Menjelang kita merdeka, ada kekuatan yang seakan-akan menggiring kita agar kita melengkapi ketentuan yang diperlukan bagi suatu negeri. Tak lain, itu sendi bagi negara. Anggap ini sebagai filsafat yang mengalasi, bisa juga 'soko guru' bangunan republik yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Mereka tidak lagi berpikir mendirikan kerajaan. Republik, itulah bentuk negara yang ada dalam bayangan akan didirikan, Yang berangan-angan itu tak lain adalah Bung Karno, yang sejak awal merenungkan sendiri yang dijadikan landasan, layaknya seorang arsitek yang merencanakan sebuah bangunan.

Dengan latar belakang budaya Jawa-Bali, Bung Karno pasti tahu makna orang bersemadi, yaitu memusatkan pikiran dan perasaan. Orang sekarang lebih suka menggunakan kata 'meditasi', dalam bentuk kata benda. Jika terarah tindak orang dalam bahasa Indonesia dinyatakan bersemadi. Orang Jawa yang diimpor dari Barat. Sebagai katakerja berbunyi bermeditasi. Jika akan bersemadi atau bermeditasi, orang harus ke tempat sepi. Maka, kata menyepi juga mengarah ke sana.

Bung Karno sadar, sebagai orang pergerakan setiap upaya selain sifat kedirian, juga kedaerahan. Sebagai seorang nasionalis, yang paling dulu 'nempel' padanya tentu rasa kebangsaan. atau dengan kata asing, rasa nasionalisme. Rasa itu tumbuh perlahan-lahan, berangsur-angsur, melewati proses penuh leliku. Setiap kali muncul selalu tak terduga-duga dan juga jadi wawasan kesemestaan. Yang perlu diperhatikan dalam hidup bermasyarakat adalah perlunya orang berembuk, bahkan terjadi di peringkat terbawah masyarakat, yaitu antartetangga. Bung Karno mengenal yang dinamai gotong-royong, dan di peringkat desa, ada rembuk desa, tempat semua putusan didasarkan pada mufakat. Masih ada satu lagi, yaitu agama. Bung Karno bahkan melihatnya pada ayah-ibunya sendiri. Ia tahu mereka berbeda agama, tetapi hal yang berbeda itu tidak perlu jadi sebab timbulnya cek-cok. Maka, orang yang menganggap dirinya beragama baru bersikap tepat, jika sikap itu ibaratnya mengenakan ageman, pakaian. Orang yang berbeda dalam pakaian hanya berbeda secara lahiriah. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa setiap orang memang wajib berpakaian, tetapi pakaian itu tidak harus sama. Lain halnya jika orang tak beragama, maka dapat diibaratkan martabatnya sama dengan 'monyet'. Itulah cara orang Jawa bernalar, dan saya kira juga dianut Bung Karno.

Hasil Bung Karno bermeditasi mengendap, dan dengan wadah yang olehnya diberi nama Pancasila, lima sendi sebagai landasan atau pondasi Negara. Maka pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan Bung Karno memaparkan landasan itu, nama Pancasila. Sejak itu, 1 Juni diperingati sebagai tanggal kelahiran Pancasila.

Saya juga percaya, saat gagasan mengenai Pancasila dikemukakan untuk pertama kali di depan suatu majelis, banyak orang yang terkesima. Seperti diketahui, majlis itu terdiri dari sekelompok pemuncak, mereka yang di Indonesia pada waktu itu di daerah asalnya di Indonesia.

Saya percaya, sudut pandang terhadap sendi negara yang semula terpengaruh sudut pandang pribadi Bung Karno segera diperbaiki setelah majelis terlibat di dalamnya. Maka dari itu, dengan sendirinya yang kemudian tampak adalah pandangan umum majlis.

Saya akhirnya percaya Bung Karno merenung di malam hari. Malam harilah saat-saat yang terbaik berbagai gagasan dapat menyelinap ke dalam benak seorang, ketika suasana umum sepi. Jika kita mau berada di luar ketika langit bertaburan ribuan bintang, seperti terbentang di Ende yang lebih berpeluang mengalami cuaca cerah, daripada misalnya Bandung, tempat ia mulai merenungi hal yang sama.

Sebagai manusia kebanyakan saya pun mendapat kesempatan untuk menyaksikan puluhan tahun yang lalu, di masa pendudukan Jepang dan mengagumi langit di malam hari. Itu saat ketika saya berkali-kali naik keretapi di malam hari, bukan kereta malam, melainkan kereta terakhir Yogya-Kroya, yang behenti di setiap stasiun, dan saya turun di Gombong. Setiap hari ada berpuluh-puluh calon penumpang gelap menjelang maghrib sudah menanti di bagian barat setasion Tugu. Meski kondektur melihat, dengan lincah calon penumpang gelap itu dibiarkan memanjat ke atap.

Pada kesempatan itu selama beberapa jam saya menyaksikan berbagai kejadian di angkasa, dan yang paling sering adalah bintang jatuh entah ke arah mana. Sesekali ada benda mencorong dan orang Jawa menyebut ndaru atau pulung, yang bergerak tidak terlalu cepat, dan sekali-sekali ada yang melintasi rel.

Ayah sebagai mantan anggota pamong praja berkisah, berulang-kali menyaksikan ndaru di waktu menjelang ada pemilihan lurah. Jika ada seorang calon lurah yang bertugas di utara jalan raya, sedangkan yang akan terpilih jadi lurah, di selatan jalan, ndaru itu bergerak dari utara ke selatan. Secara ilmiah, saya sampai sekarang tidak dapat menerangkan kejadian itu. Tetapi karena saya telah menyaksikan ndaru berkali-kali, dan tidak di satu tempat, saya yakin yang disebut ndaru ada. Yang saya saksikan itu saya himpun, dan cepat atau lambat—bila benang yang mengikatnya sudah muncul—akan dapat dipaparkan.

Marilah kita cermati perkara ini, karena dalam abad ke 20 yang baru lewat, kita menyaksikan kemunculan Bung Karno di pentas dunia dan membawa kita menjadi bangsa dan jadi Negara Bangsa. Ialah seorang didikan Belanda, sama dengan generasi yang ia wakili, generasi yang meletakkan dasar untuk berbangsa.

Pada dirinya, ia mengejawantahkan jenis manusia langka bangsanya dengan kebinnekaanya dan dasar yang ia beri nama Pancasila, asas yang lima. Bilangan lima harus diakui termasuk angka yang ajaib, entah diterima lewat dasar atau kepercayaan apa.