Saya kira, penduduk negeri ini sudah umum menyebut dirinya orang Timur, dan orang Belanda digolongkan kepada bangsa Barat. Pada awalnya, kita dan mereka berada dalam dua dunia yang berbeda segala-galanya, sehingga tidak mungkin membicarakan kedua-duanya senafas.

Ada pernyataan yang telah menyejarah, yang terlontar oleh Hamengku Buwono IX ketika beliau dilantik oleh Gubernur Adam sebagai Sultan Yogyakarta (1940). Dalam nas sebagaimana terekam, . '. . . Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan . ..' (Meskipun saya telah mendapatkan pendidikan yang benar-benar Barat, saya ini Jawa, dan Jawa itulah pertama-tama.) (Atmakusumah, 1982). Dalam pendahuluan bukunya tentang kisah Diponegoro, Carey (2011) menyatakan hal serupa tetapi terbalik, tentu sekedar canda. Al ben ik oosters opgevoed, ik ben en blijf een Engelsman, dan ia tambahkan, betapa banyak yang tidak ia mengerti—meskipun isterinya priyayi Solo—dan mungkin bakal tidak akan mengerti [tentang hal yang menyangkut budaya dan masyarakat Jawa]. Saya tambahkan di sini pernyataan Rudyard Kipling (1865-1936), penulis Inggris terkenal, 'East is East, and West is West, and never the twin shall meet' (Timur, ya Timur, dan Barat, ya Barat, dua-duanya itu tak bakalan bertemu). Itu dulu, tetapi di masa mendatang Timur dan Barat menyatu! Apa yang akan terjadi dan apa penyebabnya? Dalam dunia yang baru dan tatanannya juga baru, orang tidak lagi berpikir seperti itu. Juga yang disebut 'nasionalisme' semestinya juga berbaju baru.

Dalam sejarah Indonesia, ada tiga tokoh yang telah bertindak sebagai jembatan antara dua ujung yang berbeda dalam banyak seginya itu. Tiga orang itu adalah Rumphius, Junghuhn, dan Douwes Dekker. Rumphius dan Junghuhn berkiprah dalam bidang natuurwetenschappen, sedang Douwes Dekker dengan berbekal cultuurwetenschppen, mula-mula bekerja di pemerintahan dalam negeri, binnnenlandsch bestuur, disingkat BB, tetapi gejolak hatinya lalu bertukar haluan dan jadi penulis ulung.

Yang disebut natuurwetenschappen dalam bahasa Belanda pada zaman itu adalah ilmu—atau pada awalnya lebih kena jika disebut—cara untuk mendekati atau mengerti semua yang terdapat di sekitar kita. Ketiga orang itu tidak hanya tertarik atau terpesona, atau boleh dikatan bahkan jatuh cinta pada alam negeri ini. Jadi, kalau kita mau, kita indonesiakan ilmu itu jadi 'ilmu keperialaman'. Dewasa ini, ilmu itu terdesak oleh perwujudan yang diberi nama ilmu kebumian dan kehayatan. Tidak berhenti di sana, karena pada gilirannya, kedua-duanya terus bercabang-beranting, beranak-pinak. Cultuurwetenschappen yang oleh sementara pihak disebut humaniora berhubungan dengan manusia. Itu pun terus berkembang, entah ke arah mana.

Sebelum kita membahas apa yang telah terjadi, terlebih dulu marilah kita mengenal siapakahh mereka itu. Kita mulai dengan yang pertama, Georg Everhard Rumphius. Menilik namanya, ia berasal dari Jerman. Sebagaimana umumnya orang Jerman pada waktu itu, nama keluarga Rumpf dilatinkan jadi Rumphius, dengan menambahkan akhiran Latin -ius.

Rumphius yang lahir pada tahun 1628 di Hanau, Jerman sejak awal sudah ingin mengembara, berpetualang melalang benua. Ia mendaftarkan diri pada VOC, pada tahun 1653 jadi serdadu dan dikirim ke Batavia atau sekarang Jakarta. Rupa-rupanya, karena orang sejak awal melihat tingkah-lakunya tidak sesuai dengan potongan seorang serdadu, maka pada tahun berikutnya, 1654, ia dipindah dan jadi orang sipil dengan pangkat onderkoopman (pedagang muda), lalu dikirim ke Ambon. Ternyata ia senang tinggal di sana dan tak lama kemudian ia menikahi gadis setempat. Atasannya juga senang dengan kinerjanya, dan pangkatnya naik jadi opperkoopman (pedagang kepala). Rumphius selain mengurus perkara rempah-rempah juga mencurahkan perhatian yang sangat besar terhadap alam lingkuangan, selain Pulau Ambon, juga kepulauan di sekitarnya. Pada awal tahun 1670, untuk keperluan kedinasan ia dipanggil ke Batavia. Pada perjalanan itulah, pada April itu juga, ia mendapat musibah karena ia terkena penyakit mata, glaucoma, yang membuatnya buta untuk selama-lamanya. Meskipun gerak dan kegiatannya jadi sangat terbatas, semangatnya untuk hidup dan berkarya tetap menyala-nyala. Perusahaan maklum akan semua kejadian yang menimpanya. Ia diperbolehkan untuk tetap ada di Ambon, dan membantu dalam pekerjaan yang masih terjangkau. Yang ia lakukan adalah hal yang tidak terduga-duga, yaitu meneruskan kegiatan yang telah ia mulai, meskipun ia tidak dapat melihat. Siapakah yang meneruskannya? Ternyata anaknya, Paul August Rumphius yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk menyesaikan tugas ayahnya; meskipun apa yang dilakukan Rumphius muda tak pernah disebut-sebut

Sejarah tidak ingkar. Pada 1902, dua abad setelah G.A. Rumphius meninggal pada 1702 pada usia 75 tahun, berkat prakarsa Museum Daerah Penjajahan di Haarlem, Negeri Belanda, tersusunlah buku peringatan mengenai pekerja yang tekun, ulet dan tak kenal lelah itu. Selain karya di bidang alam tumbuhan dan alam binatang, Rumphius juga mengumpulkan berbagai benda yang masuk bidang geologi, baik batuan maupun fosil. Itu semua yang kemudian terhimpun dalam yang disebut Amboinsche Rariteitenkamer (Kumpulan benda aneh dari Ambon). Yang juga perlu dicatat khusus, berkat ketekunannya ia meninggalkan jejak dalam budidaya sagu atau bahasa Latinnya Metroxylon rumphii.

Orang kedua yang jasanya bagi dunia ilmu negeri ini sangat besar adalah Franz Wilhelm Junghuhn yang lahir pada tahun 1809 di Mansfeld, Jerman. Junghuhn dididik untuk jadi dokter. Karena terkena perkara pembunuhan, ia masuk Legiun Asing Perancis. Karena tidak betah, ia kemudian jadi serdadu VOC dan dikirim ke Indie atau De Oost. Di zaman itu yang bernama Hindia Belanda belum ada, jadi orang Belanda mengatakannya India atau (Negeri) Timur.

Junghuhn kemudian dan ditempatkan di rumah sakit Bogor, yang ketika itu bernama Buitenzorg (arti sebenarnya 'tiada rasa sedih'). Di sanalah jiwa petualangnya mulai tumbuh. Pada setiap ada waktu luang, ia kabur dan mendaki gunungapi yang tidak jauh dari Buitenzorg. Alih-alih mengukur suhu pasien, ia lebih rajin mengukur suhu solfatara dan fumarola. Rupanya, hobi itu diketahui oleh atasannya, orang yang bijak. Perbuatannya itu tidak dilarang dan dua tahun kemudian Junghuhn bahkan dibebaskan dari tugasnya sebagai dokter, sehingga petualang muda itu dapat memenuhi hasratnya. Sejak itu Junghuhn resmi jadi peneliti. Ia mulai mendaki semua gunung di Jawa, satu demi satu, berawal di ujung barat Jawa dan terus sampai di ujung timur, membawa perlengkapan untuk penelitian. Selain itu dengan seksama ia mencatat dan menggambar semua yang ia amati, dan juga membuat peta rupabum. Semua yang dilakukannya itu adalah yang pertama diperbuat orang bagi Pulau Jawa secara keseluruhan.

Itulah kesempatan yang sangat bagus bagi Junghuhn, berpetualang di alam bebas Pulau Jawa di zaman ketika sebagian besar wilayahnya masih tertutup rimba belantara. Pada zaman itu binatang liar masih bebas berkeliaran di mana-mana. Maka dari itu, kita bisa membayangkan, tidak hanya banteng, juga harimau, badak, ular semua jenis, dan bahkan gajah masih menghuni rimba raya, dan yang namanya buaya masih dapat dijumpai di sejumlah sungai besar dan rawa. Catat, itu tengahan abad ke-19.

Apa yang kemudian muncul dari petualangan yang dilakukan Junghuhn selama tigabelas tahun adalah sebuah karya agung. Karya itu diselesaikannya pada waktu Junghuhn mendapat cuti ke Eropa. Karya tiga jilid setebal lebih dari seribu halaman itu ia beri judul; Java, deszelfs gedaante, bekleeding en inwedige structuur. (Jawa, raut muka, penutup tumbuhan,dan bangun dalamnya) Kita dapat merasakan betapa Junghuhn sangat berterima kasih untuk peluang yang ia dapatkan itu. Maka dalam prakatanya ia menyampaikan rasa terimakasih kepada Raja Belanda. Rupanya ia tidak pula melupakan asalnya, Jerman, maka bukunya kemudian juga terbit dalam bahasa Jerman dengan judul: “Java, seiner innerliche Bau und Pflanzendecke” (Pulau Jawa, bangun-dalam dan penutup tumbuhannya).

Junghuhn tidak hanya mengamati gunungapi. Perhatiannya sangat luas, dari mulai rupabumi, yaitu roman dan bentuk bentangan yang tampak sejauh mata memandang, tetumbuhan yang menutup permukaan bumi.(flora) dan alam binatangnya (fauna). Ia terus 'masuk' ke bawah permukaan bumi, bidang yang sekarang merupakan ranah geologi, bangun atau struktur.geologi Pulau Jawa.Yang ternyata juga menjadi perhatiannya adalah iklim. Ia tertarik karena ia melihat di Pulau Jawa tampak jelas adanya hubungan antara ketinggian tempat di atas muka laut dan tetumbuhannya. Kejeliannya itulah yang mendorongnya sehingga ia dapat membedakan adanya mintakat iklim. Saya termasuk generasi yang masih 'tertular ilmunya itu, sehingga sejak di sekolah menengah dapat mengenali apa yang disebut Junghuhn klimaatgordels, mintakat iklim Bahkan rakyat dan kehidupannya tak pula terlepas dan pengamatannya, yang lalu membersitkan pertanyaan apa yang jadi penyebab rakyat negeri yang sesubur ini hidupnya tidak layak?

Iklim nyaman, tanah subur, dan penduduk yang dianggap cukup maju, itulah yang mendorong orang lalu memanfaatkan modal alam yang sudah tersedia itu. Ternyata yang pada zaman itu jadi pilihan utama ialah budidaya jenis tanaman yang laku di pasar dunia! Ketika itu, pohon kina baru diketahui sangat besar manfaatnya. Kulit pohon itu mengandung bahan kinina, zat sangat mujarab dalam upaya orang memberantas penyakit malaria, penyakit yang menewasakan rakyat dalam jumlah ribuan jiwa setap.tahun. Pohon kina yang asalnya dari daerah pegunungan di Amerika Selatan itu ternyata sangat cocok untuk ditanam di Tanah Priangan. Maka lengkaplah sudah dasar yang diperlukan Belanda untuk menjadikan Jawa sebagai lahan usaha! Tetapi saat memikirkan nasib rakyat yang menghuninya belum lagi tiba.

Dalam benak para usahawan Belanda, dataran adalah tempat yang baik selain untuk bersawah yang dan pelaksanaannya diserahkan kepada orang pribumi. Bagi orang Belanda lahan luas itu dapat digunakan untuk menanam kelapa, sedangkan pemeliharanya hanya butuh tenaga sedikit. Daerah pegunungan rendah baik untuk tanaman seperti karet, kopi, nila, dan sere, mataniaga yang dapat menghasilkan uang banyak lewat pasar dunia. Makin tinggi letak medan terhadap mukalaut, yang muncul peluang bagi tanaman lain untuk dibudidayakn, misalnya teh dan kina, tanaman baru dari Amerika Selatan.Tak lama kemudian, muncul budidaya tebu untuk diolah jadi gula pasir mutu-tinggi, lagi-lagi untuk dijual di pasar dunia. Tak mengherankan sarana yang pada zaman itu dinilai cepat, handal dan murah tak lain adalah keretapi, semboyan yang dalam bahasa Belanda berbunyi vlug, veilig, goodkoop. Ada jalur kereta pengumpan yang telah selesai (Parigi ke Banjar). Ada satu lagi dari Cibatu yang menjulur ke selatan ke Garut bahkan sampai Cikajang. Ada jalur yang hampir selesai, Bandung-Pangalengan (baru sampai Ciwidey), ada yang terbengkelai keburu maleise, yaitu jalur antara Bandung-Cirebon. Ruas Tanjungsari-Kadipaten belum sempat ditangani karena keburu malaise, apalagi bagian setelah Tanjungsari hingga Sumedang sangat berat yang memerlukan 12 terowongan—meskipun pendek-pendek—untuk mengatasi bedatinggi yang sangat besar, pada jarak sangat pendek, kurang dari 20-an km. Layaknya di Swis saja dengan contoh terowongan Piano-Tondo yang mengagumkan. Jalur ke Cirebon sekarang telah dibongkar; yang masih ada jembatan beton berpelegkung di dekat Jatinangor tetap berdiri regak, yang mengingatkan orang akan negeri Swis! Ada lagi ruas yang belum sempat dibangun, Cimahi-Lembang. Itu semua jalur yang ada di Jawa Barat dan dimiliki oleh SS, Staatsspoorwegen, perusahaan keretapi negara.

Tulisan ini tidak berniat membahas perkeretapian, tetapi sekedar menyinggung khususnya jalur yang terdapat di Jawa. Semua itu menunjukkan adanya kepentingan ekonomi, khususnya dengan perkebunan besar, yang dasarnya berawal dari karya Junghuhn. Apalagi jaring rel di Jawa Timur yang jelas berhubungan erat dengan industri gula.

Tidak berbeda adalah jaring rel di Sumatra, apalagi Sumatera Timur. Jalur rel di Sumatera Barat bertujuan pertama-tama untuk pengangkutan batubara dari Ombilin ke Emmahaven (Telukbayur). Itu contoh yang sangat bagus, dan melewati daerah yang indah-asri, Lembah Anai. Di sana ada bedatinggi cukup besar dan medannya bergunung hal yang diatasi dengan jalur rel keretapi roda-gigi dan terowongan. Sungguh, capaian yang luarbiasa. Kini karya insinyur Yzerman itu telah jadi cerita masa lampau. Sejak terjadi petaka 'terlepasnya' rangkaian keretapi pengangkut batubara di sana, pengangkutan bahan tambang itu terhent, dan beralihlah ke ragam pengangkutan dengan truk, mahal tetapi 'terjangkau'. Nama Yzerman pernah dilekatkan pada taman di depan THS Bandoeng atau ITB sekarang. Taman itu kini jadi Taman Ganesa, dan luasnya asal cukup saja. Maklum, di Bandung yang disebut lahan banyak peminatnya.

Junghuhn menyisakan sejumlah kisah. Daerah di selatan dan utara Bandung itulah sumber, tempat Belanda mendapatkan berbagai inspirasi tentang cara mengumpulkan uang. Adalah nurani mereka yang kemudian membisikkan bahwa kekayaan yang melimpah itu selayaknya ada juga sebagian yang dikembalikan bagi kesejahteraan negeri ini. Di antara yang sampai hari ini masih melekat padanya adalah nama Boscha. Berkat hibahnya dapat disebut di sini Institut Teknologi Bandung, kelanjutan dari yang dulu bernama Technische Hoogeschool Bandoeng, alma mater Bung Karno atau namanya resmi Ir. Soekarno, lulusan pertamanya, yang juga Presiden Republik Indonesia pertama. Nama Boscha juga melekat pada salah satu laboratorim dan ruang kuliah fisika di ITB, dan Observatorium Boscha di Lembang yang merupakan teropong bintang tertua di belahan bumi selatan.

Sehubungan dengan teropong bintang itu saya perlu menyebut nama Profesor Bambang Hidayat. Ia adalah orang yang telah menjembatani khususnya astronomi dan dunia keilmuan Belanda dengan dan dunia yang sama, yang nasional. Sebagai lulusan awal Bandung, ia memperoleh gelar PhD-nya dari Case Institute of Technology di Amerika Serikat. Ia sempat belajar pada Prof. Dr A. van Albada yang pada waktu itu masih ada di Bandung. Observatorium Lembang pernah dipegang oleh Dr.The Pik Sin, yang kemudian memilih berkarya di tempat lain. Latar belakang Dr. Bambang Hidayat sebagai pandu dan kemudian pramuka, yang kemudian mengajar, ternyata memudahkannya untuk menemukan Lembang sebagai tempat untuk menyalurkan kemelitan serta kedekatannya dengan masyarakara.Yang terakhir nyata dengan hubungannya yang sangat akrab dengan penduduk di sekitar teropong bintang.

Dari segi umur, usia saya dibanding beliau lebih dari 10 tahun, dan beliau mengaku berkenalan pertama kali dalam majalah Siasat, tempat kami menyalurkan gagasan. Dr. Bambang Hidayat membuktikan tugas keilmuan tak pernah berhenti, meskipun kini resminya telah pensiun, dan tempat tinggalnya tidak lagi di komplek Observatorium Lembang, karena berkiprah di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Bandung kini jadi kota besar dan terus meluas ke semua arah sehinga dataran tinggi yang di awal kita merdeka masih penuh sawah kini berubah jadi kampung besar, disela oleh bangunan tinggi-tinggi puluhan tingkat. Tak pelak lagi, di malam hari cahaya yang memancar dari jutaan lampu di kota besar itu di tidak memungkinkan Observatorium Lembang bekerja sebagaimana dulu, akibat cemaran cahaya yang tidak terpisahkan dengan yang kita sebut 'kamajuan'.

Ada saatnya, hampir seabad yang lalu, Beretti orang Italia yang mampu mengumpulkan kekayaan berkat usahanya, di antaranya dalam bentuk Kantor Berita Aneta (Algemeen Nieuws en Telegraaf Agentschap). Ia membangun rumah yang diberi nama Villa Isola. Isola, pulau dalam bahasa Italia, karena rumah itu diibaratkan pulau di tengah lautan padi. Kini Villa Isola jadi tempat pendidikan, semula IKIP, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dan sejak beberapa waktu yang lalu berubah jadi Universitas Pendidikan Indonesia. Persawahan di sekitarnya sejak 1960-an jadi permukiman. Pencetus nama Villa Isola, Beretti, hidupnya tidak lama, karena berakhir selain tiba-tiba juga menyedihkan, ia termasuk salah seorang korban kecelakaan pesawat KLM Uiver, salah satu di antara peserta perelombaan internasional London-Melbourne, menjelang PD II pecah, yang jatuh di Aleppo, sekarang di Siria.

Kita kembali ke Junghuhn yang tinggalannya terdapat baik di selatan maupun utara Kota Bandung. Di selatan, di sela kehijauan kebun teh terdapat Pasir Junghuhn, bukit yang masih menyandang namanya. Di utara Kota Lembang terdapat makamyna. Saya masih ingat dari tahun 1950-an, ketika makam Juunghuhn terdapat di lingkungan yang dipenuhi pepohonan kina. Boleh jadi itulah yang terdapat semula, ketika ia memilih tempat itu sebagai peristirahatan terakhir, di lereng selatan G. Tamgkubanparahu, sekaligus melatarbelakanginya Tentu tidak terbayang olehnya bahwa setelah ia tiada, di ujung timur persil menyusul makam satu lagi, pusara Dr. W. Groen, yang tidak lain adalah pesaingnya dalam pembinaan pohon kina. Yang jelas tidak terbayang pula ialah lingkungan tempat ia berisirahat, di luar pagar kawat, lahan telah dipadati permukiman penduduk . . ..

Tokoh ketiga adalah Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1820-19 Pebruari 1887). Ia lahir dan meninggal di Amsterdam. Kita akan dapat lebih memahami perkembangan kejiwaannya, jika kita runut sejak awal jejak perjalanan hidupnya lewat karir yang ia pilih. Umur Douwes Dekker ketika mulai bekerja 20 taun, sama dengan dua tokoh lainnya yang kita bicarakan, tetapi yang ketiga ini berkiprah di pemeritahan umum karena niatnya juga berbeda. Pada umur itu, sebagai lulusan dari sekolah menengah Belanda, Douwes Dekker sudah memiliki bekal cukup untuk mengungkapkan dengan baik rasa hatinya, dan ini nyata dari tindakan selanjutnya, yang menunjukkan bahwa ia pun idealis.

Douwes Dekker mulai bekerja sebagai commies muda—jabatan ketatausahaan di atas jurutulis—di Algemeene Rekenkamer (Kantor Pengawas Keuangan). Rupanya ia merasa cocok di sana, dan dari kenyataan, ia dapat pindah ke pemerintahan dalam negeri. Dua tahun di sana, ia menunjukkan kedekatannya dengan para pejabat lainnya. Ia pun ditempatkan sebagai commies Keresidenan Bagelen di Purworejo, lalu pada tahun 1848 jadi Sekretaris Keresidenan Manado. Hubungannya dengan rakyat terbatas. Setelah itu, ia bertugas sebagai Asisten Residen Ambon, dan pada tahun 1856 ia ditunjuk sebagai Asisten Residen Kabupaten Lebak di Rangkasbitung. Baru beberapa minggu ia bertugas di Lebak, wataknya sebagai pecundang tampak. Ia mengadukan Bupati karena tindakan yang menurut pendapatnya sewenang-wenang. Karena pengaduannya tidak ditanggapi, ia meneruskannya ke Gubernur Jenderal yang rupanya ia kenal secara pribadi. Karena tanggapan Gubernur Jenderal yang menurut pendapatnya tidak sesuai dengan yang semestinya, ujungnya, Douwes Dekker minta berhenti dari dinas. Permintaan itu disetujui dan ia pun kembali ke negeri Belanda, ke tempat kelahirannya, Amsterdam.

Di Amsterdam pula Douwes Dekker mengalami kelahirannya kedua, kali ini sebagai penulis. Nama samaran yang dipilihnya Multatuli, bahasa Latin yang artinya 'Saya telah banyak menderita'. Semua unek-unek dalam benaknya kemudian dituangkan dalam buku “Max Havelaar of de Koffieveilingan van Amsterdam” (Max Havelaar atau lelang kopi Amsterdam”).

Itulah buku yang membuat Douwes Dekker jadi mashur. Buku itu juga muat ucapannya yang mengiaskan negeri ini ' . . . als een gordel van smaragd die zich slingert rond de evenaar . . . ' (bagaikan untaian zamrud yang terjulai di sepanjang katulistiwa), yang kemudian sangat terkenal. Buku itu juga berisi adegan ketika ia berpidato di depan para pemuka di Lebak.