Saya telah mencoba menggambarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai perwujudan tumbuh. Amaran demi amaran muncul, meskipun tidak banyak yang menyadari. Kemunculannya tidak tiba-tiba, karena benih tersedia. Pemicu dari luar pun datang, tetapi masih ada yang kurang, diperlukan penyiapan lahan persemaian. Layaknya mahluk hidup, NKRI juga tumbuh, di samping gizi ada penyakit, dan itu selalu datang entah dari mana asalnya. Sampai akhirnya semua yang memang sudah kodrat terpenuhi.

Setelah semua yang mendasar dibahas, Parwa Tiga ini mengutarakan kelengkapan yang diperlukan demi ketahanan hidup si perwujudan.

Sebelum PD II, wilayah yang sekarang bernama Indonesia adalah Nederlands Indie, jajahan Negeri Belanda. Pada zaman itu, Belanda hanya menguasai daratan, sedangkan perairan antarpulau adalah wilayah bebas. Baru menjelang pecah PD II, Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan undang-undang yang berbunyi Territoriale Zee-en Maritieme Kringen Ordonantie, yang mengatur perkara lingkungan laut dan bahari. Itulah untuk pertama ada aturan yang berhubungan dengan kelautan di negeri ini. Tetapi tetap saja, selat dan lautan antarpulau bukan kewenangan pemerintah.

Kita mengenal istilah Nusantara yang menunjuk kepada kepulauan yang terbentang di antara dua benua dan dua lautan—Asia dan Australia dan dua Samudera Pasifik atau Lautan Teduh, dan Samudera India—mencakup lebih dari 17000 pulau besar dan kecil. Kata itu mengisyaratkan pandangan dari segi raut muka bumi, bukan ketatanegaraan, karena dalam wilayah itu tercakup tujuh negara berdaulat, dan Indonesia menempati kawasan terluas.

Chairul Saleh (1916-1967) adalah orangnya yang mencetuskan gagasan cemerlang. Tujuan yang hendak ia capai sudah jelas: Yang namanya Republik Indonesia tidak hanya daratan, juga perairan antarpulaunya masuk di dalamnya. Perairan itu luasnya bahkan satu-setengah kali luas daratan. Dengan berpandangan cara ini, tidak hanya wilayah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertambah, juga sumber daya kita meningkat jenis dan jumlahnya. Di sana letak kecemerlangan Chairul Saleh, nasionalis, teman dekat Presiden Soekarno, pendiri republik yang hidupnya—ironis memang—harus berakhir di penjara. Hidup memang sering penuh ironi.

Barangkali ada baiknya kita tambahkan barang sedikit catatan Howard P. Jones, mantan Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia dalam buku yang diacu dalam Parwa Dua. Chairul Saleh, tutur Jones, selain sahabat Bung Karno adalah menteri yang paling ganteng dalam pemerintah ketika. Orangnya tegas, dan dalam berunding tidak mudah menyerah. Selain kedekatannya dengan Bung Karno ia mendapat cap nasionalis kiri, dan itu jelas yang membuat ia masuk tahanan Orba.

Ketika itu kita belum lama merdeka dan Irian Barat masih disebut Nederlands West Nieuw Guinea, karena masih diduduki Belanda.Ternyata diperlukan upaya, tenaga dan kegigihan, keahlian dan keterampilan berdiplomasi—itu sangat penting—waktu sebelum gagasan itu terwujud, yang kemudian dikenal dengan istilah Wawasan Nusantara, Inggrisnya The Archipelago Principle. Agar dapat kita pahami bagaimana awalnya, proses panjang yang akhirnya membuahkan hasil gagasan itu diakui dunia interasional, saya cantumkam di sini percakapan Chairul Saleh dengan Mochtar Koesoemaatmadja, berdasarkan tulisan yang pada masa itu jelas merupakan barang yang tidak beredar (luas) (Koesoemaatmadja, 1993).

Inilah kisah yang bagi kita melatarbelakangi perubahan pandangan terhadap ihwal laut, dari yang semula kita menerimanya sebagai pemisah, tetapi barang yang sama itu kemudian berubah jadi penyatu. Kisah berawal dari perbincangan antara Chairul Saleh dan Mochtar Koesoemaatmadja, dua orang yang tidak hanya sekedar sahabat tetapi menentukan sejarah kewilayahan negara kita. Kita akan melihat yang mereka lakukan benar-benar merupakan tonggak yang semestinya masuk dalam sejarah nasional kita secara utuh, bukan hasil rekayasa. Dilihat dari daerah asal, mereka datang dari dua tempat yang terpisah laut, Chairul Saleh dari Sumatera Barat dan Mochtar Koesoemaatmadja dari Jawa, ayah Sunda dan ibu Jawa; isteri Mochtar Koesoemaatmadja kerabat Chairul Saleh.

Ketika itu, akhir 1957, kita sedang meningkatkan perjuangan merebut Irian Barat, dan baru dua tahun melaksanakan pemilihan umum pertama, salah satu dasar untuk berdemokrasi. Seperti telah disinggung dalam Parwa Dua, PKI keluar sebagai pemenang no. 2. Sadar akan kekuatan yang ada pada mereka, sejumlah serikat buruh mendesak pemerintah untuk mengambil alih semua milik Belanda. Di dalamnya tercakup beraneka perusahaan yang jadi penggerak roda ekonomi di negeri ini, seperti perkebunan besar, pelayaran antarpulau yang diselenggarakan Koninklijke Pakketvaart Maatschappij, KPM, dan usaha sarana penunjang, seperti bank, hotel, dan biro jasa konstruksi. Dari segi perjuangan, pengambilalihan semua itu dapat dibenarkan, dengan istilah Belanda berdasarkan ketentuan Staat van Oorlog en Beleg, atau Indonesianya karena negara dalam keadaan perang. Jadi tindak pengambilalihan barang kemilikan musuh ada aturannya. Jika tidak, akan timbul kekacauan.

Sejak awal, angkatan bersenjata kita, khususnya Angkatan Darat—wilayah kekuasaan RI hanya meliputi darat—dilibatkan dalam langkah itu. Maka dari itu, di setiap daerah dibentuk Pepelrada, pelaksana militer di daerah. Di setiap perusahaan Belanda yang diambil alih ditempatkan seorang militer yang duduk sebagai pimpinan.

Saat itu, Mochtar Koesoemaatmadja (lahir tahun 1929) adalah ahli hukum muda dan jadi pembantu Menteri Pertanian Sajarwo yang menghadapi gugatan Vereenigde Deli Maatschappijen, himpunan sejumlah perusahaan perkebunan swasta Belanda di daerah Sumatera Timur. Di kemudian hari, perusahaan perkebunan itu jadi bagian dari PPN dan beraneka perusahaan lain di bawah naungan BUMN.

Karena di waktu Irian Barat belum diserahkan kepada RI, kapal Belanda terus berlalulang di Laut Jawa dan juga selat antarpulau. Ketika berbincang-bincang dengan Mochtar Koesoemaatmadja, terlontarlah pertanyaan Chairul Saleh: 'Ini Laut Jawa apa tidak bisa dijadikan laut pedalaman?'.

Jawab Mochtar: 'Ya, nggak bisa, dong!'

'Pokoknya, bikin supaya bisa, jangan bilang tidak bisa!'

'Wah, ini bertentangan dengan hukum internasional!'

'Kamu ini masih muda, Omongnya kayak apa! Tidak revolusioner!'

Dalam batin Mochtar berpikir: “Orang ini bagaimana!”

Chairul Saleh pun terus 'nyerocos' penuh semangat, dan akhirnya Mochtar terpenaruh juga.

Chairul melanjutkan: 'Jika dulu kita mendengar akan membuat proklamasi dari yang ada hanya pandangan yuridis saja, tentu proklamasi tidak akan terjadi. Kamu harus mengubah cara kamu berpikir! Pokoknya harus bisa!'

Mochtar berpikir, Chairul sendiri juga tidak tahu caranya. Pada kesempatan lain Chairul bertanya tentang pangkal laut mulai dari jarak berapa, dan Mochtar menjawab 12 mil, dan Chairul bertanya balik, mengapa tidak 17 saja karena itu angka keramat. Saya rasa, itu semacam canda seperti yang biasa kita lakukan antarkita jika kita berhadapan dengan suasana sejenis.

Chairul Saleh menambahkan, 'Pokoknya, you sanggup nggak?' Mochtar pun merasa ditantang

Gagasan menentukan batas wilayah negara tidak mudah, karena tentu dituangkan dalam bentuk undang-undang. Padahal semua harus dilakukan dengan cepat. Hal itu hanya dapat diatasi lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Untuk menangani perkara ini Mochtar Koesoemaatmadja-lah orang yang tepat. Karena sebagai pegawai negeri tugas rutinnya sudah menyita tenaga, maka ia mengambil cuti dua minggu. Hasilnya berupa Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, no.4, Tahun 1960. Begitu diumumkan, protes pun bermunculan. Hal ini dapat diikuti lewat berita yang dimuat koran pagi. Begitu Chairul Saleh diberi tahu, reaksinya, 'Nah, jika begitu, putusan dan tindakan pemerintah memang betul-betul benar.’

Itulah awal jalan panjang menuju pengakuan Wawasan Nusantara yang diotaki Chairul Saleh lewat proses yang melibatkan Mochtar Koesoemaatmadja sajak awal. Konperensi PBB mengenai hukum laut itu yang Inggrisnya, United Nations Conference on the Law of the Sea, disingkat UNICLOS adalah tempat ia digembleng menjadi pakar hukum di bidang yang sangat khusus itu. Yang juga perlu kita sadari adalah keterdapatan dua lautan dangkal, di barat, Paparan Sunda (16,5 juta km persegi) dan di timur, Paparan Sahul (0,65 juta km persegi).

Kini, negara yang kebetulan juga dalam kedudukan seperti NKRI sudah mendapat kemanfaatan. Bagi kita, wawasan nusantara atau Inggrisnya, the archipelago principle sangat penting, seperi dikatakan di atas. Memang segi timah wawasan itu tak berlaku, karena produksinya dari lepas-pantai tak lagi menarik. Yang besar artinya justru minyak dan gasbumi, di Paparan Sunda dan juga Paparan Sahul. Sejak beberapa tahun lalu, Australia memperoleh minyak dan gas di daerah lepas pantai di Sahul. Bagi Timor Leste, negara yang selain tidak memiliki sumber daya alam, tidak pula memiliki keterampilan teknologi, apalagi modal, minyak di 'celah Timor' berarti rahmat besar. Mereka mendapat jatah keuntungan yang berarti dari pengusahaan bagi negeri mereka.