuan dan kinerja seorang, Wujud penghargaan dan besarnya sebanding dengan yang diperbuat.

Sebelum perjalanan Adjat Sakri berakhir, di babak menjelang penutupan, alhamdulillah, sebagai seorang nir-bahasawan, ia masih dianugerahi gelar doktor kehormatan pengajaran bahasa Inggris dari IKIP Jakarta, sekarang Universitas Negeri Jakarta. Benar-benar kehormatan yang selain di tempatnya, juga tepat waktu. Semua tak terpisahkan dari sosok Prof. Dr. Lilian D. Tedjasoedana, pribadi, poros yang membuat semua berputar di sekelilingnya. Beliau termasuk yang bertahun-tahun tergolong penatar yang selain handal juga setia. Kesehatan yang terus menurun tidak menjadi penghalang baginya ikut mengantarkan orang yang ia kagumi dan bersama sahabat lain hadir saat jasad orang yang dihormati dan dikagumi itu di pagi hari 7 April 2008 diserahkan ke pangkuan Ibu Pertiwi. Itu peristiwa yang tampak di makam Maleer yang dipilihnya dan tak jauh dari kediaman almarhum di Jalan Wartawan.

Di tengah malam sebelumnya, saya tiba dari Cisarua. Meskipun kali ini bukan dalam tugas DIKTI, karena kali saya bekerja bagi Departemen—lalu berubah jadi Kementerian—Energi dan Sumber Daya Mineral. Tempat kerjanya di Wisma Bayu, milik ESDM. Ibaratnya Wisma adalah tetangga hotel yang biasa digunakan bagi penataran DIKTI. Ada rasa aneh juga, melakukan tugas berbeda karena kali ini menyusun buku sejarah energi dan pertambangan. Yang juga sangat berbeda, saya berhadapan dengan para mantan birokrat, mereka yang pernah berkedudukan tinggi. Peralatan sama digunakan pula serupa dengan yang berasal dari tiga dasawarsa menatar para dosen. Oleh karena itu saya akrab dengan tugas yang saya hadapi. Tugas ESDM masih akan disinggung di bawah, lagi, karena benangnya memang sejenis, tetapi berbeda kumparan.

Saya merasa adanya semacam arahan, dan samar-samar saya ditunjukkan jalan untuk dititi. Saya teringat lagi ketika zaman revolusi fisik, dan saya terlibat dalam tataistilah dan tatatulis, serta ungkap-mengungkap. Saya sadar bahwa semua itu bukan kebetulan. Semua tugas itu dilakukan sendiri, sehingga saya dapat mengurutkan benang sambil menjaga jangan sampai benang kusut, melainkan tetap terentang dan menyambung dari babak ke babak, yang semula belum terwujud.

Ada simpul yang berasal dari Alm. Sdr. Adjat Sakri tentang pemberian tatanama. Kita masih dalam ranah yang sama, yaitu bangun kalimat. Kita juga telah berkenalan dengan kataan untuk padan istilah Inggris phrase. Saya ajak mencermati renteng kata yang berangsur-angsur memanjang dan jadi kelompok dan dalam kalimat jadi puak. Seperti dalam puak berikut ini, semua dari golongan kata benda yang bertumbuh. Ini bisa dijadikan contoh bahwa dari kata benda berikut,

pembangunan,

pembangunan industri,

pembangunan industri kimia.

pembangunan industri kimia dasar,

pembangunan industri kimia dasar mineral,

pembangunan industri kimia dasar mineral setempat, mengikuti yang pertama jadi puak benda.

Kita tidak perlu berpikir jauh-jauh, cukup menggunakan Hukum D-M yang diperkenalkan Sutan Takdir Alisyahbana. Kata pertama yang perlu diterangkan dan kata yang menerangkan adalah kata kedua itulah yang menerangkan yang pertama. Lalu, setelah yang pertama tergabung dengan yang kedua, itu yang jadi D, dan yang ketiga jadi M. Itulah hukumnya. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Bisa dimengerti, betapa banyak manfaat saya peroleh karena disertakan dalam penataran DIKTI. Hal itu benar-benar kesempatan emas untuk mengumpulkan bahan. Ujung upaya saya itu berupa buku “Kata dan makna”, yang terbit pertama kali pada zaman penataran masih lancar.

Saya merasa seperti menemukan kunci untuk masuk ke dalam dunia yang semula asing. Bagi saya, itulah bahasa yang di awalnya diperkenalkan dengan sebutan lambang. Setelah itu, saya sadar yang tak terpisahkan adalah bunyi. Rasa dan terbiasa, kedua-duanya itulah yang mendorong saya terus berupaya menemukan yang disebut makna dan apakah sebenarnya yang tersembunyi di belakang semua itu?

Itu yang membuat saya tersadar betapa perkenalan saya di waktu kecil dengan paramasastra Jawa. Ternyata. manfaatnya bagi saya besar untuk memahami dunia awal saya. Kemudian perkara abjad Jawa. Betapa cerdas himpunan lima huruf, empat kali berturut-turut, dan seluruhnya jadi abjad dan jumlahnya duapuluh huruf. Semua huruf itu ibaratnya dipersatukan dalam wacana yang disertai makna yang cocok: ha-na-ca-ra-ka (ada dua utusan), da-ta-sa-wa-la ([utusan itu] bertengkar), pa-dha-ja-ya-nya ([mereka]sama kuatnya), ma-ga-ba-tha-nga (dua-duanya mati).

Sebelum saya melanjutkan, inilah sisipan tafsir saya. Falsafah dasar yang melatarbelakangi abjad Jawa hendak disampaikan, yaitu pesan bahwa dalam benak orang yang hendak berkomunikasi, semua pokok harus jelas, terinci, dan batasannya tajam. Proses tidak boleh terganggu, jika rancu, timbul kesan 'terbunuh, yang artinya sama dengan mati. Terpulang tafsir Anda.

Inilah tatabunyi dasar bahasa Jawa. Alat pelengkapnya disebut sandang, yang makna harfiahnya baju. Lewat 'baju', tatabunyi diperluas, dan hal itu berhubungan dengan batas yang ditetapkan. Dengan teknologi, boleh dikatakan abjad Jawa dapat dialihtuliskan ke abjad lain. Letak masalah tidak di sana, tetapi pada kebutuhan.

Di Nusantara, selain abjad Jawa ada banyak yang lain dan semuanya berasal dari India. Abjad Jawa, Madura dan Sunda memang sama karena dari pasca-wali, abjad Bali ada sedikit berbeda, karena masih berasal dari Majapahit. Bukan jadi niat saya membahas perkara abjad daerah. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa di setiap daerah ada orang yang bijak, dan di Jawa orang seperti itu disebut pujangga seperti dibahas dalam Parwa Satu.

Saya berkenalan dengan tembung wod. Maknanya bisa inti, tetapi bisa juga titian. Jika kita terima yang pertama, yang menyusul adalah yang terdapat di kelilingnya, dan jika yang kedua, melewati yang disebut titian, maka dari sesuatu yang semula nirmakna atau hampa, berubah jadi bermakna atau memiliki arti. Dari sana orang bernalar dan itu pula yang saya coba lakukan layaknya insan Jawa yang kebetulan beroleh pendidikan di ujung zaman penjajahan Belanda.

Di belakang semua pertumbuhan itu tersembunyi budaya yang tidak pegun, sama meski berubah. Yang jelas, untuk semua itu tidak sedikit waktu yang terpaut. Itulah yang berlangsung sebelum seorang dihadapkan pada zaman dengan tuntutan persyaratan yang berbeda. Itulah bingkai atau kerangka waktu dan sudah beberapa kali disinggung dan masih akan diulang lagi. Maka dari itu, pada hakikatnya itulah sebabnya, mengapa semua pada hakikatnya wajar-wajar saja.

Kita telah membahas dua bangsa, dan dua-duanya di Asia, satu Jepang di Asia Timur, yang satu lagi Turki di Asia Barat. Kedua-duanya dapat bersuai dengan tuntutan dan di akhirnya menemukan diri, dengan tatanan atau formatnya masing-masing. Di sini pula, apakah kita mau ataukah tidak, kita dihadapkan pada bingkai atau kerangka waktu.

Bangsa Jepang melangkah lebih dulu, yang kemudian dikenal dengan sebutan Zaman Kaisar Meiji. Dengan rasa-percaya diri sebagai kekhasan yang mereka miliki, dalam seabad mereka benar-benar jadi bangsa yang sederajat dengan bangsa mana pun. Layaknya bangsa moderen, mereka mulai dengan membenahi sarana mengungkapkan diri. Sebelumnya yang mereka terima huruf Cina dan mereka sebut kanji. Ternyata huruf kanji saja belum mereka anggap cukup, masih diperlukan alat-suai. Mereka manfaatkan dua perangkat huruf ciptaan baru, untuk itu, katakana dan hiragana. Semua 'yang baru' tidak diterima begitu saja; dan itu gunanya aturan atau alat. Contoh kecil, kata berita mereka pinjam kata Inggris news yang mereka jadikan niusu, dan yang digunakan huruf katakana. Kata berita gunungapi, misalnya, digunakan kanji yang menggambarkan ka, api, dan sang, gunung, disusul niusu, pinjaman kata Inggris news.

Bangsa Jepang sadar, merekalah yang memerlukan penyesuaian tataistilah (baru), yang umumnya tergolong kata benda. Demi kejelasan, diperlukan kata kerja, karena 'kerja' digunakan dan diperoleh hasil, sedangkan golongan melengkapi maksud dalam mengadapi kebutuhan berkomunikasi. Untuk keperluan itu yang digunakan huruf hiragana.

Sekarang kita tengok pada diri kita. Apa yang terjadi pada kita? Rupanya, sebagai bangsa kita belum memiliki yang disebut tradisi. Di sini, yang ada tradisi budaya daerah. Bagaimanapun, cara untuk menyelesaikan masalah seperti yang dilakukan bangsa Jepang, yang semestinya kita sendiri yang menemukan, agar bisa pas. Dalam upaya kita membuat terobosan, ternyata ada pihak yang beranggapan bahwa jalur yang mudah adalah menerima yang 'umum'. Alasannya sangat sederhana, karena itu 'internasional'. Layaknya orang tanpa tradisi, sikap yang dimilikinya kekaguman sambil memandang capaian liyan yang maju dan meninggalkan kita terseok-seok. Tataistilah yang berbeda itulah anggapan yang jadi sumber. Cara memperbaikinya hanya satu, yaitu milik sendirilah yang harus dibuat menginternasional.

Sejak awal ada upaya mengalihkan tataisilah ke bahasa Inggris, saya mulai bertanya-tanya. John M. Echols dan Hassan Shadily penyusun Kamus Inggris Indonesia, sejak awal membiarkan jenis kata digunakan istilah yang lazim. Jenis kata itulah nama yang kita terima mengikuti sejarah pengajaran bahasa dari zaman penjajahan Belandanya ketika barang yang sama bernama woordsoort, dan sekarang jadi kelas kata karena sumber rujukan beralih ke Inggris-Amerika.

Seperti kita ketahui, jenis kata terbagi dalam jumlah tertentu. Sebenarya ada semacam aturan, asal saja kita mau memperhatikan. Terbanyak dan termudah dikenali adalah kata benda. Kita lihat saja akan diri kita dan lingkungan kita: Ada orang, gunung, air, dst. Ada juga aku, engkau, lalat, dst. Agar ujaran bermakna, setelah kata benda menyusul kata kerja. Orang, gunung, dan air yang tiga-tiganya kata benda, agar bermakna perlu diketahui 'kerjanya', maka dengan bantuan kata kerja, kita peroleh orang berjalan, gunung meletus, air mengalir. Dengan menggunakan kelompok berikutnya kita temukan aku makan, engkau mengantuk, lalat hinggap.

Jenis kata berikut yang paling umum adalah kata sifat. Maka kita dapat membuat contoh orang timur, gunung tinggi, air bersih. Seperti halnya kata benda. kata kerja, dan kata sifat, selama ini yang kita jadikan sebagai pembanding adalah bahasa Belanda. Itu sangat wajar, karena yang ada antara kita dan Belanda adalah hubungan kesejarahan dan budaya. Jangan hanya bicara tentang penjajah dan rakyat terjajah. Dari sana terjadilah loncatan yang dibuat seorang muda Belanda. Ia lahir di Solok, Sumatera Barat. Ialah W.C. van Ophuisen. Saya yakin, sebagai seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan dan alam sekitar yang baginya kesan yang sangat mendalam. Berbeda dengan anak lain sebaya, budaya latar belakang yang berbeda, yaitu Belanda. Yang membuat kami, saya, adik serta kakak langsung semua jadi dekat buku rasanya karena karena tumbuh di bingkai atau kerangka waktu kami. Bagi Van Ophuysen muda tidak ada pilihan lain, karena ia jatuh cinta pada bahasa Melayu, khususnya karya sastera Melayu. Minat di satu pihak dengan tradisi meneliti dan menulis di pihak yang lain yang terdapat di kalangan orang Belanda itulah yang membuat ia akhirnya jadi seorang peneliti dan ilmuwan.

Tradisi, itulah dorongan kuat yang membuat seorang menemukan jalan. Semua akan jadi berbeda dalam ketiadaan tradisi. Bagi seorang tanpa tradisi, begitu ia terusik oleh kemunculan ihwal baru dalam bidangnya, ia langsung menyangka inilah 'kiblat' yang perlu dianut. Singkat kata. kembali kita ke pihak yang begitu mudah untuk beralih ke ranah Inggris (Amerika), tersebab wawasannya terbatas.

Seperti baru disinggung, yang semula disebut jenis kata berganti jadi kelas kata. Yang selanjutnya makin berat adalah kenyataan bahwa sumber kata diambil dari bahasa Latin. Maka kata benda jadi nomen, kata kerja jadi verba, kata sifat jadi adjektiva, dst. Di awalnya dikira seperti semua mudah. Ternyata yang tampak itu sebenarnya di permukaan. Yang tidak disadari, yang selanjutnya adalah bahwa semua harus dipindahkan ke sistem yang baru, yang berarti energi, dan ini tidak banyak orang menyadari. Kita lihat upaya itu sampai kini tidak berhasil. Apa sebabnya?

Semua kesulitan itu berpangkal pada ketiadaan kebiasaan atau secara umum tradisi. Di zaman ilmu dan teknologi sekarang, ini sama artinya dengan rasa asing membaca-menulis dan menyimpannya. Perang Diponegoro yang kita bicarakan di Parwa Satu bersumber pada terbatasnya komunikasi antara pihak kita dan Belanda. Salah tafsir bertambah tersebab keterbatasan penerjemah dalam menangkap rona makna kata.

Komunikasi di dasarnya adalah proses menyampaikan pesan, dari yang disebut sumber ke pihak yang bernama penerima. Sebagai makhluk sosial orang memerlukan berhubungan dengan sesama atau Tuhan, yang ada di 'Atas' atau apa pun namanya. Itu sebab, muncul yang disebut agama. Maka, untuk berkomunikasi digunakan tidak cukup hanya satu cara.Yang berguna justru bukanlah kata, melainkan kekuatan jenis lain, sebut saja daya khayal dan daya-angan. Dari sana muncul seni, yaitu bentuk ungkapan rasa syukur, terjadi di mana saja sepanjang masa, mengejawantah dalam berbagai bentuk perwujudan, berupa bangunan, hiasan, tarian, nyanyian, dan apa pun yang ada di jangkauan daya-angan para munsyi.

Seperti disinggung di Parwa Dua, sejak beberapa tahun muncul yang bernama gadget—atau jika mau Indonesianya acang—yang kian lama kian banyak ragam dan kemampuannya. Jadi berniat, berkomunikasi dapat dilakukan kapan, dengan siapa, dan di mana saja. Yang kini justru jadi soal adalah berkomunikasi dengan yang ada di 'Atas'. Tidak ada waktu, tidak mau atau menutup diri. Di bagian akhir Parwa Tiga ini masih akan disinggung.

Sebenarnya, orang dapat belajar dari nasib kebudayaan penduduk asli di benua Amerika sebelum dan setelah kedatangan orang Eropa. Para conquizadores, penakluk sepert Cortez. Dalam waktu singkat semua lenyap, dan itu gara-gara sikap congkak para pendatang dan menganggap diri bangsa yang unggul. Semua yang dijumpai dihancurkan karena yang jadi sasaran namanya emas dan perak. Para conquizadores ternyata adalah perampok, dan barang jarahannya juga tidak aman. Di laut yang luas perompak alias bajak laut sudah menunggu. Demikianlah, itu sekeping yang boleh kiranya disebut hukum-kekuatan di sejarah dunia, tidak hanya dulu, melainkan berlangsung sampai kini. Yang berbeda hanya raut muka, kenampakan atau lahiriahmya.

Cara yang dilakukan orang Sepanyol pernah juga mereka coba terapkan di Nusantara. Kini yang tersisa adalah nama Pilipinas, nama resmi negara tetangga kita. Meskipun nama ditulis menggunakan huruf P, kita mengejanya dengan F. Apa sebabnya? Karena kita menganggap 'buktinya' dalam bahasa Inggris Philippines. Sekali lagi, itu cara kita bernalar.

Jembatan dapat kita gunakan sebagai tamsil dalam upaya orang memudahkan hubungan antara kedua sisi sungai. Yang digunakan pola pikir dan segi pandang tata-letak, di sisi yang berlawanan. Dari segi letak tempat, memang dekat, tetapi ketiadaan jembatan berarti adanya kendala. Upaya berpindah dari sisi yang satu ke sisi yang satu ke yang lain sebanding, karena jarak sama, meski titik tolak berbeda. Kehadiran jembatan membuat keadaan berbeda, dalam arti lain, lenyapnya kendala.

Menjembatani hakikatnya juga bertindak jadi benda yang ditempatkan sebagai matarantai dalam alih tempat. Secara bendawi yang semula terpisah, dan kemudian karena ada jembatan, yang semula terpisah jadi terhubung, maka makna pun bergeser. Itu juga dianggap kias, dari yang semula nyata dari sisi 'jurang' yang berbeda dan beralih ke susi 'jurang' yang lain. Itulah sekedar tamsil, karena tamsil sering menolong bilamana kita merasa ada yang cupet pada sesuatu.

Marilah berandai-andai bahwa kita ada dalam kedudukan sebagai seorang yang sedang menulis dan berniat menuangkan yang ada dalam kepala, yang nirmaujud, yang 'tidak ada', lalu kita tuangkan ke dalam tulisan. Bisa saja kitu tuju gambar atau tentu saja kedua-duanya, tulisan dan gambar.

Pada saat orang menulis, bisa terjadi ia berulang-ulang memilih cara yang hendak digunakan dalam menyatakan butir atau percikan yang terlintas di benak. Apa yang jadi penyebab mengapa upaya harus dilakukan berkali-kali? Alasan sederhana saja, karena ketiadaan atau belum akrab dengan 'alat' yang digunakan. Untuk beralih ke apa pun diperlukan energi, dan ini berarti tambah beban otak, yang jatuhnya juga sama, daya lebih banyak, dan ditingglkan yang pada hakikatnya hanya alat.

Di atas kita berbincang-bincang tentang penataran DIKTI yang diselenggarakan selama bertahun-tahun. Pokok soalan adalah tataistilah usulan KBBI yang bersumber bahasa Latin. Kita juga boleh menyatakan, dengan kata lain, upaya mengganti tataistilah adalah urusan ranah bahasa.

Kita harus menyadari bahwa masalah bahasa tidak berdiri sendiri. Saya mengambil contoh perkara yang di Amerika Serikat tidak kunjung selesai. Yang jadi soalan pokok niat pihak berwenang untuk going metric yang sudah lama mau dijadikan aturan.

Adalah Napoleon yang memulai dengan tatabab liter-gram-sekon atau detik sebagai satuan dasar. Perkara itu sudah dibahas dalam Parwa Satu. Sampai sekarang niat going metric itu di Amerika Serikat tidak ada kelanjutan. Demikian pula lalu-lintas kiri yang berawal di Inggris dan diusulkan diterapkan di tempat lain. Di Eropa akhirnya semua negara sesudah PD II menganutnya, kecuali Inggris yang sampai saat ini tetap bertahan dengan lalu-lintas kiri.

Karena kita membicarakan perjalanan sejarah Indonesia, saya kira ada gunanya kita singgung lalu-lintas di Timor Leste. Sebelum digabung dengan kita, lalu-lintas di sana juga kanan. Segera Indonesia berkuasa, lalu-lintas jadi kiri, dan kini setelah mereka merdeka, lalu-lintas dibiarkan kiri, sama seperti kita dan sama pula dengan tetangga besar yang lain Australia. Mengembalikan ke lalu-lintas kanan lebih besar mudarat daripada manfaatnya. Yang juga berubah bingkai waktu, tersebab kenyataan Timor Leste kini memiliki sumber daya minyak yang berasal dari Timor gap, celah Timor.

Seperti dikatakan, sejak 1923, Negara Turki berubah dalam segala-galanya. Huruf Arab sebagai sarana umm diganti jadi Latin. Sejak awal, Negara Turki memang menggunakan huruf Arab. Bisa kita bayangkan, negara yang sebelumnya selama beratus tahun menggunakan huruf Arab, tiba-tiba bertukar ke huruf lain, dalam hal ini Latin, Sebelum langkah itu terlaksana, persiapan perlu dibuat, yang intinya setiap tatabunyi bahasa Turki harus juga dinyatakan dalam huruf yang merujuk ke bentuk huruf Latin terdekat. Sebagai pembanding, berbagai bahasa di Balkan, Eropa Tengah dan Timur. Termasuk tanda Umlaut dalam bahasa Jerman yang kini dimanfaatkan tidak hanya untuk tulis-menulis Jerman, juga beberapa bahasa tetangganya. Semua kenyataan itu diperhitungkan.

Bapak Bangsa Turki, Mustafa Kemal Atttaturk telah memutuskan bahwa negerinya jadi negara moderen. Itu tidak berarti, ikatan dengan budaya latarbelakanginya diubah. Islam sebagai agama yang dianut sebagian besar rakyatnya, demikian pula huruf Arab harus pula dipelihara dengan baik, Bagaimanpun itu bagian dari sejarah. Quran diturnkan dalam bahasa dan huruf Arab. Selama enam abad Turki pernah jadi kesultanan dan wilayahnya pernah meliputi selain bagian utara benua Afrika secara keseluruhan, juga wilayah Balkan di Eropa. Bangsa yang pernah berjaya begitu lama tentu sadar akan makna sejarah bagi dirinya.

Sejarah Kesultanan Turki pula, atau tepatnya Maroko adalah daerah yang bagi bangsa kita tercatat asal utusan yang mencapai Pulau Jawa. Utusan itulah yang diakui sebagai penyiar pertama agama Islam dan diberi gelar wali yang pertama. Memang, penyiar agama Islam tidak hanya seorang dan daerah asalnya pun bukan hanya Maroko, demikian pula daerah yang dijadikan tujuan tidak hanya Pulau Jawa, tetapi hal itu dibicarakan dalam alur berbeda.

Kita kembali ke pokok yang sedang kita bicarakan, yaitu benang komunikasi. Di dalamnya kita bedakan tatabunyi yang melambangi huruf, juga tatabunyi itu sendiri. Yang juga tak ditinggalkan perkara lintas budaya. Bangsa Turki tersebab peradaban berhadapan dengan ketentuan huruf Latin yang saat itu akan mereka terima dan pihak lain sudah dulu menerimanya daripada mereka.

Dalam kenyataan seperti yang kita saksikan selama ini, komunikasi memang memerlukan berbagai cara. Yang biasa kita lakukan komunikasi lewat kata dan dirangkai berbentuk bangun kalimat yang masih kita ikuti sampai sekarang. Sutan Takdir Alisyahbana (STA) orangnya yang melangkah dulu. Sebagai pelopor, dan ia-lah yang menggariskan aturan dan dapat diikuti nalar.

Komunikasi jenis lain lagi tentu ada. Dalam hidup, di suatu ketika, mungkin kita mendengar ada yang mengucapkan, entah apa, tetapi kelanjutannya tidak ada, akhirnya kejadian itu terhenti dan hanya sampai di bunyi itu. Jika bunyi yang sama terjadi berulang kali, maka selanjutnya bunyi itu dianggap 'cukup'. Setelah kita 'mengenal barangnya', sumber bunyi atau lawan bicara bersikap 'seolah-olah' dimafhumi. Padahal ketiadaan jawab bisa juga isyarat ketakmengertian. Ada contoh sangat menarik, yaitu kata Inggris (singkatan) OK atau ditulis okay. Kemunculan untuk pertama kata itu tercatat di tahun 1841. Sekarang, lebih dari satu-setengah abad kemudian, kata itu sudah jadi warga bahasa masa, tidak hanya diserap ke dalam bahasa Perancis, Jerman, dan entah bahasa apa di dunia, termasuk Indonesia. Di situlah kita berhadapan dengan hal yang secara ringkas sebut saja “Saya tidak tahu”.

Saya masih selalu teringat akan cerita Ayah dari zaman penjajahan dulu. Pendidikan ketika itu masih sangat terbatas. Konon, dengan modal kenyataan itu, ditambah lagak gertak, sekerhetts tansikor jadi semacam kekuatan, dan mampu digunakan untuk menggertak dan menunjukkan 'wibawa'. Padahal ucapan 'asing' (aneh) itu berasal dari tulisan di kotak korek api buatan Swedia.

Satu lagi dari zaman penjajahan dulu. Namanya penjajah dan tempatnya 'di atas' kita yang dijajah dan hanya menurut. Begitu ada orang kulit putih, ia-lah yang harus dituruti. Yang biasa pejabat Belanda lakukan adalah berkunjung ke desa, controlleren, artinya memeriksa keadaan di daerah. Bagi pejabat Belanda yang ditempatkan di daerah, dari sana muncul istilah dari yang memerintah untuk yang diperintah langsung, seperti pejabat tertinggi pribumi, Bupati. Padan istilah Belanda untuk bupati adalah regent, yang memiliki tugas merintah, regeren. Di depan juga saya sebut kata kanjeng. Khusus dalam unggah-ungguh atau hirarki alam feodal, diperlukan istilah tambahan ndoro. Maka bagi mereka yang memiliki 'kedudukan, istilah tambahan itu perlu ada. Ada ndoro kanjeng, ndoro wedono, dan dulu ada banyak ndoro lain, termasuk ndoro yuk bagi pedagang Cina yang bisa memberi piutang bila seorang dalam kesulitan.

Kita kembali ke pemerintahan terendah di daerah, dijabat orang pribumi dan bernama bupati. Pihak Belanda yang tugasnya mengikuti gerak-gerak bupati terus-menerus adalah assistent resident, yaitu pembantu langsung resident. Pada gilirannya ia memiliki pembantu dekat, yang tentunya juga orang Belanda. Ia-lah yang disebut controleur, atau dengan lidah kita, kontrolir. Ia datang sekedar hanya untuk melihat-lihat keadaan dan tentu ditemani seorang pejabat bumiputera, dan dapat 'merekam' kejadian.

Nun pada suatu saat, terjadilah peristiwa berikut ini, seperti dikisahkan Ayah, yang selain beliau bumiputera juga menguasai bahasa Belanda. Setelah beruluk salam, seperti bila orang tiba, sang kontrolir berucap pendek 'Zo, Lurah', Secara umum, katakan misalnya, 'Apa kabar, Lurah.'

Semua serba tak terduga-duga. Pak Lurah yang berpakain layaknya bilamana ada tamu, tanpa pikir panjang langsung meloncat, dengan sigap naik ke pohon melinjo. Ia siap siaga melakukan tugas apa pun bagi nDoro Tuan Kontrolir. Kain sinjang atau bebed yang ia kenakan malah kebenaran, karena setelah dengan sigap memanjat pohon melinjo, ia memetik daun muda-muda sekuatnya. Daun so, itu kesukaan banyak orang sebagai hidangan sayur.

Dalam bahasa Belanda, yang tampak adalah een zot tafereeltje, adegan kocak, dan tampak di depan mata nDoro Tuan Kontrolir. Itulah secercah kisah di zaman penjajahan Belanda di kurun 1920-an, nyaris seabad yang lalu. Kisah ini tentu hanya dapat diutarakan di sini berkat Ayah, karena beliau yang mampu merekamnya bagi kita lewat tulisan ini. Kebetulan ceritera masih nyantel di pingat. Itulah sebutir komunikasi dengan niatan baik, tetapi karena keliru menangkapnya, maka makna yang dipesankan berbeda. Penyebab semua adalah bingkai atau kerangka waktu masa kini, dan dengan sendirinya juga dengan manusia zaman sekarang.

Yang berikut ini bukan dari zaman penjajahan, melainkan terjadi menjelang akhir tahun 2013 di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Begitu melihat saya yang tampak sudah berumur (saat itu berusia 90 tahun) seorang petugas rendahan rupanya ingin memberikan jasanya. Sebagai seorang cekatan, ia langsung menawarkan biccer, pada anak saya Mamad, yang satu-dua detik sempat terbengong, tetapi segera menangkap yang jadi maksud petugas baik itu, pasti itulah wheelchair.

Alhamdulillah. Saat itu kursi roda tidak saya perlukan. Contoh lain, benda lain, tempat lain, zaman lain, dan soalan lain. Intinya, komnikasi timpang, dan itu dapat saja terjadi di mana saja, kapan saja, dan tentang apa saja. Kitalah yang perlu selalu mafhum dan bertindak bijak.