Tujuan Belanda di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa adalah mengusahakan sumber daya, yaitu tanah yang subur dan tenaga kerja yang melimpah (jadi murah). Agar dapat terlaksana, diperlukan prasarana dan sarana. Prasarana yang harus tersedia adalah peta rupabumi atau peta topografi, dan sarana berupa jalan, baik jalan raya maupun jalan penghubung antardesa seperti telah disinggung. Yang dijadikan andalan adalah pihak swasta, dan pemerintah hanya sekedar mengawasi. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, seperti pada saat harus ditentukan, siapa akhirnya yang mesti berindak untuk membangun jaringan rel keretapi di seluruh Jawa, pemerintahkah atau swasta? (Reitsema, 1925).

Sebelum Perang Diponegoro meletus, budidaya pertanian-perkebunan sudah mendatangkan hasil untuk diekspor bagi pasar dunia. Untuk menunjangnya, jawab hanya satu, yaitu perencanaan yang matang dan diawali dengan yang paling utama, yaitu menjamin keamanan di dalam negeri.

Kita lihat, betapa semua itu dalam waktu cukup singkat—kurang dari dua dasawarsa seusai Perang Diponegoro—telah terwujud. Belanda berhasil melaksanakan usaha mengembangkan Pulau Jawa untuk tujuan bisnis, berkat adanya landasan berupa sistem. Di kemudian hari Bung Karno sebagai orang teknik merumuskan sistem itu dengan tata-istilah prasarana, sarana, yang rupa-rupanya tidak semua orang dapat memahaminya.

Sebelum sistem itu diterapkan, setiap langkah yang menyangkut kepentingan orang banyak sudah dapat 'diraba'. Maka tak mengherankan, pada tahun 1862—setelah ada izin—jalur keretapi pertama (milik swasta) di Jawa—jadi, juga di Hindia Belanda—mulai dibangun, dari Brosot di ujung selatan daerah Yogyakarta ke pelabuhan Semarang. Sejak itu ekspor hasil perkebunan besar pun dapat dimulai.

Ada yang meleset di sini, yaitu lebar jalur rel, karena yang digunakan adalah lebar yang lazim di Eropa Barat, 1,034 m, sebelum yang baku, 1,067 m diberlakukan. Lebar rel 1,067 m untuk pertama kali diterapkan pada jalur Batavia (sekarang Jakarta)-Buitenzorg (sekarang Bogor), yang dibangun oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maaatschappij, NIS, perusahaan swasta. Jalur itu kemudian pada sekitar 1875 diambilalih oleh pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, lebar rel 1,067 m itu dinilai lebih sesuai terutama untuk daerah pegununan, sehingga kemudian dibakukan.

Pada waktu Perang Pasifik dan negeri ini diduduki Jepang, pada tahun 1943 mereka mampu dalam waktu hanya sekitar tiga bulan, mengubah semua jalur rel jadi sesuai dengan lebar bakuan, yaitu 1,067m. Jadi, jalur antara Brosot lewat Yogya dan Solo dan selanjtnya terus Semarang, diubah ke dalam lebar baku. Langkah itu tentu didorong oleh kepentingan perang, dengan tenaga kerja tentu saja para romusha.

Saya ingat ketika revolusi, 1948-1949, di tempat tinggal kakak Basuki A.R.Purbo-Hadiwidjojo dan

keluarganya yang besar, ada beberapa batang ganjal rel terbuat dari baja, yang berasal dari jalan keretapi yang dibongkar itu. Karena ruang dalam rumah terbatas, beberapa batang bantal rel yang dijajarkan sangat bermanfaat untuk duduk-duduk, atau bahkan untuk merebahkan diri di malam hari, terutama di waktu udara panas. . ..

Sebelum PD II, daerah Yogyakarta adalah pusat industri gula. Bayangkan, di satu daerah itu jumlah pabrik gula lebih dari 20 buah.Tidak dapat disangsikan, yang dijadikan penopang adalah penguasa daerah, Sri Sultan. Pada zaman itu orang Yogya mengenal ada 'negeri Belanda', yaitu bagian kota yang nama resminya Kota Baru. Di sudut Kota Baru itulah, di timur Jembatan Gandalayu (yang artinya 'bau mayit') berdiri 'istana' Reesink, orang terkemuka industri gula Yogyakarta. Gedung itu di awal zaman Republik dijadikan markas Angktan Udara, dan pada 19 Desember 1948 dibom Belanda menjelang mereka menyerbu Yogyakarta.

Pendekatan sistem dalam pengembangan daerah berlangsung lewat berbagai macam persiapan, diawali dengan perundang-undangan sebagai prasarana. Dalam perempatan terakhir abad ke-19, semua sarana berupa kelembagaan pengumpul data dasar sudah bekerja seperti semestinya. Data dasar yang menyangkut segi kebendaan (fisik) terdiri dari tiga matra. Pertama, rupabumi yang ditempatkan dalam kewenangan Dinas Topografi, KNIL. Kedua adalah curahan hujan yang diurus terpusat oleh Koninklijk Meteorologisch-Geophysisch Instituut (Lembaga Metreorologi-Geofisika Kerajaan, tetapi pelaksanaan tugas sehari-hari berupa mengukur besarnya curahan di hampir 4000 titik di seluruh Nusantara dilimpahkan kepada pihak yang memperoleh titipan sukat hujan, berkisar dari pamong praja, dinas pengairan, pertanian-perkebunan, baik pemerintah maupun swasta, dan beberapa pihak lain. Setiap awal bulan baru, rekaman hasil pencatatan curah hujan dari semua titik pengamatan di seluruh Nusantara mengalir ke MGI, yang kemudian mengolah dan menerbitkannya secara berkala. Akhirnya yang ketiga, berhubungan dengan perkara kekayaan alam yang terpendam dalam bumi. .

Di atas telah dibicarakan betapa peta sangat besar peranannya dalam kehidupan sehari-hari. Itu sebabnya, mengapa siswa lewat pendidikan dapat memahami seluk-beluk peta yang kemudian dijadikan landasan peri-kehidupan di negeri ini. Setiap jenjang pendidikan sejak sekolah dasar memiliki berbagai wandkaarten, peta dinding. Sebelumnya, dengan pertolongan kompas kepada siswa diperkenalkan yang disebut windroos, mataangin dengan namanya. Di peta, utara selalu ditempatkan di utara, selatan di bawah, kiri adalah barat dan kanan artinya timur. Ini diajarkan di kelas tiga, dan siswa mempraktekkan ajaran itu, dengan kompas serta tali panjang tertentu; guru kelas mengawasi jalannya pelajaran praktek yang menghasilkan denah sekolah.

Dalam kehidupan sebenarnya, menbuat peta memerlukan proses panjang, berawal dari mengukur rupabumi atau topografi. Mula-mula didirikan titik tetap—atau titik trianggulasi—di semua tempat yang dinilai baik. Dari nama trianggulasi—pengukuran medan dengan dasar sudut segitiga—dapat ditangkap bahwa yang disebut titik-tetap dibangun di tempat seperti puncak gunung dan bukit yang menonjol dan terlihat dari beberapa tempat. Di situlah awal semua kegiatan, dan seperti disinggung, yang dijadikan sasaran awal adalah Pulau Jawa, meskipun pada zaman pasca-Perang Diponegoro, ketika masih banyak daerah yang berhutan lebat penuh hewan liar. Pulau Madura disatukan dengan Pulau Jawa, karena ada pertalian dalam berbagai seginya.

Yang menyusul kemudian adalah nama tempat, gunung, sungai, dan seterusnya yang diistilahkan toponimi. Nama merupakan perkara penting, karena padanya ada unsur yang bermanfaat dalam upaya menata daerah. Pertama, puncak tinggi jadi perhatian khusus. Dalam bentangalam, titik itu tidak berdiri sendiri. Di Jawa dan Madura sangat nyata, bahwa dari ujung barat hingga di ujung timur terdapat garis yang memperhubungkan semua titik tertinggi. Sebagai akibat kenyataan alam itu, air hujan yang jatuh menemukan jalan yang berarah ke tujuan akhir, yaitu laut, Samudera India atau Laut Jawa. Di Madura, di selatan adalah Selat Madura di utara lautan yang masih dimasukkan ke Laut Jawa. Garis penghubung itu yang disebut pemisah air, atau lebih singkat legih. Itu adalah garis tiada putus yang menghubungkan semua titik tertinggi, dan itu pula 'ilmu' yang kita peroleh dari Belanda. Dengan itu kemudian ditentukan batas perwujudan yang dengan kata Belanda disebut stroomgebied, dan kita jadikan daerah aliran sungai. Karena terlalu panjang, muncullah singkatan, DAS. Di Pulau Jawa legih dapat kita runut dari Selat Sunda di barat hingga Selat Bali di timur. Yang memutuskan Pulau Jawa dijadikan tiga propinsi juga Belanda, dan itu awal kata 'propinsi' digunakan di tanah jajahan mereka. Untuk Pulau Jawa, hal itu setengahnya 'memaksa' berdasar pertimbangan ukuran Jika dasarnya bahasa, bahasa Madura semula terbatas di Pulau Madura, dan ujung timur Pulau Jawa dulu penduduknya bukan orang Madura. Karena perkebunan butuh tenaga kerja, maka mengalirlah orang dari Pulau Madura ke sana. Batas antara Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Jawa Tengah jelas tidak didasarkan pada bahasa yang digunakan penduduk setempat. Kini kita warga NKRI, dan orang tidak mempersoalkan asal-usul dan bahasa. Hanya alasan politik yang dapat mengada-ada, sehingga yang muncul kepentingan kelompok.

Puncak tinggi yang digunakan untuk tempat mendirikan pilar (tugu atau tiang) trianggulasi dipilih atas dasar kenampakan dari berbagai tempat. Di Jawa Barat tugu itu dikenal dengan sebutan Sang Hyang Kakak. Apakah dengan sebutan 'sang hyang' ada maksud agar benda itu tidak diganggu? Mungkin. Saya masih ingat akan peristiwa di awal tahun 1950-an, ketika titik P (primer, artinya titik peringkat tertinggi) yang berdiri di dekat pertigaan jalan yang datang lurus dari depan Istana Bogor, sebelum bercabang dibongkar, dan di tempat itu kemudian dibangun sebuah air mancur! Itu terjadi ketika kemerdekaan kita baru saja diakui. Bukti nyata, kita tidak mengenal sejarah dalam arti yang luas. Padahal yang disebut titik P sangat penting dalam penentuan kordinat. Meskipun sekarang dengan kemunculan yang disebut GPS (geographic positioning system) semua jadi bersifat relatip atau nisbi. Paling tidak, kehadiran sebuah titik-tetap trianggulasi dapat berfungsi sebagai acuan, tanda pengenal di lapangan.

Siapakah yang melakukan pekerjaan naik-turun gunung, menyusuri sungai besar dan kecil melewati hutan rimba yang pada masa itu masih penuh dengan satwa liar? Tentu orang pribumi. Merekalah yang mampu melakukan tugas itu, tetapi tentu saja setelah dididik dan dilatih. Padahal kita lihat dalam sejarah, pada waktu zaman penjajahan, mereka memperoleh dasar dari sekolah rakyat hanya selama lima tahun.

Semua kerja ukur-mengukur tidak berdiri sendiri. Hasil akhirnya 'diikatkan' kepada 'titik tetap' yang terdapat yang baru saja disinggung tadi. Setelah daerah luas selesai disigi, diperoleh jejaring titik tetap. Setelah itu menyusul pengukuran dengan menggunakan alat yang dulu dikenal dengan istilah boussole trans-montagne, disingkat BTM, istilah Belanda asal Perancis. Menggambar peta adalah pekerjaan di kantor, dilakukan hingga berupa peta topografi atau peta rupabumi.

Menggambar rupaumi atau topografi daerah mengandung unsur seni. Peta itu memperlihatkan kontur, yang tidak lain adalah garis yang memperhubungkan semua titik yang berketinggian sama. Ketika sedang mengukur di lapangan, juru ukur di setiap titik kedudukan menggambar—walaupun secara bagan—di halanan kanan buku ukurnya, bentuk medan yang sedang ia hadapi dengan data ukur yang baru tertera di halaman kiri buku ukur. Data itu berupa arah azimut papan ukur di titik kedudukan teropong, beserta ketinggiannya. Setelah ia kembali di kantor, dari gambar bagan itu dibuat (peta) yang sebenarnya. Citarasa seni memang diperlukan bila kita menggambar bentuk medan. Jarang garis kontur atau garis sama-tinggi berjalan lurus, yang umum justru penuh liku, lekuk dan lengkung, yang diperoleh dengan memperhubungkan semua titik sama-tinggi, yang terukur di lapangan. Dari gambar bentuk medan itu segera dapat dibedakan mana punggung dan mana yang lembah. Lembah adalah tempat batang air mengalir.

Saya mendapat pelajaran menggunakan BTM (alat ukur) di awal pendidikan di SPGT tahun 1947, tepatnya di G,Tidar, Magelang, yang disebut orang Jawa paku (pasak) Pulau Jawa . Pengajarnya Pak Amsir alias Wana, juru ukur angkatan awal yang memperoleh keterampilannya ketika ia ada dalam pendidikan di Dinas Topografi KNIL. Dengan keterampilan yang saya peroleh tentang ukur-mungukur medan itu, selang beberapa tahun kemudian saya sudah harus memimpin penyelidikan yang perlu ditopang peta rupabumi. Ketika itulah saya menghadapi kenyataan yang membuat saya bermenung.

Bagaiimana mungkin hasil kerja seorang juru ukur senior ternyata terjungkir-balik? Tidak ada gunanya berbalahan, karena telah terjada kekeliruan, dan pekerjaan harus diulang oleh orang lain. Dari sanalah saya tersadar bahwa yang disebut citarasa seni memang perlu. (Sebetulnya tidak hanya seni, juga nalar.) Lewat informasi rekan seangkatannya akhirnya saya mengetahui, semasa bertugas pada Mijnbouw rupanya ia sudah diketahui tidak dapat melaksanakan tugas berupa membuat peta topografi.

Saya dapat memahami mengapa orang Belanda mengutamakan Pulau Jawa untuk dikembangkan terlebih dulu. Inilah daerah yang memberi harapan paling besar. Oleh sebab itulah, pulau ini yang pemetaan rupabuminya ditangani langsung pada sekala baku 1:50.000. Juga karena kepentingan yang masuk akal—pajak—sejumlah daerah di Pulau Jawa dipetakan lebih rinci, dua kali lebih rinci, 1:25.000.

Pihak pelaksana pemetaan adalah KNIL, karena berbagai pertimbangan. Alasan, di antaranya, peta yang dihasilkan diperuntukkan bagi kegiatan militer dan kepentingan strategi. Meskipun organasi ada dalam lingkungan militer, yang bekerja di lapangan adalah para 'mantri topografi' orang sipil. Seperti baru disinggung, alasan Pulau Jawa dipetakan lebih rinci adalah karena ujungnya adalah keperluan pajak tanah (landrente), yang diperkenalkan oleh Raffles.

Di zaman penjajahan Belanda, organisasi Dinas Topografi bekerjanya sangat rapi dan efisien. Tak mengherankan, peta rupabumi yang dihasilkan mendapat pujian dari negara lain. Keefisienan itu dapat ditangkap di antaranya dari kenyataan bahwa sebelum pekerjaan pemetaan selesai, hasilnya sudah dapat dimanfaatkan dalam upaya awal Belanda menata keprajaan.

Peta rupabumi atau peta topografi berguna bagi banyak keperluan. Yang diuntungkan di antaranya adalah upaya pembangunan jalan, termasuk jalan keretapi. Itu sebabnya banyak setasion—bahkan sampai hari ini—dapat diketahui ketinggian letaknya dalam meter daml (di atas mukalaut). Ada

berbagai pekerjaan teknik sipil lainnya yang juga memerlukan, misalnya, jaringan pengairan, pembangunan kota, atau singkatnya, pembangunan daerah pada umumnya. Ini juga yang terjadi ketika membangun Kota Karanganyar seperti telah diuraikan di atas.

'Cerita' tentang titik trianggulasi dan ukur-mengukur lahan awalnya saya peroleh dari Ayah, karena pada waktu beliau masih berdinas, perkara itu juga mendapat perhatiannya. Pada waktu masih kecil, beberapa kali saya melihat orang desa dalam kelompok kecil dan berbekal tali ukur menyusuri jalan desa. Ayah berkata, mereka sedang 'klasir'. Kata yang berasal dari bahasa Belanda klasseren itu menunjuk pada kerja menentukan 'kelas' atau peringkat lahan, termasuk sawah sesuai dengan 'kelas' masing-masing, dan dari sana kemudian ditentukan pajak tanahnya. Pada waktu masih di sekolah dasar, 'objek' yang sering kami datanginya adalah Gunung Cemara di baratlaut Karanganyar dengan titik tertingginya di bagian barat. Ke sanalah kami biasanya pergi, dan karena itulah saya tahu di sana ada tugu atau tonggak atau titik trianggulasi. Kalau ada yang kebetulan membawa 'keker' (kijker, teropong), kami dapat melihat ke mana-mana di kejauhan, termasuk bukit Jongkemureb yang ada di 'bawah' selatan, yang juga ada titik trianggulasinya.

Yang juga segera dilakukan Belanda adalah memasang regenmeters di seluruh Nusantara. 'Alat ukur', penakar hujan, atau lebih tepat sukat hujan itu di'titipkan' pada mereka yang memiliki kepentingan langsung seperti pangairan atau irigasi, perkebunan milik pemerintah maupun swasta, kehutanan, pos pengamatan di dekat kawah gunungapi yang berbahaya, dan pamong praja (wedana dan asisten wedana). Bahkan di tempat yang hanya mempunyai arti sementara saja—misalnya saja tambang yang berumur pendek—juga ada sukatnya. Begitu tambang ditutup, sukat juga dicabut. Begitu ada permukiman baru transmigran—contohnya Pringsewu di Lampung—sukat hujan pasti menyusul.

Menjelang Perang Dunia II, jumlah gawai atau sukat itu yang sudah dipasang di seluruh negeri ini sebanyak 4339 buah. Setiap pagi pukul 07.00, ada petugas yang 'mengukur' banyaknya hujan yang tercurah selama satu piantan (sehari-semalam) sebelumnya. Caranya, petugas membawa gelas ukur di tangan kiri dan tangan kanannya memutar keran sukat. Air dari sukat dibiarkan mengalir masuk ke dalam gelas ukur, dan setelah semua air hujan yang tercurah masuk ke dalam gelas, petugas membaca angka yang tertunjuk pada renggat gelas ukur dan dicatat dalam buku yang tersedia. Hal itu petugasugas lakukan setiap hari pada saat yang sama, tak bergantung pada siapa yang sedang siapa orangnya. Sebagai anak SD kelas awal, saya menganggap 'opas' yang sedang mengukur curahan hujan itu sebagai 'tontonan', dan itu ternyata terus menempel dalam ingatan. Kelak, setelah saya bekerja dalam bidang geologi terapan 'tontonan' sewaktu kecil itu berubah jadi barang yang perlu mendapat perhatian.

Sekitar dua dasawarsa setelah jejaring sukat hujan itu terpasang di seluruh wilayah Hindia Belanda, pemerintah sudah mendapatkan gambaran mengenai pola curahan di seluruh tanah jajahan mereka, kecuali Nieuw Guinea, sekarang Papua. Pada awal abad ke-20, Belanda sudah memiliki peta curah hujan Hindia Belanda dengan polanya. Mereka mulai mengetahui, ada daerah yang curah hujannya sepanjang tahun memadai untuk tujuan pembangkitan tenaga listrik.

Dari hasilnya mereka tahu bahwa daerah Priangan, terutama selatan Bandung perlu mendapat perhatian khusus. Tetapi dalam sejarah yang tercatat sebagai PLTA, pembangkit listrik tenaga air yang pertama adalah PLTA Giringan (1917, 1,4 MW) di kaki G. Lawu, di barat Magetan.Tenaga listrik yang dihasilkan sangat diperlukan bagi bengkel induk keretapi di Madiun. Karena daya berlebih, Kota Madiun ikut memperoleh manfaat.

Daerah selatan Bandung akhirnya merupakan tempat Belanda memperoleh segudang pengalaman yang dibutuhkan bagi urusan ke-PLTA-an yang sangat berharga, sejak menentukan tapak PLTA, membangun, mengelolanya, hingga mendistrbusikan daya listrik yang dihasilkan.

Mula-mula yang dibangun pada tahun 1920 adalah PLTA Plengan pada sungai Cisangkuy, dan pada 1925 menysul PLTA Lamajang di hilirnya. Maka Kota Bandung pun menjelang Perang Dunia II mendapat julukan Parijs van Java, Kota Parisnya Pulau Jawa. Karena bermandikan cahaya seperti halnya Kota Paris, juga disebut Lichtstad. Istilah aslinya, bahasa Perancis, La Ville Lumiẻre.Seusai perang orang tidak lagi berujar tentang Paris Pulau Jawa, karena padam sejak menjelang perang. Setelah perang, kebutuhan kota akan daya listrik terus meningkat, sejalan dengan melonjaknya jumlah penduduk.Itulah sebabnya, persiapan dilakukan untuk membangun PLTA yang ketiga. Sebagai tenaga muda di Djawatan Geologi ketika itu, pada 1953 saya memimpin penyelidikan untuk tapak PLTA di Cakalong yang ada di alur Cisangkuy. Mengikuti 'naluri kegeoteknikan' saya ketika itu, saya meluruskan pipa pesat yang pada rencana awalnya bertekuk, dan menempatkan calon PLTA di atas batuan tangguh, aliran lava lama. Itu menghasilkan pluimpje (secara umum 'acungan jempol', ketimbang pujian yang terasa resmi) dari Dr. Friedrich Laufer, geologiwan yang sudah banyak makan garam dan memiliki sifat kebapakan. Pada saat itu beliau pimpinan Bagian Geologi Teknik Djawatan Geologi, dan dengan saya berkomunikasi dalam bahasa Belanda,

Air Cisangkuy setelah menggerakkan turbin PLTA Cikalong, langsung masuk ke pipa lagi dan siap untuk disalurkan ke kilang penjernihan air PDAM di Jalan Gelapnyawang, Bandung, ibarat pipa berhubungan, jadi tanpa bantuan pipa. Dari sana, air yang telah diolah dibagikan kepada para pelanggan PDAM Bandung di bagian selatan kota, disalurkan dengan gayaberat.

Dari membangun PLTA di Bandnng Selatan terhimpun hasil pengalaman yang berharga. Maka dari itu bermunculan PLTA, juga di sejumlah tempat lain di Jawa dan di luarnya. Akhirnya, dari sana terbentuk tubuh informasi yang sangat berharga.

Kita kembali ke Karanganyar. Akhirnya kota kecil itu mendapat penerangan listrik.Pembangkitnya apa yang kini dikenal dengan istilah PLTD, pusat listrik tenaga diesel yang ditempatkan di selatan rel keretapi di timur pabrik minyak Olvado, di seberang jalan besar menuju ke kota. Dalam bahasa rakyat ketika itu, sekitar tahun 1930, PLTD disebut 'pabrik listrik'.

Selain jalan di kota mendapat penerangan, juga rumah Nenek diterangi lampu listrk. Rumah Nenek sangat besar dan biaya berlangganan aliran listrik tentu tidak murah, sehingga titik cahaya terpaksa dibatasi, umumnya kecil, 15 Watt. Sebagai anak SD tingkat awal pada waktu itu, saya 'tidak mudeng'. Baru lama kemudian saya mengerti mengapa, yaitu karena uang pensiun Nenek kecil.

Beberapa tahun kemudian, Ayah berceritera bahwa sudah terjadi sambungan dengan Baturaden di kaki G.Slamet. Istilah sekarang, terjadi interkoneksi. antara pembangkit di Karanganyar dan PLTA Baturaden. Setelah saya jadi geologiwan, saya tahu penyebabnya, mengapa di Baturaden dibangun PLTA, karena curah hujan di lereng selatan G. Slamet tertinggi se-Indonesia, di atas 3500mm setiap tahun. Listrik diusahakan oleh EMB, Elecriciteitsmaatschappij Banjoemas, Perusahaan Listrik Banyumas, perusahaan swasta.

Data dasar jenis ketiga adalah bahan tambang. Kalau kita perhatikan, bukan kebetulan, jika badan yang berwenang mengurusnya diberi nama Dienst van het Mijnwezen (Dinas Pertambangan). Badan itu berdiri pada 1850, tak lama setelah pemerintah Belanda mengambilalih semua tanggungjawab VOC, karena bangkrut sebagai akibat salah urus. Kantor Mijnwezen di Meester Cornelis—kini Jatinegara—kecil saja, dengan jumlah pegawainya dapat dihitung dengan jari. Tugas utamanya mencatat kegiatan usaha pertambangan (gali-menggali bahan tambang) yang pada zaman itu belum banyak artinya.

Pada awalnya, pemerintah mempekerjakan ahli tambang—tentu saja—Belanda lulusan Sekolah Tinggi Teknik Delft di Negeri Belanda. Ahli itu bertugas meyertai patroli militer, melihat di kanan-kiri lintasan yang dilalui patroli, kalau-kalau ada benda tambang atau mineral yang menarik untuk periksa lebih lanjut. Ahli tambang itu tidak bekerja sendirian, tetapi dibantu seorang tahanan yang sedang menyelesaikan hukuman. Benar-benar cara yang murah, dan tentu saja kita tidak perlu bertanya apa cara itu dibenarkan, karena di zaman itu belum ada orang yang berbicara tentang hak asasi. Cara ini berlangsung selama bertahun-tahun, juga setelah pada Mijnwezen ada Mijnbouw-Geologische Onderzoekingen, MGO, yang bertugas menyelidiki geologi-pertambangan.Yang juga sudah ada sejak awal adalah Grondpeilwezen, yang indonesianya secara bebas, Dinas Perdugaan Tanah. Tugasnya membuat sumur bor di pos pemerintahan atau militer. Jika pemboran berhasil, airnya langsung dimanfaatkan untuk keperluan pos. Tentu saja banyak yang tidak berhasil. Yang 'gagal' pun tetap berharga, karena hasilnya yang berupa data geologi bawah-tanah, dan 'tertutup' dari pengamatan langsung. Di antara pemboran yang dianggap berhasil adalah yang ada di daerah Batavia, sekarang Jakarta, termasuk di Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Penyediaan air bersih Batavia yang memanfaatkan air bawah tanah yang mengalir sendiri diperagakan di Pameran Sedunia Paris dan mendapat hadiah.

Ada manfaat sampingan dari hasil pemboran-dalam yang terkumpul itu dan itu baru disadari berpuluh-puluh tahun kemudian. Saat itu tiba pada waktu Pasukan Sekutu melakukan serangan balik menjelang akhir PD II. Intelejen Sekutu memanfaatkannya untuk keperluan pemgambilan putusan perkara penyediaan air di perkemahan tentara di seputar medan perang Pasifik baratdaya.

Baru sekitar1920-an kita saksikan ada perubahan pandangan Pemerintah Belanda dalam menyikapi perkara kebumian. Hal itu tak terpisahkan dengan masuknya tenaga ahli asing—terutama dari Eropa tengah—yang dipekerjakan pada Mijnwezen, seperti Tobler, Musper, dan Zwierzycki

Yang disebut Mijnwezen bukan tempat bagi orang pribumi.Tenaga pribumi baru mulai masuk pada tahun 1920.Yang diterima pemuda lulusan sekolah dasar untuk dididik dalam cursus voor mantrie-opnemers. Dengan itu saja kemampuan Mijnwezen langsung meningkat. Lembaran baru diimulai ketika ada kegiatan yang disebut pemetaan geologi bersistem..

Dulu orang mengira Jawa—dari sudut pandang geologi—adalah pulau muda usia, apalagi gunngapi yang banyak terdapat di sini, semua berumur Kuarter, kurun waktu terakhir. Menjelang 1930-an terkuak adanya batuan Mesozoikum (berumur di atas 200 juta tahun) yang tersingkap di daerah Lukula. Keuntungan yang datang sejak PD I usai dari sektor perkebunan dan sektor minyak bumi berdampak pada penerimaan negara. Imbasannya berupa tambahan anggaran untuk penyelidikan geologi dan berpuncak pada pembangunan gedung Kantor Pusat Mijnbouw di Bandung.

Keragaman geologi Indonesia menjadi pendorong pihak berwajib untuk meamerkannya. Yang tercakup di dalamnya berkisar dari hasil penelitian geologi Pratersier, perkara kegunungapian, manusia prasejarah dan paleontologi dengan banyak seginya. Ajangnya adalah Fourth Pacific Science Congress, Konggres Ilmu Pasific ke-Empat, pertemuan ilmiah akbar di Hindia Belanda, tanpa seorang pun orang ahli geologi pribumi. Salah satu persidangannya berlangsung gedung yang sekarang dikenl sebagai Museum Geologi. Gedung itu diresmikan pada bulan Mai 1928, yaitu bertepatan dengan peristiwa ilmiah itu.

Di dunia geologi tak sampai setengah abad yang lalu ibaratnya terjadi suatu revolusi. Yang terjadi adalah pandangan para ahli bahwa bangun kulit bumi sejak sekitar 1970-an benar-benar terjungkir balik. Sejak itu, tataan ketektonikaan Nusantara berangsur-angsur menjadi jelas, dari semula yang penuh teka-teki dan mendorong orang untuk menerka-nerka, menjadi jelas. Dengan kemunculan anggitan tektonika lempeng disimpulkan bahwa di negeri kita ada tiga lempeng yang bertumbukan. Lempeng adalah bongkahan besar kerak bumi. Di utara ada Lempeng Asia, dari selatan Lempeng Australia perlahan-lahan mendesak Benua Asia, dan dalam proses itu menunjam di bawah Pulau Jawa yang dasarnya berupa batuan tua. Yang ketiga Lempeng Pasifik yang ada di bagian timur Indonesia, yang perlahan-lahan mendesak ke barat.

Batuan dasar di bawah Jawa itu tertindih batuan berumur Tersier (30-an juta tahun) dan Kuarter (paling tua sejutaan tahun). Di Jawa, yang masuk batuan Tersier adalah batuan yang bagian terbesar berupa endapan laut dan mengandung minyak dan gasbumi, serta endapan darat berupa batubara, seperti yang ditemukan di daerah tertentu; semuanya merupakan bahan yang dicari-cari.Tempatnya, di antaranya, bagian utara Pulau Jawa. Batuan gunungapi sebagian terjadi di darat, sebagian juga di dasar laut.Yang terakhir adalah batuan gunungapi Kuarter dan Sekarang, selain ada hubungannya dengan gunungapi, baik yang bekerja mauoun yang padam atu mati, seperti yang banyak dijumpai di Jawa. Inilah jenis batuan yang membuat Pulau Jawa subur, dan di sejumlah tempat mengandung panasbumi, sumber daya energi yang dicari-cari. Sebaliknya, gunungapi juga jadi sumber bencana dengan sifat yang mematikan, seperti awan panas dan lahar, dan sekali tempo bahkan menimbulkan malapetaka yang memusnahkan daerah luas. Di abad ke-19, di Indonesia malapetaka terjadi ketika pada 1815 Gunung Tambora di Sumbawa meletus, dan pada 1883 menyusul Gunung Krakatau, masing-masing memnta korban sekitar 100.000 jiwa orang, belum terhitung benda. Sebelumnya, letusan dahsyat gunungapi terdapat berkali, sejak kepulauan belum berpenuni dan dalam prasejarh, menghapus penghuni yang sudah terdapat ketika itu.

Pendesakan dan penunjaman Benua Australia terhadap Benua Asia adalah proses yang berlangsung terus-menerus dan menyebabkan terhimpunnya energi. Jika energi yang terhimpun itu terlalu besar, maka energi akan terlepas, dan terjadi gempa. Pada saat seperti itu boleh jadi ada bagian kerakbumi yang terangkat. Di sepanjang alur sungai di daerah Kedu Selatan dan Banyumas, misalnya, orang dapat menyaksikan undak atau teras. Itulah bukti pengangkatan kulit bumi lewat sentakan.

Letak sumber gempa berbeda-beda, ada yang dangkal hanya beberapa kilometer dan ada yang jauh di kedalaman bumi, beberapa ratus kilometer dari permukaan. Sumber gempa yang dangkal terdapat jauh di lepas pantai selatan Pulau Jawa, dan gempa yang sumbernya dalam, ada di bawah pulau ini. Gempa yang terjadi tanggal 8 April 2011, pada awal saya menyusun naskah ini, dengan besaran 7 Sekala Richter, bersumber di lepas pantai Cilacap, Alhamdulillah, tidak menimbulkan kerusakan dan juga tsunami tidak muncul. Berbeda adalah gempa Maos 1917, yang rupanya berasal dari sesar yang sama—patahan di kulit bumi yang bergerak—sumbernya juga dangkal tetapi dalam hal Maos terdapat di bawah Pulau Jawa.

Pulau Jawa penuh dengan patahan dan sesar, yang disertai gerakan. Petunjuknya terdapat di banyak tempat. Lihat saja pada deret gunngapi, di Jawa Tengah, gunung kembar Sundoro-Sumbing, deret gunung Merapi-Merbabu-Telomoyo-Ungaran, atau di Jawa Timut, G.Bromo-G.Semeru. Patahan berarah selatan-utara itu sebagai akibat desakan Benua Australia yang kemudian jadi penyebab magma dari kedalaman bumi dapat naik ke permukaan.

Patahan selatan-utara diduga telah menyebabkan Kali Serayu yang semula mengalir pada arah umum timur-barat tetapi tiba-tiba berganti arah ke selatan dan menerabas daerah Pegunungan Serayu Selatan. Kali Serayu dapat menembus pegunungn karena ada bagian yang lemah, diduga patahan itu, setelah lembah sungai yang asli di daerah yang sekarang diempati Kota Purwokerto terisi bahan letusan yang berasal dari G.Slamet. Benarkah nama Gunung Slamet berasal dari petaka letusan yang membenamkan Pasirluhur, Ibukota Galuh Timur? Tugas para peniliti untuk mencari jawaban.

Yang juga menimbulkan pertanyaan adalah lembah Bogowonto yang lurus dan masih banyak lagi. Mungkinkah sesar yang 'diam' tiba-tiba begerak? Mungkin tentu saja mungkin, tetapi kita tidak dapat berbuat apa-apa. Itu harus kita terima sebagai risiko bahwa kita hidup di negeri seperti ini.

Ada sistem yang bersifat nirbenda. Belanda sangat berhati-hati dalam menangani perkara ini. Yang juga jelas, mereka tidak akan mengeluarkan biaya, jika hasilnya belum atau tidak nyata. Kita dapat menyebutnya ranah kebudayaan yang terdiri dari, pertama, matra bahasa dan budaya, dan yang kedua, agama.

Sebagai wadah, Belanda menggunakan Departement van Onderwijs en Eredienst (Departemen Pengajaran dan Peribadatan) sebgai wahananya. Instansi itulah yang menangani dua bidang itu. Pengajaran bertujuan membuat orang mengenal budaya dengan bahasa sebagai sarananya. sedang secara tersirat, agama dianggap sebagai urusan pribadi, meskipun pada hakikatnya dapat bersifat keberpihakan. Ini terjadi jika politik sudah dilibatkan di dalamnya.

Agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, dibawa masuk pihak penjajah. Di belakang dua agama itu ada organisasi yang mengurus umatnya. Organisasi Katolik mencakup seluruh dunia dan berpusat di Roma. Protestan terpecah dalam banyak sekte, dan masing-masing memiliki pusat, dan pusat itu pula yang mengatur segala kegiatan.

Agama Islam memiliki sejarahnya sendiri. Pada waktu zaman Mataram Islam, Raja yang memeluk agama Islam menganggp bahwa yang resmi tentu agama Islam. Ini nyata dari sebutan Raja sebagai Panoto Agomo, secara harfiah yang mengatur agama. Bahwa di antara penduduk kerajaan ada yang memeluk agama lain, hal itu rupa-rupanya tidak perlu dipermasalahkan,

Dalam zaman penjajahan, Belanda menyebut agama Islam Mohamedaansche godsdienst, agama Mohammad, dan umat Islam mereka sebut Mohamedanen, penganut Mohammad. Karena Idul Fitri ketika itu merupakan hari besar Islam yang paling menonjol, maka orang Belanda menganggapnya Mohamedaansch Nieuwjaar, tahun baru Mohammad. Barangkali orang sekarang menganggap itu aneh. Jika ada sementara orang pribumi—di zaman itu—yang ikut-ikutan menyebut Idul Fitri tahun baru Islam, lalu mau apa kita, karena kita pada waktu itu memang dijauhkan dari 'agama kampung'. Dengan suasana itu, kita dapat menyimpulkan bahwa anggaran Depaterment van Onderwijs en Eredienst untuk keperluan agama masjid—tata-istilah Snouck Hurgronye—jelas terbatas. Sekedar ilustrasi, saya sendiri yang sejak kecil terbiasa berkopiah dan bersarung, pernah ditegur sesama pelajar dengan ujaran 'He, santri. santri' (entah dengan alasan apa). Dari kenyatan itu dapat kita tangkap teguran itu jelas tidak positip. Kita boleh menafsirkan sendiri, apa arti teguran itu, karena hubungan kopiah (ketika itu) terbatas, yaitu hanya dikenakan oleh orang yang biasa ke masjid.

Setelah Mohammadijah berdiri pada tahun 1912, perlahan-lahan kita dapat menyaksikan, betapa sebagai organisasi, Mohammadijah ada di belakang perubahan yang menyebar ke mana-mana dan berangsur-angsur. Tak pelak lagi, dapat kita lihat Mohammadijah memiliki kemiripan dengan yang dilakukan oleh pihak Katolik dan Protestan, yang selain mengurus gereja juga perkara pendidikan dan kesehatan umum. Maka Mohammadiyah sebagai organisasi selain mengurus peribadatan, juga mendirikan masjid, dan mengurus pendidikan serta kesehatan rakyat. Saya masih ingat pada tahun 30-an, yang ada baru PKO, Poliklinik Kesehatan Oemoem, sekolah Mohammdijah baru sekolah dasar, dan masjid yang dibangun mereka masih terbatas. Sekarang semua itu sudah sangat berubah, masjid Mohammadiyah ada di banyak tempat, demikian pula rumah sakit dan di bidang pendidikan mengurus semua jenjang pendidikan termasuk universitas.