Istilah bahasa Jawa itu lebih-kurang bermakna bahwa setiap kurun waktu ada kekhasannya apalagi jika pergantian kurun disertai tuntutan. Jadi, jika kita berbicara mengenai nasionalisme Indonesia, itu tidak akan mungkin jika kita menyingkirkan tahapan demi-tahapan yang dilalui, sebelum sampai pada pokoknya. Dengan demikian, nasionalisme menunjuk ke gejala yang disebut semangat zaman, atau mengikuti kata aslinya, Jerman, Zeitgeist.

Sejak Dwitunggal Soekarno-Mohammad Hatta, atas nama Bangsa Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada Jumat Kliwon, 17 Agustus 1945, telah banyak yang terjadi. Sebelum peristiwa itu—entah dari mana kita berasal—kita bersikap dan bertindak berbeda, layaknya rakyat negeri dijajah, apalagi yang begitu luas dan disebut Nederlands Indie atau dalam bahasa Melayu—Maleis—Hindia Belanda.Yang disebut Bahasa Indonesia sudah ada, tetapi tidak diucapkn di depan umum, karena termasuk barang yang dilarang oleh pemerintahan kolonial. Yang disebut bahasa Melayu, entah sejak kapan, adalah bahasa yang digunakan secara umum di Nusantara, di samping bahasa ibu. Siapa pun, tanpa ragu-ragu langsung menggunakannya jika berhubungan dengan orang 'lain', di luar keluarga atau 'suku' sendiri. Bahasa Melayu diberi sebutan 'pasar', menjadi Melayu p kasar atau lebih lazim, Melayu pasaran. Van Ophuysenlah orangnya yang membuat bahasa Melayu jadi bahasa yang disebut orang Belanda standaard Maleisch, bahasa Melayu baku. Ternyata tidak cuma sebatas itu, karena Sumpah Pemuda pada 28 Oktober tahun 1928 yang konon menggunakan 'bahasa Indonesia', pada hakikatnya juga 'Bahasa Melayu baku' dengan ejaan yang berlaku ketika itu, yang berasal dari Van Ophuysen. Siapakah dia?

Charles Adriaan van Ophuysen (1856-1917) lahir di Solok Sumatera Barat dari ayah dan ibu orang Belanda. Mula-mula ia bekerja pada kantor pendidikan pribumi di daerah Tapanuli, meneliti bahasa dan adat setempat. Kemudian ia dipindah ke Sumatera Barat dan di sana ia melakukan hal serupa, sampai mendapat cuti ke Eropa. Sekembalinya dari cuti, ia ditugasi mengunjungi semua daerah yang berbahasa Melayu dan menentukan ejaan yang sebaik-baiknya. Dari sanalah lahir buku Kitab logat Melajoe Dalam kedudukan sebagai inspektur pendidikan pribumi, ia banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari bahasa dan dongeng rakyat Melayu. Hasilnya berupa tonggak sejarah: pada tahun 1904 ia dikukuhkan sebagai gurubesar bahasa dan sastra Melayu di Universitas Leiden. Dengan ini jelaslah, mengapa namanya tak dapat dipisahkan dengan yang disebut bahasa Melayu, karena ia-lah yang memberi dasar ilmiah, selain kepada tatabahasanya juga menentukan ejaan yang pertama dan kemudian kita kenal dengan nama ejaan Van Ophuysen dan berlaku sampai Indonesia Merdeka.

Tanpa diduga, pemindahan penduduk secara besar-besaran kemudian jadi model, bak-pendorong dalam proses mewujudkan Bangsa. Sehubungan dengan peringatan sepuluh windu adanya upaya memindahkan penduduk dari Jawa ke tanah seberang (1905-1985), kita dapat menyimaknya lewat buku yang diterbitkan sehubungan dengan perkara itu. Kakak Slamet M.M.D. Poerboadiwidjojo yang sejak awal tahun 1930-an bekerja dalam bidang pertansmigrasian ikut menyumbangkan buah pikiran, hasil pengalamannya berhadapan dengan perpindahan penduduk besar-besaran itu. Pada hematnya, ada berbagai jenis transmigrasi, yang resmi diselenggarakn pemerintah sejak zaman kolonial. Pada awal kita merdeka, yang termasuk ini adalah golongan bekas perjurit dan mereka yang diikat lewat badan yang disebut BRN, Biro Rekonstruksi Nasional, karena mereka pernah memanggul senjata. Ada lagi gelongan yang disebutnya 'liar' (spontan). (Poerboadiwidjojo, dlm Swasono & Singarimbun, 1986). Projek besar membangunan waduk di Jawa yang sangat padat penduduknya, menimbulkan masalah pelik pertanahan, juga menemukan cara penyelesaian yang dianggap layak, 'bedol desa'. Memindahkan seluruh desa ke tempat baru itu terjadi pada waktu pembangunan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, yang penduduknya dipindahkan ke Rimbo Bujang di Sumatera Barat. Ternyata ada juga mereka yang semula telah jadi penduduk Surinam yang setelah kita merdeka ingin kembali ke Indonesia. Secara kelompok mereka juga ditempatkan di Sumatera Barat.

Kawin-mawin antara pendatang dan penduduk setempat—istilah sekarang 'pembauran'—pun terjadilah, Pembauran itu kemudian merupakan salah satu pendorong besar yang menyatukan suku di Nusantara yang jumlahnya sangat banyak. Bahasa Melayu yang sejak kita merdeka otomatis jadi Bahasa Indonesia, menjadi sarana penyatuannya.

Saya sendiri merasakan proses pengindonesiaan ini. Sejak 1950 dengan latar belakang Jawa, saya selain bekerja juga bermukim di Bandung. Dalam jangka waktu 60 tahun lingkungan telah berubah sama sekali. Ketika baru tiba di Bandung hingga sekitar 10 tahun kemudian, bahasa pergaulan di Bandung, Ibukota Propinsi Jawa Barat, adalah bahasa Sunda. Sebagai pendatang, saya berupaya keras untuk berbicara dalam bahasa Sunda dengan lancar. Karena juga sering bertugas di pelosok propinsi, saya berpendapat, menguasai bahasa Sunda sangat perlu. Kini keadaan berubah, karena pertanyaan dalam bahasa Sunda, jawabnya hampir dapat dipastikan dalam bahasa Indonesia. Ini saya alami tidak hanya di Kota Bandung, bahkan di luar kota.

Kata panggilan atau sapaan 'mas' dan 'mbak' yang berasal dari Jawa sekarang dapat kita jumpai di mana saja. Di Bandung dan Jakarta itu dianggap orang lumrah. Di Bandung, sudah lama beredar kelakar ITB semestinya diplesetkan jadi MIT, Mbandung Institute of Technology, karena tidak hanya mahasiswa yang berasal dari Jawa dan jumlah mereka banyak, juga dosennya. Sebagai akibatnya, 'cakap-Jawa' di kampus terdengar di mana-mana. Saya kira itu berlebihan, apalagi sejak belum lama ini. Yang jelas, salah satu penyebabnya pembauran. Sebenarnya, sapaan 'mas' dan 'mbak' terdengar pula di daerah seperti di Bali, Lombok, Makassar, dan entah di mana saja yang membuat saya bertanya-tanya, karena semua pelakunya insan bukan-Jawa.

Kembali mengenai perpindahan penduduk. Pemerintah memindahkan orang Jawa ke pulau lain tidak hanya karena penduduk suatu daerah terlalu padat. Ada alasan yang juga melatarbelakangi langkah itu, yaitu karena orang tidak sejalan dengan sikap penguasa, atau, kata lain memberontak. Sebagai akibatnya, selain Jadel untuk orang Jawa dari Deli, muncul kata Jaton untuk Jawa dari Tondano dan Jamer untuk orang Jawa dari Merauke, dst.dst. Ternyata yang tak sejalan dengan pihak pemerintah tidak hanya dari suku Jawa, juga dari suku lain. Tjoet Njak Dien (1848—1906) dari Aceh diasingkan ke Sumedang di Jawa Barat sampai wafat. Keluarga raja dari Lombok diasingkan ke daerah Sukabumi. Pasca-pemberontakan PKI tahun 1926, sejumlah orang Minangkabau dibawa ke Digul. Jumlah mereka terbatas dan selain itu, mereka benar-benar 'terasing' dari masyarakat di sekitarnya, sampai Perang Dunia II mencapai Hindia Belanda dan mereka dipindahkan ke Australia. Ujungnya mereka bebas (Salim, 1988).

Sejak tahun 1950 penduduk Indonesia seperti diaduk kuat-kuat. Perpindahan pegawai negeri dan swasta dan anggota angkatan bersenjata disertai keluarganya adalah suatu tindakan yang membuat orang Indonesia seperti diayak. Seperti saya singgung di atas, saya termasuk di dalamnya.Yang memiliki akibat serupa adalah dorongan anak muda untuk menemukan sekolah yang tepat. Mula-mula, gerakan itu terutama datang dari luar Jawa ke kota besar di Jawa, tetapi sejak akhir-akhir ini arahnya bisa ke mana saja. Ini merupakan hal yang sangat menarik. Untuk itu, dalam bahasa Jawa terdapat istilah bak gabah diinteri (laksana gabah ditampi).

Pasca-1950, atau lebih tepat lagi pasca-1965, sekali lagi terjadi pemindahan (penyingkiran) orang secara besar-besaran, juga dengan alasan tidak sejalan dengan pemerintah. Yang bertindak kali ini adalah pemerintah nasional. Dan alasannya adalah membahayakan ideologi Negara. Pulau yang dijadikan sasaran memindahkan orang secara besar-besaran adalah Pulau Buru di Maluku Tengah. Pada tahun 1988 mereka dibebaskan, banyak yang kembali ke tempat asalnya, tetapi sebagian memilih tetap tinggal di Pulau Buru.

Ternyata masih ada ragam lain lagi perpindahan tenaga kasar. Pada tahap awal, tenaga kasar itu dari Jawa dan diangkut ke jajahan Belanda Surinam di Amerika Selatan dan jajahan Perancis Pulau Kaledonia Baru di daerah Pasifik, untuk dipekerjakan di tambang. Maka bahasa dan budaya Jawa terbawa menyebar, sehingga di Republik Surinam bahasa Jawa muncul sebagai salah satu bahasa di sana.

Sejak sekitar tahun 70-an ada gejala yang semula belum menarik, yaitu arus tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah dan negara tetamgga, Malaysia. Sekarang jumlah mereka yang dikenal dengan istilah TKW, tenaga kerja wanita dan TKI, tenaga kerja Indonesia jumlahnya sudah mencapai beberapa juta orang. Jenis TKI juga makin berneka, tidak hanya tenaga kasar, juga tenaga terajar.

Pembauran tidak hanya terjadi sebagai akibat perpindahan orang Jawa ke luar, juga karena akibat yang sebaliknya, orang luar masuk ke Pulau Jawa. Hal ini terjadi karena yang bersangkutan datang. di Jawa semula dengan alasan hendak menuntut ilmu, entah pada peringkat apa. Kini ada alasan lain perpindahan penduduk yang disebut urbanisasi, menyerbu kota untuk mengadu nasib, karena alasan ini sudah lama terjadi. Tidak sedikit dari generasi pertama yang benih nasionalisme sudah bersemi semenjak itu. Kini alasannya sangat sederhana, karena tidak merasa canggung dengan tetangga, berkat sarana komunikasi bernama bahasa Indonesia.

Keadaan nyaris tanpa kendala untuk berpindah pindah—merantau—terutama terdapat pada orang Minang, yang menganggap di mana-mana adalah bumi Allah. Dengan modal kegigihan berusaha dalam makanan siap-saji, dewasa ini di mana saja di Indonesia, bahkan Malaysia dan Singapura, terdapat rumah makan, restoran dan warung Padang, bahkan meninggalkan kata lepau yang semula digunakan di tempat asal mereka,

Kita boleh menyebut semua itu sebagai pembauran mendatar. Ternyata, ada pembauran lain yang berarah menegak. Pergerakan ke atas tidak hanya terjadi ke lapisan satu tingkat lebih tinggi dan melewati beberapa tingkat serta berkecepatan tinggi, semua dapat terjadi dalam satu generasi, hal yang baik bagi pendemokrasian. Tidak perlu diberi contoh di sini, karena contohnya banyak. Yang terbengkalai adalah pembinaan adab, karena tidak mendapat perhatian yang memadai.

Ada perkara yang berkaitan dengan berputarnya roda sejarah, tetapi semula terlewat dari perhatian saya, yaitu latar belakang pembaca tulisan ini. Sidang pembaca meluas, tetapi informasi umum yang tersedia cekak. Ada sumber informasi baru yang nyaris tak terbatas, dari langit, yang kini berarti Internet. Segi ini pun perlu dipertimbangkan, tetapi saya bersikap netral, karena buku ini bukan hasil penelitian, bukan maksudnya untuk diperdagangkan, tetapi tertuju terutama kepada mereka yang berminat.

Kini keadaan telah berubah sama sekali, apalagi setelah kita merdeka. Pada waktu kita bertemu orang lain—entah siapa 'orang lain' itu—berwarna kulit sama dengan kita atau yang tampilannya nyata-nyata 'asing', langsung kita menyapanya dengan bahasa Indonesia. Jadi, sudah benar, jika dikatakan bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Jika kita hadir dalam pertemuan resmi, dan acaranya dimulai dengan “Indonesia Raya”, dinyanyikan oleh hadirin sambil berdiri tegak dan bersikap tegap, atau diperdengarkan musik, musik hidup atau rekaman. “Indonesia Raya” sebagai lambang kenegaraan Republik Indonesia diperdengarkan, dan Sang Dwiwarna, bendera merah putih, lambang kenegaraan kita yang satu lagi dikerek. Simak peristiwa olahraga yang berlangsung di gelanggang internasional. Setiap kali peserta dari Indonesia jadi juara pertama, peserta itu tampil di pentas-tengah dengan alas nomor satu. Lantas, lagu “Indonesia Raya” terdengar seraya bendera merah-putih perlahan-lahan dikerek di tiang, dan hadirin pun berdiri tegak untuk menghormatinya. Andaikata kita hadir, kita juga ikut berbangga. Bahkan bila kita di rumah dan menyaksikannya langsung lewat siaran TV, kita juga berbangga

Tiga unsur yang melambangi Bangsa Indonesia sudah jadi kenyataan, bendera merah-putih, bahasa Indonesia, dan lagu Indonesia Raya. Merah-Putih, konon, sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, itu menurut Mohammad Yamin. Pada orang Jawa, merah-putih disebut 'gula-kelapa', yang merah adalah gula, dan yang putih kelapa. Bahasa dan ejaan C.A. van Ophuysen dibuat mengindonesia pada tahun 1947, berkat gebrakan nasionalis Mr. Soewandi, yang pada saat itu menjabat Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Yang berubah lambang bunyi oe yang khas Belanda dijadikan u yang lebih umum. Perubahan kecil itu sudah cukup untuk membuat ejaan bukan lagi 'Belanda'. Tidak ada paksaan bagi siapa pun mengubah cara menulis namanya sesuai dengan Ejaan Soewandi. Ternyata, Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia termasuk yang tidak mengubah ejaan namanya. 'Oe' pada tandatangannya dapat dibaca dengan jelas. Jadi, tidak ada hubungan yang kita sebut nasionalisme dengan ejaan.

Tidak hanya bahasa kita yang berubah, bahasa Belanda pun demikian, yaitu pada tahun 1934 dan seusai PD I. Sebagai misal, Europeesche Lagere School mengikuti ejaan pra-1934, dan sesudah tahun itu jadi Europese Lagere School. Ejaan pasca-PD II, tidak sejauh itu. Selama seabad, bahasa Belanda tidak berubah, yang berubah gayanya. Ejaan nama Belanda tidak dibakukan.

Banyak orang yakin bahwa bahasa Indonesia dapat memainkan peran besar di dunia internasional. Saya termasuk di dalamnya, dan keyakinan itu tidak muncul begitu saja, melainkan atas dasar sifat alamiahnya (Purbo-Haiwidjoyo, 2005, 2012). Melekap, itulah sifat yang dimaksud, karena kepada lingga—untuk mudahnya dipersamakan dengan kata pokok—umumnya dapat dirangkaikan sebuah imbuhan atau lebih. Hasilnya? Bahasa Indonesia yang benar-benar setara dengan bahasa moderen yang mana pun, tetapi bersyarat, yaitu yang bersangkutan siap, mau, dan mampu.

Kini kita jelang zaman yang baru sama sekali, dengan aturan dan ketentuan yang berbeda dengan yang ada dewasa ini. Kita kenal ada ilmu sosial dan ilmu budaya, serta ilmu (kealaman) dan teknologi yang kita anggap berdiri sendiri, tetapi sebenarnya tidak, dan agama yang biasa kita perlakukan berbeda. Semua itu harus kita satukan sebagai suatu perwujudan, entity.

Kembali ke kemelekapan bahasa Indonesia yang ternyata tidak berdiri sendiri. Sebelumnya pada bahasa Indonesia sudah ada dikenali adanya semacam dalil, dan tak kepalang tanggung, disebut Hukum D-M, Diterangkan-Menerangkan. Hukum itu sangat sederhana, karena yang 'merumuskan' bukan orang bahasa, tetapi berkat karyanya dapat kita anggap sastrawan, budayawan, filsuf atau pujangga, warga dunia, dengan latar belakang ahli hukum. Namanya, Sutan Takdir Alisjahbana (1908—95), lahir di Natal, daerah Tapanuli Selatan, mendapat pendidikan menengah di AMS-B, Yogyakarta. Ada pihak yang mencibir karena menganggap ia bukan ahli bahasa, meskipun buku yang ditulisnya “Tatabahasa Baru, Bahasa Indonesia” terbit 38 kali (Alisyabana, 1975). Jadi, tidak bisa dipungkiri betapa besar saham yang diberikan Sutan Takdir Alisjahbana dalam pembinaan bahasa Indonesia.

Lewat jalur resmi antarnegara, Indonesia-Malaysia, muncul ejaan yang berlaku tidak hanya di Indonesia dan Malaysia, bahkan di Berunai (Brunei) dan Singapura. Sejak Hari Proklamasi 17 Agustus 1972, ejaan yang disebut Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, atau disingkat EYD mulai berlaku. Di Malaysia, ejaan yang sama disebut Sistem Ejaan Rumi yang Baharu Bahasa Malaysia.

Sudah empat dasawarsa lebih EYD diresmikan, tetapi belum juga dapat menjangkau semua orang, bahkan mereka yang tergolong cendikiawan dan terajar.Yang jadi penyebabnya sederhana, karena ketiadaan sistem. Kini ejaan Bahasa Indonesia atau Bahasa Malaysia sama. Huruf rangkap tj di Indonesia dan ch di Malaysia, juga di Negara Republik Singapura dan di daerah Kesultanan Brunei Darusalam. ditukar jadi c; bunyi j tidak hanya berlaku di Malaysia, Singapura dan Berunai, kini juga di Indonesia, yang dulu menggunakan dua haruf dj. Masih ada bunyi, ng dan ny, yang belum dapat disulih dengan satu huruf. Alasannya—pada waktu itu—menyulitkan dalam pengetikan. Kini, di zaman komputer, kesulitan seperi itu jadi perkara nisbi, dan dalam ejaan yang akan datang pasti teratasi, jika kita mau.

Dua tokoh di belakang penyatuan ejaan antarnegara itu adalah Amran Halim (1930—2009) dan Anton Moedardo Moeliono (1929—2011), kedua-duanya ahli bahasa. Berkat tindakan mereka, kini tersedia dasar untuk memperkokoh upaya menjadikan bahasa Indonesia (Malaysia) menjadi bahasa dunia. Mereka berdua juga berada di belakang Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia, MBIM, yang didirikan selain untuk menangani perkara kebahasaan secara umum, juga bertujuan menyelaraskan istilah semua bidang ilmu. Majelis diluaskan jadi MABBIM setelah Berunai jadi anggota.

Saya sempat mengenal dua tokoh itu cukup dekat karena terlibat dalam Majelis selama 15-an tahun, dengan Prof. A.M. Moeliono bahkan nyaris setengah abad. Waktu yang cukup lama itu membuat saya yakin bahwa beliau adalah pribadi yang teguh dalam pendirian, penuh disiplin, dan berani mengambil risiko. Kesan khusus saya mengenai Prof. Amran Halim yang juga mantan Rektor Universitas Sriwijaya, dan masih tertinggal hingga kini ialah ketika beliau menyapa Raja Malaysia dengan 'Saudara'. Hemat saya, itu upaya beliau untuk menunjukkan bahwa bahasa Indonesia (dan Malaysia) sanggup untuk digunakan sebagai sarana komunikasi dengan siapa saja dengan cara memilih kata yang tepat, tanpa campuran unsur asing dan tanpa merendahkan diri, sebagai akibat kerancuan tatanan feodal.

Bukan maksud saya bercerita tentang capaian Majelis itu. Yang jelas, pengaruhnya terhadap upaya pembebaran atau penyebarluasan istilah kurang—atau tidak—berhasil, tersebab lingkungan yang kurang menunjang. Kerjasama apa pun hanya dapat terwujud jika tersedia hasrat kuat dari semua pihak, dan untuk itu harus ada dasarnya, dan upaya apa pun, termasuk pembebaran istilah hanya dapat berhasil jika tersedia sistem yang menunjangnya.

Yang namanya Timor Timur pada kurun waktu 1976—1999 merupakan salah satu propinsi Negara Republik Indonesia. Saya beruntung dapat berkunjung di sana, dan bertemu selain dengan orang pertama di sana, gubernur, juga dengan sopir taksi, pelayan hotel, hingga rakyat jelata di pelosok dan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia! Pada saat itu, Tim-Tim baru delapan tahun bersama kita. Saya kagum karena semua dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Siapakah yang telah membuat mereka jadi penutur bahasa Indonesia? Jawab mereka: Bapak-bapak dari Jakarta dan perjurit ABRI, yang terakhir terutama karena mereka sempat menjadi 'guru sekolah darurat' di daerah Tim-Tim. Sebenarnya, ada modal dasar yang tersedia, bahasa Tetum, bahasa setempat yang tatabunyi dan bangun kalimatnya sama dengan bahasa kita. Empat ratus tahun dijajah Portugal tak bisa membuat rakyat Timor Loro-Sae jadi penutur bahasa Portugis, karena jumlah sekolah di sana sangat terbatas. Apa yang menyebabkan mereka pernah 'bergabung' dengan kita? Politik! Lalu apa yang menyebabkan mereka kemudian memisahkan diri? Politik (dan cadangan minyak dan gas), dan kita terjebak masuk ke sana juga tersebab politik (orang lain) ditambah ideologi. Dan kini Tim-Tim telah jadi Timor Loro-Sae, tetapi bahasa yang berlaku di sana tetap masih Bahasa Indonesia. Betapa besar arti dua unsur itu—bahasa dan politik—bagi suatu bangsa, jika orang ingin mandiri.

Komunikasi dengan sarana bahasa ternyata memerlukan syarat tertentu, dan ini saya alami tidak hanya dulu, bahkan sampai sekarang. Inilah ceritanya. Setiap kali saya harus menyadarkan diri, siapakah lawan bicara. Sudah disinggung di atas, ada saat saya berjumpa dengan seorang, bahasa saya menggunakan bahasa Jawa, ditambah pertimbangan siapakah orangnya yang saya hadapi, apa ia lebih tua, saudara, orang lain sebaya, teman akrab, dst.dst., maka saya harus mampu memlih ragam bahasa yang saya gunakan. Jika yang hadir kelompok 'orang beraneka', dalam percakapan itu digunakan bahasa resmi yang berlaku. Pada zaman penjajahan Belanda, bahasa Belanda adalah bahasa resmi, dan pada upacara resmi terdengar lagu “Wilhelmus”, lagu kebangsaan Belanda. Begitu negeri ini diduduki Balatentara Jepang, sesaat cara orang berkomunikasi terhenti, tetapi tak lama, karena segera pulih. Lalu bahasa apa yang digunakan sebagai sarana? Bahasa Indonesia! Itulah bahasa yang siap-pakai, karena bahasa Belanda dilarang, dan umum tidak mengerti bahasa Jepang.

Sebenarnya, sikap menyadarkan diri itu pada saya kini pun masih melekat. Karena hidup di Jawa Barat dan bergaul dengan beraneka orang, sampai sekarang 'cakap nekabasa' masih saya lakukan setiap saat: berbahasa Indonesia dengan kebanyakan orang, berbahasa Sunda dengan orang Sunda, berbahasa Belanda dengan kelompok oude garde, orang tertinggal zaman, bahasa Inggris dengan orang 'luar', dan 'bahasa gado-gado', jika ingin akrab dengan orang 'aneh'. Itu kenyataan yang tidak terbantah. Pada hemat saya, suasanalah yang mendorong orang menentukan sikap.

Kenyataan adanya 'kurun waktu lingkar-bahasa' tidak mungkin diingkari, seakan-akan penggalan waktu yang selalu hadir mengikuti kita masng-masing, sejak masih kanak-kanak sampai dewasa. Ketika Indonesia diduduki Jepang dan saya masih di Algemene Middelbare School, Afdeling B Yogyakarta dengan sendirinya sekolah ditutup. Selang enam bulan sekolah dibuka kembali dan menjelma jadi Sekolah Menengah Atas (urutan dibalik), ditambah Bagian B. Karena Jepang yang yang berkuasa, nama sekolah dalam bahasa Jepang juga langsung ada, Koto Tyuu-Gakko, yang artinya tentu juga SMA, Sebagai siswa, yang membuat saya kagum, semua pelajaran langsung diberikan dalam bahasa Indonesia! Siapa yang mengajar, karena semua pengajar berkebangsaan Belanda ditangkap? Yang tampil sebagai guru dadakan adalah para mahasiswa, untuk fisika dan matematika adalah mereka dari TH Bandung, sedangkan untuk kimia dan biologi mereka dari GH (sekolah tinggi kedokteran) Jakarta. Kendala dalam pengajaran di SMA—khususnya mataajar matematika dan ilmu kealaman—adalah istilah, dan yang dikenal umum kata Belandanya, term. Benar-benar hebat, karena 'mereka di Jakarta' dalam waktu singkat mampu menghimpun istilah sebagai sarana yang sangat penting. Siapakah mereka itu? Bukan sembarang orang; penggeraknya adalah mereka yang, ibaratnya, dapat 'membaca gelagat'. Tidak mengherankan, begitu kita merdeka tak lama kemudian mereka menempati jabatan penting dalam pemerintahan, seperti Mohammad Hatta, Bahder Djohan, Prijono, dan Roosseno Soerjohadikoesoemo. Menciptakan kata istilah dan dan menggunakannya langsung, itulah peluang emas yang tidak disia-siakan: memanfaatkan bahasa sebagai sarana pendidikan warga negara ini, dan itu yang diperbuat para pendahulu kita sebagai nasionalis (Purbo-Hadiwidjoyo, 1988).

Pada waktu pendudukan Jepang ada perkara yang membuat banyak orang merasa tidak nyaman, bukan karena bahasa tetapi menyangkut perasaan. Bagi kami siswa sekolah menengah atas, hal itu berupa upacara sebelum jam pelajaran dimulai. Setiap pagi semua siswa dalam pakaian seragam putih-putih dan pet di kepala, berbaris di sekitar tiang bendera. Mata acara pertama adalah menyanyikan Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang, atau nama resminya Dai Nippon, Nippon Raya.Sambil lagu Kimigayo dinyanyikan, bendera Hino Maru dikerek naik. Lalu para siswa mengucapkan sumpah Pelajar Jawa Baru (Shin Jawa), dengan menghadap ke arah Tokyo sambil berbungkuk, mengikuti aba-aba memberi hormat kepada Tenno Heika.

Cara itu pasti menyinggung orang dengan rasa keberagamaan. Yang wajib kita sembah hanya satu, Tuhan yang Maha Esa. Tetapi orang Jepang menganggap pimpinan negaranya seorang Maharaja yang dianggap keturunan dewa. Jika ada yang berani menentang, yang bersangkutan tentu harus tahu akibatnya, siap kepalanya terpisah dari badan, dan itu diselesaikan dalam waktu singkat.

Upacara diakhiri dengan taisho, gerak badan bersama. Itu dilakukan setiap pagi, karena mereka adalah Saudara Tua. Yang juga harus diketahui, zaman penuh kekejaman itu juga berakhir, setelah tiga setengah tahun—atau dengan ungkapan Jawa—seumur jagung.