Akhir perang ditandai tertangkapnya Pangeran Diponegoro dengan cara yang sebenarnya adalah penipuan. Setelah berkali-kali dicoba, akhirnya Belanda berhasil berhubungan dengan Pangeran, dan Pangeran menyetujui bertemu dengan militer Belanda di Romakamal, di utara tidak jauh dari Roma, dulu pusat Kabupaten Roma dan sekarng pasar Gombong. Kata Roma kini masih tertinggal berupa nama kios (toko kecil) di bagian luar pasar Gombong.

Setelah Gombong jadi tangsi militer Belanda, tidak jauh dari sana didirikan sekolah dasar Belanda, Europeesche Lagere School, sekolah Ayah sebelum akhir abad ke-19. Saya mendapat kesan kuat, sangat sedikit orang yang menyadari bahwa lingkungan itu adalah tempat berlangsungnya babak terakhir perjuangan pahlawan nasional kita Pangeran Diponegoro. Lapangan tempat Pangeran disertai para perjuritnya bertemu dengan Belanda kini jadi lapangan yang biasa digunakan untuk upacara, seperti tujuhbelas-agustusan. Tetapi tak lagi ada orang yang menghiraukan bahwa tempat itu bersejarah, karena tidak ada yang pernah menulis atau mengisahkannya.

Letak titik itu dari Brangkal sekitar tiga kilometer. Karena Pangeran sudah menyetujui untuk bertemu dengan Jenderal De Kock di Magelang, beliau masih sempat kembali lagi ke Brangkal sebelum bertolak ke sana. Dalam sejarah diketahui bahwa Pangeran memilikii kepercayaan agar tidak menyeberangi Kali Bogowonto. Pangeran menyeberang di dekat muara, dan baru dari sana menyusuri tepi kanan Kali Progo sampai di seberang rumah kediaman Residen Kedu di Magelang. Mungkin yang dijadikan pertimbangan—itu pada hemat saya—muara Bogowonto bukanlah batang utama sungai. Saat itu tepat menjelang bulan Puasa. Begitu Pangeran tiba di kediaman Residen dan perjurit bersenjata lengkap dalam jumlah ratusan orang, Jenderal De Kock yang telah menunggu-nunggu, segera bertindak. Rupanya ia bersikap—dalam (bahasa Belanda), Nu of nooit! (Inggris, Now or never!), Sekarang, atau tidak samasekali—Sebodoh sejarah nanti menilai dirinya. De Kock langsung memberi perintah memborgol Pangeran, melucuti semua perjurit dengan senjata mereka diserahkan. Pangeran sadar terjebak, tetapi membiarkan semua itu. Tidak ada gunanya lagi untuk melawan, karena yang akan terjadi justru darah akan mengalir, dan banyak orang tidak bersalah akan ikut menderita; ia tunduk kepada kehendak Yang Maha Kuasa. Itulah yang terjadi, versi Ayah.

Peristiwa ditangkapnya Pangeran Diponegoro terekam berkat sapuan kuas pada kanvas oleh Raden Saleh Sjarif Bastaman—biasanya ditulis Raden Saleh saja—pelukis agung zaman itu. Karyanya itu memungkinkan kita sekarang dapat membayangkan saat bersejarah itu. Boleh jadi itu cara Raden Saleh menyatakan rasa nasionismenya, mungkin.

Setelah Pangeran berhasil ditangkap dan para perjuritnya dilucuti, malamnya beliau dengan kereta dibawa ke Semarang. Di sana sudah menunggu kapal perang, korvet yang akan membawanya ke Sulawesi, tempat beliau akan diasingkan. Mula-mula, beliau dibawa ke Sulawesi Utara daerah dengan penduduk pada yang waktu itu belum jadi sasaran penyiaran agama Kristen Protestan. Sebelumnya, Kyai Modjo dengan pengikutya sudah dibuang ke sana. Tidak lama kemudian Pangeran dipindahkan ke Fort Rotterdam di Makassar, tempat tinggalnya sampai wafat pada 5 Januari 1855 dan dimakamkan tidak jauh dari benteng, lingkungan yang zaman itu masih kosong. Kini keadaan sudah sangat berbeda karena dipadati hunian. Jalan besar di dekatnya kini bernama Jalan Diponegoro.

Sebelum terjebak, Pangeran telah melihat, bagaimana pembantunya dalam gerakan memberontak satu demi satu ditangkap dengan berbagai cara. Semua langkah itu dapat dilakukan karena adanya bantuan kakitangan Belanda. Setelah tertangkap, mereka 'diselong', maksudnya diasingkan, semula bermakna dibuang ke Sailan (Ceylon), tetapi dengan berputarnya waktu, makna kata yang sama itu jadi diasingkan ke mana saja di luar Pulau Jawa. Dengan hilangnya pimpinan tertinggi, pengikut yang tersisa masih berjumlah ribuan dan tersebar di mana-mana. Belanda tidak berdiam diri, tetapi terus mencari siapa saja yang mungkin bisa jadi penggerak—orang Belanda menyebut mereka belhamels—di masa depan, dan itu harus dicegah. Dugaan ini ternyata benar, karena berbagai tempat terus saja bergolak.

Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, Belanda dengan cepat melangkah untuk menertibkan daerah yang selama lima tahun jadi ajang perang gerilya. Mereka merasakan bahwa penentangan terhadap kekuasaannya terus terjadi, meskipun tidak secara terang-terangan. Kadang-kadang bentuiknya keonaran, dalam bahasa Belanda disebut relletjes, atau mungkn yang terjadi perampokan. Secara nyata, gerakan yang disebut 'pemberontakan' sudah selesai. Karena Belanda 'mengenal' sudah cukup lama 'dunia' orang Jawa—penguasa dan rakyatnya—sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini pada abad ke-17, mereka menempuh dua jalur, secara militer dan keprajaan (sipil).

Bagaimana cara bertindak? Dalam masyarakat bertatanan feodal, jawabnya jelas, yaitu masa hanya tunduk kepada orang yang dinilai masih 'trah' dan memiliki ikatan dengan para pimpinan. Belanda dengan sendirinya melihat-lihat siapa mereka itu dan bagaimna cara menanganinya.

Di pihak pemberontak ada dua orang muda yang menyadari mereka akan ditangkap. Penyebabnya, karena kedekatan mereka dengan Pangeran selama perang. Mereka adalah R.M Djojoprono dan R.M. Mangoenprawiro. Kedua-duanya sentono (Belanda dari Perancis parentage) yang satu putera Pangeran Moerdaningrat dan cucu Sultan Hamengku Buwono II, dan yang satu lagi adik kandung Pangeran. Karena mereka bertugas sebagai apa yang sekarang diistilahkan ajudan Pangeran, mereka lalu nyilep, 'masuk di bawah tanah', atau Inggrisnya going underground, menyaru jadi santri di Brangkal dan menggunakan nama kecilnya serta membuang gelar kebangsawanan mereka. Maka jadilah mereka Bagoes Abdoeldjalil dan Bagoes Semedi. Meskipun sudah menyaru, akhirnya jatidiri mereka diketahui juga, tentu karena ada yang melaporkan, yaitu telik, mata-mata atau dengan istilah sekarang, intel Belanda.

Brangkal selama perang digunakan sebagai markas Pangeran. Sebenarnya, sudah sejak lama di tempat itu ada pesantren dan pimpinannya adalah Kyai Mohammad Djakfar. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya, Kyai Mohammad Sjafii, yang menikah dengan BRA Siti Marjam, adik kandung langsung Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Brangkal mendapatkan kedudukan sebagai tanah keputihan, semacam otonomi daerah, dan Kyai sebagai mufti diberi kewenangan menikahkan pasangan pengamtin dari sejumlah desa yang ada di sekitar Brangkal. Itulah sumber pendapatan Kyai untuk keperluan mengelola daerah yang dipercayakan kepadanya. Setelah Kyai Modjo yang berasal dari daerah Solo diculik Belanda dan kemudian dibuang ke Sulawesi Utara, sebagai penggantinya diangkat Kyai Mohammad Sjafii selaku penasihat rohani Pangeran.

Masjid Brangkal dibangun pada tahun 1813, tahun Jawa 1739, atau tahun Hijriah 1227. Untuk zaman itu, letak Brangkal di hulu pertemuan dua sungai, sungguh strategis karena dianggap aman dari serbuan tentara Belanda. Barangsiapa pergi ke Brangkal sekarang, ia pasti tidak akan mudah memperoleh gambaran bahwa tempat yang sama pada suatu ketika tidak mudah untuk dicapai, karena diapit dua sungai, sedangkan di utaranya terdapat gunung berhutan lebat. Ketika kecil, sekitar tahun 1930-an, untuk menyeberang saya digendong, bahkan pada waktu musim kemarau. Usai Perang Dunia II, aliran air sungai terus susut, dan pada waktu ini ada saatnya sungai sudah kering samasekali.

Pemerintah kolonial jelas berterimasih kepada Jenderal De Kock. Karena dianggap berjasa besar, namanya kemudian diabadikan dalam nama Kota Fort De Kock—Benteng De Kock—di Sumatera Barat, kota sejuk yang juga mereka sukai. Begitu kita merdeka, nama Kota Fort De Kock berubah jadi Bukittinggi. Ketika Ibukota Republik Indonesia dalam perjuangan, Yogyakarta, diserang dan lalu diduduki Belanda ketika Tindak Kepolisian ke-2 (Tweede Polionele Actie) pada tanggal 19 Desember 1948, Sjafruddin Prawiranegara yang kebetulan masih di Kota Bukittinggi, masih sempat melaksanakan tugas membentuk Pemerintah Darurat, sebelum kota itu diduduki Belanda dua hari kemudian (Johanas, 2006)..