Setelah saya renungi, yang saya kisahkan berikut ini ternyata merentasi wilayah adikodrati, di luar yang lazim. Di dalamnya terpaut zaman yang sudah lama lampau, entah kapan, dan lagi meskipun perwujudan berbeda-beda, semua itu memiliki keberkaitan, entah dalam segi apa.

Saya mulai dengan zaman ketika agama Buddha untuk pertama kali tiba di Nusantara. Kedatangan mereka yang membawanya membukakan cakrawala baru bagi kita yang sekarang merasa sebagai Bangsa Indonesia. seperti kita lihat, pada kenyataannya masih jauh dari yang seharusnya.

Tiga candi—Mendut-Pawon-Borobudur—tiga-tiganya semula tertimbun. Sir Stamford Raffles orangnya yang disebut-sebut sebagai yang memiliki prakarsa untuk menggalinya. Ada alasan mengapa, karena selain orangnya pasti cergas, ia berkedudukan tinggi. Dua-duanya Raffles memilikinya, seperti sudah diuraikan, meskipun ia pendek saja di sini. Memugar perkara yang berbeda. Sekali lagi, kecerdasan dan kekuatan, yang dalam hal ini bentuknya dana, yang biasanya justru dilupakan, yaitu waktu. Atau, mungkin saja di sini kita gunakan bingkai atau kerangka waktu. Adalah Belanda yang dapat menjangkaunya, karena orang pribumi ketika itu belum lagi siap.

Baru setelah persyaratan terpenuhi, para penganut Buddha berdatangan kembali. Berkali-kali ada rumpang atau jeda yang memisahkan dua zaman, pra- dan pasca-penimbunan. Selama itu, tempat pemujaan agama Buddha itu 'tersimpan', tertutup selama kurun waktu yang lamanya entah berapa abad.

Bagi saya, semua kisah itu menyisakan berbagai tandatanya. Selain pesona, berupa patung Buddha di Mendut dan Borobudur dalam berbagai ukuruan dan bentuk, juga asal bahan itu. Bagi penganut agama lain—khususnya aliran Islam keras—sudah berkali benda yang dipuja itu jadi incaran untuk dirusak atau diledakkan, bilamana saja ada kesempatan. Itu sudah terbukti dengan peledakan bom di Borobudur tak lama berselang. Mereka itu penganut Al Qaeda seperti yang di Afghanistan dan beberapa tahun yang lalu menghancurkan kumpulan patung. Patung purbakala pra-Islam warisan dunia dan terukir di dinding batuan mereka rusak dengan cara menembakinya dengan meriam.

.

Kita telah berbicara tentang patung dan candi yang mendorong orang untuk bercipta, sehingga umat Buddha menyalurkan rasa penghormatannya, Sekarang kita berbicara tentang Sang Pelakon, yaitu Buddha. Siapakah ia sebenarnya? Perjalanan hidup Buddha memang menarik. Ia yang lahir sebagai anak raja dua sasrawarsa sebelum di Timur Tengah muncul seorang utusan penting Tuhan dengan nama Nabi Ibrahim.

Sebagaimana lazimnya, pemuda Buddha menikah dan menysul kelahiran bayi. Yang tidak lazim, alih-alih berbagi rasa kebahagiaan dengan isteri, ia justru meninggalkan segala kemewahan. Sejak itu, ia mulai mengembara. Entah sampai berapa lama. Singkat cerita, ia akhirnya menemukan yang ia cari-cari. Itulah hasilnya setelah ia melihat banyak, mengalami banyak, dan tentu berhahadapan dengan segala marabahaya.Tidak mengherankan, nama Buddha itulah yang kemudian digunakan, yang berarti ia yang tercerahkan, seperti yang baru disebut.

Dari sana tumbuh agama Buddha dan para Syailendra ke Nusantara, dan akhirnya membangun kumpulan candi yang kita temukan sekarang di Kabupaten Magelang. Sejarah hubungan antara penduduk dan ketiga candi—sebut saja Tricandi—mengalami pasang-surut. Itu awal perkenalan penduduk memperoleh umpan muatan kejiwaan yang bersumber dari luar, dari India. Gelombang yang kedua melanda daerah ini adalah agama Hindu. Dari segi keperiadaan yang disebut 'diri' dan yang 'menciptakan', pada hakikatnya agama Buddha lebih maju. Baik agama Buddha maupun Hindu asalnya dari India.

Agama Hindu sempat menyebar luas di Nusantara, dan merasuki kehidupan rakyat banyak. Seperti agama yang datang sebelumnya, agama Hindu menyebar selain di Jawa di juga pulau lain, semua berlangsung di zaman Majapahit. Kedatangan agama itu ibaratnya bergulungnya gelombang, tiba berganti-ganti, susul-menyusul. Setelah tercapai puncak, tiba saatnya menyurut. Tidak semuanya lenyap, selalu ada sisa yang tertinggal. Itu yang kita jumpai di beberapa daerah yang penduduknya tetap menyimpan muatan kejiwaan, dan mereka pelihara itu sebagai kepercayaan dan menganggap itu jadi miliknya. Orang luar dengan sudut pandangnya, sering menganggap itu 'agama' yang dianut leluhurnya. Yang jelas, mereka bukan lagi penganut Hindu.

Tibalah saat agama Islam mulai diperkenalkan, yang pasti di suatu 'titik'. Seperti apa pun di saat awal, saat itu pasti tidak sekali, melainkan entah beapa kali, hingga tiba 'saat yang tepat'. Titik itu terdapat di daerah Gresik, dan itu yang diakui orang bagi Jawa.

Yang namanya pengislaman sebenarnya tidak ada. Seperti dinyatakan dalam Quran, yang disebut paksaan tidak ada. Alih-alih, yang terjadi adalah pemberian teladan untuk hidup baik. Sebagai akibatnya, kebiasaan lama orang tidak serta-merta ditinggalkan. Kenyataan yang ada berceritera banyak, seperti dapat dilihat di berbagai tempat. Meskipun orang belum menyebut diri Islam, mereka tidak merasa orang Hindu. Di Jawa Timur, tepatnya di daerah Tengger dan di Banten, Pandegelang, di Kanekes orang luar menyebutnya orang Baduy, padahal jelas kata imporan.

Di awalnya, rakyat Majapahit beragama Hindu, bahkan hingga kini masih ada daerah yang tetap bertahan, yaitu Pulau Bali. Ujung barat pulau berpenduduk Islam dan itu jelas terpengeruh masa Islam di seberang Selat Bali. Betapa kebiasaan lama dan yang baru diupayakan dapat berjalan bersama saya saksikan sendiri di suatu saat terjadi nyepi, dan saya menginap di Negara dengan jumlah Islamnya cukup besar. Agar tidak mernimbul hal yang tidak diingini, sebagai tamu tidak tampil di luar hingga tengah hari.

Ternyata kampung Islam bahkan terdapat di tengah Pulau Bali. Ini saya lihat sendiri ketika saya untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di sana menjelang pemilihan umum pertama. Adanya tanda bulan bintang yang ketika melambangi Masyumi, membuktikan hal itu, kantong penduduk Islam di tengah pemeluk agama Hindu. Di kemudian hari, ketika saya sudah akrab dengan Pulau Bali, saya ketahui penduduk kantong itu meskipun namanya Islam, tanda kenal kebaliannya masih disandang, karena namanya bermula dengan unsur seperti Made, Nyoman, Ktut. Yang selanjutnya mengiisyaratkan perkara lain, ketika pada kurun waktu 1970-an di bagian lain Pulau Bali, tepatnya di Palasari. Betapa tertata semua itu yang terdapat di sana, tetapi betapa sifat kebaliannya langsung dapat segera dapat dihirup. Itulah yang tampak pada gereja Katolik Palasari yang berhias ukiran khas Bali dan bahannya terbuat dari paras. Itulah masyarakat Bali, di lingkungan penganut agama Katolik yang dijelmakan beserta ketertataannya yang mencerminkan adanya arahan dan tentu saja dana yang datang dari luar. Semua itu tak terpisahkan dengan keperiadaan Gereja Katolik sebagai organisasi dunia. Baru jauh hari kemudian, ternyata setelah Denpasar jadi kota besar, di bagian barat terdapat kelompok Kristen. Mereka mengumpul jelas untuk memudahkan komunikasi antarmereka. Yang berbeda di sini, organisasi mereka tidak murakabi seperti yang terdapat di Gereja Katolik.

Keadaan di Lombok berbeda, karena selain orang Bali juga ada masyarakat Sasak yang menempati bagian timur pulau. Hindu Bali terdapat di bagian barat Pulau Lombok. Islam masuk lewat pantai timur yang berpenduduk Sasak, dan pemeluknya berangsur-angsur menyebar dalam masyarakat orang Sasak.

Rupanya, cara mengajarkan agama Islam masih sangat sederhana, tidak lewat pondok pesantren, seperti dilakukan di zaman wali. Perkara ini masih akan kita bahas, penyebabnya tak lain karena keterbatasan tenaga. Dapatlah terjadi, ketika pemuka agama itu belum selesai dengan tugasnya, ia keburu meninggal.Tempat pemuka termaksud adalah Sembalun. Tempat itu sangat terpencil, di daerah G. Rinjani bagian timur. Kenyataan itu jelas menyulitkan orang untuk berhubungan dengan dunia luar. Itu pula yang berakibat terjadinya Islam waktu tiga, nama yang asalnya dari kenyataan orang baru mengenal tiga jenis salat berjamaah, yaitu salat jumat dan berlangsung seminggu sekali dan yang sekali dalam setahun, yaitu salat idhul fitri dan idhul adha.

Saya beruntung di tahun 1960 bekunjung di daerah Gunung Rinjani, termasuk Sembalun. Itu saya lakukan karena diajak rekan Suryo Ismangun, seangkatan sejak masuk di Geologi di tahun 1947. Tidak hanya sekali itu saya diajaknya. Kali ini hasilnya terekam dalam laporan bersama dan ujungnya masuk dalam buku “Data dasar gunungapi Indonesia”, susunan K. Kusumadinata.

Dengan latar tataan alam daerah itu saya akan mencoba memberi pembaca kesan tentang pengaruh yang ditimbulkan alam terhadap diri seseorang akan kebesaran Sang Pencipta, rasa ketakberdayaan, dan juga rasa bersyukur yang ia alami, dengan catatan, dengan bingkai waktu tahun 1960-an.

Alam lingkungan G. Rinjani sebagai latar bersifat sangat khas. Selepas meninggalkan Kampung Sembalun, orang langsung berhadapan dengan jalan setapak yang segera naik, menanjak setiap kali langkah diayunkan.Tumbuhan di sekitar menghilang, dan berganti ilalang.Yang tampak hanya jalan yang terus mendaki, seperti tiada habisnya, Dengan udara panas musim kemarau di waktu itu, dapat dibayangkan betapa cepat tenggorokan jadi kering.

Saya termasuk orang yang tidak banyak minum di sepanjang perjalanan. Kali itu berbeda. Bekal air dalam veldfles, persediaan air minum dalam botol alumium yang terikat di pinggang, habis sudah. Jalan masih separuh. Tak terduga-duga, batu lereng gunung di sisi kanan jalan tampak basah-basah. Setelah saya cermati, dari suatu titik air menetes perlahan-lahan. Jelas, itu air penghilang dahaga. Maka, dengan sabar saya gunukan veldflres sebagai alat penadah, sampai berisi penuh. Nah, itu penyambung bekal bagi perjalanan selajutnya. Dapat diterapkan di sini, tamsil orang Jawa, betapa hidup ini hanya singgah sebentar sekedar minum.

Akhirnya, pendakian pun berakhir. Apa yang terdapat kemudian? Maha Suci Allah, di depan mata terbentang pandangan yang tak terperikan. Langsung di balik dinding terbentang dinding tegak hampir-hampir tegak lurus. Dan di sana, di kejauhan bawah berkilau air, Danau Rinjani yang sebagian luasnya terambil oleh Gunung Barujari (baru jadi). Selain dinding timur yang baru saja disinggung, dinding selatan dan barat yang sama hampir-hampir tegak.

Itulah yang dulu selalu dikenal sebagai bagian dari Kaldera Rinjani. Sampai akhirnya diketahui bahwa yang ada sebenarnya adalah Kaldera Samalas, gunung setinggi lebih 4000m yang meletus hebat pada tahun 1297. Itulah zaman ketika di Jawa Timur yang memerintah Raja Singasari. Yang mengakhiri sejarah Majapahit dan disinggung di atas juga letusan gunungapi. Maka Gn. Samalas yang keletusannya mencapai angka 7, pasti menyebabkan sirnanya peradaban di dekatnya. Data hasil penelitian masih ditunggu.

Kita lanjutkan dengan kisah kami mencapai dasar kaldera. Di sanalah kami berkemah, tidak jauh dari tepi danau, dan selain itu terdapat pula munculan air panas. Betapa nikmat mandi dengan air panas alam di malam hari ketika suhu lingkungan di bawah 20 derajat Celcius.

Kisah perjalanan kembali kami jelas berbeda, tidak semenarik sewaktu kami datang. Barangkali catatan kecil berikut ini ada gunanya agar selalu jadi pelajaran bagi kita. Ceritanya begini. Dalam rombongan kami terdapat seorang pejabat pemda. Sesuai dengan potongan tubuh serta raut muka yang ia miliki, rupanya selayaknya jika ia berkumis panjang. Itulah dia. Karena tak dapat menahan rasa mirisnya saat menuruni jalan licin di sepanjang dinding terjal dengan entah berapa ratus meter di bawahnya tampak air danau yang mengkilat, terasa kumis yang jamprang ibaratnya langsung jadi, seperti lututnya, lunglai. Perkara yang manusiawi. Yaah. Hitung-hitung sekedar menambah pertimbangan bagi orang dalam upaya menghayati hidup dengan bertolak dari tamsil bahwa hidup pun bisa bersisi pendakian dan penurunan dan suatu saat jauh di bawah menghadang permukaan danau yang mengkilat.

Kisah sekarang beralih, menggeserkan kembali bingkai waktu, dan membahas kedatangan agama Islam. Ibaratnya, itulah gelombang besar berikutnya yang datangnya agama Islam. Gelombang itu membuat penduduk Pulau Jawa mengalami perubahan besar budaya dan bahasa, dan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup singkat, sekitar tiga generasi. Hemat saya, semua terjadi 'karena ada arahan dari Atas'. Yang bisa diamati hanya yang kasatmata. Yang ada di belakang—sebagai penggerak—adalah penguasa atau pemuka di zamannya, disertai paksaan, bujukan halus atau cara yang sangat berbeda, lewat kawin-mawin.

Sekarang, marilah kita mencoba memahami berlangsungnya proses itu. Kita mulai dengan wali yang asal-Arab atau asal-luar umumnya. Yang benar-benar Arab saya kira tidak ada. Dari sudut sarana, Allah menyampaikan pesannya memang menggunakan bahasa Arab, dan wahyu turun sepotong-sepotong. setelah tuntas, baru menjelma Quran, bacaan yang bagi segenap umat manusia.

Wali dalam arti semula adalah penolong atau pelindung. Karena agama disiarkan dengan sarana bahasa Arab, sudah dengan sendirinya bahasa itu berpengaruh sangat besar. Dari satu kata wali itu saja, entah berapa kata lain yang bermunculan dan untuk bidang apa, seperti wali nikah, wali negara, wali murid, wali gereja, dst. Belum lagi yang diturunkan dengan bubuhan seperti perwalian dan mewalikan.

Yang diakui umum, wali pertama adalah Maulana Malik Ibrahim. Tempat ia mulai berdakwah adalah Gresik, Jawa Timur. Tidak diketahui tepatnya bilamana ia lahir dan di mana; yang tercatat wafatnya—diubah ke tarikh Masehi—tahun 1519 dan dimakamkan di atas bukit dekatnya. Ia juga dikenal dengan nama Maulana Maghribi, yang menunjuk ke Maroko, yang pada zaman itu masuk wilayah Kasultanan Turki. Karena disesuaikan dengan lidah kita, muncul sebutan Sunan Gribig.

Saya pertama kali berziarah ke makamnya di tahun 1950, saat saya dan rekan seangkatan Sumardi Umarkatab (1923-1989) menyigi daerah itu, bertujuan menentukan besarnya cadangan bahan dasar semen berupa batugamping dan lempung, dua-duanya terdapat di Gresik. Selama beberapa bulan kami berdua tinggal di Kebomas, yang dalam perkembangan selanjutnya berubah jadi komplek Pabrik Semen Gresik, dan sekarang jadi bagian Kota Gresik.

Wali kedua Raden Rakhmat, putera Sunan Gresik, dan di kemudian hari menggantikan ayahnya. Ia memilih bertempat tinggal di Ampel yang sekarang ada di bagian utara Kota Surabaya.Tempat itu dipilih tentu atas dasar letaknya di muara Kali Brantas, kini disebut Kali Surabaya. Muara memiliki arti strategis, apalagi dulu, ketika awal abad ke-16. Ketika itu, setiap orang yang hendak menuju ke daerah pedalaman tentu harus melewati muara. Di zaman itu, pada jarak kurang 40-an km dari muara terdapat pusat kerajaan besar Majapahit yang kini dikenal dengan sebutan situs (tapak) Trowulan yang seluruhnya pernah terbenam lahar dari letusan Gn. Kelud.

Sebelum kita meneruskan dengan peranan para wali dalam mengubah bahasa dan budaya penduduk di Pulau Jawa, saya rasa sebaiknya kita membicarakan perkara Kali Brantas dan G. Kelud supaya tuntas lebih dulu.

Ada saatnya—hitungan geologi belum lama, paling-paling seribu setidaknya ratusan tahun—dan yang tampak di hulu Kali Brantas bentangalam yang berbeda sama sekali dengan yang dapat kita saksikan sekarang. Ketika itu, Kali Brantas dari sumbernya di daerah Batu, setelah tiba di daerah Lawang, tidak membelok ke kanan seperti sekarang, melainkan ke kiri, langsung menuju ke laut, 50-an km, kira-kira sepersepuluh panjang yang sekarang dengan alurnya melingkar. Juga berbeda dengan sekarang adalah kelakuan Gn. Kelud selama beberapa ratus tahun terakhir. Semua itu tidak terpisahkan dengan pasal ketektonikaan-kemagmaan.

Majapahit dan sederet kerajaan pendahulunya berkembang di daerah itu, berkat tanah yang subur dan air melimpah. Baru perempatan terakhir abad ke-20 diketahui bahwa daerah Kediri-Nganjuk adalah lajur dengan cadangan air tanah terbesar se-Indonesia, dan gudang listrik dari sederet PLTA, baik di sepanjang Kali Brantas maupun anaknya Kali Konto. Di samping itu, yang tidak disadari banyak orang ialah pasangan alamiahnya yang juga selalu hadir, gempabumi dan letusan gunung. Semua itu terekam dalam bentang alam daerah itu.

Saya mulai dengan terjadinya Selat Madura yang terekam dalam dongeng rakyat. Kenyataan itu menunjukkan peristiwa itu berlangsung dalam kurun waktu ratusan tahun lalu. Lenyapnya ibukota Majapahit yang sudah disinggung, adalah peristiwa kesejarahan, tersebab lahar yang berasal dari Gn. Kelud. Letusan terakhir Gn. Kelud menjelang tengah malam 13 Pebruari 2013 makin membuat saya yakin akan 'baru'-nya gunung itu. Boleh jadi kemunculan gunungapi dengan sifat dan kelakuan tersendiri itu ada hubungannya erat dengan himpunan ketektonikaan yang disinggng-singgung itu: lempeng Australia-ketektonikaan Jawa Timur, khususnya potongan Malang-Madura itu. Entah sejak kapan gunung itu jadi sumber petaka-lahar, dan saya juga tak ingat lagi berapa kali berkunjung ke daerah yang kemudian jadi sasaran pembangunan kantong lahar. Sutoyo, insinyur sipil lulusan UGM lewat kerjasama dengan rekan seangkatan Suryo Ismangun yang seangkatan (1923-2003), keluar dengan gagasan kantong lahar. Piawai juga gagasannya menghalangi lahar masuk ke sungai. Jelas itu pilihan baik menghindarkan bahan letusan bisa berakhir di alur sungai. Tanpa terduga, letusan 1991, tidak ada lahar karena berakhir dengan munculnya sumbat lava.

Pertama kali saya berkunjung ke sana berlangsung pasca-letusan Agustus 1951. Saya dapat melihat betapa kejadian itu ibaratnya 'menghampelas’ kuat-kuat daerah di seputar kawah gunung sampai 5-an km. Pasir kasar itulah hampelasnya. Pantas saja ketinggian gunung itu tak kunjung bertambah. Kemudian yang juga dikenal di sana adalah lahar. Lahar bisa panas dan bisa dingin; panas bilamana sedang ada danau di kawah, seperti di waktu letusan 1919 dan 1951, yang kedua ketiga volumenya berkurang. Padahal kata lahar berasal dari Gn. Merapi, tersebab letusan hebat tahun 1930, dan oleh Belanda dipopulerkan kata lewat tulisan, kini kata itu jadi kosakata dunia.

Setelah Trowulan lenyap, lahar Kelud masih berkali-kali melanda daerah di sepanjang alur. Baru setelah muncul bangsa Belanda yang selain menguasai teknik, juga ahli dalam masalah air, seperti dibuktikan di negeri ini tak lama seusai Perang Diponegoro. Kisah keteladanan G.A. Pet, insinyur muda-usia di Kedu Selatan itu, diuraikan di Parwa Satu.

Kisah menarik dari daerah Brantas ada banyak. Saya akan menyinggung 'sungai' buatan Belanda yang disebut Kali Porong. Saluran lurus itu digali agar sebagian air Kali Brantas dapat dikurangi, juga sebagian besar pasir Kelud mengalir waannya dapat langsung menuju ke Laut Madura. Itu rekayasa, akal manusia (ahli Belanda) dan benangnya sudah berkali-kali saya berupaya menyisipkan dalam mengisahkan perkembangan negeri ini.

Pasir dari letusan Kelud sangat banyak, jauh di atas daya-angkut Kali Brantas untuk membawanya sampai di muara. Tindakan tegas pun diambil, dengan kata lain akal digunakan. Daripada Ibukota Keresidenan Kediri dibiarkan mengalami nasib serupa Trowulan di masa lalu, lebih baik jika Kali Brantas yang ditanggul. Yang terjadi kemudian, perlahan-lahan Kota Kediri jadi satu-satunya kota bertanggul, karena letak lebih rendah daripada dasar Kali Brantas yang mengalir di barat kota.

Sekarang kita kembali ke masa akhir Kerajaan Majapahit. Orang selalu menghubung-hubungkan Majapahit sebagai kekuatan politik yang di kemudian hari menjelma dalam wujud moderen berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Majapahit memang berpengaruh di bagian terbesar wilayah yang dewasa ini tercakup dalam wilayah Indonesia. Daerahnya terbentang sangat luas, sama dengan wilayah bernama Nusantara dan semua pernah tersentuh Majapahit.

Kurun akhir Kerajaan Majapahit yang Hindu-Jawa jatuhnya bersesuaian dengan tibanya zaman Jawa Islam. Sunan Ampel yang juga dikenal sebagai wali kedua bermukian di Ampel, sekarang di bagian utara Kota Surabaya. Ampel dipilih karena terletak di muara Kali Brantas yang kini bernama Kali Surabaya atau Kali Mas. Muara sungai memiliki arti strategis, apalagi dulu. Setiap orang yang akan menuju daerah pedalaman tentu masuk lewat muara, karena jalan darat belum ada dan pusat negara berjarak 35-an km.

Selama ia bertugas, cukup banyak kata Arab masuk dalam kosakata setempat. Selama itu terjadi proses penyatupaduan dua bahasa—Jawa Kuna digunakan penduduk dan Arab—kebutuhan yang mendesak dalam upaya penyiaran agama.

Ada baiknya kita mencoba menelusuri awal proses tumbuhnya bahasa yang di kemudian hari bakal dikenal dengan nama bahasa Jawa moderen lewat contoh. Kata pondok berasal dari bahasa Arab funduk, dan santri dari Jawa kuna. Dari dua kata beda asal itu muncul kata tempaan baru, hal yang segera dimanfaatkan. Karena huruf f tidak ada, disulih dengan p. Maka diperoleh pondok santri dan santri, kedua-dua maknanya segara dapat ditangkap.

Dalam perkembangan selanjutnya, tautan antara santri dan tempat ia tinggal perlu tampak dari namanya. Maka muncul kebutuhan akan tanda yang menunjukkan perubahan makna. Cara yang mudah dan tepat dicapai lewat butir yang kini dinamai imbuhan. Imbuhan ada banyak, sejak dulu tatkala Jawa Kuna masih digunakan, dengan sedikit beda. Penutur merasa, awalan rangkap, awalan tambah akhiran, pe- - -an, dirasakan tepat, sehingga dimumculkan kata pe-santri-an, yang lewat 'penyelarasan' jadi 'pesantren'.

Seperti sudah kita bahas dan disentuh berulang-ulang, pada hakikatnya ada penyatupaduan, dan itu hanya mungkin karena terhimpunnya berbagai 'benang', salah satu yang sangat penting agama. Agama juga alasan kedatangan wali, seperti sebelumnya gelombang demi gelombang yang lain susul-menyusul.

Bahasa dan budaya, dua-duanya wahana, yaitu kendaraan dan pembawanya adalah kekuasaan. Wahana pendorong itu sejak awal jadi pengubah besar sejarah Nusantara. Dengan sarana bahasa, maka kosakata lalu terpicu sehingga terus meluas, dan mendorong upaya ungkap-mengungkap makin melambung. Itulah budaya.

Pada awalnya, bahasa penduduk Jawa Kuna atau juga disebut Adiparwa. Masuknya agama baru berarti meningkatnya daya, semacam kekuatan yang terdapat di masyarakat. Di atas, hal pesantren disinggung sebagai pusat penyiaran agama, dan para santri tidak pulang ke rumah masing-masing karena 'mondok'. Siang-malam mereka di pondok, menghirup suasana keagamaan dengan pusatnya wali. Mereka itulah, para muda yang di sejarah terbukti telah mampu jadi jembatan yang tangguh, berkat gemblengan Sunan Ampel. Selesai digembleng, mereka menyebar sebagai Dai, istilah yang mereka sandang pada waktu itu.

Saya percaya, para penyiar agama dari angkatan awal benar-benar bermutu sangat tinggi dan penuh pengabdian. Salah seorang di antaranya adalah yang bertugas di Kadipaten Roma yang sudah kita bahas di Parwa Satu. Setelah meninggal, penyiar itu dimakamkan di Grenggeng, bukit di antara Gombong dan Karanganyar. Masyarakat mengenalnya sebagai Panembahan Grenggeng. Dari apa yang diceriterakan Ayah, saya yakin ilmu agama yang berhasil disampaikan kepada muridnya kita lihat contohnya pada penguasa terakhir beragama Hindu daerah itu, Adipati Banyak Gumarang. Saya percaya ia mencapai makrifat. Setelah ia merasa tugasnya sebagai Adipati cukup, ia mundur dan menekuni ilmu agama. Sikap yang berhasil dicapainya membuahkan nama Adipati Jannah. Saya kira, Panembahan Grenggeng-lah yang memberikan nama itu. Sebagai seorang Adipati yang telah mundur, tempatnya di Surga, karena kedudukan Adipati di dunia tidak lagi berarti.

Entah waktu berapa lama sudah lewat, ketika Panembahan menanyakan keberadaan Adipati. Maka pencarian pun dimulai di sekitar tempat 'hilangnya' Adipati. Ternyata, lingkungan tempat ia berada sudah penuh gelagah, sehingga perlu dibabat. Ternyata, Adipati masih ada di tempat semula duduk bersila, dan dalam keadaan segar-bugar. Dengan istilah agama Islam keadaan itu disebut suhud. Itu yang membuat munculnya sebutan Adipati Jannah, dan tempat itu lalu dikenal sebagai Wagerglagah, berpagar gelagah. Setelah peristiwa itu, Adiputi menyelesaikan hidupnya 'minandita', bermukim di dekatnya. Setelah wafat, ia dimakamkan di dekatnya, di tepi sungai, sekarang Desa Kedungwringin di utara Gombong, dan ia dikenal sebagai Kiai Wagerglagah.

Itulah kisah yang saya peroleh dari Ayah. Sebagai keturunan langsung yang ke-9, dari pancer laki-laki ia merasa ada alasan—jika perlu—menyandang nama yang sama. Gagasan ini muncul pasca-1920 ketika ada himbauan pemerintah penjajahan agar menggunakan nama keluarga. Dari nama Banyak Gumarang, nama Gunarang digunakan sebagai nama keluarga. Ayah masih bernalar, 'Ah, nanti jangan-jangan mirip nama orkes’. (Catat: Ketika itu, ada orkes yang bernama Gumarang,). Di sini Ayah bertindak sebagai petentu, Inggrisnya determinant. Jika dipikir, ketimbang zaman pasca-wali, 1550-an, yang sudah terlalu lama, maka dinilai lebih wajar tentu pasca-Perang Diponegoro. Akhirnya, Poerbo-(H)adiwidjojo yang dipilihnya. Itu pun sampai pada waktu itu. Seperti telah saya kemukakam, keturunannya cenderung memendekkan nama mereka, cukup Purbo.

Di Grenggeng terdapat juga pusara isteri padmi RMAA Djojodiningat, bupati pertama pembangun Kabupaten Karanganyar. Apa lagi kemudian menyusul yang kedua. Saya percaya, selama empat abad makam Panembahan tidak ada yang mengaru-biru. Rupanya, isteri apalagi yang padmi, dan saya percaya itulah yang mengubah keadaan. Sebagai penguasa tertinggi daerah ia yang mengambil putusan agar isterinya dimakamkan di Grenggeng, tempat yang menyendiri. Di sini tampak ada yang kurang pada kita; kita tidak terbiasa merekam setiap kejadian. Padahal masjid Brangkal pun tercatat tanggal membangunnya.

Akhirnya saya simpulkan, isteri pertama meninggal pada waktu melahirkan. Apalagi lalu ada yang kedua. Itu menguatkan dugaan saya bahwa kematian di usia masih muda berturut menguatkan dugaan bahwa penyebabnya infeksi pasca-kelahiran. Sumber infeksi air dari sumur yang digali di bagian belakang halaman rumah bupati, tanpa pertimbangan akan kesehatan tempat, yang di zaman itu belum dijadikan patokan.

Dalam Parwa Satu saya tulis banyak tentang tatakota dan pembangunan Kota Karangamyar, dan semua itu berlangsung dengan kerjasama dengan Belanda. Saya curiga, ada yang terlewat, yaitu menyangkut kesehatan lingkungan, hal yang di zaman itu belum masuk acara. Dalam hubungan ini, perlu dicatat pula di Parwa Satu bahwa Kartini juga meninggal di umur 25 tahun seusai melahirkan.

Setelah garwo padmi meninggal, untuk pemakaman di Grenggeng harus ada 'payung', ketentuan yang dijadikan pelindung, dan itu adalah kekuatan yang disandang Bupati. Demikian pula yang memperkenankan orang dimakamkan di sana, mengapa dibatasi. Ini kita lihat dari kenyataan ada sejumlah makam yang menyusul kemudian di luar.

Yang saya ketahui sejak kecil, memang ada makam di luar Grenggeng. Jika kita dari Brangkal dan berniat ke Grenggeng, kita melewati sejumlah makam. Tempat yang seingat saya bernama Jati itu, tentu karena ada pohon jati di sana. Sebagai anak kecil, saya ingat kunci pintu pagar Grenggeng disimpan Nenek, yang juga menyimpan kunci makam Brangkal.

Yang dimakamkan di Jati bukan sebarang orang; mereka juga kerabat Bupati Djojodiningrat. Saya ketika belum dapat berfikir jauh, hanya mengira tentunya ada aturan. Baru di kemudian hari saya tahu aturan semacam itu memang ada. Saya tahu bahwa salah seorang yang dimakamkan di sana adalah jasad Prof. Sudargo. Sebagai pengantin baru, ia dengan isterinya berkunjung ke Ayah-Ibu yang ketika itu tinggal di Tanjunganom. Karanganyar, menjelang PD II.

Di Parwa Satu dinyatakan, setelah lengser Bupati Djojodiningrat pindah dan menyepi di Sapuran, dekat Wonosobo. Semua yang dibangun dan kemudian dibinanya ditinggalkan begitu saja. Dengan bertambahnya usia, makna hidup pun berubah. Seperti berkali-kali disinggung, yang juga bergeser dengan sendirinya adalah bingkai waktu.

Puteranya yang diangkat jadi Bupati Wonosobo menggunakan nama Tjokroadisoerjo, tidak boleh Djojodiningrat. Pola yang diterapkan Belanda serupa, keturunannya tidak diperkenankan untuk menjabat bupati di Wonosobo. Alasannya sangat sederhana, agar hubungan antara pihak penguasa (bupati yang diangkat Belanda) dengan rakyat putus.

Hubungan RMAA Djojodiningrat dan yang ditinggalkan memang terputus sama sekali, karena itu sudah keinginannya. Salah seorang cucu perempuan menikah dengan Kakek,yang kemudian jadi Penghulu Karanganyar dan dikenal dengan nama Kiai 'Abdoessakoer. Kakek bukan turunan dari jalur laki-laki, tetapi pemerintah menganggapnya tetap 'titik lemah'. Pemerintah tak selonggar itu. Akibatnya, hubungan berupa rantai benar-benar putus, hubungan dalam pengangkatan Penghulu Karanganyar, cara yang tegas. Agar pergantian selanjutnya tidak menimbulkann masalah, maka Ayah sebagai calon, berganti haluan.

Karena bukan dari jalur penguasa (umara), melainkan ulama, Kakek dimakamkan di Brangkal, ada di bukit di barat Grenggeng. Cucu Djojodiningrat menikah dengan Kiai 'Abdoessakoer, yaitu cucu Poerbonegro, seorang adik Pangeran Diponegoro dan teman seperjuangan Djojodiningrat. Di nisan tertulis R.A. Abdoessakoer, sekedar pengenal sebagai keturunan umara. Karena alasan itu, Nenek seorang yang dipercaya menyimpan kunci Brangkal dan Grenggeng. Itulah yang saya ketahui di waktu kecil mengapa ikut ikut tabur bunga di makam, atau istilah kami nyekar. Bagi saya alasan hanya satu, melit, ingin tahu. Tetapi setelah dijalani, Huhh, sangat berat. Begitu sampai di depan pintu pagar makam Grenggeng yang terdapat di bagian selatan, waduh, pandangan yang tampak banglas dan indah karena di puncak bukit; sungguh menghibur. Makam pertama di Grenggeng itu simpul kisah wali dalam upaya menyiarkan agama Islam, khususnya di Kadipaten Roma.

Cara yang dianggap tepat di waktu itu untuk berdakwah adalah sambil menyebarkan kosakata. Khususnya, ini yang berhubungan langsung dengan cara orang mengamalkan agama Islam. Di tahap awal, kata Arab yang masuk adalah mana yang dipertahankan seperti asliya. Ada yang dilonggarkan dalam kerangka waktu. Artinya, sembah kepada Hyang Widi Yang Tertinggi, yaitu Allah, diucapkan dalam bahasa Arab. Lakunya disebut sembahyang yang Arabnya sholah, atau dilafalkan (diucapkan) secara longgar salat, Jadi, berangsur-angsur orang dapat menyadari dua senarai kata yang berpadanan dan yang tidak mudah tercampur-aduk.

Para penganut disadarkan ada persitindakan Arab-Jawa dan Jawa-Arab yang jadi acuan. Hemat saya, di sinilah letak kehebatan Sunan Ampel sebagai pembuka perubahan besar. Kemampuannya itu diperolehnya selain karena ia tumbuh ketika kanak-kanak di alam lingkungan yang sama, ia merasa jadi tumpuan ayahnya wali pertama, dan ia harus meneruskan tugasnya. Jelas, semua itu mengandung kekuatan, yang terus-menerus dipupuk tersebab kehidupan di pondok pesantren.

Yang tentu juga masuk di tahap awal adalah kata seperti wali yang asal-Arab. Kata yang semula artinya pelindung itu tentu merujuk ke kedudukannya. Mereka menempatkan diri sebagai pihak yang melindungi umat terhadap kebathilan, dengan memanfaatkan sarana agama yang disiarkan.

Untuk panggilan para wali terdapat kata asal-setempat seperti sunan. Boleh jadi, dari kata suwun dibuat lebih 'hormat', dan muncul kata 'suhun', seperti Tuhan yang berasal dari bahasa Melayu tuan. Sederet kata Arab yang tak dapat dipisahkan dengan bidang keagamaan, seperti masjid, pikir, batin, dan doa (donga) pun masuk.Tata-tutur sapaan disesuaikan dengan alam budaya yang ada. Demikianlah, nabi jadi kanjeng, yang saya kira diturunkan dari 'ingkang (wonten) ngajeng', yang ada di depan. Di daerah Pasundan ada kata 'ajengan' untuk pemuka (agama). Untuk menunjukkan rasa hormat, di depan nama ditambah Gusti Allah, layaknya raja. Demikian salat diberi padan sembahyang. Dari semula Hyang jadi Allah, itulah Gusti yang Murbeng Jagat. Itu pula gambaran proses berlangsungnya kemunculan budaya baru, dari sumber yang berbeda, menyatu dan dalam waktu singkat menjadi satu kesatuan. Tidak mulus semua, itu hal yang sangat wajar, di mana saja dan kapan saja.

Berangsur-angsur bagian-dalam (bathin) tersentuh. Saya rasa, ada kata yang segera dapat berguna, seperti daya dan doa, yang terakhir akan lebih memudahkan dibuat berbunyi sengau, jadi donga (dongo). Doa adalah kata Arab dan daya kata setempat, Jawa Kuna. Betapa mudahnya kita, jika tampak ada hubungan antara daya dan doa. Dengan berdoa kita memperoleh daya dan kekuatan. Sekaligus, kosakata pun diperluas, dengan sifat nyaris sama seperti dimiliki kata kuat yang asal-Arab. Seakan-akan, kata yang memiliki rasa-makna, beragam dan semua sarat rasa keagamaan, semua ibarat berputar-putar, dan ditambah-tambah, diperkenalkan dalam waktu singkat. Yang memungkinkan semua itu adalah pondok. Yang tidak boleh kita lupakan adalah hubungan nyata antarpesanren yang tetap terpelihara dan bahkan ada yang dapat bertahan sampai sekarang. Yang terdapat dalam bahasa Sunda sekarang, saling asah, saling asih, saling asuh, ungkapan yang pasti tidak muncul tiba-tiba.

Sisipan 'in' kita temukan di banyak daerah Nusantara, termasuk Jawa Kuna. Kata tempaan baru juga muncul, seperti dinaya yang diturunkan dari daya, dan dinonga dari donga. Saya curiga dinaya atau dinoyo dan dinonga atau dinongo termasuk dua kata yang muucul di tahap awal. Saya yakin itulah proses awal. (Catat: Ada tempat di Surabaya bernama Dinoyo.)

Yang kemudian berubah adalah budaya, setelah selesai dengan proses babad alas—kata Inggrisnya groundwork—bahasa Jawa jadi makin luwes untuk menyatakan rasa. Sampai saat ini dinonga jadi ungkapan umum, apalagi yang muncul selanjutnya kata donga-dinonga, kata yang sangat berguna untuk rasa ketimbalbalikan dalam berbagi rasa antarpribadi.

Sisipan -in- kita jumpai di banyak bahasa daerah seperti Bali. Jawa, Sunda, Minahasa, dan Tagalog. Dalam bahasa Indonsia sekarang, pola itu dimasukkan oleh Herman Johannes, lewat kinerja, juga kata tinambah dan rinangkun. Ia bukan orang Jawa, tetapi ilmuwan Indonesia yang berpandangan keindonesiaan untuk masa depan Indonesia. Jadi, pada dasarnya kita sendiri yang harus peka akan masalah kita sendiri.

Yang tidak dapat dihindari adalah berubahnya bahasa Jawa zaman Hindu yang semula berlogat a, dan pasca-pengislaman jadi o. Karena para wali bermukim di Jawa Timur, kita lihat pengaruh itu menyebar dari sana. Jumlah wali disebut sembilan, dengan pribadi yang selain berganti-ganti, juga berbeda pembawaan dan tampilannya. Ditambah lagi, kemampuan masing-masing wali menonjol. Sebagaimana kita saksikan sekarang, hasilannya tidak tanggung-tanggung. Kita secara keseluruhan dapat kita lihat, ibaratnya masyarakat terdongkrak dan jadi berbeda daripada sebelum kehadiran wali.

Betapa tidak menyeluruh perwujudan baru masyarakat itu. Bermula dari bahasa, lalu menyusul kait-mengaitnya ungkap-mengungkap. Itulah proses yang selain berlangsung melebar juga terjadi mendalam. Mula-mula adalah Sunan Bonang yang tersentuh rasa seni lewat bunyi-bunyi dengan sarana gamelan. Kemudian yang tergarap melebar ke ulah suara. Dari sana lalu mendorong terciptanya tembang. Itu pun beragan, mulai dari dolanan seperti yang biasa dinyanyikan anak-anak, terutama itu mereka lakukan bakda maghrib di waktu bulan purnama, hingga tembang macapat bagi orang dewasa untuk waktu setelah malam larut. Seni bangunan juga tak ditinggalkan, demikian pula cara among tani orang berbudidaya. Saya masih sempat memperoleh bagian, yang tersisa, karena ternyata zaman segera bertukar. Yang tak boleh dilupakan, bahwa semua itu tidak kita ingkari karena semua mungkin, karena tersedia dedasarnya, dan itu tak lain adalah Majapahit, atau dengan kata lain, karena semua terekam lewat alaman rakyat secara bersama.

Benang yang terentang dari Majapahit ke Nusantara

Kerajaan Majapahit pernah menguasai seluruh Nusantara. Kita jangan membayangkan apa yang disebut Kerajaan Majapahit sebagai satu kesatuan. Sebenarnya, Raja hanya lambang, karena yang bertindak atas nama Raja adalah Patih. Maka, maju atau mundurnya kerajaan bergantung pada yang menjabat patih. Di puncak kejayaan Majapahit yang tampil Gajah Mada. Karena hebat, sering juga ia disebut mahapatih. Ketika itulah gaung Majapahit ada di seluruh Nusantara.

Saya mula-mula tidak dapat memahami sejarah 'memajapahitkan' daerah di ujung negeri. Pertama kali saya bersua dengan serpihan sejarah terjadi ketika saya ada di Ambon, sekitar tahun 1960-an dan di sana ada Sungai Maspait. Konon Maspait itulah yang tersisa dari Majapahit. Saya di sana karena Kampus Universitas Pattimura akan dibangun. Jadi, apa pun, juga wilayah Ambon dengan sejumlah plusnya. Tentu minusnya sejumlah yang sama. Secara umum, jika ada sesuatu menarik, dipastikan ada bahayanya.

Ambil contoh. Teluk Ambon penuh pesona, terlebih jika kita sempat menyeberanginya dengan perahu, maka kita dapat menikmati betapa indah taman bawah lautnya, begitu dangkal dan begitu cantik. Tidak mengherankan, Ambon sebagai pusat wilayah ibaratnya magnet, memiliki dayatarik. Sebagai akibatnya penduduk terus bertambah, dan itu berarti pencemaran terus melaju, sehingga dengan kata lain berbahaya bagi kelestarian ekosistem. Kerawanan lain adalah tsunami, seperti pernah melandanya menjelang akhir abad ke-19. Itu fakta, dan jangan ditanyakan kapan muncul peristiwa sama.

Orang Ambon menggunakan nama belakang. Jadi orang sana, mau-tidak-mau gunakan juga nama belakang. Di awal kita merdeka, ada gubernur bernama Mohammad Padang, karena berasal dari Padang, dan jika dari Yogya tidak ragu-ragu mencantumkan nama Mataram. Tatkala di sana, saya mendengar ada nama belakang orang Ambon yang konon berasal dari Majapahit. Misalnya, Sitanala yang menunjuk ke 'Jawa' (Majapahit). Ketika dengan tim menyusun buku Sejarah Energi-Pertambangan Indonesia (1907-2010), saya sempat bekerja sama dengan Prof R.Z. Leirissa yang mengajar di Universitas Indonesia dan merasa keturunan Majapahit. Gaung jenis yang lain saya jumpai di tahun 1970-an ketika saya kebetulan ada di Banjarmasin dan hadir pada pertunjukan tari serimpi. Ada orang membisikkan bahwa tarian itu berasal dari Majapahit, dan tentu yang dimaksud akarnya. Di Parwa Dua dikatakan saya cukup mengenal Irian dan kini jadi Papua lagi, berkat Gus Dur. Di sana ada Kota Fakfak yamg berbeda dengan Papua selebihnya, dan sumbernya bisa kita runut lewat adanya kantong berpenduduk Islam, yang sebelumnya tersentuhan Majapahit, leliku yang menarik untuk dicermati. Omong-omong, itu semisal pasal Kota Koeln di Jernan Barat, dan dengan bunyi Perancisnya jadi Coulogne. Itulah teroka kuno Romawi di tepi Sungai Rhein, zaman mereka menyebar di berbagai bagian Eropa Barat. Apa sejarah Republik Indonesia dan Romanum Imperium tidak menarik keserupaanya?

Kita kembali ke alur kisah wali, meskipun tulisan ini bukan sejarah para wali. Bagaimanapun juga, para wali memiliki saham besar dalam proses pembentukan Bangsa Indonesia, dan jejak masing-masing wali rasanya dapat dirunut secara khusus.

Benang Majapahit, bingkai waktu berbeda, tempat berbeda, bersambung ke Sunan Kalijaga. Saya sangat kagum pada tokoh satu ini. Konon, berbeda dengan wali lainnya, yang ini berpakaian Jawa. Berbeda juga dengan wali yang 'blasteran', ayah Sunan Kalijaga adalah Adipati Tuban, turunan langsung Raja Majapahit. Tidak mengherankan, ia paham benar seluk-beluk kebudayaan Hindu-Majapahit. Sebagai wali, ia jelas menguasai bahasa Arab. Dalam bahasa Jawa ia disebut seorang linuwih atau pinunjul, karena bisa berpikir sekaligus dalam dua bahasa, seorang dwibasawan.

Yang sangat luar biasa ialah bahwa dengan berpangkal pada Ramayana dan Mahabarata ia mampu menguasai budaya India, dikupasnya dan kemudian ia rajut kembali. Dari babon sama, ujungnya menjelma 'cerita' lain. Ia peroleh hasil yang sangat mengagumkan dan dikagumi banyak orang Barat. Orang Belanda menyebut wajangpoppenspel, atau orang Inggris shadowplay, dan Jerman mengistilahkan Wayangspiel. Dari sana kita sudah dapat menduga nama itu hasil 'penerjemahan' mereka yang mencoba menyelami dunia Jawa yang dihayati lewat tafsir Sunan Kalijaga.

Saya tidak bermaksud berbicara panjang-lebar tentang wayang. Intinya, wayang adalah sanepa atau kiasan. Sama dengan kehidupan kita, pertunjukan wayang sarat lambang, mulai dari nama wayang, ke bendanya, bentuk serta arti setiap perwujudan. Lalu meningkat ke dalang, yaitu orang yang ada di belakang 'melakonkannya' satu per satu 'benda wayang'. Kalau perlu, dua 'benda' sekaligus, yang ia pegang di kedua tangannya yang maju menampilkan adegan tatap-muka dua tokoh, atau justru yang lagi perang tanding.

Lalu yang namanya kelir, yaitu kain putih (blaco) yang terpasang di kerangka dari bambu kecil (bambu-tali) sebagai kerangka di empat sisinya. Agar tak kendor, tetapi sebaliknya tetap tegang tarikan dari keempat sisinya terjaga kuat-kuat. Itu gunanya tali rami yang membelitkannya kelir kepada kerangka. Kelir tegang itulah yang dihadapi ki dalang di sepanjang malan.

Yang mendorongkan saya menggambarkan ini semua hanya karena saya merasa dewasa ini hanya ada sedikit orang yang pernah hadir di pertujukan wayang kulit. Itu pun saya hanya menulis apa yang masih teringat dari masa pra-PD II, sekitar delapan dasawarsa yang lalu.

Inilah suasana pedesaan di malam hari, ketika ada warganya yang nanggap wayang, punya hajat dan memanggil dalang dengan rombongan. Zaman itu listrik belum merata dan yang terang hanya rumah yang sedang hajatan dan selebihnya gelap. Berbeda jika ada bulan meski sinarnya hanya temeram. Ada juga yang terang, walaupun terbatas, yaitu pedagang yang menjajakan makanan-minuman dengan pelita minyak-tanahnya. Dalam suasana seperti itu cahaya berasal dari dekat ki dalang. Jika angin malam sekali-sekali bertiup, blencong pun bergoyang, irama alaminya.

Suasana yang timbul ibaratnya diliputi rahasia dan itu dirasakan oleh para undangan yang duduk menghadap ke kelir. Yang tampak oleh mereka hanya bayangan—dari sana asal kata wayang—dan dipertajam oleh teplok yang menghalangi sinar blencong memencar tetapi sebaliknya terpumpun karena terarah ke kelir. Penonton umum menikmati pertunjukan dengan cara berbeda. Mereka itu menyaksikan pertunjukan dari belakang ki dalang. Kedua jenis penonton mengikuti gerak setiap tokoh yang ditampilkan oleh ki dalang dari dua sisi kelir yaitu para undangan dengan mengikuti bayangan yang tampak hidup, dan umum yang mencerapi setiap tokoh yang dilakonkan ki dalang dengan corak dan warna-warninya yang ada padanya.

Blencong itulah sumber cahaya dan itu pula yang diibaratkan sumber hidup dan tergambar dalam lakon yang dipilih, entah oleh pihak yang menanggap, entah oleh ki dalang. Maka dari itu, sebelum pertujukan digelar, lakon yang akan dipentaskan, khalayak sudah mafhum dan itu diperbincangkan warga desa. Hitung-hitung seperti layaknya iklan dewasa ini. Sebaliknya, pertunjukan yang juga meninggalkan bekas. Jika berkenan di hati banyak penonton, ki dalang yang mendapat pujian.

Pernah di suatu ketika menjelang tengah malam di barat Wangon, Banyumas, ada pertunjukan wayang. Saatnya pasca-1970 dan saya lewat dengan mobil. Tempat sekitarnya gelap, yang terang hanya yang ada hajatan, dan saya kira berkat tersedianya jenset. Jika benar, suasana tentu lain daripada dulu, karena blencong tentu terdesak oleh lampu listrik.

Sebagaimana apa pun pertunjukan wayang ada awal dan ada akhirnya. Menjelang tengah malam, kantuk mulai menyusup. Itulah saat penderek, Semar- Gareng-Petruk tampil, yang biasanya ada di penutar belakang, saat yang disebut goro-goro. Khusus anak-anak itu saat yang mereka nantikan, karena berisi adegan yang lucu-lucu, dan menimbulkan lelucon gelak-tawa. Setelah goro-goro lalu bagian akhir menyusul sekaligus kesudahan lakon, kemenangan yang baik atas yang buruk.

Di belakang pertunjukan yang diminati dan dinikmati banyak pihak itu adalah Sunan Kalijaga, tokoh wali penciptanya. Ia lahir dengan nama Raden Said, putera Adipati Tuban yang sudah memeluk Islam, dan cucu Brawijaya IV, Raja Majapahit. Sebagai orang yang berasal dari Dinasti Majapahit, ia sangat cerdas, menguasai selain bahasa juga budaya Jawa yang bersumber dari India. Selain itu ia menguasai bahasa Arab, tidak hanya membaca Quran dengan fasih, ia dapat mengartikannya. Itu semua yang membuatnya bisa menyajikan 'versi' Jawa-Islam dari yang semula India.

Sungguhpun lakon berasal dari India, ia menemukan bahwa wayang sangat cocok sebagai sarana dakwah. Dunia wayang tak lain adalah 'bayangan', santiran dunia kita hidup seperti disinggung, pergulatan antara baik dan buruk. Tidak mengherankan setiap tokoh mewakili pribadi yang baik melawan yang buruk dan ditampilkan berupa benda tipis ukuran yang 'pas' dan dijajarkan di debog atau batang pisang. Karena terbuat dari kulit yang dinamai wayang kulit. Di dalamnya ada yang disebut pembantu atau abdi, Semar, Gareng, Petruk, ciptaan Sunan Kalijaga. Perkembangan lalu menyebabkan timbulnya kebutuhan akan pelakon tambahan, maka dimunculkan Bagong atau di tempat lain bernama Bawor atau Cepot.

Menurut dugaan, Sunan Kalijaga berumur panjang dan selalu dalam keadaan sehat, di usia tinggi terus bergerak dan mampu mendalang semalam suntuk. Itulah cara yang tepat baginya mencapai semua lapisan masyarakat. Tidak mengherankan yang semula kulit kerbau, setelah disentah tangan dengan seni, menjelma barang yang disebut wayang. Dengan sarana itu ia terus berdakwah sampai di daerah Tegal-Banyumas. Nama Sunan Kalijaga sampai sekarang tetap bergaung.

Saya kira, daerah Pasirluhur di sekitar 1525-an terbenam bahan letusan dari Pasir Luhur atau yang juga bernama Gunung Agung. Nama Slamet sudah pasti berasal dari Sunan Kalijaga, karena ia-lah satu-satunya di zaman itu yang dapat menjangkau wawasan sejauh itu. Bagi saya, pada hakikatnya nama itu petunjuk akan adanya kandungan doa, yaitu semoga petaka tidak terulang. Jadi, hakikat nama Slamet berguna sebagai penunjuk atau markah waktu, isyarat peristiwa dahysat. Inggrisnya, time mark, isyarat ada disastrous event, peristiwa bencana besar. Memang, rasanya benar-benar aneh. Gunung Slamet berbeda dengan gunungapi umumnya menyandang kata kuno, sedangkan gunung yang satu ini namanya berasal dari bahasa Arab.

Hemat saya, peristiwa letusan besar itu tidak berdiri sendiri. Sudah pasti di awal peristiwa besar yang sedang mengejawantah itu selama beberapa saat terus-menerus terjadi goncangan gempa. Sumbernya adalah jerambai sesar yang telah memunculkan Gunung Agung. Itulah gunungapi tunggal yang terdapat di sekitarnya, yang menyusul pergerakan kulit bumi, disertai terjadinya penyemburan bahan dari dalam bumi begitu banyak retak di arah timur-barat. Sejak letusan, bentang alam wilayah Banyumas berubah sama sekali. Seketika aliran Kali Serayu langsung dihentikan, sehingga air menggenang hingga muncullah danau.

Lembah Serayu di bagian yang ada di selatan pusat Kadipaten Pasirluhur yang datang dari timur berbelok ke selatan. Peristiwa itu mengubah yang semula lembah jadi hampir datar, dan semua tersebab bahan letusan dalam jumlah sangat besar dan tiba sekaligus. Asal bahan terdapat dari letusan dan bersumber di utara.

Di utara mana dan bagaimana semua itu terjadi? Ini yang saya coba menjawab. Saya perkirakan bahwa naiknya bahan itu ke permukaan melewati retakan kerak bumi di barat gunung dan saat itu masih bernama Gunung Agung. Bahan yang disemburkan adalah awan panas dan jumlahnya sangat besar. Penyemburan awan panas hemat saya memang belum dicermati sehingga pustaka terbatas. Berita mengenai peristiwa semburan awan panas Liyangan di lereng G. Sundoro di tahun 971, jelas menambah tahuan kita. Kini diketahui bahwa semburan awan panas di sana berkat penelitian Pusat Arkeologi.

Seperti diketahui, ada sungai besar yang mengalir ke utara dan juga bersumbernya di daerah Gn. Slamet. Namanya Kali Gung, jangan-jangan memang ada hubungan dengan peristiwa yang baru dibahas. Kata Gung jelas berdekatan dengan nama G. Agung. Apa ini tidak menarik, dan jika ada tambahan bahwa Kali Gung kenyataan memiliki corak sungai lahar, tinggal nalar kita yang akan diarahkan ke mana.

Sedikit tambahan tentang ketokohan Sunan Kalijaga yang berdakwah dengan memanfaatkan cara berupa pergelaran wayang. Tempat yang sempat jadi persinggahan adalah Purbalingga yang di zaman itu masih berbahasa Jawa logat a, belum berubah jadi bunyi o, seperti nama tempat itu. Logat o datang kemudian, dan saya kira ini juga terpengaruh dakwah Sunan Kalijaga. Belanda memperbesar pengaruh itu.

Kita sudahi sampai di sini kisah Sunan Kalijaga yang seorang diri telah mengubah masyarakat dan budaya penduduk Banyumas, termasuk dalam hal toponimi. Karena bingkai waktu terus bergeser, dan dengan sendirinya juga tangan Belanda. Kehadiran mereka juga isyarat zaman baru telah tiba. Pada gilirannya, juga yang menyangkut segi lain pada diri kita, kemampuan memandang barang yang sama dari sudut yang lain.

Nama Purbalingga jelas muncul sebagai pengganti Pasir Luhur pusat Kadipaten Galuh Wetan. Kata itu berasal dari 'purba' dan 'lingga' yang artinya paling dulu, ibaratnya lahir kembali dan jadi daerah hunian baru.

Coba perhatikan nama Purwokerto. Jelas, nama itu tersentuh tangan Belanda sehubungan dengan upayanya menata daerah dari keprajaan. Mereka pula yang membangun kota di sekitar pergantian abad 19-20 dan tempat kota dipilih di timurlaut dekat yang dulu Pasirluhur. Kota baru calon pusat keresidenan, tatakota jelas mendapat perhatian penuh, dan kemungkinan ruang perkembangan di waktu datang.

Banyumas adalah tempat yang mula-mula digunakan sebagai pusat, dan setelah pusat dipindah ke Purwokerto, nama keresidenan dipertahankan. Kota Banyumas yang tadinya ibukota keresidenan masih menyisakan sejumlah gedung yang mengingatkan orang akan masa lalunya. Pernah kota dilanda banjir besar yang terjadi hari Saptu Pahing. Sebagaimana terjadi, ada sementara orang Banyumas yang kemudian menganggap Saptu Paing adalah hari pantangan.

Nama gunung itu 'Slamet' ada hubungannya dengan letusan hebat Gn. Agung atau Pasir Luhur. Akibatnya, bahan letusan dalam jumlah sangat besar menumpuk, di antaranya, di bagian selatan gunung. Bahan lepas itu pun berubah jadi lahar dan mengalir ke mana saja ada ruang tersedia dan tentu saja ke arah selatan. Itulah yang paling wajar, sehingga membenam Kadipaten Pasirluhur dan daerah sekitarnya. Sebagian lahar masuk ke Lembah Tajum dan Kali Serayu terbendung, sehingga terjadi danau yang sebelunya tidak pernah disebut-sebut.

Danau adalah bentangalam sentara, tidak berumur panjang, dan kemudian lenyap. Apalagi yang terbendung K.Serayu, sungai besar. Sungai yang prabanjir lahar Slamet mengalir lewat Lembah Tajum, tak lama kemudian menemukan alur baru, melewati Banyumas dan kemudian menembus 'dinding' pebukitan yang hanya rendah saja. Tak selang lama, air danau pun melimpah, terjadilah sungai langsung ke selatan. Meskipun bukti dapat kita saksikan di lapangan, sampai saat ini belum ada orang yang menulisnya.

Di zaman penjajahan Belanda, lembah Serayu dimanfaatkan trem (keretapi 'kampung’) dengan nama Serajoedal Stoomtram-Maatschappij, SDS, dengan jalur rel dari Maos ke Wonosobo dan cabang ke Purwokerto. (Catat: Contoh lagi kejelian Belanda memanfaatkan peluang bisnis, mengangkut hasil perkebunan daerah Wonosobo untuk pasar luar negeri.) Tinggalan jalur keretapi itu masih tampak di tempat tertentu, dan tinggalan alur lama di hulu danau tampak bagian ruas Kali Serayu di timur Purbalingga. Di medan yang melandai lemah timur-barat, ruas sungai utama itu berkekelok.

Betapa indah pemandangan persawahan di saat tanaman padi sedang menghijau dan tak lama lalu berubah menguning bak-lautan. Sungguh suatu karunia, dan itu berkat ada air yang melimpah, air dari waduk baru yang tidak mungkin berumur panjang.

Apa yang jadi penyebab? Lumpur yang luarbiasa banyaknya dari Kali Merawu. Satu lagi hasil pembangun dengan dana hutang bank luar, tetapi tanpa perencaan matang. Catat: Belanda tahu bahwa kadar lumpur Kali Merawu yang tertinggi tercatat di Indonesia.

Yang menyusul sepenggal cerita bukan sisipan, bukam tentang wayang, tetapi sekedar pengaruh yang terdampak di masyarakat. Lebih rinci lagi, sepotong gambaran bahwa wayang pun menyentuh rakyat banyak. Di dalamnya tercakup kami, saya, adik dan sejumlah teman dekat, waktu tepatnya sekitar 1936-an, dan tempatnya Karanganyar (Parwa Satu-Parwa Dua).

Seperti saya katakan, ketika kanak-kanak saya suka 'kluyuran' dan salah satu mata acara pagi hari Jumat pergi ke pasar. Setiap hari pasaran, di sana ada penjual wayang mainan terbuat dari kertas tebal bekas bungkus garam bata. Di zaman itu, barang bekas itu mudah dicari. Layaknya anak, begitu pula saya suka mengumpulkan mainan, termasuk wayang murahan. Saya ingat, jumlah mainan itu cukup besar. Karena kesukaan mengumpulkan bermacam barang bekas itu sampai terdengar celetukan seorang saudara bahwa saya suka nyusuh (membuat sarang).

Wayang mainan dibuat cukup rapi, ditatah apik dan meliputi beraneka tokoh. Meskipun polos karena tanpa warna, bagi kami anak kota kecil barang mainan seperti itu mengasyikkan. Yang bertindak sebagai dalang adalah adik Hasan dan tempat 'pertunjukan' adalah bekas garasi, dan biasanya di malam minggu. Entah sampai pukul berapa Hasan 'mendalang'. Meskipun yang lain sudah tertidur, Hasan masih berjaga, terus mendalang. Sesekali bila terbangun, saya menangkap betapa asyik baginya bermain dalang. Meskipun yang lain tidur lelap ia tahan mendalang sampai menjelang fajar.

Rupanya, bagi Hasan, dunia wayang yang menarik di waktu kecil tetap melekat. Berpuluh-puluh tahun kemudian ia lulus sebagai angkatan pertama murid Prof. Van Romond, jadi staf pengajar di Jurusan Teknik Arsitektur ITB. Selain menggantikan gurunya, ia kemudian juga Ketua Lembaga Lingkungan Hidup. Tokoh wayang Ki Semar tetap melekat padanya, dan itu tampil di publikasi Lembaga yang ia pimpin. Saya rasa ia mengagumi Semar karena sikapnya yang bijak.

Saya tidak berfikir terlalu mendalam, tetapi tetap ada tokoh wayang yang 'nyantel', yaitu Anoman. Bagi saya yang mengesankan ialah kelincahannya umtuk meloncat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Iringan tembangnya 'Anoman malumpat sampun, Prapteng witing nagasari, dst., dst., tetap terngiang. Sampai pada suatu ketika bertugas di Yogya di awal 1990, saya menemukan di penjual barang suvenir tokoh wayang Anoman. Anoman seharga Rp. 30.000,-.. itu sampai kini tergantung di dinding. Boleh jadi itu pun tamsil perjalanan hidup saya, tetapi saya tidak tahu . . .

Itulah secuil dunia wayang tinggalan Sunan Kalijaga. Sebagai seorang yang 'menemukan kembali' perwayangan bagi zaman yang baru, Wali ini tidak hanya nama yang disandangnya Jawa, juga cara ia berpakaian. Ia juga turun di lapangan untuk mendalang, mengajarkan semua yang digagas dan segala kelengkapan dan perlengkapan. Kelengkapan, karena setiap benda tidak berdiri sendiri dan dalam kumpulan, dan perlengkapan, karena yang tersedia tidak hanya seperangkat anak wayang, bahkan tidak hanya seperangkat gamelan, bahkan penabuh dan tentu pesinden. Yang juga tidak dapat terpisahkan adalah kelir, belencong, dan semua yang diperlukan. Belencong adalah sumber cahaya yang menerangi di pertunjukan wayang dan ditamsilkan serupa dalam kehidupan nyata, sinar, pepadang, bahasa Arabnya nur. Ditambah angin malam yang sekali-kali bertiup di kedinginan malam, membuat nyala belencong membesar dan meredup, seirama dengan bergoyangnya sumber cahaya. Berbeda dengan benda yang lain, belencong digantung tetap, tepat di balik layar tempat para undangan. Itu semua pasti menimbulkan suasana berselimutkan rahasia. Itulah latar dengan bingkai waktu pertunjukan wayang, rekaan Sunan Kalijaga sejak ia memperkenalkannya, hingga tahun 1930-an, menjelang PD II. Peristiwa besar itu membuat semua tatanilai dunia porak-poranda. Yang namanya kampung adalah tempat orang dengan mudah bisa mendapat batang seukuran yang sesuai, bergaris tengah setengah meteran di pangkal dan panjang tiga meteran. Dua batang pisang itu ditata bagian bawah batang pohon pisang dengan arah berlawanan. Di zaman itu batang pisang tidak diperdagangkan, yang sekarang tentu diistilahkan bisnis batang pisang. Zaman itu yang ada pada saya, orang sekampung dapat menikmati pertunjukan yang bermanfaat banyak orang, tua dan muda, termasuk mereka dari desa tetangga. Bakda asar, semua sudah siap.

Dengan tataan itu, anak wayang sudah tercacak atau tertancap berjajar rapi, dengan kedudukan berdiri berlawan arah. Debog juga memiliki lambang, karena itulah tempat anak wayang yang sedang berkiprah di dunia yang hanya singkat saja. Dst., dst.

Saya merasa, Sunan Kalijaga sepertinya membawa misi. Karena menunaikan misi, ia sempat berkeliling di berbagai daerah dari pesisir utara Jawa Timur sampai di daerah Banyumas, dan di setiap tempat tidak hanya semalam, mungkin agak lama. Alasannya, karena dengan cara itu ia mampu menularkan seninya ke penduduk tempat yang ia kunjungi. Siapa yang mengurus di setiap tempat persinggahan? Siapa lagi jika bukan seorang adipati penguasa daerah atau patih (wakil)-nya, sebab sejak dulu seorang 'umbul' tentu ada.

Ciptaan wali yang satu ini dalam bentuk wayang versi Jawa akhirnya membentuk budaya seperti yang kita kenal sekarang. Yang jelas, para penggemar adalah penduduk umumnya. Bagi mereka arti wayang yang digelar lewat pertunjukan dengan cara itu sangat besar karena orang diajar berbudaya.

Apakah sebenarnya yang diusung? Tak lain adalah agama Islam, dengan sarana Mahabarta dan Ramayana yang sudah 'digancarkan'. Penopangnya wayang beserta perlengkapannya. Maka jangan heran kita, yang jadi perebutan adalah 'jimat kalimosodo', yang tak lain adalah Kalimah Syahadat yang diucapkan dengan logat Jawa. Itulah sebabnya sahadat yang dua, syahadatain, pun berubah jadi sekaten dan jadi nama seperangkat Gamelan Sekaten, yang hanya ditabuh pada waktu grebegan, yang seperti sudah disinggung asalnya dari gribig, maghribi.

Setelah 'diramu' dengan bahasa Jawa dan digunakan umum, muncul 'bahasa baru'. Pada hemat saya, itu merupakan pengulangan sekitar 1000 tahun sebelumnya peristiwa yang terjadi di Tanah Arab. Ketika itu Nabi Mohammad saw membuktikan bahwa dalam kurun waktu sekitar seperempat abad mampu mengubah masyarakat Arabia dari zaman jahiliah ke zamam baru. Peralihan lalu menyebar ke berbagai daerah, mula-mula ke negeri tetangga lewat perdagangan dan pergaulan antarmanusia. 'Negara' seperti yang kita kenal sekarang tentu belum ada. Hikmah itu perlu kita renungi.

Keadaan di negeri kita sangat beragam tetapi segi kesamaannya tentu ada. Di Jawa, entah sejak kapan para pemuka menganut agama atau lebih tepat kepercayaan pada 'pihak yang Tinggi' dan tempatnya ‘di Atas'. Mereka menghayati yang mereka anggap 'agama' dan itu sasaran sembahan. Tatanan budaya memiliki latar dan memenuhi persyaratan yang dikehendaki, sehingga mereka menerima tatanan yang bernama 'agama Islam'. Pada hakikatnya yang terjadi penenukaran yang disebut 'baju' yang dalam basa Jawa ‘ageman'. Sebagai manusia yang hidupnya memang dipenuhi oleh lambang, bahkan baju yang ia kenakan pun disebut baju takwo, yang jelas dari kata Arab takwa. Kalau yang ini saya rasa bukan dari zaman wali, melainkan dari kurun lebih baru. Ini kita lihat bahwa padanan kata baju takwa adalah surjan. Karena itu adalah ciptaan Yogya yang para warganya sampai sekarang selalu penuh daya cipta.

Kita menyimak betapa proses penyiaran agama Islam selanjutnya, khususnya di Jawa, berjalan dengan pola yang khas. Saya maksud, sesuai dengan suasana kemasyarakatan dan latar budaya, termasuk waktu. Sebenarya, saya telah mencoba di sana-sini menaburkan berbagai permata, itu sekedar penghias. Permata itu tidak harus kata dan ungkapan Jawa, juga bahasa lain. Contoh yang kebetulan Jawa, roso, suroso, hangrumangsani. Cara itu dilakukan orang dalam meripta tembang yang disebut nyekaraken. Di antara orang banyak—bahkan bukan orang Jawa—kini sering kita dengar terlontar ucapan pasrah-sumarah-sumeleh, atau bahkan hanya yang dua pertama. Saya percaya, umumnya orang mengucapkan tanpa memahaminya, melontarkan sekedar stopwoord, bahasa Belanda sekedar pelengkap dalam kalimat. Setelah saya renungi, inti yang pertama dan kedua adalah rah, yang dilengkapkan jadi lingga serah. Kata pertama dengan awalan pe- lalu memunculkan kata paserah, orang yang berserah diri, dan yang kedua setelah diberi sisipan -em- atau -um-, menunjuk pada sifat orang yang telah berserah diri. Yang ketiga inti atau akarnya lain, yatu leh, dan setelah dilengkapi dan jadi lingga, jadi kata seleh. Akhirnya, sisipan -em- atau -um- menjadikan sumeleh, sifat orang yang mendapat tempat bersandar, dan itu tak lain adalah Tuhan yang layak dijadikan sandaran. Jadi, berturut-turut, itulah kata bahasa Jawa untuk padan kata Arab muslum. islam, dan tawakal, Menilik akan bentuk, saya kira ketiga kata itu juga berasal dari para wali

Sekedar melengkapi uraian perihal wayang dan di seputarnya, saya mencoba di sini memasukkan nama Franz Magnis Suseno. Ia termasuk pengagum wayang, seorang yang ditilik namanya saja jelas menimbulkan tanda tanya. Yang memiliki nama itu tidak lain adalah orang ningrat Jerman Selatan dan sudah jadi warga Indonesia. Ia terpelajar, bergelar doktor dan juga gurubesar. Setelah jadi warga Indonesia, ia merasa lebih dekat dengan budaya kita dengan tambahan nama Jawanya Suseno dan jadi Magnis-Suseno. Sebagai rohaniwan Katolik ia menghayati cara orang Jawa beragama. Kita tak perlu heran bahwa ia terterima di kalangan penggiat kerukunan antaragama.