Keinginan selalu mendahului kenyataan. Itu yang umum terjadi pada orang. Tetapi orang bermimpi tidak ada yang sama. Begitu terbangun, yang muncul kembali adalah kehidupan nyata sebelum tidur akan berlanjut. Bermimpi bisa pula terjadi di siang hari bolong. Sembari orang melamun, badan wadaknya 'ditinggalkan' dan lamunannya melesat jauh ke ruang-waktu.

Yang jelas, tidak semua yang ada dalam anganan seorang serta-merta terwujud jadi kenyataan. Meskipun nekasarana yang diperlulakan sudah tersedia, banyak lagi yang perlu jadi perhitungan sebelum saat yang tepat tiba. Ibaratnya, sebagai sesuatu yang maujud, masih banyak lagi yang diperlukan. Kita dapat menyebutnya 'bagian luar' (yang tampak), dan ada lagi 'bagian dalam'-nya sebagai pelengkap yang biasanya tidak tampak, tidak kasatmata. Mudah-mudahan uraian yang ada di bawah dapat memperjelas yang saya maksudkan.

Kemunculan Republik Indonesia merupakan bagian yang melengkapi perubahan tatanan pentas dunia. Ada tokoh yang namanya sudah berulang-ulang disebut di atas, Soekarno atau panggilan akrabnya Bung Karno, yang tak dapat diabaikan dengan proses itu. Itulah yang kemudian jadi pokok bahasan dalam buku susunan Howard Palfrey Jones, berjudul “Indonesia: The possible dream”, atau secara bebas diindonesiakan, “Indonesia: Mimpi yang terwujud” (Jones, 1973),

Kisah Bung Karno itu membuahkan karya seorang dan ujungnya tanda penghargaan tertinggi dari Depertemen Luar Negeri AS. Suharto yang menggantikan Bung Karno berbeda. Suharto kita kenal dengan ujarannya berbunyi, “Aja nggege mangsa”, jangan keburu-buru sebelum saat yang tepat tiba. Pada hakikatnya, pernyataan sependek itu bisa berlaku umum, tetapi dalam tautan dengan sejarah, maknanya jadi berbeda samasekali dengan kisah perjalanan hidup pendahulunya yang dituturkan Jones.

Mari kita sekarang menyimak aran atau lema Suharto dan Sukarno dalam “The American Heritage” (1992), salah satu kamus bahasa Inggris terkemuka. Aran pertama terbaca, Indonesian military and political leader who seized power from Sukarno (1967) and was elected president in 1968. Aran yang kedua, Indonesian politician who obtained his country's independence from the Dutch in 1949, served as Indonesia's first president (1949-1967), and was ousted from office by a coup d'etat. Itulah yang tertera dalam kamus umum, bukan buku sejarah.

Ketika membaca buku Jones, kesan pertama yang tidak dapat saya singkirkan ialah kedatangannya di sini sebagai Duta Besar Amerika Serikat seperti sesuatu yang bukan kebetulan. Hal itu jika kita lihat dari pribadi Jones maupun masa tugasnya, yaitu pada kurun waktu ketika Indonesia sedang didera oleh berbagai masalah yang rumit dan datangnya dari berbagai penjuru. Sebagai orang Amerika dengan latar belakang yang luas, ia bertugas di sini pada saat yang tepat. Akhirnya, ia berhasil memperoleh gambaran yang sebaik-baiknya dan memungkinkannya memahami apa yang ia hadapi agar dapat bertindak sebaik-baiknya sebagai wakil negara adidaya Amerika Serikat.

Kehadiran Howard Jones di sini antara 1958 dan 1966 berlangsung ketika pemerintah Amerika Serikat melihat tanda-tanda Indonesia mulai left-leaning, condong ke kiri. Padahal kepentingan Amerika Serikat di sini sangat besar, dari segi ekonomi, keamanan, dan politik, atau secara umum atau menghadapi Republik Indonesia sebagai negara yang bersahabat. Dari segi ekonomi, yang menonjol adalah sebagai negara yang memiliki sumberdaya alam, dari cadangan minyak (dan kemudian juga) gasbumi, mineral, selain cadangan tembaga—kemudian ternyata yang lebih besar artinya—adalah emas-peraknya.

Ketika itu, AS adalah negara kaya dan baru keluar dari peperangan besar sebagai pihak pemenang. Tindak-tanduknya lewat bantuan luar-negerinya yang disebut dengan nama USAID dapat ditunjang dana yang memadai. Banyak ahli Amerika dikirim ke mari, dan banyak dari kita pergi ke sana, untuk belajar di perguruan tinggi atau on-the-job traning, yaitu belajar di tempat kerja, Termasuk dalam kelompok kedua itu adalah saya. Saya harus mengakui, yang saya peroleh dari sana selain membuat saya jadi apa saya sekarang ini, saya juga menemukan diri. Sebagai seorang pegawai negeri suatu instansi yang di zaman penjajahan tidak memiliki seorang pun ahli Indonesia, saya merasa beruntung memperoleh di sana apa yang diperlukan bagi negeri ini (Purbo-Hadiwidjoyo, 2006).

Secara pribadi, saya tidak memiliki hubungan apa pun dengan Howard Jones, selain hanya sebatas berjabatan tangan. Sebagai seorang yang akan dikirim ke negeri pemberi bantuan, saya berjabatan tangan pada waktu resepsi di rumah dinas Howard Jones di Taman Surapati, menjelang saat saya berangkat ke Amerika Serikat. Itulah pertama dan terakhir kali saya bertemu beliau.

Dengan pengetahuan yang saya peroleh dari membaca buku Howard Jones saya dapat memahami lebih baik mengenai tahapan sejarah pasca-kelahiran Republik Indonesia, sejak kurun waktu yang diwarnai pergumulan antarkekuatan di tanah air, berlanjut ke tahapan terbentuknya tatanan baru. Itulah zaman yang mendorong Bung Kurno memunculkan berbagai gagasan yang tertuju kepada rakyat untuk menghadapi kekuatan dari luar. Untuk mempersatukan rakyat dari berbagai aliran ia menggunakan bahasa Belanda, samenbundeling van alle revolusionaire krachten, menghimpun semua tenaga yang terlibat dalam revolusi, untuk menunjukkan tekadnya digunakan semboyan 'Ini dadaku, mana dadamu?'. Jelas bagi lawan, bahwa pihak kita sudah siap menghadapi mereka, dan juga siap menghadapi segala risiko. Untuk itu, Bung Karno menggunakan ungkapan bahasa Italia, vivere pericoloso (vivere pericolosamente), disertai Indonesianya, hidup menyeremped-nyeremped bahaya. Dan akhirnya, untuk menyerempakkan gerakan atau menyatupadukan semua tenaga Bung Karno menggunakan pemeo para pekerja kasar Jawa, “Hurlopis-kuntul baris”, Bung Karno geram, ketika ketegangan memuncak, karena Negara Malaysia dengan bantuan Inggris diproklamasikan, maka ia meneriakkan aba-aba 'Ganyang Malaysia'. Kata itu berasal dari bahasa Jawa, yang semua orang tentu tidak tahu. maka padan Inggris pun diberikan, 'Crush Malaysia!'

Kehadiran seorang Howard Jones di sini antara 1958 dan 1966, berlangsung ketika pemerintah Amerika Serikat melihat tanda-tanda Indonesia mulai menyimpamg dari arah yang sebelumnya digariskan sebagai negera berdemokrasi. Sebagai negara demokrasi, pemilihan umum adalah cara menghimpun wakil rakyat yang akan menentukan arah pemerintahan. Itu kemudian dijadikan tolok awal, yaitu parlemen hasil pemilihan umum pertama 1955. Justru parlemen yang terbentuk itu dibubarkan Presiden Soekarno, tetapi para menteri yang berasal dari sejumlah partai pemenang pemilu dipertahankan. Bung Karno menamakan sistem itu demokrasi terpimpin, yang didukung oleh tiga kekuatan, Nasakom, nasionalis-agama-komunis. Umumnya, orang tidak percaya kaum komunis dapat diajak bekerjasama dalam pemerintahan, apalagi Barat yang jelas tidak akan dapat menerima gagasan itu.

Sebagai seorang tokoh, Bung Karno jelas memiliki wibawa dan dapat disejajarkan dengan pemimpin negara yang sezaman, seperti Nehru dari India, Nasser dari Mesir dan Tito dan Yugoslavia. Ia dikagumi orang berbagai negara. Konperensi Asia-Afrika yang berlangsung di Bandung pada 1955 adalah puncaknya. Jelas Bung Karno tidak sabar, jika orang hanya bersikap menunggu, seperti layaknya orang yang biasa disuruh. Itulah sebabnya, ia berujar, 'Jangan jadi bangsa kuli, dan jadi kuli di antara bangsa-bangsa' (A nation of coolies, and coolies among the nations.) Dengan kata lain, kita pun harus bisa memimpin.

Dalam 'suasana tarik-ulur' itu, Bung Karno tak terduga-duga pada 1961 berkunjung ke Museum Geologi Bandung. Tentu saja salah satu yang jadi sasaran adalah ruang peragaan berbagai minral yang ditemukan di Indonesia. Sebagai seorang yang pada waktu itu di antara tugas-wewenangnya meliputi Museum, maka saya yang harus menerangkan kepada Bung Karno apa yang dipamerkan itu dan sempat berdialog.Tiba-tiba saja, beliau menyela: “Kamu harus ke Rusia!”

Yang jelas, tidak ada yang disebut hubungan sebab-akibat, tetapi yang terjadi, hanya soal minggu, saya ditunjuk menjadi anggota delegasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk berkunjung ke Akademia Nauk, Akademi Ilmu Pengetahuan Sovyet. Pada saat itu, di Direktorat Geologi baru ada tiga orang sarjana lulusan ITB. Demikianlah, maka berangkatlah saya dalam delegasi empat orang, terdiri dari Prof. ir. R. Soetedjo, Rektor ITB sebagai Ketua Delegasi, Prof. ir. R. Goenarso dari Bagian Matemaika ITB. Prof. Dr. J.A. Katili, dari Bagian Geologi ITB dan saya dari Direktorat Geologi. Kunjungan di Uni Sovyet diawali dengan menemui berbagai pemangku jabatan selain di Akademia Nauk juga di perguruan tinggi di Moskau yang memakan waktu beberapa hari. Setelah itu, delegasi dibagi dua, Prof. J.A. Katili dan saya mengunjungi berbagai museum selain di Moskau juga di Leningrad dan Tiblisi, yang sekarang dikembalkan kepada namanya semula, Petrograd dan Georgia. Laporan kami berdua terbit dalam Katili & Purbo-Hadiwidjoyo (1961).

Kita kembali kepada kehadiran Howerd Jones di Indonesia. Ia tiba di awal Maret 1958, di saat Sumatera Barat dan Sulawesi Utara bergolak. Sebagai orang baru, jelas ia belum mengenal siapa pribadi para pemimpin Indonesia. Baru setelah itu, dalam waktu sangat singkat ia ternyata dapat mengenal mereka itu, satu-demi-satu. Dalam bahasa Jawa istilahnya adalah nyondro, bagaimana kiranya watak para pemimpin Indonesia, dengan kata lain, menafsirkan sifat-kelakuannya, dan akhirnya memahami persoalan yang ada.

Seperti yang telah terjadi, pemberontakan dapat diatasi dalam waktu singkat. Dari segi kepentingan nasional jelas ini baik, persatuan nasional tidak sampai terkoyak. Kenyataan bahwa persenjataan kedua belah pihak, pemberontak dan ABRI seasal, yaitu Amerika—hanya saja pemberontak dalam perbandingan setiap kesatuannya lebih baik daripada pihak ABRI—jelas mempunyai arti tersendiri. Ketegasan sikap Jenderal A.H. Nasution sebagai seorang nasionalis sejati memungkinkan masalah yang dihadapi Republik Indonesia pada saat itu dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Nasution jelas berpihak pada Indonesia yang bersatu daripada melihat para pemberontak yang juga berasal dari daerah yang sama—Sumatera—tetapi mencoba-coba mendirikan negara sendiri. Dengan sikapnya itu A.H. Nasution jadi 'sekubu' Bung Karno, kubu nasionalis.

Dalam pimpinan ABRI ada lagi seorang seangkatan A.H. Nasution di Akademi Militer Belanda di Bandung dari saat Perang sudah di ambang pintu,Tahi Bonar Simatupang. Simatupang—sedaerah dengan Nasution. Di antara rekan seangkatan ia dikenal dengan panggilan Sim. Sentuhan sejumlah tulisan Bung Karno membuat Sim jadi nasionalis. Untung saja, bacaan terlarang itu tidak diketahui oleh komandan (Simatupang, 1980). Ia menikah dengan adik Ali Budiardjo, salah seorang pegiat di awal kita merdeka.

Kemunculan seorang Alan Pope, warga sipil Amerika Serikat yang tampil tiba-tiba dan dengan B-12 lalu membom Ambon, jelas membuat banyak orang bertanya-tanya. Demikian pula ketika tiba-tiba Istana Merdeka diberondong oleh seorang penerbang muda AURI. Bagaimana sebenarnya, peran yang dimainkan negara adidaya itu? Di sanalah pentingnya kehadiran Howard Jones yang mampu menjembatani kecamuk, dan di dalamnya—hemat saya—pentingnya komunikasi langsung yang dilakukan kedua belah pihak—Bung Karno dan Howard Jones—dalam berhadapan dengan permasalahan yang mengganjal antara dua negara, kita dan Amerika Serikat.

Kehadiran Howard Jones selaku duta besar Amerika di Indonesia selama delapan tahun jelas sangat besar artinya bagi sejarah hubungan dua negara itu. Pandangan sementara orang di AS bahwa Bung Karno adalah seorang komunis dapat ditangkal secara meyakinkan. Apalagi jika yang menganggap Bung Karno komunis bukan orang biasa, melainkan banyak pejabat tinggi negara adidaya itu.

Ketika itu di AS muncul orang muda bernama John Fitzgerald Kennedy di pentas politik nasional, dan tak sedikit orang yang terpana. Kennedy terpilih sebagai Presiden AS yang ke-35, termuda dan yang pertama penganut agama Katolik. Akhirnya, ia juga termuda yang terbunuh, hanya sempat 1000 hari menghuni Gedung Putih. Kehadirannya di pucuk pemerintahan AS telah dimanfaatkan Howard Jones untuk memperbaiki hubungan AS-Indonesia. Jones berhasil membuat Kennedy menyetujui usul yang diajukam kepadanya untuk mengundang Bung Karno ke Washington. Kedua presiden itu ternyata bisa langsung merasa cocok. Kennedy kemudian bahkan menyebut Bung Karno adalah George Washington Indonesia. Pada kesempatan dua orang itu bertemu kerikil dalam hubungan diplomatik AS-Indonesia berupa Alan Pope yang sempat dijatuhi hukuman mati karena kegiatan membantu pemberontak melawan Pemerintah Indonesia, dapat dibereskan. Maukar yang juga penerbang—dan orang Indonesia—yang memberondong Istana Merdeka, dengan sendirinya juga selesai. Keinginan Kennedy untuk membalas berkunjung ke Indonesia tak dapat dipenuhi, karena keburu dibunuh di Dallas,Texas, 22 Nopember 1963. Maka tiba-tiba saja isterinya yang terkenal cantik itu jadi janda. Sebagai seorang rupawan, sosok Ny. Kennedy pasti takakan terlewat dari perhatian Bung Karno, Presiden RI Pertama. Baru menjelang setengah abad setelah ia tiada— Arthur Schlesinger, sejarawan terkenal Amerika Serikat, yang berjanji tidak membebarkan yang ia dan diketahui umum perihal kehidupannya selama jadi Ny. (Mrs), Kennedy—begitu sebutan yang diingini—termasuk pendapat pribadi tentang Bung Karno, Presiden RI Pertama. Dengan jalan itu. citra keluarga Kennedy tetap terjaga seperti 'dalam dongeng'. Presiden RI Pertama itu—begitu Jacqueline Kennedy—adalah seorang yang membuat suami-istri bertengkar, dan penyebanya tak lain adalah sorot matanya yang penuh gairah.

Satu bulan sebelum terbunuh, J.F. Kennedy masih sempat ke Jerman Barat, termasuk Berlin Barat yang terkurang daerah pendudukan Sovyet, jadi terpisah dari Berlin Timur. Ketika bertemu dengan Perdana Menteri Jerman Barat pada saat itu, Konrad Adenauer, dari mulut Kennedy masih sempat terlontar ucapan “Saya adalah penduduk Berlin”. Entah apa yang dimaksudkan, tetapi dengan kematian Kennedy, Adenauer pun dimundurkan dari kedudukan perdana menteri, dan kejadian itu tepat setengah abad sebelum kemunculan Barack Obama sebagair Presiden Amerika Serikat. Sejak terjadinya heboh Townsend di tengahan tahun 2013 perkara Amerika Serikat memata-matai Jerman, orang Jerman sempat melontarkan ke arah Obama sebagai unheimlicher Freund, yang maknanya, lebih-kurang, teman yang 'menakutkan' (Huuhh!)

Robert Kennedy sempat berkunjung ke Indonesia setelah kakaknya terbunuh. Di Jakarta, ia sempat dielu-elukan oleh para pengagumnya, para mahasiswa. Ketika itu ia Jaksa Agung Amerika Serikat. Umum mulai berandai-andai, Robert Kennedy adalah orangnya yang pada pemilihan Presiden AS berikutnya akan maju. Rupanya ramalan tetap ramalan, karena Robert tak lama kemudian terbunuh di Kalifornia.

Dari perkara terbunuhnya kakak-beradik Kennedy itu kita dapat melihat kehidupan di AS. Negara besar yang menganut paham demokrasi itu terdapat kenyataan bahwa beda pandangan politik tidak selalu diselesaikan lewat hukum. Orang yang dituduh membunuh JFK—Lee Harvey Oswald—yang belum lagi diadili, sudah terlebih dulu jadi sasaran peluru Jack Ruby (Rubinstein). Itu adalah suatu kenyataan, tetapi apa dan siapakah yang ada di belakang semua itu?

Saya di Amerika Serikat tidak lama setelah peristiwa itu terjadi, dan melewati jalan dekat Makam Pahlawan Arlington di Washington. Dari luar pagar saya masih dapat menyaksikan obor gas yang tetap menyala. Menurut catatan resmi, selama satu tahun, makam JFK diziarahi lebih dari sejuta orang. Itulah yang tampak, dan yang tidak tampak pun adalah kenyataan. Peristiwa yang dialami Presiden J.F. Kennedy tidak saya ikuti lebih lanjut.

Dengan hubungan yang baik antara AS-Indonesia, maka sengketa Indonesia dengan Belanda juga dapat diselesaikan. Di sanalah Howard Jones berperan besar, tidak hanya kedekatannya dengan Bung Karno, karena ia mampu menyakinkan pihak Belanda akan pentingnya penyelesaian secara baik-baik, lewat perantaraan PBB. Saya tidak merinci ihwal ini, karena secara umum orang sudah tahu.

Pada saat menghadapi aneka masalah luar negeri itu, pembantu dekat Bung Karno adalah Menteri Luar Negeri Subandrijo. Tidak banyak yang tahu mengenai pribadinya. Karena Jones berhubungan berkali-kali, akhirnya ia memiliki gambaran bahwa Subandrijo yang berlatar belakang pendidikan dokter orangnya memang pintar, demikian pula isterinya, Huruastuti, tetapi sangat ambisius dan memiliki sifat petualang. Saya tidak mengenalnya secara pribadi—hanya sekali itu saya hadir di dekatnya, sewaktu resepsi di rumah kediaman Jalal Abdoh, Wakil PBB, pejabat UNTEA tertinggi saat itu di Irian Barat, seorang warga Iran—ketika ia menyanyi lagu “Terang Bulan ” yang populer di sini, padahal lagu yang sama telah diangkat menjadi lagu kebangsaan Malaysia, dengan judul “Negaraku”. Sebagai seorang awam dan buta akan sopan-santun yang sebaiknya dipegang seorang diplomat, pada saat mendengar Subandrijo mendendangkan lagu “Terang Bulan” di suatu resepsi, saya hanya merasa aneh.

Saya pikir, tokoh Subandrijo masuk pihak yang membuat masalah yang sedang dihadapi bangsa makin rumit. Terutama ini disebabkan oleh upayanya menumbuhkan kekuatan bagi dirinya sendiri dengan membentuk BPI, Badan Pusat Intelejen.Tidak sedikit mereka dari ABRI dan Kepolisian yang terbawa-bawa, dan berujung mendapatkan kesulitan karena terputusnya dari segala-galanya, termasuk karir. Ternyata perbuatannya itu tidak hanya membuat orang mendapat kesulitan, juga bagi dirinya sendiri. Meskipun ia dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa, Mahmilub, akhirnya ia terhindar dari pelaksanaannya. Ia pernah naik haji, dan jelas bukan komunis.

Sebagai seorang yang sedang memegang tampuk pimpinan negara, Bung Karno ketika menghadapi semua tantangan itu perlu 'kekuatan', artinya negara diperlengkapi dengan senjata yang banyak dan beraneka. Termasuk di dalamnya RI Irian, kapal tempur satu-satunya yang pernah kita miliki, yang sudah disinggung di atas, yang saat itu dikomandani Frits Suak. Pihak yang dapat diandalkan dapat memasoknya, dan ditambah lagi secara kredit? Tentu saja Uni Sovyet, lawan Amerika Serikat. Itu sebabnya muncul semboyan Vivere pericoloso (vivere pericolosamente), menyerempet-nyerempet bahaya yang sudah disinggung tadi.

Dari buku Howard Jones pula saya dapat memahami lebih baik mengenai berbagai tahapan sejarah pasca-kelahiran Republik Indonesia. Kurun waktu itu diwarnai pergumulan antarkekuatan di tanah air, juga antara negara kita dengan negara lain.

Kita sekarang beralih ke Suharto. Meskipun berbeda dalam segala hal, saya kira Suharto bukan orang biasa. Seperti diketahui—dan dinyatakan dalam buku Jones—upaya Bung Karno agar Irian Barat masuk Negara RepubIik Indonesia kemudian diwujudkan lewat Komando Mandala, dan Suharto yang diangkat sebagai panglimanya. Markasnya ditempatkan di Kota Makassar. Dalam hal ini, Jones menilai Suharto adalah perwira yang able. Kata Jones itu mengisyaratkan bahwa Suharto cakap dan mampu melakukan tugas yang dipercayakan kepadanya, jadi dari segi kepribadian hal positip. Itu pandangan singkat Jones terhahap Suharto dan yang juga perlu ditambahkan, sesaat.

Perjumpaan langsung Bung Karno dengan Suharto untuk kedua kalinya terjadi ketika kisruh pada peringkat pimpinan negara yang bermuara pada peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September, atau disingkat G-30-S. Itulah awal dari akhir kepemimpinan Bung Karno, dan bagi Suharto adalah awal kenaikannya menuju ke tampuk pimpinan negara. Peristiwa ini sudah banyak ditulis orang dan dengan sendirinya juga dengan sekian banyak versi. Tulisan ini tidak bermaksud ikut-ikutan membahas lembaran hitam sejarah nasional kita itu.Yang jelas, dengan surat perintah yang kemudian dikenal umum dengan nama Super Semar, berakhirlah peranan Bung Karno, dan sejak saat itu mulailah kiprah Suharto memimpin Negara Republik Indonesia.

Sebagaimana diketahui, kita menyukai bunyi, apalagi kalau kemudian dapat dihubung-hubungkan dengan lambang tertentu. Dalam dunia pewayangan, tokoh Semar adalah lambang sarat-makna. Semar sering dihubungkan dengan sesuatu yang 'samar'. Dari segi potongan badan, tidak jelas, apa ia lelaki atau perempuan, padahal tokoh itu dewa dengan kesaktiannya.

Bagi umum, selama berpuluh-puluh tahun dengan tambahan kata 'super' di depannya jadi Super Semar, maka lengkaplah sudah teki-teki itu, dan tidak ada seorang pun di antara para pelaku yang mau membuka mulut. Selama itu pula, yang beredar hanya versi resmi yang diberikan pemerintah, dan umum 'menerima' semua yang resmi itu. Sampai akhirnya semua yang terlibat sudah tiada.

Konon, Super Semar yang asli kini sudah tersimpan dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, hal yang sudah seharusnya. Sejauh yang saya ketahui, tulisan yang sudah muat isi lengkap Super Semar adalah buku terbitan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berjudul, “Energi dan mineral kekayaan bangsa, Sejarah energi dan pertambangan Indonesia”, Edisi kedua, 2012. Yang berbeda pada Super Semar yang beredar dan yang asli adalah, pada versi yang beredar terdapat bagian yang hilang, yang menyatakan bahwa sebagai pengemban Super Semar, Suharto harus melindungi Bung Karno dan keluarga. Jika hendak disebut 'rekayasa', itulah yang terjadi.

Rekayasa—kata itu jelas tidak berasal dari 'lingkungan dalam'; kalau tidak salah ciptaan Profesor Anton Moeliono, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan Super Semar. Itu kata umum dengan padan Inggrisnya engineering, kata benda. Kata kerja bahasa Inggrisnya to engineer, diindonesiakan jadi merekayasa, yang makna umumnya membuat sesuatu dari sesuatu dan didasari akal. Seperti halnya apa pun, merekayasa bisa juga memiliki makna dengan arah berlainan samasekali, misalnya mengelabui, menipu, mengakali, dst., dst. Yaah, bagaimana kita saja.

Bagaimana saya pribadi menanggapi semua itu? Saya ingat ketika kecil selalu diingatkan agar saya jangan berbuat yang tak seharusnya, seperti tadi, jangan menipu. Itu ora ilok, entah apa artinya ilok, pokoknya tidak boleh. Dalam bahasa Belanda ada pepatah yang berbunyi, 'Wat gij niet wilt dat U geschiedt, doe het ook een ander niet', Jika Anda tidak ingin ada orang lain yang berbuat [sesuatu tertentu terhadap Anda], jangan melakukan hal yang sama terhadap[nya]. Itu diajarkan di sekolah, dan saya percaya sumbernya Kitab Suci. Seperti banyak ungkapan bijak di masyarakat kita, kalau kita telusuri sumbernya adalah Al Quran.

Di zaman pemerintahan Suharto, rekayasa diterapkan di segala bidang, semua peringkat, juga di semua segi, mungkin tanpa disadari oleh y,ang bersangkutan. Itulah zaman Orde Baru, disingkat Orba. Saya percaya tidak banyak yang tahu, atau mungkin butuh tahu. Bukankah yang kita namai 'budaya' memang begitu? Padahal, makna kata Belanda orde, tak lain adalah aturan, tatanan atau juga dapat pula ketertiban. Itulah yang dijanjikan kepada Bangsa Indonesia ketika itu, sehingga sejak awal nama itu sudah dicanangkan, meskipun yang terjadi berbeda samasekali.

Zaman yang baru lewat adalah kurun ketika semua berpusat pada Pemimpin Besar Revolusi, PBR Bung Karno. Dengan peralihan yang lamanya hanya beberapa bulan saja, mulailah berlaku yang disebut Pelita, Pembangunan Lima Tahun, dengan mulainya tahun Pelita tidak pada awal Januari, melainkan Nopember. Berbeda dengan yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya, kini anggaran belanja berasal dari pinjaman yang sumbernya Bank Dunia. Itu yang memungkinkan Indonesia menerapkan yang disebut rencana pembangunan lima tahunan, disingkat Repelita. Pelita I dimulai pada 1 Nopember 1969. Pelita, ibaratnya lampu untuk menghadapi kegelapan.

Ada sejumlah istilah yang diperkenalkan seperti DUP, daftar usulan projek dan DIP, daftar isian projek, dst. Tataistilah itu dikenal oleh semua yang bersangkutan. Badan Perencanaan Nasional, disingkat Bapenas, adalah pengendalinya. Selain dana yang berasal dari luar, pelaksanaan kerja dapat sesuai dengan jadwal, karena adanya yang disebut anggaran berimbang. Itulah 'ilmu' yang dibawa pulang oleh para ahli lulusan Amerika Serikat. Di pucuk pimpinan adalah Profesor Dr Widjojo Nitisastro, seorang yang dikenal lurus. Widjojo membangun sistem, bukan kelembagaan. Ibaratnya, sebagai seorang yang memimpin orkes, ia berupaya agar keselarasan atau harmoni selalu terjaga, dan itu hanya dapat ia lakukan selama ia dipercaya memimpin orkes itu. Gambaran perihal pribadi Widjojo Nitisastro dapat diperoleh lewat “Kesan para sahabat Widjojo Nitisastro”, buku suntingan Moh. Arsjad Anwar, Aris Ananta, dan Ari Kuncoro (2007, KOMPAS, Penerbit Buku, 527h.)

Sebelum kita berlanjut ke babak baru Republik Indonesia, inilah yang ditulis Howard Jones ketika ia berkunjung ke Jakarta pada tengahan 1969. Ia benar-benar kagum, betapa Jakarta—yang saat itu dipimpin Ali Sadikin, letnan jenderal marinir dan pilihan Bung Karno—berubah secara nyata dalam waktu hanya bebeberapa tahun Sebagai seorang pilihan Bung Karno, Ali Sadikin memiliki ciri yang tidak dapat kita pisahkan dengan tindakan yang telah diperbuatnya, tegas, berdisiplin.

Ali Sadikin dilantik oleh Bung Karno pada 28 April 1966, sebelum ia dituurunkan dari jabatannya. Sebagai seorang yang mengemban kepercayaan, ia berupaya melakukan tugasnya dengan cara yang baik tanpa gembar-gembor. Kedekatannya dengan Bung Karno menunjukkan Ali Sadikin jelas juga seorang nasionalis. Pada saat Bung Karno melantik Ali Sadikin jadi Gubernur DKI—meskipun ia pernah jadi menteri—Bung Karno menilainya sebagai seorang yang tepat untuk jabatan sangat penting itu, dan tahu ia koppig (keras kepala) (Ramadhan, 1996). Pada waktu berhadapan dengan Suharto sebagai Kepala Negara yang baru, sikapnya adalah sikap sebagai seorang perjurit TNI, dan itu tampak, dari satu kata yang mengemuka, correct. Apa artinya, bisa bermacam-macam, yang pasti tecakup di dalamnya tepat, cermat, tanpa cacat, sesuai dengan yang dituntut daripdamya. Itulah sebabnya, dengan Suharto sekeluarga selama ia dua kali menjalani masa jabatan, semua berjalan mulus.

Memimpin daerah Ibukota pada zaman 'dana langka' jelas tidak mudah. Tidak ada jalan lain, kecuali ia harus menggalinya dari sumber yang tidak lazim, dan itu ia temukan berupa pajak perjudian yang pelakunya bukan-pribumi karena bagi mereka berjudi adalah bagian dari cara hidup. Pajak yang berasal dari sana yang membuat Ali Sadikin mampu membuat Ibukota Jakarta tampak semarak, seperti yang tertangkap oleh Howard Jones, yang selama delapan tahun pernah tinggal di sana. Itu yang membuat ia percaya jika semua terus berlangsung dalam derap yang sama, Indonesia dalam waktu singkat akan jadi negara maju.

Pada kunjungannya yang hanya singkat itu, Jones juga bertemu Suharto yang dalam pada itu telah jadi Presiden Indonesia. Komunikasi yang dilakukan dengan Suharto berlangsung dengan perantara penerjemah. Sejauh yang tertera dalam bukunya, kunjungan ke Suharto tentu tidak lama, sekedar courtesy call, kunjungan kehormatan. Jadi tidak mungkin berlangsung lama. Itulah 'jepretan sesaat', kesan yang sekilas seorang Howard Jones ketika melihat keadaan di sini setelah pimpinan negara berganti.

Sikap correct itu pula yang rupanya merupakan kunci baginya dalam bertindak selaku kepala daerah melewati masa peralihan. Sikap itu tercermin dari tindakannya sebagai pengayom bagi rakyat pada umumnya, dan sesuai dengan semboyan yang didengungkan Presiden Suharto, mikul nduwur, mendem jero, jika memang diperlukan. Kita dapat memahami, karena dalam masa jabatan dua kali selama 11 tahun tatanan umum telah banyakberubah.

Babak berikutnya yang berlangsung di Indonesia adalah pemilihan umum, disingkat Pemilu, disusul pemilihan presiden dengan wakilnya oleh MPR. Itulah kurun waktu yang kemudian dikenal sebagai Zaman Pembangunan. Memang benar, pada awalnya semua berjalan dengan baik, dan Pelita demi Pelita diselesaikan sesuai dengan yang disasarkan. Sesuai dengan 'aturan main' yang 'dibuat', dan bukti setiap Pelita selesai berbentuk laporan. Maka Suharto pun dijadikan Bapak Pembangunan.

Dengan cara yang ditempuh Orde Baru itu, Suharto terpilih kembali dan kembali sebagai Presiden RI, berulang lagi enam kali. Selama itu, hanya mereka yang dijadikan Wakil Presiden yang diganti, yaitu, berturut-turut, Sultan Yogya Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusuma, Soedharmono,Tri Sutrisno, dan terakhir, B.J. Habibie. Menarik untuk diperhatikan, tetapi saya tak berniat untuk membahasnya.

Sepertiga abad sejak Bung Karno dimundurkan waktu diisi oleh pemerintahan Suharto dengan Kabinet Pembangunannya dan berniat melompat cepat. Tetapi prasarana—cara, tatacara—serta sarananya—dalam hal ini modal—yang digunakan bagi pembangunan berasal dari luar. Dalam hubungan ini, saya ingat akan pemenang Hadiah Nobel warga Swedia, Gunnar Myrdal dengan karya besarnya “Asian drama” (1971). Dengan semua barang imporan dari Barat itu, tidak berarti pembangunan berhasil. Tidak banyak orang menyadari bahwa selain bahasa dan tataistilah, ada yang juga harus menyertai dan ini tak lain adalah makna. Makna hanya dapat dicerap lewat tradisi (Purbo-Hadiwidjoyo, 2012). Ada tambahan lagi, yaitu bahwa kita harus mengakui, mereka yang memiliki kepentingan—dengan kata lain, akan selalu mencoba membonceng kereta kencana, atau Inggrisnya joining the bandwagon—dan jumlah mereka tentu tidak sedikit. Lagi-lagi, kesempatan itulah yang selalu dicari orang, meungpang-meungpeung. Mungkin saja tidak kita sadari, mereka adalah kekuatan [maya] pengimbang, dan itu tentu bisa baik dan bisa sebaliknya, buruk, karena semua bersifat manusiawi.

Sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Pelita, setiap projek berakhir dengan laporan sebagai pertanggungjawaban. Semua badan dan kelembagaan memliki bagian yang tugasnya membuat laporan. Jadi kita membayangkan apakah hasilnya sesuai dengan yang diharapkan, atau tidak. Apalagi jika segi kebahasaan juga perlu diperhatikan.

Membuat laporan bukan asal menulis. Sebagai seorang yang terlibat dalam pelaporan selama lebih setengah abad, saya mengalami sendiri apa yang telah terjadi. Ternyata tidak sedikit laporan yang direkayasa, bahkan sering sejak awal. Perkara ini bisa saya tulis jadi buku tebal. Yang jadi pokok masalah, kita belum beranjak dari budaya tutur. Karena keterlibatan saya secara langsung, tanpa disengaja saya didorong untuk membuat buku. Itulah yang terjadi pada saya.

Sejak awal benar-benar seperti barang kebetulan, Ketika itu, saya mendapat tawaran mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia Teknik di Jurusan Teknik Kimia, ITB. Sejak 1966 selama tujuh tahun saya benar-benar bereksperimen, mencoba-coba. Setelah tujuh tahun, akhirnya saya merasa arah yang harus ditempah saya temukan. Buku yang saya tulis tidak hanya tertuju kepada para insinyur dan calon insnyur kimia, melainkan para pekerja di dunia teknik pada umumnya. Sejak di awal upaya, saya menggunakan judul “Menyusun laporan teknik”, dan terbit pertama kali di tahun 1988, hitung-hitung ikut memperingati 60 tahun Sumpah Pemuda. (Purbo-Hadiwidjoyo, terbitan ke-3, 1993). Hingga saat ini buku itu terus saja beredar tanpa perubahan, dan sebabnya tak lain keterbatasan dalam segala-galanya.

Sekarang mengenai Presiden Suharto.Terlepas dari apa pun, Presiden Suharto adalah orang kuat. Ia membuktikan mampu memerintah selama masa 32 tahun, menyamai orang kuat lain dalam sejarah, Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram. Berbeda dengan Sultan Agung yang kekuasaanya hanya di sebagian Pulau Jawa, Suharto menguasai seluruh Indonesia. Bahkan Timor Timur berkat politik yang ia anut dijadikan propinsi Republik Indonesia. Saya tidak pernah berpikir dapat pergi ke Timor Timor, meskipun ketika di HIS saya selalu bertanya-tanya penyebab mengapa bagian timur Timor disebut Portugees Timor. Perjalanan hidup sebagai geoloiwan memungkinkan saya untuk meginjakkan kaki di pulau yang gersang itu (Purbo-Hadiwidjoyo, 2006). Dalam perjalanan darat dari Dili ke Viqueque yang ada di pantai selatan pulau membawa saya melewati sebuah lapangan terbang yang sangat besar, tetapi sepi. Rupanya, itu jawab atas pertanyaan yang sempat berkecamuk di benak mengapa Indomesia menyerbu Timor Timur, karena kepentingan strategi Amerika Serikat. Pada suatu ketika, Pemerintah Portugal dikuasai kaum kiri, dan dengan sendirinya tanah jajahannya Timor Timor juga tunduk kepada perintah Pusat. Lapangan terbang itu dibangun dengan tujuan—ibaratnya pistol yang diarahkan ke pelipis—agar sewaktu-waktu dapat 'membidik' Australia dengan kota terbesar di seberang laut, Darwin.

Sikap pemerintahan Presiden Suharto terhadap propinsi NKRI yang paling barat berakibat sangat jauh, apalagi setelah dicanangkan pembangunan lewat Pelita.

Tidaklah mungkin menerangkan babak pembentukan Bangsa Indonesia yang mencakup jangka waktu serba musykil hanya dalam beberapa baris. Maka dari itu, perkenankanlah saya menempuh jalan ini. Inti masalahnya berputar pada ketiadaan komunikasi yang baik di antara para pelakon, hingga berujung pada DOM. DOM atau panjangnya daerah operasi militer, timbul dari anggapan sepihak—yakni Pemerintah RI—bahwa masalah Aceh dapat diselesaikan lewat perintah. Jika tidak ada komunikasi, akibatnya timbul kekuatan nyata. Itulah Gerakan Aceh Merdeka, disingkat GAM yang didirikan Hasan Tiro pada 4 Desember 1976.

Ketiadaan atau mungkin sekedar ketidaklancaran komunikasi dapat berakibat jauh seperti Aceh, bahkan di tempat yang dekat. Contoh, Waduk Kedungombo, di Jawa Tengah, dekat Semarang dari Solo. Gagasan membangun Waduk Kedungombo bukan hal baru, sudah sejak zaman penjajahan Belanda. Saya pernah melihat keadaan di tempat calon bendungan dan kolam waduk. Selain saya mendapat gambaran keadaan medan, uga mendengar 'dongeng rakyat'. Ada yang menarik, berbunyi betik (nama ikan kecil) makan manggar (mayang)'. Hemat saya, itu 'ramalan', atau 'tafsir' rencana Belanda, mungkin juga asli dari orang dusun, entah lewat apa. Orang risau, bila tempat mereka bermukim tenggelam, lebih-lebih makam para leluhu. Semua itu akan baik seandainya dikemas dalam bebtuk pendekatan dengan cara bijak..Sebaliknya, jika kemunikasi pun tidak ada, apalagi muncul informasi bahwa mereka beraliran kiri—versi Orba mereka komunis—maka sejak awal sudah dapat dipastikan semua akan salah wesel.

Kembali lagi ke Hasan Tiro di Aceh. Mengapa ia perlu diperhatikan? Untuk keperluan itu, kita perlu mengetahui latar belakangnya, mengapa ia berbuat sejauh itu, berpisah dari NKRI, dan mengapa ia perlu diperhatikan?

Kenyataan bahwa GAM baru didirikan di akhir tahun 1976 pasti ada penyebabnya. Ketika itu Pelita pertama telah selesai dan yang kedua sedang berjalan. Sejak ada Pelita, dalam waktu singkat Aceh Timur, khususnya Lhokseumawe berubah jadi daerah industri. karena ditemukan gas bumi dalam jumlah besar di daerah Arun. Meskipun baru ditemukan dan wadahnya batugamping menyulitkan pengembangan, cadangan gas dengan cepat dapat diproduksikan. Itu dapat terlaksana karena yang ada di belakangnya adalah Exxon-Mobil. Perusahaan raksasa dunia itu memiliki kuncinya berupa teknologi dan modal, ditambah lagi pengalaman memasarkan hasilnya ke calon pengguna. Dalam hal gas Arun adalah Jepang. Gas Arun tidak hanya diekspor, juga digunakan untuk membuat pupuk. Yang juga mutlak perlu bagi suatu usaha itu adalah keamanan. Agar terjamin semua berjalan lancar ada persyaratan, yaitu keamanan daerah terjamin. Jadi dengan kata lain, penjamin keamanan berupa kekuatan senjata dan kewenangannya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia yang ketika itu dipimpin Jenderal Suharto.

Itu sebabnya, pada waktu menduduki kursi kepresdenan, Gus Dur sadar, langkah penting pertama berdamai dengan GAM lewat perundingan. Ia tidak mau grusa-grusu. Pertemuan awal berlangsung di Swis pada tanggal 21 Mai 2000, dengan perantaraan Yayasan Henry Dunant. Kita bisa melihat, Gus Dur paham benar akan politik.Sebagai pemerhati sepak bola, ia melihat di dalamnya juga bisa dijumpai 'ada tindak berpolitik', yaah, mengecoh lawan.

Tidaklah mungkin menerangkan babak pembentukan Bangsa Indonesia yang mencakup jangka waktu serba berbelit itu hanya dalam beberapa baris. Maka dari itu, perkenankanlah saya untuk menempuh jalan ini. Intinya berputar pada ketiadaan komunikasi yang baik di antara para pelakon, hingga berujung pada DOM. DOM atau panjangnya daerah operasi militer, timbul karena anggapan sepihak—yakni Pemerintah RI—bahwa masalah Aceh dapat diselesaikan lewat perintah.

Harry Kawilarang dalam bukunya berjudul “Aceh, dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki“ (2008), Hasan Tiro seorang lulusan Universitas Columbia, Boston, Amerika Serikat dan beristri orang sana, berputera satu. Sepotong informasi itu bisa membuat semua jadi makin rumit.

Mengenai daerah paling barat Indonesia itu bagi saya juga berlaku catatan yang sama, yaitu saya tidak mudah mengisahkannya, jika saya tidak mengunjunginya. Maka dari itu, memang kebetulan saya telah berkunjung di Lhokseumawe, tidak dalam rangka projek Arun atau pupuk, melainkan untuk pabrik kertas Kraft yang bertempat di pinggir utara Kota Lhokseumawe. Saya mendapat permintaan untuk membuat para karyawan pabrik kertas dalam waktu singkat mampu membuat laporan.

Memang sejak awal serba kebetulan. Suatu ketika saya bertemu Bpk ir. Sutamat di Bandara Halim Perdanakusuma. Ketika itu, saya dalam perjalanan pulang dari menatar dosen di Lampung dan beliau menuju Lhokseumawe. Pak Sutamat selain memimpin Pabrik Kertas Padalarang, terlibat dalam pembangunan Pabrik Kertas Lhokseumawe. Beliau rupanya tertarik akan perkara laporan. Demikianlah, selama perjumpaan singkat itu pada beliau sudah timbul niat untuk melibatkan saya dalam perkara penyusunan laporan, meskipun belum ditentukan kapan.

Sekitar dua tahun lewat, ketika saya tiba-tiba mendapat surat yang meminta saya agar memberi semacam kursus singkat bagi karyawan Pabrik Kertas Lhokseumawe. Tanpa tahui akan latar belakang mereka yang akan ditatar, selain sejumlah pokok mendasar yang harus diperhtikan, saya bertolak menuju ke tempat tugas yang ternyata khas dalam banyak hal.

Untuk mencapai Pabrik Kertas Lhokseumawe, saya datang dari Medan dengan mobil, sehingga dapat memperoleh tambahan berupa gambaran tentang keadaan daerah pantai timur yang belum pernah saya kunjungi. Di antara yang menarik bagi saya adalah usaha mengganti rel keretapi. Di zaman Belanda, lebar rel di Aceh berbeda dengan yang terdapat di daerah lain. Di Aceh, lebar itu hanya 0,75m, sedang yang umum 1,067m. Saya sempat berpikir, alangkah bagusnya jika perubahan lebar rel sudah dimulai. Pangkalan Brandan adalah tempat terjauh yang terhubung dengan jaringan rel Sumatera Timur yang berlebar baku 1,067m. Setidaknya, langkah usaha memanjangkan lebar rel baku itu adalah positip. Boleh jadi, lebar rel baku merupakan langkah ke arah penyatuan sistem perangkutan di Sumatra. Rupanya mengganti lebar rel rupaya ada hubungannya dengan rencana projek pabrik gula di Cot Girek.

Selama di Lhokseumawe, di antara waktu memberi kursus menulis ada saat luang. Dengan senang hati yang manfaatkannya dengan baik. Karena ada yang mengajak, saya sempat berkunjung di daerah yang untuk saya kunjungi pertama kali. Dengan jip, saya melewati pedalaman Aceh menyusuri jalan yang sebelumnya tidak terbayangkan, karena memang belum ada. Jalan itu berawal dari tempat pabrik kertas, dan langsung ke Takengon' Terkesan, jalan itu sangat darurat, sambil maju, kayu gelondongan langsung diangkut ke pabrik, dan caranya tentu dengan perlengkapan berat. Demkianlah, perjalanan itu memberi saya—dalam waktu sangat singkat, jadi tidak mungkin lengkap—gambaran latar belakang berputarnya industri kertas di Aceh. Selain ihwal sumber bahan kertas, tempat pabrik adalah pokok yang telah dipertimangkan sebelumnya.

Pertama mengenai bahan kertas. Kita tahu, di daerah Aceh ada jenis pohon cemara yang asalnya setempat, Pinus mercusii. Sudah sejak dulu, orang Belanda menggagas untuk membangun industri kertas di Aceh. Ketika itu, mereka melihat Takengon sebagai tempaf harapan, karena letaknya di tengah daerah sumber bahan. Tenaga listrik yang diperlukan dapat diperoleh dengan memanfaatkan aliran sungai yang dari Danau Air Tawar.

Yang kita lihat sekarang menyatakan bahwa rencana pabrik diubah. Ini tentu berhubungan dengan kenyataan bahwa Lhokseumawe tumbuh jadi daerah industri tersebab ditemukan cadangan besar gasbumi di Arun.

Bahan dasar kertas masih sama, yaitu bubur dari pinus yang tumbuh di hutan alam di tempat yang sama. Jangan dikira, hutan itu hanya terdiri dari pinus, tetapi tercampur dengan pepohonan jenis lain. Jadi, yang diterapkan tebang pilih.

Jalan yang dibangun dengan buldoser dan perlengkapan berat lain itu kemudian tidak diperkeras, tentu atas dasar ekonomi. Di sepanjang jalan di tepi kanan-kirinya saya melihat berderet pinus yang belum lama ditanama, karena tingginya baru setengah meteran. Sebagai seorang yang bukan-ahli, saya hanya membatin, apakah mungkin penghutanan kembali dapat dilakukan hanya dengan cara yang terkesan 'sambilan' itu? Itulah kesan selayang pandang, seorang yang untuk pertama kalinya ada di sana, tanpa bekal informasi lain apa pun.Ketika di Lhokseumawe, saya juga sempat melihat dari tepi pantai ada kapal tanker raksasa sedang berlabuh untuk mengangkut gas. Betapa semua berjalan sangat efisien, semua serba otomatis, jadi tidak memerlukan tenaga banyak, apalagi pekerja setempat. Saya sempat salat mahrib berjamaah di masjid Lhokseumawe yang sangat bagus dan moderen.

Saya tidak mengira samasekali bahwa daerah Aceh dalam waktu singkat dapat berubah, setidaknya daerah Lhokseumawe. Perubahan itu ternyata juga tidak dapat dipisahkan dengan Pelita yang perlu di'kawal'. Itulah awal petaka yang memunculkan nama Hasan Tiro dan Gerakan Aceh Merdeka-nya atau GAM, Pada gilirannya, dengan membuat Aceh jadi DOM, daerah operasi militer, menjadikan banyak orang makin sengasara.