'Kiamat' bagi Karananyar tiba pada pagi hari 19 Desemer 1948. Hari naas itu sebenarnya sudah diduga akan datang, hanya saja umumnya orang tidak tahu. Itu adalah awal Politionele Aktie yang kedua dan membuat Karangayar porak-poranda karena dihujani peluru meriam oleh pasukan Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, Panglima Kekuatan Belanda. Jika menggunakan ungkapan Belanda itu hanya uitstel van executie, penangguhan pelaksanaan hukuman, sebab serbuan pasukan Jenderal

yang pertama sempat terhenti. Selama 'jeda' sempat terjadi banyak hal, yang kisahnya tersisip di sana-sini.

Istilah politionele aktie digunakan untuk memberi kesan bahwa tindakan itu bukan perang, karena bertujuan meng'hajar' mereka yang membuat onar, penganut Soekarno dan 'orang-orang kiri' yang ada di belakangnya. Itu jelas seperti orang Belanda bilang alles over een kam scheren, dan bahasa Jawanya, digebyah uyah. Rencana serbuan itu jelas sudah matang.

Pahal dua bulan sebelumnya, 19 Oktober 1949, Musso lewat Radio Madiun menjelek-jelekkan dan Bung Karno, isyarat dimulainya pemberontakan PKI. Lewat RRI Yogya, Bung Karno menjawab, pilih Soekarno-Hatta atau Musso-Amir Sjarifudin. Dengan itu, Divisi Siliwangi dengan pimpinan Jenderal Abdul Haris Nasution yang saat itu ada di daerah Yogya-Solo gara-gara harus menyingkir dari Jawa Barat, langsung terjun menghadapi kaum pemberontak PKI, dan dapat ditumpas segera. Saat itu saya adalah mahasiswa yang dalam rombongan dan dalam perjalanan pulang dari kuliah kerja dari Jawa Timur. Ketika di Walikukun, tempat itu baru dibersihkan, dan pulang dengan kereta pertama yang sudah menunggu di setasiun. Ketika tiba di Yogya, kami masih sempat mendengar putusan yang diambil Bung Karno, yang ternyata dapat meyakinkan Amerika dan Inggris bahwa Republik Indonesia bukan negara komunis. Dengan itu lewat PBB akhirnya diketahui bahwa dunia berpihak kepada pada Indonesia. Karena diboikot banyak negara, pasukan Jenderal Spoor harus ditarik. Dengan kata lain, langkah yang dilakukan Spoor keliru.

Sikap itu terbawa-bawa—jangan heran—hingga menjelang Belanda meninggalkan negeri ini dan bahkan ketika orang berhadapan dengan pasca-GTS, Gerakan Tigapuluh September: Semoga orang yang dari Yogya adalah kiri!

Dalam tulisan Schumacher (1995), saya menemukan bagian dari perintah harian, perintah harian Jenderal Spoor yang berbunyi: Gij rukt niet op om dit land oorlog te brengen, maar om het de vrede te hergeven. Gij komt niet als veroveraar, maar als bevrijder. Gij komt niet om te straffen, maar om te beschermen. Diindonesiakan. Anda bergerak maju bukan untuk berperang, tetapi mengembalikan kembalikan keadaan yang damai. Anda datang bukan sebagai penakluk, melainkan pelindung, Anda datang tidak untuk menghukum, melainkan melindungi.

Akhirnya, perintah untuk menyerbu Republik Yogya dan orang-orang kirinya—untuk melunakkan kata komunis—pun diberikan. Cara Spoor bertindak itu bukan layaknya polisi menhadapi perusuh, melainkan meniru Jerman pada waktu menggilas negara tetangga, pada awal PD II. Ia memiliki perlengkapan perang moderen, tersisa dari perang yang baru usai, yang untuk penyerbuan itu baru dibeli.

Republik Indonesia menjelang serbuan pasukan Spoor tanggal 19 Desembar 1948 dari segi luas wilayah di Jawa tidak lagi berarti, dan selain itu ada bagian Sumatera yang juga menganggap diri wlayah RI (lihat Johanas, 2006), tetapi tidak demikian dari segi politik dan semangat perjuangan rakyat. Salah satu titik tentara Spoor meyerbu wilayah RI adalah melewati titik demarkasin Kemit, kurang dari 4km di barat Kota Karanganyar. Menjelang penyerbuan, kota dihujani peluru meriam, h ingga porak-poranda, termasuk rumah kediaman Keluarga Reksodihadjo, besan Ayah-Ibu yang pada peristiwa itu kehilangan seorang puterinya. Karena tidak memungkinka, jenazah langsung dimakankan di tempat kejadian, dan makam dibiarkan sampai sekarang.

Dengan hancurnya Karanganyar, selesai pula riwayat Karanganyar dan sirna segala kemegahan masa lalunya. Semenjak itu saya tidak pernah singgah di sana lagi, kecuali manpir sebentar dan bertemu dengan Ibu Ismail, janda sepupu Ayah.

Baru pada akhir Juli 2011 saya dengan sengaja berkunjung ke Karanganyar karena berniat untuk memperoleh informai yang berhubungan bagi tulisan sekarang ini. Waktunya sangat singkat, hanya beberapa saat. Pertama, tanggal 24 siang, dan yang kedua kalinya, keesokan harinya. Kedatangan pertama bertepatan dengan waktu salat asar, dan saya sempat ikut jadi makmum. Betapa kunjungan sangat singkat itu meninggalkan kesan pada saya yang sangat mendalam

Karanganyar tahun 2011 bukan lagi Karanganyar menjelang PD II. Yang ada di depan mata adalah adalah Karanganyar yang bangkit kembali lebih dari dua generasi kemudian. Contoh soal perkara ini adalah ruang-dalam masjid Karanganyar. Ruang itu masih yang sama, demikiian pula tembok yang ada di sekitarnya yang tebalnya hampir semeteran. Ruang jemaah wanita dulu bertembok dan hanya muat 100-orang, tetapi kini tembok penykat telah lenyap. Sebagai penggantinya ada ruang yang dibatasi kain sorong warna putih tinggi 1,5 m kurang yang membatasi seperempat luas ruang-dalam masjid.

Saya berdiri di tempat yang lebih kurang sama dengan sekitar tujuh dasawarsa sebelumnya pada setiap salat Jumat, dan sekarang pada salat asar, pada saf keempat. Langsung dapat saya rasakan adanya perbedaan. Dulu tidak mungkin terkumpul jemaah sebanyak itu pada salat asar. Ruang khusus putri yang luasnya entah berapa kali lipat itu memang tidak penuh, tetapi jumlah jemaah putri di sore hari itu putri besar,

Setelah selesai salat, saya menyempatkan diri selain melihat kanan-kiri juga mencoba bercakap-cakap dengan mereka yang masih ada. Banyak yang telah berubah. Saya bertanya dalam bahasa Jawa, tetapi jawab yang saya peroleh dalam bahasa Indonesia!

Saya menghubungkan jumlah jemaah salat asar langsung dengan keberadaan adanya sekolah di dekat masjid yang peringkatnya di atas SMA di halaman bekas pengulon (rumah Kakek) dulu, yang sekarang dipenuhi empat sekolah. Saya dapat menangkap yang sejajar dengan jalan di samping masjid berdiri gedung sekolah farmasi. Tiga gedung lagi berdiri di halaman pengulon, membujur utara selatan. Di halaman bekas rumah bupati, selain berdiri balai pertemuan, juga ada sebuah sekolah lagi. Juga di tempat dulu berdiri HIS, pengantinya sekarang SMA. Yang terjadi adalah perkembangan luar biasa. Karanganyar telah berubah jadi kota sekolah, dan alun-alun yang ada di dekatnya dimanfaatkan untuk lapangan berolah raga

Ketika saya menyinggung tentang banjir, saya langsung mendapat keterangan bahwa sekarang ini banjir sering datang, dan yang biasanya tergenang alun-alun bagian sudut timurlaut. Saya merasa menemukan penyebabnya, ketika keesokan harinya saya sedikit berkeliling kota dan di salah satu jalan yang saya lewati adalah yang menuju ke Karanggayam. Dari jembatan di atas sungai itu saya menyaksikan betapa kanan-kiri alur sungai sampai di tanggul sungai penuh dengan rumpun bambu. Dengan perubahan tutupan lahan di hulu sungai, ditambah papringan yang terdapat di sepanjang alur sungai, banjir yang berulang-kali datang dapat dipahami.

Kembali ke masjid, lalu saya teringat kembali sebaya, yang dulu saya sapa Burhan saja, sapaan yang digunakan orang yang mengenalnya. Ketika itu, tahun 1930-an kami sama-sama di Sekolah Arab di samping masjid yang buka pada sore hari. Sejak kami berpisah dan saya meninggalkan Karanganyar menjelang PD II, saya tidak pernah berjumpa lagi dengan dia, kecuali sekali tanpa disengaja ketika saya melihat ia berjongkok di luar ruang tunggu di Bandara Kemayoran. Saya hanya sempat menyapanya seperti berpuluh-puluh tahun sebelumnya dengan sapaan: 'E, Burhan'.

Saya kemudian memperoleh kabar, bahwa ia dalam pada itu telah menemukan jalan hidupnya, karena ia berpangkat Brigjen TNI dan nama yang ia sandang adalah Burhani Tjokrohandoko. Ia sempat menjabat Dirjen Urusan Haji, dan setelah itu saya mendengar ia telah dipanggil oleh Al Khalik. Betapa hidup ini begitu singkat, dan betapa ia dalam pada itu sempat memberi sentuhan kepada Masjid Karanganyar hingga berbentuk seperti sekarang ini, setelah hancur pada zaman revolusi. Kini tidak perlu lagi orang menimba air sumur untuk mengisi bak air di masjid, karena pompa listrik sudah jadi penggantinya, dan sekarang air mengalir lewat pipa. Masjid bisa disebut functional (berguna), tetapi saya pada umur yang sekarang ini, harus benar-benar berhati-hati untuk melewati 'kolam air' yang licin dan penuh jendul, sebelum sampai ke mulut tangga masuk ke dalam masjid. Banyak yang telah berubah.