Sebelum kita memiliki gambaran mengenai permasalahan yang kita hadapi, saya mencoba memulai kisah ini dari awal, yaitu adanya dua pihak, 'Kita' dan dan 'Belanda'. 'Kita' ialah Kerajaan Mataram dan 'Belanda' adalah 'pihak sana', yang dalam perkembangan sejarah kemudian kita lihat sebagai dua kekuatan yang mencoba saling menafikan.

Kerajaan Mataram Islam didirikam oleh Panembahan Senapati (wafat 1601, dimakamkan.di Kota Gede) dan kita tahu belum banyak artinya. Penerusnya, yang diberi gelar Sultan Agung, membuat Mataram menjadi kekuatan politik yang terus bertambah besar. Di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613—46), daerah kekuasaan Mataram berangsur-angsur diluaskan lewat penggabungan satu demi satu daerah yang berdekatan. Semua daerah itu mandiri sejak Demak berdiri sebagai kesultanan yangt pertama di Pulau Jawa. Saya merasa, para penguasa itu rupa-rupanya bertindak selaku ahli waris Raja Majapahit.Yang juga selalu dibawa-bawa penguasa adalah berbagai benda pusaka Majapahit, walaupun agama telah berganti dari Hindu ke Islam. Kerajaan Mataram terus dimekarkan ke barat hingga Tanah Parahyangan di sebelah selatan Cirebon. Bersama-sama dengan itu, pengaruh bahasa dan budaya Jawa terus meluas,

Daerah pantai utara disebut Pesisiran, di timur adalah Bang Wetan, dan di barat Mancanegara. Yang dijadikan inti dinamai Mataram Agung. Dari sana kerajaan terus melebar ke barat dan timur, semua adalah Mancanegara, salain Banyumas yang dianggap masih memiliki banyak ke3samaan.

Sultan Agung tidak hanya seorang raja besar yang berhasil membuat kerajaannya jadi besar dan mampu memerintah selama 33 tahun. Salah satu penyebabnya tentu karena ia dapat meletakkan dasar bagi kebudayaan Jawa. Dengan sadar ia bertindak sebagai pewaris kerajaan besar Majapahit yang pusatnya di Jawa Timur. Berbeda dengan Majapahit yang Hindu, Mataram adalah Islam, dan Sultan Agung membuktikan dapat 'meniupkan ruh keislaman' dengan cara mengubah tarikh Çaka yang dasarnya peredaran matahari ke dalam tarikh Jawa yang disesuaikan dengan tahun Hijriah, lalu bulan Jawa disamakan, tetapi tahun meneruskan bilangan tahun Çaka. Karena rakyat Mataram hidup dari bertani, maka untuk keperluan itu mereka harus diberi pegangan. Untuk itu, terciptalah yang disebut Pranata Mangsa, perhitungan musim, dengan dasar peredaran matahari. Yang disebut mongso (dari kata Arab masa), juga berjumlah 12, dan yang paling menonjol adalah 'mongso ketiga', yaitu musim kering. Pada zaman itu, pengairan masih belum seperti yang ada sekarang, maka musim ketiga adalah musim ketika petani harus berpindah ke tanaman lain, di antaranya palawija yang membutuhkan air tak sebanyak tanaman padi. Setiap 'mongso' dikenali karena cirinya sendiri-sendiri. Lewat jalan itu diperoleh cara pandang masyarakat yang gembleng (menyeluruh),

Pendidikan di Mataram meneruskan apa yang sudah ada di zaman Hindu dengan pusat 'pesantren', tempat para santri dididik. Kata santri adalah tinggalan zaman Hindu. Kata 'pondok berasal dari bahasa Arab.

Kerajaan Mataram dan pemerintah Hindia Belanda merupakan dua kekuatan politik dengan dasar yang berlainan sama sekali dalam semua hal. Sebagai kelembagaan pribumi, kekuatan Mataram didasarkan pada tradisi dan sejarah. Dalam hal seperti itu, Raja jadi pusat semuanya. Sultan Agung yang membuktikan kehebatanya ternyata belum memenuhi tuntutan sejarah menyiapkan yang akan jadi penerusnya.

Saya mengira penyebabnya datang baik dari dalam maupun luar. Pendidikan di Mataram memang ada, tetapi belum dapat memenuhi tuntutan zaman yang terus berubah. Orang Jawa sangat percaya akan adanya dua 'jalur hidup' atau dunia, lahir dan batin. Seorang raja tidak hanya memimpin, ia juga menguasai orang lain, yang di dalamnya tercakup dalam ungkapan ambeg parama arta, yang kiranya dapat ditafsirkan sebagai berani dan berbudi halus.

Sikap batin yang dilatarbelakangi agama menuntut kesadaran akan keterbatasan diri. Raja yang jadi pengganti Sultan Agung adalah Amangkurat I lalu Amamgkurat II. Sikap mereka berbeda sama sekali dengan pendahulu mereka, maka Mataram pun runtuh. Ini bukti bahwa kedua raja itu tidak mampu memerintah dan saya kira berawal dari rasa sombong. Rupanya, 'agung' saja masih mereka anggap kurang. Raja ingin yang lenbih lagi, maka dari itu ditemukan kata rat. Amengkurat untuk menyatakan seorang yang menguasai jagat raya, hal yang tidak mungkin, menguasai alam semesta. Maka hanya dalam dua generasi, Mataram sudah tidak ada artinya lagi.

Sekarang, marilah kita meninjau yang kita sebut Negeri Belanda. Akan kita lihat betapa mereka berbeda dalam segala hal dengan kita. Wilayahnya kecil, seperenam puluh luas Nusantara atau seluas daerah Priangan di Jawa Barat, dan terletak di tepi barat daratan Eropa. Karena tanahnya yang rendah, dan sebagian bahkan di bawah permukaan laut. Itu sebabnya mereka menyebut negerinya Nederland. het lage land aan zee, Negeri Rendah, di tepi laut. Sejak zaman dulu orang Belanda pelaut dan selain itu pedagang. Barang dagangan mereka adalah rempah-rempah yang mereka kulak dari Lissabon, Portugal dan mereka jual di daerah Eropa bagian barat dan utara. Ini mereka lakukan dari tahun ke tahun, sampai akhirnya Raja Phillips II dari Sepanyol pada tahun 1494 menduduki Kota Lissabon dan melarang perdagangan rempah-rempah. Tindakan raja itu ternyata mengubah sejarah. Selain mendorong orang Belanda menemukan jalan yang menuju ke sumber rempah-rempah, juga menyebabkan ribuan orang Yahudi mengungsi ke daerah utara, mengelompok di tempat seperti Amsterdam di Negeri Belanda dan Gent di Belgia. Dua tempat itu kemudian berkembang jadi pusat kerajinan pengasahan dan perdagangan intan, sampai sekarang.

Karena berpengalaman dalam pelayaran, Belanda berulang-kali mencoba menemukan jalan ke Timur, sumber rempah-rempah. Mereka bahkan pernah mencoba menempuh jalur laut di utara Rusia, tetapi gagal. Akhirnya pada tahun 1595 adik-kakak Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman dapat mencapai Aceh di ujung barat Nusantara.

Keberhasilan tidak begitu saja datang, karena sebelumnya Cornelis de Houtman sudah pernah 'ikut-ikut' orang Portugis ke Timur. Dari sanalah rupanya ia 'belajar', dan bahan ajar yang paling penting adalah peta. Tidak hanya satu kali adik-kakak itu berlayar ke Timur. Pada perjalanan mereka yang kedua, Cornelis de Houtman terbunuh di Aceh.

Pada hemat saya sudah sejak awal komunikasi dibayangi kemacetan, atau dengan kata lain ada kendala, tidak hanya berupa bahasa, juga kecurigaan, yaitu adanya maksud lain yang tersembunyi belakangnya, ada udang di balik batu. Selain mengajak pelaut Belanda masuk Islam dan menikahi wanita Aceh—ada lima orang yang kemudian melakukannya—Sultan juga bermaksud menjadikan Belanda sekutu dalam memerangi orang Portugis (J.H. van Linschoten, dlm Steenbrink, 1991).

Jadi, sejak awal perjumpaan antarkelompok—Belanda dan kita—ada 'warna politik', yaitu tidak dapat dipungkiri selalu ada maksud lain yang ikut menyelinap. Apalagi jika kemudian pihak ketiga muncul, dan ini terjadi di mana dan kapan saja, termasuk dalam sejarah seperti yang kita lihat di sini. ketika Belanda mendapat tempat untuk berpijak di Jayakarta. Yang semula Jakarta mereka jadikan Batavia. Ketika perjanjian Giyanti terjadi—yang masih akan disinggung di bawah—juga dirangkaikan dengan kepentingan yang lain. Begitu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, maka berbagai kepentingan lain pun bermunculan, sehingga akhirnya tercapai keseimbangan, kata lain untuk kata sepakat. Bahkan sampai sekarang, kita tak mungkin terhindar dari kenyataan itu. Maka dari itu, kita harus 'pandai-pandai bermain'.

Kita kembali ke saat awal perjumpaan antara Belanda dan kita. Sikap yang diambil Frederik de Houtman berbeda. Ia dikenal sebagai seorang yang selama berlayar selalu memiliki kesibukan mengumpulkan kata dan mencari padanannya dalam bahasa Belanda. Ketika singgah di Pulau Madagaskar, di sana pun ia melakukan hal yang sama. Kita tahu, bahasa di Madagaskar banyak kemiripan dengan bahasa Melayu. Rupanya itu yang menarik minatnya. Yang juga rajin ia pelajari adalah ilmu bintang di langit belahan bumi selatan, yang baginya baru, sehingga sangat membantu dalam pelayaran. Menyusul terbunuhnya Cornelis, adikna, ketika di Aceh, ia ditahan dan waktu di tahanan juga ia manfaatkan untuk menambah kosakata.

Akhirnya, Frederik de Houtman berhasil mencapai muara Ciliwung. Itulah saat yang boleh dicatat sebagai awal perjumpaan Belanda dengan orang pribumi Pulau Jawa. Keberhasilan De Houtman menemukan jalan ke Jawa memicu saudagar Belanda untuk beramai-ramai berlayar ke Timur, yang tentu sangat merugikan mereka sebagai sesama orang Belanda. Pihak pimpinin di negeri Belanda yang dikenal dengan sebutan De Heeren Zeventien—berjumlah 17 orang, karena di sana belum ada yang disebut raja—langsung turun tangan. (Kita suka menyingkat apa saja, barangkali kita dapat memberi nama mereka Julas, atau dengan bahasa prokem, 'Bos 17'). Karena sikap tegas Bos-17, pada tahun 1605 sudah berdiri VOC, Vereenigde Oost-Indische Compgnie, badan usaha yang dalam kurun 300 tahun berikutnya dalam sejarah Nusantara akan berperanan sangat besar. Kita dapat menyaksikan bahwa VOC yang dalam kalangan orang pribumi dikenal sebagai 'kumpeni', memiliki segala-galanya, layaknya negara, dapat mengikat perjanjanjian, memiliki angkatan bersenjata dan mata uang. Saya masih ingat, pada waktu kecil uang receh VOC masih banyak yang tertinggal dan digunakan untuk 'kerikan', menggosok-gosok badan dengan minyak sewaktu orang 'masuk angin'.

Barang dagangan andalan VOC adalah rempah-rempah yang tumbuh di negeri ini, dan karena mereka pedagang perantara mataniaga itu, mereka menjualnya lagi di seantero Eropa. Usaha itu berakhir setelah VOC dinyatakan bangkrut pada tahun 1849, karena utang yang menggunung sebagai akibat korupsi. Sejak tahun 1850 semua kewajiban dan tanggung jawab VOC, termasuk utang-piutang diambil alih oleh Pemerintah Belanda, dan sejak saat itu berdirilah yang disebut Nederlandsch-Oost Indie. Bagi kita sebagai bangsa terjajah, tidak ada yang berubah.

Dalam sejarah kekuasaan Belanda di Nusantara, ada orang yang tercatat sebagai peletak dasarnya. Namanya Coen (Co-hen?). Jan Pieterszoon Coen lahir di Hoorn, kota kecil di ujung Noord Holland, pada tahun 1587. Ia orang luarbiasa. Pada umur yang baru 20 tahun (1607), untuk pertama kali ia berlayar ke Timur sebagai onderkoopman (pedagang muda) VOC. Pada perjalanannya yang kedua, pangkatnya sudah opperkoopman (pedagang utama)..Tahun berikutnya, 1613, Coen diangkat jadi directeur generaal (semacam inspektur umum) semua negorij yang terdapat di negeri ini, dan pada tahun 1617 sudah dijadikan gubernur jenderal. Ia tidak mau menerima jabatan itu begitu saja karena masih ada orang yang menduduki jabatan ini. Baru setelah gubernur jenderal Rasael menyerahkan tugasnya, Coen pada 1619 secara resmi menerima jabatan gubernur jenderal. Sebagai catatan, kata negorij berasal dari kata Melayu negeri, tetapi bagi VOC diberi makna gudang.

Sebelum Coen tiba, Gubernur Jenderal Both yang bertugas di negorij Jakarta memperoleh sebidang dari Pangeran Jakarta, wakil Sultan Banten. Begitu Coen tiba, ia langsung menempatkan pasukan penjaga sebanyak 24 orang, dan beniat menjadikan tempat itu benteng. Ternyata negorij ketika pada tahun 1619 dipimpin Van den Broecke diserang orang Inggris dengan bantuan penduduk Jakarta. Pada bulan Mai tahun itu juga Coen menyerang balik dengan kekuatan 1000 orang bersenjata, dan permukiman penduduk dibakar sampai ludes.

Kisah itu dapat memberi kepada kita sedikit gambaran latar masyarakat Jakarta pada zaman itu. Jakarta yang terletak di tepi Sungai Ciliwung bukan lagi kampung kecil, dan penduduknya berasal dari mana-mana, juga dari mancanegara, tetapi terbanyak tentu saja dari daerah di dekat-dekatnya. Bahasa yang digunakan bisa dipastikan Melayu, dicampur dengan unsur dari mana saja, termasuk Bali. Ini nyata dari akhiran -in pada logat Jakarta yang dibawa budak perempuan Bali.Tidak hanya bahasa Bali berpengaruh, juga bahasa lain seperti Cina (kata lu dan gua yang jadi 'gue'), Arab (kata ana dan anta yang jadi 'ente', dan tentu saja Jawa. Kata Sunda Cihideung—nama sungai kecil yang airnya hitam karena berasal dari rawa—akhirnya berubah jadi Kali Cideng, sampai sekarang. Yang disebut budak tentu tidak hanya didatangkan dari Bali, tetapi dari mana saja, karena pada zaman itu perbudakan masih terdapat di mana-mana.

Coen dalam waktu singkat dapat menghimpun 1000 orang tentu karena memiliki dana, dan orang sebanyak itu mau membantunya untuk berkelahi karena mengincar upah. Dari mana asal mereka? Saya kira, mereka orang setempat. Gambaran umum, di mana dan kapan saja di dunia ini, bahkan sampai hari ini, serdadu bayaran berasal dari mana saja. Pada saat dikepung itulah, pos Belanda itu mendapat nama Batavia, nama suku zaman dulu yang mendiami negeri Belanda. Nama Batavia bertahan hingga jadi Ibukota Hindia Belanda, dan nama Jakarta pulih ketika Indonesia merdeka.

Jan Pieterszoon Coen memberi kesan mendalam pada orang Jawa, tidak hanya karena ia seorang pemberani, juga karena sangat kejam, terutama di Maluku Ia pernah ditegur Bos-17, tetapi berkilah semua itu bukan bagi dia, melainkan demi VO Dalam kalangan or otuang Jawa ia mendapat julukan Murjangkung, mungkin karena sosok tubuhnya yang tinggi-besar.

Batavia tidak hanya sekali itu diserang. Pada tahun 1628 kedudukan Belanda itu dikepung oleh perjurit dari Mataram dan Banten, dan kejadian itu berulangi pada tahun 1629.Coen terbunuh 21 September 1629. Yang masih tersisa dari zaman itu adalah kata 'Matraman', yang sekarang terekam sebagai nama jalan.

Saya masih ingat pada waktu kecil, gambar yang menampilkan kekejaman dari masa VOC. Gambar itu berupa tengkorak Pieter Elberfeld, dipasang di atas tembok di daerah kota. 'Monumen' itu jelas merupakan isyarat peringatan kepada orang yang berani menentang VOC, meskipun ia orang Eropa,

Seperti kita lihat, kedatangan Belanda di sini didorong upaya menemukan sumber barang dagangan. Barang yang mereka cari itu diperoleh lewat perundingan dan setiap perundingan berakhir dengan perjanjian, entah apa namanya dan bagaimana persyaratannya. Tentu saja semua dilakukan dalam bahasa Belanda yang tidak kita kuasai, dan dikukuhkan berupa verdrag, overeenkomst, schikking, traktaat, yang tidak bisa kita sepadankan, karena pada kita memang tidak ada kata untuk semua itu. Kita juga dihadapkan pada ukuran, dari ukuran panjang, ukuran berat, lebih-lebih lagi ukuran luas. Di antara ukuran panjang yang kita kenal baru jari, langkah, dan depa. Yang juga muncul ukuran luasan lahan dan berhubungan dengan upah kuli penggarap tanah. Maka muncullah kata 'bahu', yang diambilalih Belanda dan dijadikan bouw. Kebetulan bunyinya dekat bebouwen, mengerjakan tanah. Maka kata bouw oleh Belanda dibakukan jadi luasan lahan 7095 meter persegi. Inilah contoh mengatasi bidang temu, menjembatani 'bunyi' dengan angka. Di Jawa Barat ada juga urusan serupa, luasan lahan dengan satuan tombak. Dibandingkan dengan bahu, soal ini tak terlalu rumit. Yang tetap kabur adalah jung, yang menilik akan bunyinya berasal dari bahasa Cina.

Dengan perjanjian yang serba kabur dan luasan tanah yang tidak dapat dipegang, tanah Kerajaan Mataram 'ditelan' waktu. Ternyata tidak salah peribasa Melayu yang mengatakan 'Seperti Belanda minta tanah', dan ini terjadi sejak pertama kali Belanda mendapat sepetak tanah di Jakarta, di tepi Sungai Ciliwung seperti telah dikisahkan di atas.

Marilah kita melihat lebih lanjut sejarah hubungan Belanda dengan kita dari awal-mulanya. Mereka tahu apa yang dihasilkan negeri ini, pendorong yang membuat mereka menempuh jalan yang begitu jauh dan sampai di sini, hingga berangsur-angsur menjadi penguasa. Negeri induk mereka biasanya diistilahkan moederland, yang luasnya sama denganTanah Priangan. Sebaliknya adalah negeri yang mereka datangi dan kemudian jadi tanah jajahannya, yang mereka sebut Oost Indie (India Timur).

Peralihan dari pemerintahan Raja Jawa ke pemerintahan Hindia Timur tidak tiba-tiba, melainkan berangsur-angsur melewati sejumlah tahapan. Buku ini bukan buku sejarah. Semula saya hanya bermaksud membahas masa ketika Belanda bersiap-siap menjadikan Pulau Jawa sebagai 'modal kerja' dalam 'pengusahaan' tanah jajahannya. Ini dapat kita tangkap dari sejumlah langkah mereka. Pulau Jawa—di mata Belanda—adalah daerah 'yang lain' daripada Hindia Belanda selebihnya, karena tanahnya yang subur dan penduduknya cukup maju. Dengan modal kerja terbatas, dalam waktu singkat dapat dipastikan mereka akan mampu memperoleh keuntungan.

Ada peristilahan dalam bahasa Jawa—pada suatu ketika—untuk menunjukkan kedudukan tempat terhadap kerajaan Mataram, dan tetap digunakan setelah perjanjian Giyanti (13 Pebruari 1755), dan Kerajaan Mataram sudah jadi Solo dan Yogya, ditambah lagi Mangkunegaran. Kisah sedih 'bangsa' seperti tiada hentinya. Maka ketika Inggris datang di negeri ini dan menggantikan Belanda selama lima tahun (1811—1816), Sir Stamford Raffles sempat menampilkan Raja Jawa keempat, Pakoe Alam, di pentas negeri ini. Dapat kita lihat, pada awalnya Pusat adalah 'Negara Agung'. Mataram yang begitu luas tetapi terus susut hingga tinggal sebesar daun kelor, tidak ada artinya. Setelah luas kerajaan makin susut, istilah pun bergeser. 'Negara' atau dalam logat Jawa kromo Negari, jadi hanya 'Kota Solo' dan 'Kota Yogya'. Saya masih ingat pada waktu sebelum tahun 1930, bilamana orang di Kricak mau pergi ke kota masih menyatakan (dalam logat kromo): “Bade dateng Negari.” Ada lagu dari zaman itu yang berdendang (sepotong) '. . . Kricak lor Negara. . .' (Kricak di utara Negara), padahal kini Kricak masuk Kota Yogyakarta. Lagu itu tidak banyak lagi yang tahu. Dulu, sebelum kerajaan Jawa tinggal sebesar daun kelor, daerah di luar Negara Agung disebut Mancanegara, daerah pantai utara adalah Pesisiran, dan yang di ujung timur adalah Bang Wetan, seperti telah disinggung di atas.